Di ambo poinnyo, sanak Boby...... Kalau gubernur nan maambiak keputusan, tentu beranjak dari sudut pandang beliau sebagai gubernur bukan sebagai insan pers. Pak Zaili ko manarimo atau manolak tentu dari sudut pandang sebagai wartawan, bukan sebagai gubernur.
kalaulah iyo pak Zaili ko nan katokanlah melanggar etika wartawan.....baa dek gubernur nan harus mencabut keputusan? Wartawan jadi pejabat (negara), kalau ambo ndak salah pernah tajadi ka pak Parni Hadi (dari republika ka LKBN antara) dan pak Harmoko (menpen)...mungkin bisa dibantah dengan jawaban bahwa bapak2 iko mengundurkan diri dari jabatan lama untuk mengemban posisi baru. Kalau baitu, iyo tetap juo pak Zaili nan harus ditanyo, bukan pak gubernur. salam ridha/male/30-jkt Boby Lukman <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: RantauNet@googlegroups.com 06/26/2008 04:27 PM Please respond to RantauNet@googlegroups.com To RantauNet@googlegroups.com cc Subject [EMAIL PROTECTED] Re: Sekali lagi Soal komisaris Perusda dari kalangan Pers Sanak Ikshan...ambo jawek juo lah snek postingan sanak ko... ambo berada pada posisi sebagai mantan wartawan nan dalam pengalaman sarto ilmu nan ambo pelajari tamasuak dari Zaili itu sendiri yang dulunyo adalah bos ambo. (ambo pernah ampek tahun di Padang Ekspres tu) bahwa menjadi wartawan adalah pekerjaan profesional. Kami di kalangan wartawan memegang teguh Etika bahwa wartawan harus berimbang dan bebas dari kepentingan...batua kecek sanak soal sia na awak nan ka manyuruah gamawan tu untuak mamecat Zaili... Sakali lagi ambo hanya mengkiritis apa yang telah dilakukan...kalau gamawan manarimo ancak bana kalau indak ndak lo ba'a doh...ambo masih masih peduli dengan kampuang ko..dan kepentingan ambo adalah sebagai sesama wartawan dan sesama orang yang peduli kepada kampung halaman untuk mengingatkan Zaili bahwa pilihannya untuk menerima jabatan itu adalah salah. paliang indak, tidak tepat dilakukan oleh wartawan. Dan baliak soal Zaili terima atau tidak saran ambo kembali ka inyo... --------------- Iko ado saketek tulisan soal wartawan dan indipendensi Benarkah Bila Wartawan Dekat Pejabat? Terima kasih untuk email Anda. Saya kebetulan sering berpikir soal pertanyaan Anda, selama tiga atau empat tahun terakhir ini: "Benar atau salah seorang wartawan dekat dengan kekuasaan?" Saya juga seorang wartawan, seperti Anda, yang sering harus wawancara orang-orang berkuasa. Saya juga beberapa kali ditawari ini dan itu. Entah sekedar dimintai pendapat atau ditraktir makan. Atau ditawari jabatan. Entah masuk partai, jadi penasehat, menulis pidato dan sebagainya. Biasanya saya sopan menolak. Saya lalu membaca buku-buku penting dalam jurnalisme. Bahkan dalam rangka mencari jawaban yang akurat, saya mengambil inisiatif menterjemahkan buku The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel ke Bahasa Indonesia. Buku ini cukup populer. Judulnya, Sembilan Elemen Jurnalisme. Kini sudah cetakan ketiga. Prinsipnya, menurut buku itu, wartawan harus independen dari nara sumber mereka. Independensi ini mutlak diperlukan agar si wartawan bisa meliput dengan tenang serta membuat penilaian dengan tanpa beban. Independensi ini terutama penting dari aktor-aktor berkuasa, termasuk politisi, jenderal, birokrat dan pengusaha. Namun wartawan juga harus independen dari orang-orang biasa, yang kekuasaannya relatif kecil, a.l. pedagang kaki lima, tukang becak, penduduk desa, warga kota dan sebagainya. Namun biasanya ini bukan masalah. Bill Moyers, host acara televisi "Bill Moyers on PBS" mengatakan, "I had to learn all over again that what's important for the journalist is not how close you are to power but how close you are to reality." Lebih penting untuk wartawan buat dekat dengan realitas daripada dekat dengan kekuasaan. Ketika menemani Bill Kovach berjalan ke Medan, Surabaya, Jogjakarta, Bali dan Jakarta pada Desember 2003, saya sempat tanya kepadanya, "Apa elemen terpenting dari sembilan elemen jurnalisme untuk wartawan Indonesia?" Kovach tak ragu menjawab, "Independensi." Kovach melihat bahaya paling besar untuk kebebasan pers, yang baru muncul di Indonesia sesudah Presiden Soeharto mundur Mei 1998, adalah kedekatan wartawan dengan penguasa. Kesimpulan saya tidaklah perlu buat wartawan untuk "dekat" dengan kekuasaan. Saya percaya makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat, makin bermutu pula masyarakat itu. Kalau kita mau mutu masyarakat kita meningkat, kita harus belajar "dekat" dengan realita masyarakat. Terima kasih. Andreas Harsono ======================== --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---