Ada banyak hal yang bisa dicontoh dari cerita di bawah ini, mungkin
bisa ditiru di nagari awak...

wassalam
melvi
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kompas Cetak Minggu 15 Juli 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/15/persona/3691275.htm


Tri Mumpuni Wiyatno Menerangi Desa 

Ninuk Mardiana Pambudy & Maria Hartiningsih 


Dia menerangi desa dalam arti sebenarnya. Bersama suaminya, Iskandar 
Budisaroso Kuntoadji, Tri Mumpuni Wiyatno membangun pembangkit 
listrik mini bertenaga air. Sudah 60 lokasi mereka terangi dengan 
listrik. 

Listrik bukan tujuan utama kami, melainkan membangun potensi desa 
supaya mereka berdaya secara ekonomi," kata Tri Mumpuni atau biasa 
dipanggil Puni dalam percakapan pekan lalu di Jakarta. 

Karena itu, meskipun telah melistriki banyak tempat, Puni yang 
menjadi Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), 
lembaga swadaya yang dia dirikan bersama Iskandar pada 17 Agustus 
1992, terus mengembangkan end use productivity, yaitu bagaimana 
masyarakat desa setelah memiliki listrik menggunakan listrik itu 
untuk kegiatan produktif sesuai potensi desa. 

Dalam konteks krisis lingkungan Bumi saat ini, dengan pemanasan 
global yang menimbulkan berbagai perubahan iklim dan cuaca, apa yang 
dilakukan Puni dan Iskandar menjadi bermakna. 

"Agar pembangkit listrik tenaga air itu mampu berfungsi terus-menerus 
sepanjang tahun, setidaknya daerah tangkapan air di hulu harus 
dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Artinya, tidak ada 
penebangan hutan atau penggundulan vegetasi," kata Puni. 

Pembangkit listrik mikrohidro juga ramah lingkungan karena tidak 
menggunakan bahan bakar fosil. Artinya, tidak menambah jumlah gas 
karbon dioksida ke atmosfer yang memperburuk efek rumah kaca penyebab 
naiknya suhu muka Bumi secara global. 

Pembangkit mikrohidro Ibeka tidak ada yang menggunakan dana 
pemerintah? 

Kami memang tidak pernah menggunakan dana Anggaran Pendapat dan 
Belanja Negara (APBN) karena sistem APBN tidak mengakomodasi proses 
pemberdayaan masyarakat. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 
2003 mengharuskan adanya tender. Tidak mungkin rakyat kecil 
mengakses. 

Selama ini kami menggunakan dana donor melalui kedutaan dan ada dari 
perusahaan dalam skema tanggung jawab sosial perusahaan. 

Apa yang menarik Anda membangun listrik mikrohidro? 

Mas Iskandar sudah mulai sejak tahun 1987 melalui lembaga yang dia 
dirikan bersama teman-temannya, Yayasan Mandiri, tetapi berjalan 
sangat lambat. 

Saya melihat orang desa punya potensi berkembang, tetapi perlu alat. 
Nah, listrik itu alatnya. Jadi, listrik itu hanya alat, bukan 
pembangunan itu sendiri. 

Suatu ketika Mas Iskandar minta tolong saya mempresentasikan proposal 
dana listrik mikrohidro. Saya langsung tertarik dan meninggalkan 
pekerjaan sebelumnya dalam program rumah untuk orang miskin di 
perkotaan, perempuan, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Listrik 
di pedesaan ini mencakup semua hal itu. Begitu masyarakat punya 
listrik sendiri, mereka akan punya uang bersama untuk membiayai 
pendidikan, program kesehatan, program perempuan, infrastruktur 
seperti jalan, sampai radio komunitas. 

Dari jumlah 60 lokasi yang dibangun Ibeka, berhasil semua? 

Ada empat atau lima tempat yang tidak jalan lagi dengan macam-macam 
alasan. Di Padasuka, Cianjur, pohon di daerah tangkapan airnya 
ditebangi karena katanya untuk lapangan golf. Ternyata tidak jadi dan 
sekarang ditumbuhi ilalang. Ada yang turbinnya dijual kepala desanya 
sebagai besi tua, ada yang lalu listrik PLN masuk ke tempat itu. 

Membangun komunitas 

Karena memegang prinsip listrik hanya alat untuk membangunkan potensi 
masyarakat desa, cara kerja Puni dan Iskandar adalah membangun 
komunitas, mengajak mereka menyadari pembangkit listrik itu milik 
mereka dan mereka harus memelihara bukan hanya turbinnya, tetapi juga 
keajekan aliran air sepanjang tahun. 

"Awalnya, kami yang memang senang jalan-jalan ke desa melihat ada 
sungai yang alirannya bagus dan belum ada kabel listrik PLN lalu kami 
temui kepala desanya." 

"Kami tidak berani memberi harapan. Biasanya Mas Iskandar akan 
bilang, kebetulan dia diberi pengetahuan lebih untuk mengadakan 
listrik. Ibu ini--maksudnya saya--yang akan mencarikan uangnya," kenang 
Puni. "Setelah itu saya akan cari uang ke mana-mana." 

Desa-desa yang mereka bantu biasanya terpencil. Salah satunya Dusun 
Palanggaran dan Cicemet, enklave di Gunung Halimun, Sukabumi, Jawa 
Barat, yang mereka terangi dengan listrik tahun 1997. Untuk mencapai 
tempat itu harus berjalan kaki sembilan jam atau naik motor yang 
rodanya diberi rantai sebab jalan setapaknya licin. "Uang dari 
listrik dipakai membangun jalan berbatu yang bisa dilalui kendaraan 
four wheel drive. Ini membuka peluang membantu 10 dusun lain," kata 
Puni. 

Sebelum membangun pembangkit listrik, Ibeka selalu mengumpulkan data 
untuk melihat kemungkinannya secara teknis. Iskandar lalu membuat 
rencana teknik dan menghitung rencana anggaran biaya. Setelah itu 
tugas Puni "berjualan". "Yang banyak membantu kedutaan Jepang," kata 
Puni. 

Setelah dana ada, Ibeka lalu mengirim tim sosial yang biasanya 
tinggal mulai dua minggu sampai satu bulan di desa. Di sini proses 
membangun komunitas dimulai, saat masyarakat diajak berdialog. 

"Kami akan mencari orang-orang berpengaruh di desa itu lalu membuat 
pertemuan dengan masyarakat di gereja bila komunitasnya Kristiani, di 
masjid kalau komunitasnya Muslim, atau di rumah adat seperti di 
Kalimantan," kata Puni. 

Masyarakat diminta membuat organisasi yang akan mengurus turbin, 
menentukan siapa ketua, bendahara, sekretaris, sampai orang yang bisa 
bongkar-pasang mesin sebagai operator. Mereka juga diajak menghitung 
biaya yang harus dibayar pelanggan sebagai dana abadi dan dana untuk 
memelihara pembangkit listrik itu. "Ternyata orang desa nyambung 
diajak bicara hal-hal seperti itu," kata Puni. 

Ketika kemudian tim teknis tiba, mereka sudah tahu siapa operator 
turbin. Dia akan diajak ikut memasang turbin karena Ibeka selalu 
mengajak masyarakat bergotong royong membangun. 

Kekecualian terjadi di Desa Krueng Kala, Kecamatan Lhoong, Aceh 
Besar. Menurut Puni, masyarakat di sana sama sekali tidak membantu 
karena mereka lelah setelah konflik berkepanjangan dan kemudian 
disapu tsunami pada 24 Desember 2004. 

"Di sana tersisa hanya satu desa dengan 215 keluarga," kata Puni. 
Lembaga swadaya internasional juga bertanggung jawab dengan membuat 
proyek Cash for Work. "Orang dibayar Rp 50.000-100.000 sehari untuk 
mengangkut batu dan membersihkan sampah di rumah mereka sendiri." 

Ketika enam bulan Puni kembali ke sana, hal tak disangka 
terjadi. "Kas desa terisi Rp 23 juta. Lalu ada aturan baru desa yang 
melarang menebang pohon apa pun dalam jarak 50 meter di kiri dan 
kanan sungai. Mereka menanam pohon buah-buahan supaya bisa dapat 
hasil dari buah itu. Padahal, sebelumnya sulit sekali menentukan uang 
langganan karena mereka merasa tidak punya uang." 

Sama-sama untung 

Dalam sistem yang dibangun Ibeka, menurut Puni, bukan hanya 
masyarakat desa yang untung. PLN dan pemerintah juga untung. 

Desa yang belum ada aliran listrik PLN (off grid) mendapat pemasukan 
dari uang langganan yang dibayar penduduk. 

Di desa yang ada jaringan PLN, Ibeka menggunakan skema on grid yang 
menguntungkan dua pihak. "Kalau tidak salah ingat, pada 26 Desember 
1999 ketika Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Menteri 
Pertambangan dan Energi saya menjelaskan agar sistem ini diterapkan 
di Indonesia," kata Puni. 

Rakyat tidak perlu terpinggirkan dalam pembangunan, bahkan punya dana 
abadi karena listrik yang menjadi aset desa dijual kepada PLN. "Ini 
bukan hanya capacity building, tetapi equity building karena 
kepemilikan rakyat sangat dihormati," kata Puni. 

PLN tidak perlu investasi. "Karena yang investasi rakyat dengan 
bantuan donor," tambah Puni. "Sebenarnya pemerintah juga bisa 
investasi, tetapi saya tidak mengerti mengapa sampai sekarang tidak 
dilakukan." 

PLN menerima listrik bersih karena sumber energinya air, bukan bahan 
bakar fosil. Dari sisi teknis, di ujung-ujung jalur distribusi 
kualitas listrik PLN tetap terpelihara bila di ujung-ujung itu 
listrik PLN disuntik listrik rakyat. 

Keuntungan untuk pemerintah, harga listrik mikrohidro lebih murah, Rp 
425 dan Rp 432 per kWh. "Setahu saya listrik dari swasta dijual 6-7 
sen dollar AS sebelum negosiasi," kata Puni. 

"Bila pemerintah sepakat membangun 500 megawatt listrik dari tenaga 
mikrohidro, lalu rata-rata satu pembangkit menghasilkan 100 kWh, 
berarti ada 5.000 pembangkit. Bila semua dijual ke PLN, ada pemasukan 
uang ke desa sebesar Rp 1,29 triliun per tahun. Bayangkan ekonomi 
desa yang akan tumbuh karena itu." 

Bila pembangkit itu dioperasikan masyarakat, berarti ada 5.000-an 
usaha kecil di desa yang menyerap 39.000 tenaga kerja bila tiap 
pembangkit dioperasikan tiga-enam orang. Orang desa pun akan bertahan 
di kampungnya karena ada kegiatan ekonomi di sana. 

"Penghematan bahan bakar mendekati satu miliar liter setahun atau 
senilai kira-kira Rp 4,3 triliun, sementara biaya yang dibayarkan PLN 
kepada orang desa hanya Rp 1,29 triliun," ujar Puni. 

Keuntungan lain berhubungan dengan konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, yaitu Protokol 
Kyoto. "Karena sumber energinya bersih, maka Clean Development 
Mechanism pembangkit mikrohidro dapat menjual Certified Emission 
Reduction kepada negara maju. Nilai untuk 5.000 pembangkit listrik 
tadi adalah 6 juta dollar AS per tahun. Dana ini dapat dipakai untuk 
membangun lebih banyak desa." 

Lalu, kenapa pemerintah tidak melaksanakan skema ini? 

Saya melihat penyebabnya, sistem anggaran yang mengharuskan adanya 
kontraktor yang membuat tidak terbangunnya komunitas. Akibatnya, 
hasilnya tidak langgeng. Sistem ini dijalani karena takut ditangkap 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan tanpa KPK birokrasi 
kita sudah terkenal amburadul. Seperi lingkaran setan. 

Solusinya? 

Memperkuat masyarakat desa. Kami membantu orang desa mendirikan 
koperasi yang berbadan hukum sehingga bisa membuka rekening bank. 
Dana untuk membangun pembangkit ditransfer langsung ke rekening itu. 
Cara ini yang saya minta dikopi pemerintah. 

Warna Kehidupan 

Hidup Ini Mengalir Saja 

Tri Mumpuni, anak ketiga dari delapan bersaudara ini, menyebut 
hidupnya mengalir saja. Sejak kecil, ketika tinggal di Semarang, Jawa 
Tengah, dia terbiasa melihat dan membantu ibunya yang aktif dalam 
kegiatan sosial. "Rumah kami jadi tempat posyandu, Ibu mengajar Kejar 
Paket A dan B. Jadi, saya biasa ikut menimbang anak-anak balita," 
tutur Puni, panggilannya. 

Bagi Puni, keluarga adalah sekolah yang tidak pernah berhenti. "Saya 
belajar dari Bapak dan Ibu saya," tutur anak pasangan Wiyatno 
(almarhum) yang bekerja di BUMN dan Gemiarsih ini. 

