Buya HAMKA: Komitmen Menegakkan Risalah Kebenaran


 Ayah   hanya  takut  tidak  bisa  jawab  pertanyaan  Munkar  Nakir!  
Pertanyaan ini diajukan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kepada
ayahnya   mengenai   soal   keengganannya   untuk   melakukan  seikere
(membungkuk ke arah matahari) atas perintah tentara Jepang. Sang ayah,
sebagai  tokoh  pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji Karim Amrullah,
yang  juga kondang dengan sebutan  Haji Rasul  itu, tentu saja menolak
mentah-mentah  perintah  yang berkonotasi  menyembah matahari  itu. Ia
pun sadar sepenuhnya akan risikonya.

Tapi,  demi  keyakinan  terhadap nilai  akidah , maka perintah memberi
hormat  kepada  dewa  matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap
Haji  Karim  Amrullah  itulah  yang  kemudian  oleh Hamka terus dibawa
sepanjang   usia.   Berkali-kali   dalam  situasi  genting  ia  berani
menyatakan  diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama,
meskipun itu berarti membuka lebar pintu penjara.

Hamka  yang  lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari
1908,  mampu  menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman
hingga  akhir  masa  hidupnya. Sebagai anak manusia yang lahir di bumi
Minangkabau,  Hamka  memang  tidak  sempat mengenyam pendidikan formal
yang  tinggi.  Sekolahnya  hanya  dijalani  selama  tiga tahun. Namun,
karena  bakat  intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan
bahasa Arab, ia kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani,
bahkan seringkali disebut salah satu ulama besar Asia Tenggara.

Darah  dari  pihak  orang  tua  sebagai tokoh pembaru ajaran Islam dan
perjuangan  nasional  kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa
kanak sudah akrab dengan berbagai pembicaraan mengenai dunia keilmuan.
Diskusi   yang   dilakukan   sang  ayah  bersama  rekan-rekannya  yang
memelopori  gerakan Islam Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar
tertanam kuat di hatinya.

Dan,  layaknya  seorang  anak muda yang gelisah dan didukung kebiasaan
orang  Minangkabau  yang  suka merantau, Hamka sejak usia sangat belia
sudah  seringkali  meninggalkan rumah. Pada umur 16 tahun misalnya, ia
sudah  pergi  ke  Yogyakarta  untuk  menimba  ilmu dari berbagai tokoh
pergerakan   Islam   seperti   Ki   Bagus  Hadikusumo,  H  Oemar  Said
Tjokroaminoto, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin. Kursus-kursus para
tokoh  pergerakan  yang  diadakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman,
Yogyakarta,    untuk   beberapa   lama   diikutinya.   Alhasil,   jiwa
pergerakannya  menjadi tumbuh semakin kuat, apalagi setelah ia tinggal
di rumah iparnya yang menjadi ketua cabang Persyarikatan Muhammadiyah,
A.R Mansur di Pekalongan. Di situlah Hamka mendapat  udara  pengalaman
pertamanya di dalam mengurus keorganisasian.

Setelah  beberapa  lama tinggal bersama iparnya, pada Juli 1925, Hamka
pulang  kampung  ke  Sumatera  Barat. Ia kembali ke rumah ayahnya yang
berada  di  Gatangan,  Padangpanjang. Disitulah ia kemudian mendirikan
Majelis  Tabligh  Muhammadiyah.  Semenjak  itulah sejarah kiprah Hamka
dalam  organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu dimulai. Dan baru
berakhir beberapa puluh tahun ke depan sebelum ia wafat.


Berhaji Sembari Mencari Ilmu ke Mekah 

Setelah  sekitar  dua  tahun  berkiprah  di  kampung  halamannya, pada
Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekah. Selain untuk menunaikan ibadah
haji,  kepergiannya  itu  juga  dimanfaatkan untuk menimba ilmu dengan
tinggal  di sana selama setengah tahun. Sembari mengkaji ilmu agama ke
berbagai  tokoh  keagamaan  Islam yang mengajar di Baitul Haram, untuk
mencukupi  biaya  hidup  sehari-harinya,  Hamka  bekerja  pada  sebuah
percetakan.  Ia  baru  pulang ke tanah air sekitar bulan Juni 1927 dan
langsung  menuju  ke  Medan.  Di  sana  ia  kemudian  pergi  ke daerah
perkebunan  yang  ada  di sekitar wilayah pantai timur Sumatera (Deli)
untuk  menjadi  guru  agama.  Pekerjaan  ini  dilakoninya sekitar lima
bulan.  Pada  akhir  tahun  1927,  ia  baru  sampai kembali ke kampung
halamannya di Padangpanjang.

Keterlibatannya  dalam  organisasi  Muhammadiyah semakin intens ketika
pada  tahun 1928 ia diundang menjadi peserta kongres Muhammadiyah yang
diselenggarakan di Solo. Dan setelah pulang, karirnya di persyarikatan
semakin  gemilang.  Hamka  secara berangsur memangku beberapa jabatan,
mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian Ketua Majelis Tabligh,
sampai    akhirnya    meraih   jabatan   Ketua   Muhammadiyah   Cabang
Padangpanjang.  Bahkan,  pada tahun 1930 ia mendapat tugas khusus dari
pengurus  pusat  persyarikatan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di
Bengkalis. Hamka di sini sudah mulai diakui eksistensinya.

Usai   mendirikan  cabang  di  Bengkalis,  pada  1931  Pengurus  Pusat
Muhammadiyah  mengutus  Hamka  pergi  ke  Makassar.  Tugas  yang harus
diembannya  adalah  menjadi  mubalig  dalam  rangka  mempersiapkan dan
menggerakkan  semangat  rakyat  untuk  menyambut Muktamar Muhammadiyah
ke-21 yang diselenggarakan pada Mei 1932. Hamka tinggal di sana selama
dua  tahun.  Pada  1934  ia  kembali  ke  Padangpanjang untuk kemudian
diangkat menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.


Berdakwah di atas Gagasan Roman 

Kiprah  Hamka  dalam  pergerakan  semakin  gencar setelah ia pindah ke
Medan, pada 22 Januari 1936. Persyarikatan Muhammadiyah semakin meluas
ke  segenap  wilayah  Sumatera  bagian  timur.  Pada sisi lain, secara
perlahan  tapi  pasti  kemampuan  intelektual  dan kepenulisannya juga
semakin   terasah,   terutama  setelah  ia  memimpin  majalah  Pedoman
Masyarakat  dan  Pedoman Islam (1938-1941). Berbagai artikel keagamaan
serta  cerita pendek ditulisnya dengan bahasa dan logika yang demikian
jernih. Bakat menulisnya sebagai sastrawan serius pada dekade ini juga
berkembang   secara  simultan  dengan  kemampuan  orasinya  yang  amat
memukau.

Selain  sibuk  berceramah,  Hamka  kemudian menerbitkan berbagai karya
roman  seperti:  Di Bawah Lindungan Ka bah (1938), Tenggelamnnya Kapal
van  Der  Wick  (1939),  Merantau  ke  Deli  (1940),  Di  dalam Lembah
Kehidupan  (1940,  kumpulan  cerita pendek). Isi berbagai romannya itu
tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia pergi ke
Mekah dan tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh
perkebunan yang ada di Sumatera bagian timur.

Pada  kurun  waktu  ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku
yang  diterbitkan  pada  tahun  1939  itu diberi judul Tasawuf Modern.
Hamka  dalam  buku  ini mengkritisi kecenderungan dari berbagai aliran
tasawuf  yang   berpretensi negatif  terhadap kehidupan dunia. Tasawuf
banyak  dijadikan  sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan
dunia  yang sering dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka
dalam  buku  ini berusaha merubah persepsi itu. Ia menyerukan  tasawuf
positip  yang tidak bersikap asketisme. Katanya, menjadi Muslim sejati
bukannya  menjauhkan  diri  dari dunia, tapi terjun secara langsung ke
dalamnya. Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran.

Kemudian,  pada  tahun  1942  bersamaan  dengan jatuhnya koloni Hindia
Belanda  ke  dalam  tampuk  kekuasaan  penjajah Jepang, Hamka terpilih
menjadi  pimpinan  Muhammadiyah  Sumatera  Timur.  Posisi jabatan yang
diterima  pada  masa  sulit ekonomi ini dijalaninya selama tiga tahun.
Setelah  itu,  pada  tahun 1945 ia memutuskan untuk melepaskan jabatan
tersebut  karena  pindah  ke  Sumatera  Barat.  Di sana Hamka terpilih
menjadi  ketua  Majelis  Pimpinan  Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat.
Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.

Menjelang  pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan
Roem  Royen  pada tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat
ke  Jakarta.  Kali  ini  Hamka  merintis  karir sebagai pegawai negeri
golongan  F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang oleh KH Abdul
Wahid  Hasyim.  Melihat  kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu
itu menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan
tinggi Islam, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.

