Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org 
           
                  SADAR 

                  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
                  Edisi: 36 Tahun III - 2007
                  Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
                 

--------------------------------------------------------------
                 


                  MATINYA NALAR PENGADILAN HAM



                  Oleh: Ali Nursyahid[1] 



                  Tidak ada rasa sakit yang paling dalam selain rasa sakit yang 
dialami oleh para korban. Rasa sakit atas peristiwa kekerasan bukan hanya saat 
disiksa dan atau pun tertemb ak saat peristiwa kekerasan itu berlangsung, 
tetapi saat mengenali kembali goresan-goresan ingatan itu. Tanpa sadar, 
peristiwa kekerasan masa lalu itu telah menjadi hantu yang selalu membayangi 
sang korban saat peristiwa kekerasan itu tak pernah diungkap kebenarannya.

                  Inilah yang dialami sebagian kalangan korban dan keluarga 
korban Peristiwa Tanjung Priok, bergelut dan berusaha keluar dari hantu masa 
lalunya, dengan jalan melakukan permohonan penetapan kompensasi atas derita 
yang mereka terima. Ini dilakukan setelah adanya putusan Kompensasi pada 
tingkat pertama (Pengadilan Negeri) yang menetapkan adanya pemberian kompensasi 
sebesar 1 milyar terhadap korban.

                  Artinya, kompensasi merupakan bentuk reparasi atas segala 
kerugian finansial yang lahir akibat terjadinya tindak pelanggaran HAM. Secara 
sederhana kompensasi adalah proses ganti rugi yang bisa dikonversikan dalam 
bentuk uang/finasial. Kerugiannya sendiri mencakup kerugian finansial yang 
terjadi akibat korban mengalami penderitaan fisik, harta milik atau benda, 
mental, hingga kesempatan yang hilang seperti pendidikan, kesehatan, atau 
pekerjaan. Kompensasi finansial ini merupakan bentuk reparasi yang paling lazim 
dipraktekkan di banyak negara.

                  Meski diakui pada akhir 2003 sudah digelar Pengadilan HAM 
kasus Tanjung Priok yang kemudian membebaskan empat terdakwa ditingkatan 
Mahkamah Agung, yaitu RA. Butar-Butar, Sriyanto, Pranowo dan Sutrisno Mascung 
Cs. Alasanya, tidak terbukti adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat 
pada 12 September 1984. Bukan berarti pembebasan terdakwa tersebut menandakan 
ditiadakannya pula putusan pengadilan HAM Ad hoc tingkat pertama untuk 
memberikan kompensasi terhadap korban. Terlebih lagi dengan adanya pasal 35, 
Undang-Undang No 26 tahun 2000, tentang pengadilan HAM, pemberian kompensasi, 
restitusi dan rehabilitasi itu memang sudah diatur dan melekat sebagai hak 
korban.

                  Rabu (28/02/2007) masyarakat Indonesia lagi-lagi diminta 
untuk menyaksikan matinya kembali nalar Pengadilan HAM bagi korban, yaitu 
dengan ditolaknya permohonan Penetapan Kompensasi 13 korban dan keluarga korban 
Peristiwa Tanjung Priok 1984 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang 
jelas-jelas merupakan hak yang harus diberikan oleh sang korban. Asumsi di 
balik penolakan tersebut adalah, ungkap Martini Marja SH., Hakim yang memeriksa 
permohonan tersebut, Mahkamah Agung tidak menganggap adanya pelanggaran HAM 
berat atas Peristiwa Tanjung Priok yang menelan tiga ratusan lebih manusia 
meninggal dunia dan tujuh puluh lainnya luka berat dan tembak (KontraS:2001). 
Karena bukan merupakan pelanggaran HAM berat, maka kalangan korban dan keluarga 
korban peristiwa Tanjung Priok tidak mendapatkan kompensasi sedikit pun.

                  Ini didasarkan pada PP No 3 tahun 2002 tentang kompensasi, 
restitusi dan rehabilitasi (Pasal 3). Intinya, hak seseorang  sebagai korban 
kekerasan masa lalu bisa diberikan setelah adanya putusan pengadilan HAM yang 
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht van hewijt). Dengan kata lain, 
hak-hak korban hanya bisa diberikan tatkala pelaku divonis bersalah dan punya 
kekuatan hukum tetap. Penggantungan pelaku pun akhirnya menjadi syarat bagi 
korban untuk mendapatkan hak reparasi tersebut. 
                  Dengan demikian, penolakan tersebut menambah deretan panjang 
dan diktum klasik akan matinya humanitas negara atas penderitaan korban 
pelanggaran HAM yang sudah puluhan tahun bergumul dalam penderitaan.ingatan 
kelam mereka. Ini tercermin dengan tiga kasus yang telah diselidiki dan 
diajukan ke pengadilan HAM; Timor-timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Dari tiga 
pengadilan HAM yang ada, tak satupun yang bisa menjerat dan membuktikan telah 
terjadi kejahatan kemanusiaan.