Ayahnya mengajari dia untuk berbagi, sementara ibunya mengajari 
memberi. Berbagi, kata Puni, artinya membagi berapa pun yang dipunyai 
untuk orang lain yang membutuhkan, pada saat yang tepat. Tak 
mengherankan rumah keluarga ini selalu ramai oleh saudara atau orang-
orang dari desa yang tinggal bersama mereka dan disekolahkan orangtua 
Puni dan mereka yang tinggal bersama dianggap sebagai saudara. 

Sedini usia kelas IV SD Puni sudah rajin ikut ibunya keliling ke 
kampung-kampung mengobati orang yang kena penyakit koreng. "Lucunya, 
setelah dewasa saudara-saudara bilang, hanya saya yang paling sering 
membantu Ibu," kenang Puni tentang kegiatan ibunya yang lulusan 
Sekolah Kepandaian Putri. 

"Pengalaman-pengalaman itu memperlihatkan kepada saya, dari proses 
hubungan manusia itu uang bukan segala-galanya," tambah Puni. 

Dia tidak patah semangat ketika cita-citanya masuk Fakultas 
Kedokteran Universitas Diponegoro tak terwujud. Prof Dr Andi Hakim 
Nasoetion-lah yang menelegram orangtua Puni agar anaknya segera ikut 
kuliah bersama mahasiswa tingkat satu di Institut Pertanian 
Bogor. "Telegram dari Pak Andi sampai dialbumkan Ayah," kenang Puni. 
Andi Hakim, juri lomba karya ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan 
Indonesia (LIPI), rupanya terus mengikuti kabar para finalis lomba 
yang tahun 1982 dimenangi Puni. 

Suaminya, Ir Iskandar Kuntoadji, adalah sarjana geologi dari Institut 
Teknologi Bandung, dan belajar pembangkit mokrohidro di Swiss. Dari 
Iskandar, Puni banyak belajar mengenai kesederhanaan dan kejujuran. 

"Sebagai perempuan, wajar kalau saya tertarik pada mode, sepatu dan 
tas. Biar sudah punya, kadang-kadang ingin beli lagi. Apalagi kalau 
modelnya bagus sekali, atau ketika sedang di luar negeri. Mas 
Iskandar hanya bilang, apa saya benar-benar membutuhkan itu. 

"Kompromi saya, saya kadang menuruti dia, kadang saya beli juga 
tetapi saya berikan kepada orang. Jadi, ego saya terpenuhi, tetapi 
bukan untuk saya. Saya merasa situasi itu win-win." 

Iskandar juga mengajari bahwa rezeki itu cukup satu gelas. Kalau 
sudah lebih, berikan pada orang lain. "Itu mengajarkan untuk menahan 
diri dari keserakahan. Lingkungan kita rusak karena ego untuk terus 
mengonsumi, terus menumpuk." 

Dia menyebut hidupnya sangat berwarna. Suatu kali dia bersama suami 
dan anak tertuanya, Ayu yang ebrsekolah di Kanada, berada di dusun di 
hutan Ketambe, Gunung Leuser, Aceh Timur, yang gelap gulita tak ada 
listrik. Tetapi, kali lain dia ada di New York atas undangan 
Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Dubrovnik di Kroasia, atau Beijing di 
China. 

"Ayu bilang, betapa tidak adilnya ketika 47 persen orang Indonesia 
belum dapat listrik. Kami katakan, yang lebih tidak adil lagi adalah 
uang untuk melistriki mereka dikorup. Ini kriminal." (NMP/MH) 

Tri Mumpuni Wiyatno 

Nama:Tri Mumpuni 
Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 6 Agustus 1964 

Keluarga: Suami: Ir Iskandar Budisaroso Kuntoadji. Anak: Ayu Larasati 
(21), mahasiswi industrial design di Toronto University, Kanada, dan 
Asri Saraswati (19), mahasiswi bioprocess chemical engineering di 
University of Technology Malaysia. 

Pendidikan: Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut 
Pertanian Bogor; Energy and Sustainable Development International 
Session, Universidad da Costa Rica, 1992; Trade and Sustainable 
Development Course, Chiang Mai University, Thailand, 1993; Leadership 
for Environment and Development Course, 1993-1995, LEAD based in New 
York funded by Rockefeller Foundation; Lead Fellows (Cohort 2). 

Penghargaan: Climate Hero 2005 dari World Wildlife Fund for Nature. 

Pekerjaan: Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, Subang.

--- End forwarded message ---



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, bulan Juni 2008.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Harap memperhatikan urgensi posting email, yang besar dari >300KB.
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, tidak dianjurkan! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim 
melalui jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di:
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2.
==========================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke