Mohon komentar Anda....terima kasih. Jurnalisme di tengah masyarakat lapar Oleh Anab Afifi, praktisi komunikasi Kondisi masyarakat kita dewasa ini dapat dikatakan tengah “lapar”. Bukan saja karena banyak diantara saudara kita yang benar-benar lapar perutnya karena kemiskinan, tetapi tebentuknya sebuah masyarakat baru. Kekuasaan represif Orde Baru yang mengekang kebebasan pers secara alami telah melahirkan suatu masyarakat yang tidak hanya haus informasi, tetapi juga lapar informasi. Kondisi ini juga ditunjang oleh fenomena informasi yang telah meningkat menjadi kebutuhan primer salain sandang, pangan dan papan. Demikian dahsyatnya hambatan arus informasi yang dibangun oleh sebuah keputusan politik represif Orde Baru, telah menciptakan rasa lapar yang amat parah. Maka, ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar sejak tujuh tahun lalu di era Presiden Habibie, informasi ibarat air bah yang menggenangi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, karena rasa lapar yang melilit, semua yang ada disantap dan ditelan habis. Kita tidak sempat berfikir lagi apakah yang ditelan itu “hidangan” yang penuh virus atau racun. Hingga sedemikian kebalnya tubuh masyarakat ini menelan aneka jenis informasi beracun, kelaparan itupun telah meningkat pada kelaparan nilai-nilai dan budaya! Seorang remaja tanggung diberitakan memperkosa tetangganya yang masih SMP. Dalam sebuah tayangan reality show, ketika ditanya polisi ia mengaku terbangkit “hasratnya” setelah menonton siaran langsung goyang dangdut yang amat erotis. Bulan Ramadhan lalu diberitakan seorang bocah usia lima tahun kedapatan memukuli kepala neneknya hingga tewas. Lalu dengan polosnya, menjawab pertanyaan polisi dan orang-orang sekitarnya, ia mengatakan hanya menirukan adegan tayangan sebuah televisi. Adalagi seorang pemuda tega membunuh rekannya dengan memotong tubuh korban menjadi beberapa bagian. Saat ditanya mengapa dipotong-potong ? Dengan singkat ia mengatakan terinspirasi dari berita-berita kriminal yang ia lihat. Kasus-kasus tersebut hanya sebagian saja diantara sekian banyak kerawanan sosial yang muncul akibat interaksi media dengan masyarakat kita. Kita akan pilu ketika menyaksikan tayangan seperti “Kisah Sedih di Hari Minggu”. Sinetron tayangan RCTI tersebut secara vulgar mempertontokan kekerasan orang tua terhadap anaknya dengan mimik muka yang amat bengis. Kelicikan, kekerasan, dan perkelahian juga dimunculkan pada sifat anak-anak yang masih berseragam biru-putih. Tayangan yang mempertontonkan adegan anak SD yang sudah pandai memaki-maki temannya yang lemah, seolah hal biasa. Atau adegan orang tua murid yang mengancam dan memarahi guru yang dipanggil karena kenakalan anaknya, adalah introduksi nilai-nilai yang amat naif. Atas nama pasar dan sebuah rating, dengan jumawa seolah kita selalu merasa benar dan boleh melakukan dan mengulang-ulangnya. Mungkin saja benar diantara sebagaian masyarakat kita tetap lahap menikmati sajian pers kita semacam itu. Tetapi diantara masyarakat lapar ini, diam-diam mulai resah. Karena konsumsi yang berlebihan, tubuh mulai meradang. Perut-perut kemanusiaan kita mulai kejang kesakitan. Nalar dan otak peradaban kita strok karena darah informasi – Bill Gates (2000) mengatakan informasi ibarat aliran darah dalam hidup kita -- yang mengalir telah kotor. Kini masyarakat lapar informasi itu koma akibat komplikasi berbagai penyakit. Mereka harus segera diselamatkan, dilarikan ke unit gawat darurat dengan perawatan dan terapi khusus. Pembebasan Nilai-nilai ? Makna kebebasan pers sepertinya telah bergeser substansinya. Ia telah mengalami distorsi. Distorsi kebebasan berekspresi yang barangkali telah kebablasan. Sepertinya ia telah bergeser ke arah pembebasan nilai-nilai. Lihat saja. Pers yang memiliki peran strategis sebagai agen transformasi pengetahuan yang mengusung rasionalisme di sisi lain juga merespon dengan hebat geliat dunia irasional. Jurnalisme pers terlah beraroma kemenyan dan klenik. Dunia klenik yang selama ini terlindung rapi dalam persembunyian budaya timur, serta merta dibuka dengan telanjang. Orang-orang yang “pinter” melihat jin dan hantu itu sudah disejajarkan dengan kaum intelektual kita. Mereka sudah biasa dijadikan nara sumber seperti pakar-pakar kita. Media-media beraroma kemenyan ini kian banyak saja jumlahnya. Maka di tangan media, hantu-hantu itupun telah jadi selibriti karena sering muncul di televisi. Akibatnya, perdukunanpun marak. Mungkin saja, kaum jin dan hantu itu resah. Karena daerah-daerah wingit kekuasaan mereka telah tergusur oleh pembangunan. Lalu mereka unjuk gigi di televisi. Selain kesurupan hantu, pers kita juga terjangkit sejumlah wabah. Sebagaimana diperlihatkan melalui kasus-kasus di atas, pers telah terjebak berita sensasi, kekerasan dan pornografi. Terutama media televisi. Hasil jajak pendapat (Kompas, 7/2) memperlihatkan hal itu. Masyarakat menilai tayangan televisi telah berlebihan dengan kadar masing-masing: Pornografi (61,4%), Kekerasan (68%), dan Sensasional (66,4%). Masalah pornografi salah satu isu yang tak ada habis-habisnya. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudono secara khusus menyentil masalah (maaf) pusar perempuan yang banyak diumbar di televisi. Alasannya tak lain karena melenceng dari nilai-nilai moral agama dan kesantunan budaya timur. Salah satu artis yang telah menuai getah adalah pedangdut Lilis Karlina. Tiga stasiun televisi (TPI, Antv dan TVRI) sepakat untuk tidak menayangkan video klip “Terpesona” dari penyanyi dangdut ini. Selain Lilis Karlina konon korbannya Tabloid Sensual. Maka, tabloid-tabloid panas lainnya kini susat didapat. Para penggemar, tampaknya harus menahan hasrat membaca. Isu yang beredar di internet menyebutkan para pemilik kios majalah ketar-ketir karena kerap dirazia oleh para oknum berseragam. Tabloid yang kini susah dicari adalah: Lipstik, Exotica, Lelaki, dan lainnya. Konon majalah seperti Harper's Bazaar dan Cosmopolitan pun ikut-ikutan disita aparat di Bukit Tinggi. Sekali lagi itu hanya isu, belum tentu benar. Masyarakat tampaknya demikian sensitif. Seorang aktifis hak-hak perempuan, Gadis Arivia, di sebuah harian ibu kota beberapa menyikapi kegemasan Presiden SBY ini terlalu jauh. Ia mempertanyakan: ” Sejak kapan Pemerintah boleh ikut campur dalam urusan pusar perempuan dan ranjang ? ” Seolah-olah statemen ini demikian cerdas dan itelek. Sayangnya, salah tempat. Di sebuah mailing list juga beredar komentar-komentar minor tentang masalah ini dengan menyebutkan istilah yang ditujukan kepada diri Presiden. Istilah-istilah itu tidaklah pantas ditulis disini. Adakah respon semacam ini menggambarkan kondisi masyarakat kita yang masih lapar informasi ? Ataukah memang pembebasan nilai-nilai budaya, etika, dan intelektual yang sedang berproses ? Maka hendaknya semua sepakat, jika bocah kecil bernama “kebebasan pers” yang masih berumur tujuh tahun ini perlu dibimbing sekaligus diawasi. Ia sudah mulai pandai berlari, melompat-lompat ke sana ke mari, dan suka memukul apa saja tanpa sadar bahaya yang ditimbulkan. Nah siapapun Anda, tugas kita adalah membimbing, mengarahkan sekaligus mengawasinya dengan bijak./* Republika
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16 Ungkapkan opini Anda di: http://mediacare.blogspot.com --------------------------------- Do you Yahoo!? Yahoo! Mail - 250MB free storage. Do more. Manage less. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/