                  Jika kita mau mengacu pada hukum hak asasi manusia (gross 
violation of human rights) ataupun kejahatan yang serius terhadap hukum 
humeniter internasional, pemulihan dan reparasi menjadi tanggungjawab negara. 
Para korban kejahatan dari penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya harus dihormati 
martabatnya, melainkan juga memiliki hak untuk memperole h mekanisme keadilan 
serta pemulihan yang layak. Sebagaimana tertuang dalam Resolusi Majelis Umum 
PBB No/60/147 yang ditandatangani 16 Desember 2005.

                  Dalam hal ini, posisi korban tidak bergantung pada situasi 
pelaku, baik yang langsung dan atau pun yang terikat pada tanggung jawab 
komando, tidak bisa diidentifikasi atau gagal diajukan ke muka pengadilan. Tapi 
hal itu lebih berhubungan dengan kondisi seseorang yang telah dirampas hak dan 
masa depannya atas suatu peristiwa pelanggaran HAM. Reparasi pun menjadi hak 
yang tidak bisa terpisahkan (inalieanable right) dari korban itu sendiri. Di 
sini negara berkewajiban untuk menyediakan pemenuhan efektif hak atas reparasi 
baik lewat upaya yudikatif (pengadilan), legislatif, atau pun administratif. 


                  Pengalaman Beberapa Negara

                  Pemberian kompensasi ini juga lazim dijalankan oleh beberapa 
negera. Pemulihan korban akibat perang maupun kekejaman rezim diktator kerap 
berlaku sebagai bentuk tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Argentina, 
berjanji membayarkan US$ 5,6 juta berbentuk surat obligasi pemerintah pada 140 
orang yang disekap dalam tahanan (penahanan sewenang-wenang) akibat perang 
tahun 1976-1983. Begitu juga dalam pemerintahan Aywin di Chili, mengusulkan 
bagi 900 mahasiswa yang anggota keluarganya dibunuh maupun dihilangkan 
mendapatkan beasiswa yang lebih tinggi, dan para janda diberikan pensiunan 
setiap bulan sejumlah 160.000 pesos (US$ 450).

                  Menurut Theo Van Boven, seorang ahli hak asasi manusia asal 
Belanda, pemenuhan hak korban itu meliputi: hak untuk mengetahui, hak atas 
keadilan dan hak atas reparasi merupakan hak dasar yang tidak bisa 
diganggu-gugat. Pemulihan korban ini tidak hanya memperbaiki kerusakan yang ada 
namun juga menjadi upaya preventif pelanggaran HAM di masa depan sekaligus 
menjadi amunisi bagi perang melawan impunitas (kekebalan hukum).

                  Sebenarnya, dengan lahirnya Undang-undang No. 26 tahun 2000 
tentang pengadilan HAM, membuka kemungkinan mekanisme untuk melakukan penu 
ntutan kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. 
Dengan perangkat inilah pelaku pelanggaran HAM berat yang sebelumnya menikmati 
impunitas bisa diseret (kembali) ke meja hijau.

                  Begitu pula dalam ketentuan ICCPR (International Covenant on 
Civil and Political Rights) yang sudah diratifikasi Indonesia pada tanggal 23 
Februari 2006, menyatakan setiap negara yang mengakui kovenan ini harus 
mengambil langkah-langkah; memastikan orang yang mengalami pelanggaran HAM 
mendapatkan pemulihan efektif (effective remedy); memastikan mereka yang berhak 
tersebut haknya ditentukan oleh otoritas peradilan, administratif, atau 
legislatif, dan instansi negara lain yang berwenang menurut sistem hukum negara 
bersangkutan (pasal 2).

                  Saat ini, sebenarnya Pemerintah sedang menggodok Rancangan 
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pemberian kompensasi dan restitusi serta 
kelayakan, penentuan jangka waktu, dan besaran biaya pemberian bantuan kepada 
saksi atau korban. Dari Perangkat institusional yang ada (PP No. 03/2002) tidak 
mengatur secara jelas dan efektip bagaimana mekanisme pemberian tersebut. Sebab 
itu, pemerintah (Dep. Keuangan, dan Dep. Hukum dan HAM) dalam pembuatan draf 
sekarang ini lebih memperhatikan nasib korban, tak lagi membuat pengaturan yang 
berbelit dan mengabaikan perasaan keadilan korban.

                  Di era transisi ini, agenda pemenuhan dan pemulihan hak-hak 
korban, alih-alih bisa dirasakan manfaatnya bagi korban, yang terjadi malah ia 
mendapatkan penderitaan ganda: korban yang dikorbankan atas keadilan yang 
seharusnya diterima. Di sini, keseriusan implementasi pemerintah atas pemenuhan 
hak korban dan pengaturan yang jelas serta prosedural yang mumpuni untuk 
penegakan hukum pun menjadi sangat mendesak. Jika kita tidak ingin pelanggaran 
HAM berat di masa lalu terulang lagi.
                   


--------------------------------------------------------------

                  [1] Penulis adalah aktifis KontraS dari Divisi Impunity Watch 
dan Reformasi Institusi, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa 
Rakyat dari Simpul Jabodetabek.






                 
                    
           
            [EMAIL PROTECTED]    
     


Kirim email ke