Pak Abraham, pak Ridha, sarato dunsanak RN nan dimuliakan ALLAH SWT,
perkenankan ambo manambahkan keterangan nan barusan ambo dapek. Lumayan
link tsb manuruik ambo rancak juo sbg alternative bacaan krn lumayan
lengkap;

Sumber tsb :
http://almanhaj.or.id/content/3311/slash/0/keberkahan-bersama-adab-adab-ketika-makan/


Sabtu, 21 Juli 2012 23:13:07 WIB
KEBERKAHAN BERSAMA ADAB-ADAB KETIKA MAKAN

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


Dalam masalah makan perlu diperhatikan adab-adabnya. Makan memiliki
adab-adab yang banyak dan telah dikenal, maka dalam pembahasan ini saya
akan meringkaskan adab-adab makan sesuai dengan yang ditunjukkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita yang diiringi dengan
keberkahan, yaitu:

A. Berkumpul Apabila Makan
Dari Wahsyi bin Harb Radhiyallahu anhu, bahwasanya para Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sesungguhnya kita makan tapi tidak kenyang.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin saShallallahu ‘alaihi wa
sallama kalian makan dengan tidak berkumpul?” Mereka berkata: “Ya.” Beliau
bersabda:

"فَاجْتَمِعُوْا عَلَى طَعَامِكُمْ، فَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهَ عَلَيْهِ!
يُبَارَكْ لَكُمْ فِيْهِ."

“Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah Nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.” [1]

Dan di antara yang menunjukkan atas keberkahan dari berkumpul saat makan,
adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

"طَعَامُ اْلإِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةَ، وَطَعَامُ الثَّلاَثَةَ كَافِي
اْلأَرْبَعَةَ."

‘Makanan dua orang cukup untuk tiga dan makanan untuk tiga orang mencukupi
untuk empat orang.’” [2]

Dalam riwayat lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:

"طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي اْلإِثْنَيْنِ، وَالطَّعَامُ اْلإِثْنَيْنِ
يَكْفِي اْلأَرْبَعَةَ، وَالطَّعَامُ اْلأَرْبَعَةَ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ."

“Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat
orang dan makanan empat orang mencukupi delapan orang.” [3]

Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat sebuah anjuran agar
saling berbagi dalam makanan, sesungguhnya walaupun makanan itu sedikit
tetapi akan terasa cukup, dan ada keberkahan di dalamnya yang diterima oleh
seluruh yang hadir.” [4]

Ibnu Hajar berkata, “Dari hadits tersebut kita dapat mengambil faedah,
bahwasanya kecukupan itu hadir dari keberkahan berkumpul saat makan dan
bahwasanya semakin banyak anggota yang berkumpul, maka akan semakin
bertambah berkahnya.” [5]

Dengan demikian beberapa ulama berpendapat, bahwa berkumpul saat makan
adalah mustahab (disunnahkan) dan janganlah seseorang makan seorang diri.
[6]

B. Membaca Bismillah Saat Makan
Telah disebutkan dalam hadits terdahulu: “Berkumpullah kalian ketika makan
dan sebutlah Nama Allah padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.” Oleh
sebab itu, meninggalkan tasmiyyah (menyebut Nama Allah) ketika makan akan
menghalangi hadirnya keberkahan padanya. Sehingga syaitan -semoga Allah
melindungi kita darinya- ikut makan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Muslim bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلٌّ الطَّعَامَ، إِلاَّ يُذْكَرَ اسْمَ اللهِ
عَلَيْهِ."

“Sesungguhnya syaitan mendapatkan bagian makanan yang tidak disebutkan Nama
Allah padanya.” [7]

Imam an-Nawawi berkata: “Arti dari mendapatkan yaitu dapat menikmati
makanan tersebut maksudnya bahwa syaitan itu mendapatkan bagian makanan
jika seseorang memulainya dengan tanpa dzikir kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, adapun bila belum ada seseorang yang memulai makan, maka (syaitan)
tidak akan dapat memakannya, jika sekelompok orang makan bersama-sama dan
sebagian mereka menyebut Nama Allah sedangkan sebagian lannya tidak, maka
syaitan pun tidak akan dapat memakannya.” [8]

Dan di antara yang disebutkan oleh an-Nawawi tentang adab-adab tasmiyyah
ini dan hukum-hukumnya, yaitu perkataannya: “Para ulama sepakat bahwa
tasmiyyah saat makan di awalnya adalah mustahab, [9] maka apabila ia
meninggalkannya saat di awal makan sengaja ataupun tidak sengaja, terpaksa
atau tidak mampu karena sebab tertentu, kemudian ia dapat melakukannya pada
pertengahan makannya, maka disukai untuk bertasmiyyah dan mengucapkan:

"بِسْمِ اللهِ، أَوَّلُهُ وَآخِرُهُ."

“Dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhir.”

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.

Dan mustahab pula mengeraskan tasmiyyah agar ada padanya sebuah peringatan
bagi yang lain atasnya dan ia mengikutinya. [10]

C. Makan Dari Pinggir-Pinggir Piring
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

"الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ فِي وَسَطِ الطَّعَامِ، فَكُلُوْا مِنْ حَافِيَتِهِ
وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ!"

‘Keberkahan tersebut akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah
dari pinggir-pinggirnya dan jangan dari tengahnya!” [11]

Dan dari ‘Abdullah bin Busr [12]Radhiyallahu anhu bahwasanya didatangkan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah piring, [13] lalu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"كُلُوْا مِنْ جَوَانِبِهَا، وَدَعُوْا ذِرْوَتَهَا! يُبَارَكْ فِيْهَا."

“Makanlah dari pinggirannya dan tinggalkanlah (terlebih dahulu) bagian
tengahnya [14](niscaya) akan diberkahi padanya.” [15]

Dari dua hadits di atas dan yang semisalnya, terdapat petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kaum Muslimin ketika makan, yaitu bahwa
memulainya dari pinggir-pinggir piring agar berkah yang ada di tengah
makanan tersebut tetap ada, dan hendaknya tidak memulai makan dari tengah
piring hingga selesai makan yang di pinggirnya terlebih dahulu, adab ini
adalah bersifat umum, baik bagi yang makan sendiri maupun yang makan
bersama-sama.

Al- Kiththabi [16] berkata: “Kemungkinan larangan tesebut (makan dari atas
piring) apabila makan bersama orang lain, karena penampilan makanannya saat
itu adalah yang terbaik dan terindah, apa-bila tujuan utamanya adalah agar
ia memuaskan diri sendiri, maka hal itu akan memberi kesan yang kurang baik
bagi teman-temannya, oleh karena meninggalkan adab-adab makan dan muamalah
yang buruk, namun apabila ia makan sendiri, maka tidak apa-apa. Wallaahu
a’lam. [17]

Yang jelas adalah, bahwa hal tersebut bersifat umum, karena telah ada
larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua hadits di atas
dengan memakai kata ganti tunggal dan jamak, kemungkinan maksudnya adalah,
menjaga keberkahan makanan tersebut agar tetap selalu ada dalam jangka
jangka waktu yang lama, kemudian bukan ini saja tapi dalam hal tersebut ada
suatu adab yang baik, khususnya ketika makan bersama.

D. Menjilat Jari-Jari Setelah Makan, Menjilat Piring Dan Memakan Makanan
Yang Terjatuh
Dalam Shahih Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila makan suatu makanan beliau menjilat
jari-jarinya yang tiga, beliau bersabda:

"إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ، فَلْيُمِطْ عَنْهَا اْلأَذَى،
وَلْيَأْكُلْهَا، وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ!"

“Apabila makanan salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotoran
darinya, kotoran lalu makanlah dan janganlah membiarkannya untuk dimakan
oleh syaitan!”

Dan beliau memerintahkan kami untuk membersihkan piring (dengan
menghabiskan sisa-sisa makanan yang ada), beliau bersabda:

"فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ فِيْ أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ."

“Karena kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah
keberkahan itu berada.” [18]

Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَلْعَقْ أَصَابَعَهُ، فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي
فِي أَيَّتِهِنَّ الْبَرَكَةُ."

“Apabila seseorang diantara kalian makan maka jilatlah jari-jarinya karena
ia tidak mengetahui di bagian jari yang manakah keberkahan itu berada.” [19]

Dan dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:

"وَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيْلِ، حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ!"

“Dan janganlah ia memersihkan tangannya dengan lap, hingga ia menjilat
jari-jemarinya.” [20]

Juga hadits-hadits lain yang semisalnya.

Hadits-hadits tersebut mengandung beberapa jenis Sunnah dalam makan yaitu,
di antaranya anjuran menjilat jari tangan untuk menjaga keberkahan makanan
dan sekaligus membersihkannya, juga anjuran menjilat piring dan makan
makanan yang terjatuh setelah membersihkannya dari kotoran yang ada. [21]

Imam an-Nawawi berkata, saat menjelaskan maksud dari sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:

"لاَ تَدْرُوْنَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ."

“Kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan
itu berada.”

Beliau (Imam an-Nawawi) berkata, “Artinya adalah -wallaahu a’lam-
bahwasanya makanan yang disediakan oleh seseorang itu terdapat keberkahan
di dalamnya, namun ia tidak mengetahui ada di bagian manakah dari
makanannya keberkahan tersebut, apakah pada apa yang telah dimakannya atau
ada pada yan tersisa di tangannya atau ada pada sisa-sisa makanan di atas
piring atau pada makanan yang jatuh, maka seyogyanya semua kemungkinan
tersebut harus dijaga dan diperhatikan agar mendapatkan keberkahan makanan,
dan inti dari keberkahan adalah bertambah, tetapnya suatu kebaikan dan
menikmatinya, maksudnya adalah -wallaahu a’lam- apa yang ia dapatkan dari
makanan tersebut (untuk menghilangkan lapar), terhindar dari penyakit dan
menguatkan tubuh untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta
hal lainnya. [22]

Al-Khithabi berkata ketika menjelaskan kepada orang-orang yang memandang
aib menjilat jari-jemari dan yang lainnya: “Banyak dari orang-orang yang
hidupnya selalu bersenang-senang dan bermewah-mewah menganggap bahwa
menjilat jari adalah hal yang sangat buruk dan jorok, seolah-olah mereka
belum mengetahui bahwa apa yang menempel atau tersisa pada jari-jari dan
piring adalah bagian dari keseluruhan makanan yang ia makan, maka apabila
seluruh makanan yang ia makan adalah tidak jorok dan tidak buruk, sudah
barang tentu makanan yang tersisa tersebut (bagian dari seluruh makanannya)
adalah tidak buruk dan tidak jorok pula.” [23]

Maka, perhatikanlah bahwa adab-adab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut mengandung anjuran untuk memperoleh keberkahan makanan dan
mendapatkannya, seperti juga padanya terdapat penjagaan terhadap makanan
agar tidak hilang percuma, yang membantu pada penghematan harta dan
pemakaiannya tanpa mubazir.

E. Keberkahan Pada Saat Menakar Makanan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menakar makanan
dan beliau berjanji, dengannya akan didapatkan keberkahan padanya dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terdapat suatu riwayat dalam Shahih al-Bukhari
dari al-Miqdam bin Ma’diyakrib [24] Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

"كِيْلُوْا طَعَامَكُمْ يُبَارَكْ لَكُمْ."

“Takarlah makanan kalian, maka kalian akan diberkahi.” [25]
Yang lainnya menambahkan pada akhir hadits: “فِيْهِ (padanya).” [26]

Menakar hukumnya adalah disunnahkan pada apa yang dikeluarkan seseorang
bagi keluarganya. Makna hadits tersebut adalah keluarkanlah makanan
tersebut dengan takaran yang diketahui yang akan habis pada waktu yang
telah ditentukan. Dan padanya terdapat keberkahan yang Allah berikan pada
mud (ukuran dari jenis takaran-pent) masyarakat Madinah, karena do’a Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [27]

Rahasia dalam takaran tersebut adalah karena dengannya ia dapat mengetahui
seberapa banyak yang ia butuhkan dan yang harus ia siapkan. [28] Adapun
hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah wafat dan tidak ada sama sekali dalam rakku [29]
sesuatu [30] yang dapat dimakan oleh seorang manusia, kecuali setengah
gandum yang berada di rakku, maka saya memakannya hingga lama mencukupiku,
aku pun menakarnya, maka gandum itu pun habis.” [31]

Dan hadits-hadits lain yang semisalnya, sesungguhnya telah saya jawab hal
tersebut dengan beberapa jawaban, di antaranya adalah:

Pertama, bahwasanya, maksud dari hadits al-Miqdam adalah, menakar makanan
ketika akan mengeluarkan nafkah darinya dengan syarat ada sisa yang tidak
diketahui takarannya, maka keberkahan adalah lebih banyak terdapat pada hal
yang belum diketahui dan samar-samar tersebut dan menakar apa yang akan
dikeluarkan tersebut adalah, agar tidak mengeluarkan lebih dari kebutuhan
atau pun kurang darinya. [32]

Kedua, kemungkinan maksud dari hadits, “Takarlah makanan kalian” adalah,
jika kalian menyimpannya dengan harapan keberkahan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dengan keyakinan akan dikabulkannya, maka siapa yang menakar
setelah itu, maka ia adalah menakar untuk mengetahui ukurannya, dan hal itu
merupakan keragu-raguan pada terkabulnya harapannya, maka ia dibalas dengan
cepat habisnya makanan tersebut. [33]

Ketiga, bahwasanya menakar makanan adalah dibutuhkan hanya pada saat jual
beli, maka keberkahan pun akan ada, dengan cara menakar tersebut, demi
merealisasikan perintah agama, dan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
mungkin saja bermaksud pada menakar yang hanya untuk menguji saja, oleh
karena itu terjadilah kekurangan, [34] ada juga yang mengatakan selain dari
pendapat ini. [35]

Menurut pendapat saya yang paling dekat dengan kebenaran dari jawaban
tersebut adalah yang pertama, karena menakar makanan dan mengetahui
takarannya ketika hendak memakainya, untuk mengambil darinya jumlah yang
sesuai dengan kebutuhan adalah menghalangi dari sifat-sifat
berlebih-lebihan dan membuang-buang harta (mubazir), cara ini adalah
termasuk cara untuk memperbanyak makanan, sebagaimana juga dengan menakar
makanan akan mencegah dari penghematan berlebihan yang merugikan. [36]

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa
Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin
‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/138) Kitaabul Ath’imah
bab Fii Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam, Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1093)
Kitaabul Ath’imah bab al-Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam, Imam Ahmad dalam
Musnadnya (III/501), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (VII/317) Kitaabul
Ath’imah, Dzikrul Amri ‘alal Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam, Rajaa-al Barakah fil
Ijtimaa’ ‘Alaih.
[2]. Shahih al-Bukhari (VI/200) Kitaabul Ath’imah bab Tha’aamul Waahid
Yakfil Itsnain dan Shahih Muslim (III/1630) Kitaabul Asyribah bab
Fadhiilatul Mu-waasaah fith Tha’aamil Qailil wa anna Tha’aamal Itsnain
Yakfits Tsalaatsah wa Nahwa Dzaalik.
[3]. Shahih Muslim (III/1630) pada kitab dan bab yang lalu.
[4]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XIV/23).
[5]. Fat-hul Baari (IX/535), dengan sedikit perubahan.
[6]. Ibid, (IX/535).
[7]. Shahih Muslim (III/1597) Kitaabusy Asyribah bab Aadaabith Tha’aami
wasy Syaraabi wa Ahkaamuhuma, hadits tersebut memiliki latar belakangnya.
[8]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XIII/189-190).
[9]. Sebagian ulama berpendapat hukumnya adalah wajb. Lihat Fat-hul Baari
(IX/522) Ibnu Hajar dan Badzlul Majhuud (XVI/97) as-Saharanfurri.
[10]. Al-Adzkaar (hal. 197) dengan sedikit perubahan, lihat Syarhun Nawawi
li Shahiihi Muslim (XIII/188-189).
[11]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV/260) Kitaabul Ath’imah bab Maa
Jaa-a fii Karaahiyatil Akli min Wasathith Tha’aam, ia berkata: “Hadits ini
shahih.” Dengan lafazh darinya. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam
Sunan-nya (II/1090) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘Anil Akli min
Dzirwatits Tsariid, Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/270), ad-Darimi dalam
Sunan-nya (II/100) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘anil Akli Wasathits
Tsariid hatta Ya’-kula Jawaanibahu, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (VII/333)
Kitaabul Ath’imah, Dziktul Ibtidaa-i fil Akli min Jawaanibith Tha’aam. Abu
Dawud meriwayatkannya dengan lafazh:
"إٍذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلاَ يَأْكُلْ مِنْ أَعْلَى الصَّحْفَةِ،
وَلَكِنْ لِيَأْكُلْ مِنْ أَسْفَلِهَا، فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ مِنْ
أَعْلاَهَا."
“Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia makan dari
bagian atas piring, tetapi makanlah dari bagian paling bawah darinya,
karena keberkahan itu turun dari bagian atasnya.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (IV/142) Kitaabul Ath’imah bab Maa Jaa-a fil
Akli min ‘alash Shahfah.
[12]. Beliau adalah ‘Abdullah bin Busr al-Mazni Abu Shafwan as-Sulami
al-Himshi, ia adalah Sahabat Rasulullah j, begitu pula ayahnya, ibunya,
saudaranya, ‘Athiyah, dan saudarinya, ash-Shamma’, beliau wafat di Himsh
pada tahun 96 H -ada yang berkata 88 H- pada usia 100 tahun, ia di antara
para Sahabat yag terakhir wafat di Syam. Lihat Asadul Ghaabah (III/82),
al-Kasyif adz-Dzahabi (II/62), al-Ishaabah (II/273), Tahdziibut Tahdziib
(V/158).
[13]. Al-Qush’ah adalah bejana yang dipakai makan dan merendam roti di
dalam-nya, biasanya dibuat dari kayu. Al-Mu’jamul Wasiith (II/746).
[14]. Yaitu yang teratas karena puncak dari setiap sesuatu adalah atasnya.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsaar, Ibnul Atsir (II/159).
[15]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/143) Kitaabul Ath’imah
bab Maa Jaa-a fil Akli min ‘alash Shahfah di dalamnya terdapat kisah latar
belakangnya, dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (II/
1090) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘anil Akli min Dzirwatits Tsariid,
Imam as-Suyuthi menilainya hasan. Al-Jamii’-ush Shagiir (II/96).
[16]. Beliau adalah Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khitab al-Busti Abu
Sulaiman al-Khithabi, seorang imam, ulama, sastrawan dan memiliki banyak
karangan di antaranya: Ma’alimus Sunan fii Syarhi Sunan Abi Dawud,
Gha-riibul Hadiits, Syahrul Asma’-ul Husna, al-Ghunyah ‘anil Kalaam wa
Ahlahu, beliau wafat tahun 388 H. Lihat Mu’jamul Buldaan (I/415), al-Ansaab
(II/ 210), Waafiyaatul A’yaan (II/214), Siyaru A’lamin Nubalaa’ (XVII/23)
dan al-Bidaayah (XI/236).
[17]. Ma‘alimus Sunan (IV/124) oleh al-Khithabi, dengan sedikit perubahan.
[18]. Shahih Muslim (III/1607) Kitaabul Asyribah bab Istihbaabu La’qil
Ashaabi’a wal Qash’ah wa Aklil Luqmatis Saaqithah ba’da Mas-hi ma
Yushiibuha min Adzaa wa Karaahiyati Mas-hil Yadd qabla La’qiha.
[19]. Shahih Muslim (III/1607) pada kitab dan bab yang sama.
[20]. Shahih Muslim (III/1606) pada kitab dan bab yang sama.
[21]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (III/203-204), dengan sedikit
perubahan.
[22]. Ibid, III/206.
[23]. Ma‘aalimus Sunan (IV/184), dengan sedikit perubahan.
[24]. Beliau adalah Miqdam bin Ma’diyakrib bin ‘Amr bin Yazid al-Kindi,
menemani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meriwayatkan beberapa
hadits-hadits beliau, menetap di Himsh, wafat pada tahun 87 H. Lihat Asadul
Ghaqbah (IV/478), al-Ishaabah (III/434) dan Tahdziibut Tahdziib (X/287).
[25]. Shahih al-Bukhari (III/22) Kitaabul Buyuu’ bab Maa Yustahabbu minal
Kail.
[26]. Sunan Ibnu Majah (II/750-751) Kitaabut Tijaaraat bab Maa Yurjaa’ fii
Kailith Tha’aam minal Barakah dan Musnad Imam Ahmad (IV/131), serta Shahih
Ibni Hibban (VII/207).
[27]. Fat-hul Baari (IV/346).
[28]. ‘Umdatul Qaari, al-‘Aini (XI/247).
[29]. Ibnul Atsir berkata, “Ar-Raff dengan fat-hah adalah kayu yang ada di
atas tanah dan dipaku di atas dinding untuk menyimpan sesuatu.” An-Nihaayah
(II/245).
[30]. Syathru adalah setengah (al-Mishbahul Munir, hal. 313), pendapat lain
menyatakan bahwa maksudnya adalah setengah wasiq. An-Nihaayah, Ibnul Atsir
(II/473).
[31]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (VII/179) Kitaabur
Riqaaq bab Fadhlul Faqr juga oleh Muslim dalam Shahihnya (IV/2282) Kitaabuz
Zuhud war Riqaaq.
[32]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XVIII/107), dengan sedikit
perubahan.
[33]. Fat-hul Baari (IV/346).
[34]. Ibid, IV/346, XI/281.
[35]. Lihat Fat-hul Baari (IV/346, XI/280-281) dan ‘Umdatul Qaari (XI/247).
[36]. Lihat Dalaa-ilun Nubuwah al-Muhammadiyah fii Dhau-il Hadits,
Istanbuli (hal. 23-24).






Wassalammu'alaikum wr. wb
Aryandi, 40th+, ciledug, tangerang
*Tingkatkan Integritas Diri, Jalin Silahturrahim, Mari Bersinergi, Ayo
Jemput Rezeki, Bantu Anak Negeri**  *

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.

Kirim email ke