Beberapa  perguruan  tinggi yang sempat menjadi tempat mengajarnya itu
antara  lain;  Perguruan  Tinggi  Islam  Negeri (PTAIN) di Yogyakarta,
Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di
Padangpanjang,  Universitas  Muslim  Indonesia  (UMI) di Makassar, dan
Universitas  Islam  Sumatera  Utara  (UISU) di Medan. Uniknya lagi, di
tengah  kesibukannya  sebagai  pengajar  di  berbagai universitas itu,
Hamka  sempat  menulis  biografi  ayahnya,  Haji Abdul Karim Amrullah.
Katanya,  buku  yang  ditulisnya  ini  adalah  sebagai kenang-kenangan
kepada ayahnya yang sangat teguh hati. Apalagi bagi sang ayah sendiri,
Hamka adalah buah hatinya dimana ia pernah dijuluki sebagai  Si Bujang
Jauh   karena  begitu  sering  dan  lamanya merantau pergi ke berbagai
negeri dan daerah.

Di  sela  kegiatannya  mengajar  di  berbagai  universitas  itu, Hamka
mengulang  kembali  kepergiannya  untuk  beribadah haji ke tanah suci.
Sama   dengan   kepergian  hajinya  yang  dilakukan  24  tahun  silam,
kepergiannya  ke  Mekah kali ini juga disertai dengan perjalanannya ke
beberapa  negara  yang  berada  di  kawasan  semenanjung Arabia. Hamka
sendiri  sangat  menikmati  lawatannya  itu.  Apalagi ketika berada di
Mesir.  Ia  menyempatkan diri untuk menemui berbagai sastrawan kondang
Mesir  yang telah lama dikenalnya melalui berbagai tulisannya, seperti
Husein  dan  Fikri Abadah. Mereka saling bertemu, bertukar pikiran dan
minat dalam bidang sastera dan kehidupan umat secara keseluruhan.

Sama  halnya  dengan  kepulangan  haji  pertamanya,  sekembalinya dari
lawatannya  ke  berbagai  negara  di Timur Tengah itu, inspirasi untuk
membuat  karya  sastera pun tumbuh kembali. Lahirlah kemudian beberapa
karya roman seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil,
dan  Di  Tepi  Sungai  Dajlah.  Bagi  banyak  kritikus  sastera banyak
diantara  mereka  menyebut  bahwa,  Hamka dalam penulisan karyanya itu
banyak  terpengaruh pujangga Mesir. Ini tampaknya dapat dipahami sebab
ia  seringkali  menyatakan  terkagum-kagum pada beberapa penulis karya
dari negeri piramid itu, salah satunya adalah Al Manfaluthi.

Usai pulang dari kunjungan ke beberapa negara Arab, pada tahun 1952 ia
mendapat  kesempatan  untuk  mengadakan  kunjungan ke Amerika Serikat.
Hamka  datang  ke  negara  itu  atas  undangan  Departemen Luar Negeri
Amerika.   Ia  mengunjungi  berbagai  tempat,  seperti  negara  bagian
California,  untuk  memberikan  ceramah  yang  berkaitan dengan agama.
Kunjungan  ke  Amerika  kali  ini  ternyata  hanya merupakan kunjungan
pembuka saja. Setelah itu ia kemudian kerapkali diundang ke sana, baik
atas  undangan  dari negara bersangkutan maupun datang sebagai anggota
delegasi yang mewakili Indonesia.

Pada  kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate
mewakili   Partai  Masyumi  dari  hasil  Pemilu  1955.  Ia  dicalonkan
Muhammadiyah  untuk  mewakili daerah pemilihan Masyumi di Jawa Tengah.
Dalam  badan ini Hamka bersuara nyaring menentang demokrasi terpimpin.
Pada  sebuah  acara  di  Bandung,  pada  tahun  1958 ia secara terbuka
menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno
itu.

Namun,  di  tengah panas dan padatnya perdebatan, Hamka pada tahun itu
juga sempat mendapat undangan menjadi anggota delegasi Indonesia untuk
mengikuti  Simposium  Islam  di  Lahore.  Setelah  itu,  kemudian  dia
berkunjung  lagi  ke  Mesir.  Dalam  kesempatan  kali ini dia mendapat
kehormatan  bidang  intelektual  sangat  penting, yakni mendapat gelar
Doktor  Honoris  Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di forum
itu,  ia  menyampaikan  pidato  pengukuhannya  sebagai guru besar luar
biasa  dengan  topik  bahasan  mengenai  Pengaruh  Muhammad  Abduh  di
Indonesia.

Dalam  kesempatan ini Hamka menguraikan kebangkitan pembaharuan ajaran
Islam yang terjadi di Indonesia, mulai dari munculnya gerakan Sumatera
Thawalib,  Muhammadiyah.  Al Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar doktor
luar  biasa  seperti  ini  ternyata  diterimanya lagi enam belas tahun
kemudian,  yakni pada tahun 1974 dari University Kebangsaan, Malaysia.
Gelar  ini  disampaikan  langsung  oleh  Perdana Menteri Malaysia, Tun
Abdul  Razak.  Seraya  memberikan  gelar, dalam pidatonya sang perdana
menteri  itu  berkata  bahwa,  Hamka  bukan  lagi  hanya  milik bangsa
Indonesia.  Tetapi,  juga  telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara. 


Menapak di antara Dua Orde 

Masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan politik
sebagai   panglima.   Waktu  itu  Soekarno  menginginkan  agar  bangsa
Indonesia  betul-betul  mandiri.  Ia  serukan  gerakan  untuk  melawan
imperialisme  barat,  yang  disebut  sebagai kekuatan neo-kolonialisme
baru.  Pada  satu  sisi  ide ini berhasil cukup baik. Posisi Indonesia
menjadi  penting  dan  menjadi salah satu kekuatan sentral gerakan non
blok.  Namun,  pada  sisi  yang  lain perbaikan ekonomi ternyata tidak
dapat  berjalan  baik.  Pertentangan politik, terutama antara golongan
nasionalis dan Islam menjadi-jadi, di mana kemudian mencapai puncaknya
ketika  pembicaraan  mengenai  konstitusi  negara  menjadi buntu. Baik
pihak  yang anti dan pendukung ide negara Islam terus saja tidak mampu
berhasil  mencapai  kata  sepakat.  Dan  Hamka  hadir dalam percaturan
perdebatan itu.

Sayangnya,  Presiden  Soekarno  tidak  sabar  melihat  perdebatan itu.
Dengan  alasan  adanya ancaman perpecahan bangsa yang serius, Soekarno
pada   5   Juli  1959  kemudian  mengeluarkan  Dekrit  Presiden,  yang
diantaranya  adalah  menyatakan  pembubarkan  Badan  Konstituante  dan
kembali  kepada  konstitusi  negara  pada  UUD 1945. Menyikapi keadaan
tersebut,  Hamka  pada  tahun  yang  sama,  yakni Juli 1959, mengambil
inisiatif  menerbitkan majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Hamka
duduk  sebagai pemimpin redaksinya. Sedangkan mengenai isi majalahnya,
Hamka  memberi  acuan untuk memuat tulisan yang menitikberatkan kepada
soal-soal kebudayaan dan pengetahuan ajaran Islam.

Tetapi  sayangnya, majalah ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun.
Majalah  Panji Masyarakat dibubarkan oleh pemerintahan rezim Soekarno,
tepatnya  pada  tanggal  17  Agustus 1960. Alasan pembredeilan: karena
majalah  memuat  tulisan  Dr  Mohamad  Hatta  yang berjudul  Demokrasi
Kita.   Sebagai  imbasnya,  Hamka kemudian memutuskan diri untuk lebih
memusatkan  pada  kegiatan  dakwah  Islamiyah  dengan mengelola Masjid
Agung Al-Azhar yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.

Dalam dunia politik pemuatan tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat
itu   memang  membuat  kehebohan  besar.  Perbedaan  pandangan  antara
Soekarno  dan Hatta dalam mengelola negara terbuka dengan nyata. Dalam
tulisan  itu  Hatta  mengkritik  keras sistem demokrasi terpimpin yang
dijalankan  karibnya,  Soekarno.  Menurutnya,  demokrasi  yang  tengah
dijalankannya  itu  bukan  demokrasi.  Mengapa  demikian?  Sebab,  ada
sebagian  kecil  orang    menguasai    sebagian besar orang. Ini tidak
sesuai  dengan  prinsip  demokrasi  itu  sendiri,  di  mana  harus ada
 persamaan   pada  setiap  manusia. Maka, demokrasi seperti itu, tulis
Bung Hatta, a priori harus ditolak.

Panasanya  persaingan  politik  pada sisi lain juga kemudian meniupkan
badai  fitnah  kepada  Hamka. Jaringan kelompok  politik kiri  membuat
tuduhan  bahwa  roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah merupakan
plagiat  dari  roman  sastrawan  Perancis, Alphonse Karr yang kemudian
disadur  ke  dalam  bahasa  Arab oleh Al Manfaluthi. Reaksi pro kontra
segera  saja  menyergapnya.  Golongan  yang  tidak  suka  akan  adanya
pengaruh  agama  di  Indonesia  memanfaatkan  betul  polemik ini untuk
menghancurkan  nama  baiknya.  Saat  itu  hanya HB Jassin dan kelompok
budayawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) saja yang
gigih  membelanya.  Berbagai  tulisan  atas  polemik ini kemudian pada
tahun  1964  dikumpulkan dan diterbitkan oleh Junus Amir Hamzah dengan
judul Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik.

Usaha penjatuhan citra kepada Hamka ternyata tidak hanya melalui karya
sastera  saja.  Tanpa  dasar  serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27
Januari  1964  tiba-tiba  saja ia ditangkap oleh alat keamanan negara.
Hamka kemudian dimasukkan ke dalam tahanan tanpa ada sebuah keputusan.
Ia  berada  di  penjara  bersama para tahanan politik lainnya, seperti
Muchtar  Lubis,  sampai  tumbangnya  tampuk  kekuasaan  Soekarno. Bagi
penguasa, Hamka saat itu dianggap sebagai orang berbahaya.

Namun,  bagi  Hamka  sendiri,  masuknya  dia  ke dalam penjara malahan
seringkali   dikatakan   sebagai   rahmat  Allah.  Menurutnya,  akibat
banyaknya  luang  waktu  dipenjara  maka ia dapat menyelesaikan tafsir
Alquran,   yakni   Tafsir   Al-Azhar   (30  juz).    Saya  tidak  bisa
membayangkan  kapan saya bisa menyelesaikan tafsir ini kalau berada di
luar.  Yang  pasti kalau tidak dipenjara maka saya selalu punya banyak
kesibukan.  Akhirnya, tafsir ini sampai akhir hayat saya mungkin tidak
akan  pernah  dapat  diselesaikan,    kata  Hamka  ketika menceritakan
masa-masa  meringkuk  di  dalam  penjara.  Selain  itu, beberapa tahun
kemudian Hamka juga mengakui bahwa tafsir Alquran ini adalah merupakan
karya terbaiknya.


Menjadi Imam dalam Shalat Jenazahnya Bung Karno 

Seperti  sunnatullah,  bahwa  penguasa  itu  datang  dan  pergi  silih
berganti,   maka   setelah  naiknya  Presiden  Soeharto  dalam  tampuk
kekuasaan  negara,  secara  perlahan  kondisi  fisik presiden Soekarno
setelah  itu  pun  terus  menyurut.  Berbeda  dengan  ketika berkuasa,
hari-hari  terakhir  Panglima  Besar  Revolusi  ini berlangsung dengan
pahit.  Soekarno  tersingkir  dari  kehidupan  ramai  sehari-hari.  Ia
terasing  dengan kondisi sakit yang akut di rumahnya. Soekarno terkena
tahanan kota. Ia tidak diperbolehkan menerima tamu dan bepergian. Pada
tahun 1971 Soekarno pun meninggal dunia.

Mendengar  Soekarno  meninggal, maka Hamka pun pergi untuk bertakziah.
Tidak cukup dengan itu, Hamka kemudian mengimami shalat jenazah mantan
presiden  pertama itu. Pada saat itu orang sempat terkejut dan bingung
ketika   Hamka  bersedia  hadir  dalam  acara  tersebut.  Mereka  tahu
Soekarno-lah dahulu yang memutuskan untuk memasukkannya dalam penjara.
  Saya   sudah   memaafkannya.  Dibalik  segala  kesalahannya  sebagai
manusia, Soekarno itu banyak jasanya,   kata Hamka.

Setelah  itu,  masa  orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto bergerak
semakin  cepat.  Hamka  semakin  dalam  menceburkan  diri  ke berbagai
aktivitas  keagamaan.  Secara  rutin ia berceramah ke berbagai wilayah
baik  dalam  dan  luar  negeri.  Setiap  pagi  sehabis  Subuh  siraman
rohaninya  yang  disiarkan  secara  nasional  melalui RRI terdengar ke
berbagai  penjuru  pelosok  tanah  air.  Dengan suara khas serak-serak
basahnya, Hamka membahas berbagai soal kehidupan, mulai tingkat sangat
sepele  seperti cara bersuci yang benar sampai kepada persoalan sangat
serius,  misalnya  soal  tasawuf.  Saking  banyaknya  penggemar,  maka
ceramahnya   pun  banyak  diperjualbelikan  dalam  bentuk  rekaman  di
tokok-toko kaset.

Pada  tahun  1975,  Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua
Umum  Majelis  Ulama  Indonesia (MUI). Berbagai pihak waktu itu sempat
sangsi,  bila  itu  diterima  maka  ia  tidak  akan  mampu  menghadapi
intervensi  kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat
itu  berlangsung  dengan  sangat massif. Namun, Hamka menepis keraguan
itu  dengan  mengambil  langkah  memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat
kegiatan  MUI  dari pada berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang
terkenal  waktu  itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan
seperti    kue   bika ,   yakni   bila  MUI  terpanggang  dari   atas 
(pemerintah)  dan   bawah  (masyarakat) terlalu panas, maka situasinya
akan menjadi sulit. Bahkan MUI bisa akan mengalami kemunduran serius.

Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI menjadi terasa sangat
kental  ketika  pada  awal  dekader 80-an, lembaga ini  berani melawan
arus   dengan  mengeluarkan  fatwa  mengenai  persoalan perayaan Natal
bersama.  Hamka  menyatakan   haram   bila  ada  umat  Islam mengikuti
perayaan  keagamaan  itu.  Adanya  fatwa itu kontan saja membuat geger
publik.  Apalagi  terasa  waktu  itu  arus kebijakan pemerintah tengah
mendengungkan   isu  toleransi.  Berbagai  instansi  waktu  itu  ramai
mengadakan  perayaan  natal.  Bila ada orang Islam yang tidak bersedia
ikut   merayakan   natal   maka   mereka   dianggap  orang  berbahaya,
fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah.

Keadaan  itu  kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka
pun  mendapat  kecaman.  MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai
pendapat  di  media  massa yang menyatakan bahwa keputusannya itu akan
mengancam  persatuan  negara. Hamka yang waktu itu berada dalam posisi
sulit,  antara  mencabut  dan  meneruskan fatwa itu, akhirnya kemudian
memutuskan untuk meletakkan jabatannya. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei
1981.

Bagi  pengamat  politik,  sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI adalah
merupakan  cerminan  dari  pribadinya.  Bahkan,  mereka pun mengatakan
sepeninggal   Hamka,  kemandirian  lembaga  ini  semakin  sulit.  Demi
melanggengkan hegemoni Orde Baru kemudian terbukti melakukan pelemahan
institusi  keagamaan  secara  habis-habisan itu. Fatwa MUI sepeninggal
dia  terasa  menjadi  tidak lagi menggigit. Posisi lembaga ini semakin
lemah  dan  terkesan hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah
terhadap umat Islam belaka.

Hamka  yang  wafat  di  Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena
yang  sangat  banyak jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah
yang  sudah  dibukukan.  Ini belum termasuk berbagai cerita pendek dan
karangan  panjang  yang  tersebar di berbagai penerbitan, media massa,
dan  forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang
tinggi  dalam  bidang  keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah
mengabadikan  namanya  pada  sebuah  perguruan  tinggi  yang berada di
Yogyakarta  dan  Jakarta:  Universitas  Hamka (UHAMKA). Berbagai karya
tulisnya  yang meliputi banyak bidang kajian seperti politik, sejarah,
budaya,  akhlak  dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh
publik,  termasuk  menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan
risalah tesis dan disertasi. Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.
[]


Rujukan: 

1. Berbagai artikel mengenai kajian Islam di berbagai media massa, seperti 
Media 
Indonesia, Republika, dan Kompas. 
2. Enskilopedia Indonesia, PT Ichtiar Baru van Hoeve 1982. 
3. Enskilopedia Indonesia, PT Ichtiar Baru van Hoeve, tahun 1983 
4. Kaset ceramah Hamka di RRI Jakarta, Keajabaian Hati, 1985 
5. Tafsir Al-Azhar, Hamka, 1990. 
6. Data-data penunjang lainnya dari internet. 


http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A33_0_3_0_M




--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
Website: http://www.rantaunet.org 
=============================================================== 
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: 
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. 
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. 
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: 
[EMAIL PROTECTED] 

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe 
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke