Kamis, 21 Februari 2008 Cerita tentang Tan Malaka, sampai saat ini memang masih misterius. Sama dengan sosok putra Minangkabau itu sendiri. Hingga ia disebut tokoh yang gelap dalam terang dan terang dalam gelap. Harry A. Poeze, Peneliti Belanda, Direktur KITLV Leiden The Nederlands, menjawab teka-teki sejarah Tan Malaka itu dalam bukunya berjudul Tan Malaka Verguised en Vergeten (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan). Ia mencoba menyingkap semua lika-liku Tan Malaka mulai dari lahir, ideologi sampai penemuan makamnya di Kediri.
Menurut Harry, Tan Malaka adalah bapaknya Republik Indonesia, karena jauh sebelum Soekarno merumuskan tentang negara Republik Indonesia, ia telah memikirkan terlebih dahulu konsep tersebut. Ini dapat dilihat dalam tulisannya berjudul Naar de Republik Indonesia (Menuju Indonesia Merdeka) yang diterbitkan di Kanton, Cina tahun 1925. Acara bedah buku yang diadakan di Gedung Wisma Negara Triarga Bukittinggi kemarin, juga hadir Dr. Mestika Zed dari Pusat Kajian Sosial-Budaya dan Ekonomi (PKSBE) UNP, dan Pakar komunikasi dari FISIP Universitas Indonesia Dr. Zulhasir Nasir sebagai pembahas. Direktur Nilai Sejarah Depbudpar RI Dr. Magdalia Alfian tampil sebagai keynote speaker. Dalam kegiatan yang diangkatkan Asosiasi Seniman Wisata Religi Indonesia (Aswari) Sumbar itu terungkap bahwa Tan Malaka adalah revolusioner sejati, sampai-sampai ia tetap berjuang sendiri hingga akhir hayatnya. “Saya adalah seorang revolusioner. Tujuan hidup saya hanya untuk memerdekakan Indonesia. Apabila Indonesia belum merdeka, tidak ada tempat wanita di sisi saya,” kata Zulhasir Nasir, menyitir ucapan Tan Malaka. Sementara Mestika Zed mengatakan bahwa Tan Malaka adalah salah satu dari dua tokoh Indonesia yang mendunia. Satunya lagi H Agus Salim. Pada masa revolusi, kata Mestika, Tan Malaka adalah simbol, pejuang dengan spirit kemerdekaan seratus persen. “Tidak ada dalam kamus Tan Malaka berunding dengan penjajah, sebelum Indonesia merdeka seratus persen,” ucap Mestika. Tan Malaka sebenarnya mempunyai nama asli Ibrahim, kemudian ia mendapatkan gelar Datuk Tan Malaka dari kaumnya. Ia lahir di Pandan Gadang, Suliki Payakumbuh 13 oktober 1894. Tahun 1913 setelah tamat Kweekschool (Sekarang SMA 2) Bukittinggi atas bantuan gurunya dengan pinjaman biaya dari “Engkufonds” ia meneruskan pelajarannya ke Rijkseekschool di Harlem Belanda. Disinilah ia mulai mempelajari politik dan pergerakkan. Tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru untuk anak-anak kaum buruh perkebunan di Medan. Melihat kondisi kuli kontrak yang bekerja di sejumlah perkebunan Belanda dan Eropa di tanah air sendiri waktu itu, kebencian Tan Malaka terhadap kolonialisme dan kapitalisme semakin menjadi. Lalu, tahun 1921 ia terjun ke dalam Serikat Islam Semarang pimpinan Semaun. Tan Malaka mengingatkan pentingnya persatuan antara Islam dan komunis dalam menentang kolonialisme dan imperialisme. Kemudian tahun 1922, setelah memimpin pemogokkan kaum buruh pegadaian (PPPB) di Yogyakarta, ia ditangkap dan dibuang ke Belanda. Setelah itu Tan Malaka mulai menjalani hidup sebagai orang buangan di luar negeri. Saat berada di Belanda Tan Malaka sempat dicalonkan menjadi anggota parlemen, tapi ia tidak terpilih. Dia pun pernah ke Jerman dan terjun langsung berjuang dengan rakyat yang harus menanggung seluruh hutang perang setelah Jerman Kalah pada Perang Dunia I (1914-1918). Kebenciannya terhadap kolonialisme dan imperialisme, membuat Tan Malaka menjadi incaran para negara penjajah dan sasaran peluru tentaranya. Sebagai orang yang berjasa cukup besar bagi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka mengalami nasib naas diakhir hidupnya. Penulis buku Menuju Republik Indonesia, Madilog (Matrealisme dialektika, logika), Gerpolek (Gerilya Politik dan Ekonomi), serta dari Penjara ke Penjara itu meninggal setelah di tembak mati tentara bangsa sendiri. Walaupun telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 53 Tahun 1963, tapi nama Tan Malaka seperti hilang dalam buku pelajaran sekolah di masa Orde Baru karena sejarahnya dinilai kontroversial dan berideologi komunis. ”Ideologi perjuangan Tan Malaka bukanlah komunisme. Jadi, mengatakan Tan Malaka seorang komunis adalah tidak tepat, karena ia adalah seorang Islam yang sosialis,” papar Harry A. Poeze. (***) http://www.padangekspres.co.id/content/view/2637/28/ No virus found in this outgoing message. Checked by AVG Free Edition. Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.20.9/1290 - Release Date: 20/02/2008 20:45 --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet. - Tuliskan Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting. - Hapus footer & bagian yg tidak perlu, jika melakukan reply. - Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi. - Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku. =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Agar dapat melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---