Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu
**
*9. Ke Batu Sangkar*


Kami sudahi kunjungan kami di Koto Gadang sampai di simpang di depan mesjid
Nurul Iman itu saja. Di jalan keluar ke arah Koto Tuo ada sebuah rumah
gadang batu bagonjong yang retak-retak di sebelah kiri jalan. Rumah yang
dikabarkan rusak oleh dunsanak Q. Sutan Nan Labiah beberapa hari sebelumnya.
Kami tidak mampir ke rumah itu.



Sudah terasa lapar karena sudah hampir jam dua siang. Kamipun belum shalat.
Aku umumkan bahwa aku mengundang kami semua yang dalam mobil itu untuk makan
siang di restoran mana saja sebelum ke Batu Sangkar. Rahima langsung
mematahkan undanganku tersebut dengan mengatakan, 'Mak Lembang tamu, jadi
tidak boleh mengundang. Saya yang mengundang,' begitu katanya. Aku berusaha
membantah, mengatakan bahwa aku asli orang Bukik Tinggi bagaimana mau
dikatakan tamu. Ustad Zulharbi menengahi dan mengatakan, 'kalau kami ke
Jakarta nanti kapan-kapan bolehlah angku Lembang mengundang kami,' kata
beliau.



Kami singgah di rumah makan Ayia Badarun di jalan ke Padang Panjang. Ada
mushala yang cukup bersih di depan rumah makan itu. Kami shalat terlebih
dahulu, dijamak dan diqasar. Barulah sesudah itu kami makan di restoran yang
ramai pengunjungnya itu. Karena memang sudah lapar, bertambah enak rasanya
makan. Masih aku coba 'merayu' agar biar aku saja yang membayar, sesudah
kami selesai makan tapi Rahima lebih 'gesit' dariku.



Sudah kenyang perut, kami lanjutkan lagi perjalanan, menurun ke Padang
Panjang, berbelok ke arah Solok. Menyusuri jalan yang kemarin sore kami
tempuh sampai ke Ombilin. Hari cerah di sepanjang jalan.  Di Ombilin kami
jumpai dua mobil regu penolong dari Uni Emirat Arab beserta krunya. Dua buah
Toyota Land Cruisser besar yang kelihatannya dibawa langsung dari negeri
mereka. Kemarin aku lihat ada sebuah pesawat cargo berwarna putih di MIA,
mungkin itu agaknya pesawat mereka. Mereka sedang menuju ke arah Solok.



Kami mengambil jalan melalui arah ke Simawang untuk menuju ke Batu Sangkar.
Mungkin karena tadi malam kami sempat saling mengurai cerita dan terbuka
obrolan bahwa istriku berasal dari Simawang (meskipun dia sangat tidak tahu
sudut nagari Simawang itu).  Aku katakan kepada anakku bahwa kita akan
melalui kampungnya. Dia tersenyum mendengar meski agak exited bahwa dia akan
melalui kampung neneknya. Tapi kami tidak masuk ke kampung Simawang
melainkan terus menuju arah Batu Sangkar. Namun kami berhenti di sebuah
panorama dengan pemandangan ke arah Simawang di seberang lembah. Ada sebuah
rumah baru di pinggir jalan yang rusak pula. Kami singgah melihat rumah itu.
Berjumpa dengan pemiliknya, seorang penghulu, Datuak Asa Kayo. Menurut
beliau rumah itu baru dua bulan ditinggali. Dindingnya retak-retak tapi
tidak parah. Aku tanyakan kalau beliau mengenal famili keluarga istriku dan
ternyata belaiu mengenalnya. Tempat itu masih bagian dari Simawang, sebuah
nagari dengan 7 buah jorong.



Jalan inipun baru kali ini aku tempuh. Ternyata hampir tidak ada rumah yang
rusak di sepanjang jalan ini. Kami baru menjumpai ada rumah yang rusak
kampung Bukik Siangok, menjelang Batu Sangkar. Itupun tidak parah.



Ustad Zulharbi membawa kami singgah ke Pabalutan di mana beliau sedang
merintis pendirian sebuah pesantren. Kampung ini rupanya adalah kampung asal
beliau. Kami kunjungi pula mesjid Ihsan di kampung itu, yang juga agak
sedikit rusak oleh gempa. Pada waktu kejadian gempa hari Selasa itu ustad
Zulharbi sedang shalat berjamaah pula di mesjid ini.



Masih banyak amplop yang belum kami bagikan sedangkan di daerah ini tidak
ada korban gempa. Besok rencananya aku akan kembali ke Jakarta. Jadi
lanjutannya akan diteruskan oleh ustad Zulharbi, mungkin di sekitar Parabek
dekat Bukit Tinggi yang tidak kami datangi tadi pagi.



*10. Singgah Di Pagar Ruyung*



Hari baru jam lima sore waktu kami memasuki kota Batu Sangkar. Rahima
ternyata baru sekali ini kesini. Kami putuskan untuk mampir sebentar ke
Pagar Ruyung melihat bekas kebakaran. Meskipun ini bukan lagi kunjungan
mengantarkan sumbangan gempa. Karena di daerah sekitar Batu Sangkar yang
kami lalui tidak terlihat adanya korban gempa.



Masih sore dan sangat terang waktu kami sampai di Pagar Ruyung. Tepatnya di
bekas Istano Pagar Ruyung. Yang tinggal hanyalah tiang-tiang beton dan dua
buah bangunan kecil (salah satunya tabuah larangan) yang masih tersisa.
Banyak juga pengunjung sore itu, mungkin karena hari Ahad. Ada foto-foto
pada saat terjadinya kebakaran dipajang di sebuah board bertutup kaca.
Mataku menangkap foto api bertulisan arab Allah (tanpa alif) dan foto asap
juga bertulisan seperti itu. Wallahu a'lam. Pedagang asongan di depan bekas
istana itu menawarkan VCD kebakaran. Aku membelinya sebuah.



Rahima menanyakan apakah Istano itu tidak dilengkapi dengan penangkal petir.
Aku jawab, mungkin ada. Hanya tidak dilengkapi dengan penangkal 'kehendak
Allah'. Kalau Allah berkehendak bangunan itu terpanggang meski dilengkapi
penangkal petir sekalipun, apalah akan daya sang penangkal petir.



Menjelang maghrib kami tinggalkan Pagar Ruyung dan kami menuju Bukit Tinggi
melalui Tabek Patah. Kami mampir untuk shalat maghrib di mesjid
Rao-Rao.  Sebuah
mesjid tua yang anggun, bercat biru. Dan mesjid ini selamat dari gempa.



Kami teruskan lagi perjalanan menuju Baso. Lalu ke Biaro. Aku ajak juga
rombongan mampir sekedar 'menyilau' kampungku, Koto Tuo Balai Gurah. Kampung
yang kok semakin luar biasa sepinya, kata anakku. Alhamdulillah, keadaan
disana aman-aman saja. Tapi kami tidak mampir ke rumah. Karena rumah-rumah
'kaumku' semuanya kosong terkunci, ditinggal merantau.



Karena sudah lebih jam delapan malam aku ajak rombongan untuk mampir makan
malam di sebuah lepau di Garegeh. Lepau yang dulu seingatku cukup menyelera
masakan ala rumahnya, malam itu aku dapatkan sudah sangat 'biasa-biasa'
saja, tidak seenak dulu lagi.  Sesudah makan malam aku minta tolong
diantarkan ke rumah adik iparku, tidak jauh dari tempat kami makan di
Garegeh itu juga. Kami berpisah setelah rombongan mampir sebentar di rumah
iparku. Sisa amplop akan dilanjutkan pembagiannya oleh ustad Zulharbi insya
Allah.



Di tempat adik iparku itu sudah ada kakak iparku yang datang menjemput
anakku untuk dibawa ke Sawah Lunto malam itu. Aku diantarkan mereka ke
Belakang Balok  untuk beristirahat. Besoknya aku berangkat ke Padang melihat
kakak iparku (istri dari kakak sepupuku) yang sedang sakit di Rumah Sakit
Islam Padang. Dan sorenya aku berangkat kembali ke Jakarta.



Hari Rabu ustad Zulharbi menyelesaikan pembagian amplop sumbangan itu di
Parabek, Sungai Tanang (lagi), Banto Laweh, Bukik Batabuah, Sungai Pua,
Sungai Landai, Guguak Randah, Galo Gandang. Dan keseluruhan dana yang aku
bawa sebanyak Rp 13,841,000.- terbagikan. Selisih hitung Rp 5000 yang
terjadi dari jumlah yang seharusnya Rp 13, 846,000.- aku harap sudah
termasuk kedalam 'katidiang' untuk korban gempa yang di sodorkan orang di
pompa bensin, pada hari ahad sore sebelum kami singgah makan di rumah makan
Ayia badarun.





                                                                  tamat

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Daftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke