---------- Forwarded message ----------
From: dutamardin umar <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Sun, Jul 6, 2008 at 5:57 AM
Subject: [MinangUSA] Supriyono: Kapuk-Kapuk Randu di New York
To: IKI <[EMAIL PROTECTED]>
Cc: IMAAM <[EMAIL PROTECTED]>, minangusa <[EMAIL PROTECTED]>


Salam,

Aku menerima cerpen ini dari sebuah milis. Aku curiga ini tulisan seorang sobat
di Washington, DC. Tapi sobat itu selalu menulis namanya dengan Supri Yono.
Sobatku itu, aku tahu dia punya sense of arts yang tinggi. Tapi aku tak tahu
bahwa dia juga punya kemampuan menulis yang baik. Tak pentinglah siapa
Supriyono dibawah. Yang penting aku menikmati tulisannya yang membawa
kita kepada suatu pesan: "Hujan batu di kampung halaman, hujan emas di tanah
rantau, indah jua kampung halaman itu".

SElamat menikmati!

duta

------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Kapuk-Kapuk Pohon Randu Di New York

Oleh: Supriyono



Hujan salju  mengguyur deras saat Sukendro menaiki tangga stasiun
kereta api bawah

tanah di 59 Street dan Fifth Avenue, Manhattan, New York. Bergegas ia
meninggalkan

mulut stasiun kereta dan lari menyeberang jalan  menuju pojok Central
Park yang pagi itu terkubur salju. Dilemparkan syal yang melilit
lehernya ke udara. Bergulung-gulung ia di atas hamparan salju yang
belum bernoda itu.  Lalu terlentanglah ia seraya  memandangi pohon Elm
besar yang daun-daunnya masih bertapa selama musim gugur dan dingin.

"Ah..salju-salju ini seperti kapuk-kapuk yang jatuh berterbangan dari
pohon randu raksasa di tepi pelataran rumah kakek nenekku,"ujar
Sukendro sembari menengadahkan tangannya.

Pagi itu Sukendro sebenarnya tidak ingin bermain salju. Ia sedang
dalam perjalanan ke kantor Konsulat Jenderal Indonesia yang terletak
di 68 Street, Upper East Side untuk menghadiri upacara peringatan Hari
Pahlawan. Ia tidak ingin pengalaman hujan salju pertama ini tertelan
waktu begitu saja.

Pintu gedung konsulat berarsitektur klasik Beaux-Arts abad  19 itu
telah ditutup saat Sukendro datang. Dibukanya pelan pintu berteralis
besi itu dan begitu melongok ke dalam, telingannya disambar  koor lagu
Indonesia Raya. Segera ia mengisi celah barisan paling belakang dan
ikut larut dalam koor itu. Sejurus kemudian  matanya memaku pada
lelaki  tua yang berdiri di barisan kehormatan  dekat bendera Merah
Putih. Sukendro terseret dalam permainan duga menduga tentang siapa
lelaki tua itu. Kecamuk di kepalanya baru  mereda setelah seseorang
menepuk punggungnya.

"Halo dik. Upacara sudah selesai. Saya belum pernah melihat kamu,"sapa
lelaki itu.

Tergagap Sukendro. Ia kini berhadapan dengan lelaki berjas biru tua
yang  berdiri di barisan kehormatan  itu.

"Maaf pak, saya ….."

"Saya Sutarmadji. Saya senang bertemu dengan orang Indonesia yang baru
datang ke Amerika,"katanya memangkas ucapan Sukendro.

"Betul pak. Saya baru tiga bulan di sini. Saya datang ke Amerika
karena kawin dengan orang Amerika. Saya dari Kediri."

Orang-orang sudah memenuhi ruang makan di belakang tempat upacara.
Gemerincing suara benturan sendok dan piring memantul-mantul dinding,
berbaur dengan bau sambel terasi dan teriakan orang untuk merapatkan
antrian.  Sukendro dan Sutarmadji segera memenuhi piring  dengan nasi,
 sayur asem, ayam goreng  dan sambal terasi. Keduanya menerobos
kerumunan orang menuju ke pojok ruangan dekat patung Garuda Visnu dan
melanjutkan cengkrama. Mata Sutarmadji berbinar-binar setiap kali
Sukendro menyelingi  kalimatnya dengan Bahasa Jawa.

"Saya seperti kembali ke kampung halaman di Blitar kalau berbicara
dengan  kamu seperti ini dik."

"Saya merasa menjadi orang yang sudah mengenal Amerika setelah
berbicara dengan panjenengan."

Hujan salju di luar reda. Dua ekor tupai berkejaran,  membuyarkan
gumpalan salju yang mengerumuni ranting-ranting pohon di depan
konsulat. Kepada anak muda yang memikat hatinya itu , Sutarmadji
bercerita bahwa ia sudah empat puluh tahun tinggal di Amerika. Ia
merantau ke Amerika karena ikut pamannya yang diangkat menjadi Konsul
Jenderal Indonesia di New York tahun 1960-an. Semua jenis pekerjaan di
New York pernah dilakoni, tapi akhirnya ia memilih menjadi pegawai
lokal  Konsulat Indonesia sampai pensiun sepuluh tahun lalu.

"Karena itu bapak tadi berdiri di barisan kehormatan?"

"Bukan. Saya berdiri di sana tadi karena dianggap pejuang. Jelek-jelek
begini saya pernah bergabung dengan Tentara Pelajar di Blitar saat
Perang Revolusi Kemerdekaan."

Ya, bagi Sutarmadji, tanggal 10 November menjadi sangat istimewa
bahkan keramat. Setelah pensiun ia merasa ikatan batinnya dengan
Indonesia terpenggal. Ikatan itu  tersambung kembali saat ia berdiri
sigap di samping bendera Merah Putih seperti yang ia alami hari ini.
Hanya sekali setahun itulah ia merasa hinggap di sebuah pohon besar
setelah terbang mengembara di antara mega-mega.

"Kenapa bapak tidak pulang ke Indonesia saja setelah pensiun?"

"Ah..itu yang saya rencanakan dulu dik. Tapi keadaan bersekongkol
untuk menggagalkan rencana itu,"katanya sembari menarik nafas dalam.

"Kalau boleh tahu apa maksud keadaan bersekongkol itu?"

"Ya..itu lho..istri, anak, cucu dan geografi."

Sutarmadji beristri seorang warga keturunan Philipina yang juga sudah
pensiun dari pekerjaannya sebagai perawat.  Mereka dikaruniai tiga
anak perempuan. Ketiganya sudah lulus kuliah dan kawin dengan lelaki
Amerika. Semuanya sudah punya rumah dan pekerjaan yang mapan. Bahkan,
menantu anak pertamanya seorang manajer perusahaan investasi di Wall
Street.

"Saya bukannya sombong. Diantara orang Indonesia di sini, anak-anak
saya yang paling berhasil."

"Lalu masalahnya apa?"

"Dik, orang sudah pada pulang semua. Ayo kita pulang bersama.
Ceritanya diteruskan di jalan saja,"ajaknya.

Sukendro menyetujui ajakan itu. Kebetulan jalan pulang mereka  searah.
Sukendro tinggal di Sunnyside, sementara Sutarmadji di Flushing.
Keduanya di wilayah Queens, New York.

Sebuah mobil pengeruk salju meraung-raung di jalan, berkali-kali
menancapkan sekop raksasa ke timbunan salju lalu mendorongnya ke
pinggir jalan membentuk gundukan-gundukan. Sukendro dan Sutarmaji
berjalan menapaki trotoar yang masih terselimuti salju. Sukendro
menggandeng tangan Sutarmadji yang berjalan  pincang karena penyakit
diabetesnya sedang kambuh. Suhu dingin menampar telinga. Asap mengepul
dari mulut setiap kali mereka berbicara.

"Saya sudah membujuk istri untuk pensiun dengan saya di Indonesia.
Jangankan di Indonesia, di Philipina saja tak mau."

"Mungkin karena semua anak cucu di sini."

"Semua salah saya . Saya tidak mengindonesiakan keluarga saya dengan baik.

"Sudah berapa kali istri ke Indonesia?"

"Belum pernah. Setiap saya ajak ia bilang nanti saja. Anak cucu saya
juga belum pernah."

Stasiun kereta api bawah tanah di Lexington Avenue dan 68 Street itu
sudah dipenuhi orang saat mereka datang. Gemercit rem kereta api yang
memasuki stasiun itu mengiris telinga. Mereka naik  kereta arah down
town itu.  Di stasiun Grand Central mereka pindah kereta api nomor 7
ke arah Queens. Memasuki wilayah Queens, kereta api warna merah tua
itu menyembul dari bawah tanah. Dua pemberhentian lagi Sukendro turun.

"Dik Kendro. Mau nggak mampir ke rumah saya?"

"Hem….tapi saya harus..."

"Istri masih kerja kan?.  Ayolah ke rumah. Saya belum pernah
mengundang orang Indonesia ke rumah. Kamu yang pertama lho."

Sukendro menyerah pada ajakannya. Kereta berhenti di stasiun Flushing
yang dikenal sebagai kantong warga keturunan Korea. Bau kimchi segera
memergoki lubang-lubang hidung. Orang-orang keluar masuk restoran,
toko kelontong dan elektronik. Di jalan utama berdiri gereja megah,
seolah mengawasi salon kecantikan dan pijat ala Korea yang berjejer di
seberang jalan itu. Apartemen Sutarmadji berjarak tiga blok dari
stasiun.

"Mari masuk. Istri saya tidak ada kok,"ujar Sutarmadji menyilakan
tamunya memasuki apartemen tipe town house itu.

"Ibu kemana?"tanya Sukendro.

"Akhir-akhir ini ia sering tinggal di rumah si bungsu. Tiga bulan lalu
ia melahirkan cucu kami yang ke lima."

Majalah, koran dan sepatu berserakan di ruang tamu apartemen tiga
kamar itu. Debu tebal  melapisi foto keluarga berukuran besar yang
tergantung di dinding. Kelambu jendela kusam. Pot-pot tanaman kosong
berbaris di bawah jendela.

Sutarmadji langsung mengajak Sukendro memasuki kamar kecil dekat
dapur. Berbeda dengan ruang tamu, kamar itu tertata rapi dan bersih.

"Saya ingin menunjukkan sesuatu ke kamu,"kata Sutarmadji sembari
mengambil tas kulit warna coklat tua dari bawah meja. Ia  mengeluarkan
dua lembar foto kopi artikel dari majalah Al-hikmah, majalah komunitas
warga Muslim Indonesia di New York.

"Ini cerita pengalaman saya saat menjadi Tentara Pelajar dulu.
Teman-teman seperjuangan saya di Indonesia saya kirimi artikel ini."

"Pernah ada reuni dengan teman-teman seperjuangan itu?"tanya Sukendro
sembari mengamati artikel bertajuk "Kisah Pejuang Indonesia di New
York" itu.

"Pernah dua  kali.  Terakhir tahun 1996. Kami kumpul di pendopo
Kabupaten Blitar."

Sutarmadji menunjukkan beberapa lembar foto reuni itu. Di satu foto ia
nampak berpelukan akrab dengan seorang lelaki tinggi besar.

"Itu si Pranoto dari Mojokerto. Ia tak takut mati.  Kami berdua
meledakkan jembatan yang menghubungkan Mojokerto dan Surabaya saat
perang Revolusi Kemerdekaan. Kaki sebelah kanannya tertembak dan harus
dipotong,"jelasnya.

Sutarmadji terus berkobar-kobar  menceritakan riwayat kepahlawanannya.
 Acapkali ia membarengi ceritanya dengan gerakan-gerakan mengejutkan.
Saat bercerita bagaimana ia menyergap pasukan Belanda, tiba-tiba
tangannya menyambar gantungan baju dan melompat di atas meja.
Gantungan itu dipegang bak senjata.  Kedua matanya jelalatan menyisir
lantai seperti burung elang mengintai mangsa. Sejurus kemudian ia
melompat ke lantai dan berjalan merangkak mengelilingi ruangan.

"Merdeka!"teriaknya menggetarkan kamar itu.

Sukendro terkesima. Ia tidak mengira bahwa lelaki uzur dan
berpenyakitan itu menyimpan kekuatan yang menakjubkan seperti itu.

"Sewaktu muda dulu bapak pasti gagah perkasa."

Sutarmadji tidak langsung menjawab. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan
foto hitam putih ukuran kartu pos.

"Ini saat saya menjadi Tentara Pelajar. Seragam yang saya pakai di
foto ini saya bawa ke sini, tapi dibuang oleh istri. Dikira gombal
mungkin."

Masih dari tasnya, ia mengeluarkan sebuah buku kumal.

"Itu kan Odyssey karya Homer. Sewaktu di Indonesia saya dengar
kisahnya tapi belum pernah baca bukunya secara utuh,"kata Sukendro.

"Ha..ha..ha. Saya sudah baca ratusan kali!"

"Mengapa harus berkali-kali?"

"Bayangkan si Odysseus itu. Ia memilih pulang ke Ithaca meski ia
dijanjikan keabadian hidup kalau mau tinggal di pulau Ogygia dan
mengawini Calypso. Ah..andai saja saya setegar Odysseus itu."

"Kalau tidak salah Odysseus bersikeras pulang ke Ithaca karena ia
sangat mencintai istrinya, Penelope,"timpal Sukendro.

"Ya, bisa saja begitu. Tapi menurut saya ia pulang ke Ithaca karena
kecintaannya yang teramat kuat terhadap kampung halaman dimana ia
lahir dan besar itu."

Sunyi menyergap. Sutarmadji memungut gantungan baju yang tergolek di
bawah rak buku, taplak meja yang menjuntai di pintu dan jam dinding
yang pecah  berantakan di pojok kamar.

"Pak, sudah sore nih. Saya mau pamit pulang."

"Maaf. Saya tadi seperti kesurupan. Jangan bilang ke orang  ya.
Sebelum pulang saya ingin memberimu sesuatu,"ujarnya.

Ia lantas mengeluarkan jas panjang musim dingin warna biru tua dari
lemari. Ia meminta Sukendro untuk mencoba jas wol merek Crombie buatan
Inggris itu.  Agak kepanjangan tapi pas di badannya. Dari rak sepatu
ia mengambil dua pasang sepatu hitam merek Polo Ralph Lauren dan
Keneth Cole. Sukendro sejatinya agak kagok menerima pemberian
barang-barang ini. Seumur hidupnya ia belum pernah memakai pakaian
bekas.

"Ini semua dari menantu saya yang kerja di Wall Street itu. Masih
bagus kok. Kamu kelihatan gagah dan ganteng pakai jas itu dik."

"Terima kasih banyak.  Kebetulan saya hanya punya jaket dingin satu."

Angin berhembus  kencang saat Sukendro melangkahkan kaki keluar dari
apartemen  menuju stasiun kereta api.  Kalau tubuhnya tidak dibungkus
jas wol yang panjangnya nyaris menyentuh mata kaki itu ia akan
menggigil kedinginan.

Sekitar jam enam sore ia sampai di apartemennya di Sunnyside. Istrinya
sedang menonton televisi saat Sukendro memasuki apartemen itu. Kepada
istrinya ia menceritakan pengalamannya bertemu dengan Sutarmadji.

"Bagus lah. Kamu perlu punya teman orang Indonesia  untuk membantu
masa peralihanmu,"ujarnya seraya memeluk suaminya.

Sejak hari itu Sukendro dan Sutarmadji bertemu secara rutin, paling
tidak dua kali seminggu. Mereka punya tempat  rendezvous  tetap di
kedai kopi Italia di Flushing, tak jauh dari apartemen Sutarmadji.

Memasuki pertengahan bulan Desember, mereka sepakat mengubah jadwal
pertemuan karena Puasa Ramadhan. Mereka menggeser pertemuan pagi hari
menjadi sore hari menjelang Magrib.

"Seminggu lagi lebaran. Untuk pertama kalinya saya tidak berlebaran
dengan keluarga,"ujar Sukendro.

"Dik, jangan terkejut ya. Saya akan lebaran di Indonesia."

"Wah..kok panjenengan tidak bilang sebelumnya."

"Hem..mendadak. Dua hari lalu tiba-tiba saya ingin sekali ke Indonesia
setelah sembilan tahun tidak pulang."

"Berapa lama di Indonesia?"

"Mungkin sebulan."

Sutarmadji terbang ke Indonesia dua hari sebelum lebaran. Dari bandara
John F. Kennedy, ia sempat menelpun Sukendro untuk mengucapkan selamat
tinggal dan berjanji akan memberi kabar setelah sampai di Indonesia.

Sukendro sesungguhnya  masih bingung memahami persahabatannya dengan
Sutarmadji.  Ia memang perlu teman orang  Indonesia di New York. Tapi,
ia tidak mengerti mengapa teman itu ternyata seseorang yang nyaris
berusia 70 tahun. Mungkin perbedaan usia itu terkubur oleh kesamaan
antara keduanya. Tapi, Sukendro merasa kesamaan itu hanya  sebatas
mereka berasal dari Jawa Timur. Pernah ia mencurigai Sutarmadji hanya
memanfaatkan dirinya saja. Ia hanya dijadikan kendaraan ingatan
Sutarmadji untuk bertamasya ke relung - relung masa lalunya. Tapi,
kecurigaan ini dirasa tidak adil karena dari Sutarmadji  ia  mencerap
banyak petuah cara hidup di Amerika. Lagi pula,  sosok Sutarmadji
menghadirkan gambaran hidup masa depan yang tidak ingin ia alami: masa
tua yang dihantui nostalgia.

Bulan Januari musim dingin mengganas. Hari itu Sukendro duduk di kursi
malas sembari membaca Odyssey. Berkali-kali tangannya  membuka kamus
Bahasa Inggris-Indonesia yang sudah lusuh dan sampulnya lepas itu.
Hujan salju di luar deras. Tiba-tiba telpun berdering.

"Halo, selamat siang. Siapa ini?"

"Halo. Saya Pranoto, teman seperjuangan Sutarmadji di Indonesia,"kata
suara lelaki di telepun itu.

"O, iya. Pak Sutarmadji pernah bercerita tentang panjenengan."

"Dua hari lalu saya bertemu dengannya di Blitar. Ia bercerita banyak
tentang kamu. Kemarin Sutarmadji jatuh sakit. Tadi pagi ia dipanggil
Tuhan dik,"kata Pranoto terisak.

"Inna Lillahi wa Inna Illaihi Rojiun. Sakitnya apa pak?"

"Dokter tidak bilang  apa-apa. Saat meninggal wajahnya teduh. Tabah ya
dik,"ujar Pranoto lalu menutup telepun.

Sukendro berjalan mendekat jendela. Digenggamnya salju yang tertahan
di bibir jendela itu, lalu ditaburkan ke halaman belakang apartemen..
Butir-butir salju itu melayang-layang seperti  kapuk-kapuk pohon randu
yang berterbangan ditiup angin.

##

Mei, 2008

Washington, D.C.

--
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
Q.2/42
-------------------------------------------
Alam Terkembang Menjadi Guru
www.west-sumatra.com

__._,_.___
Messages in this topic (1) Reply (via web post) | Start a new topic
Messages | Files | Photos | Links | Database | Polls | Members | Calendar
Motto: CINTA PERTIWI PEDULI NAGARI

Mission: To express our unending love to home-country, Indonesia, by
involvement in the West Sumatra's human development program in a quest
of achieving basic, well deserved human prosperity under the blessing
of God, the Almighty.

Programs: 1. Endowment in Education 2. Arts and Cultural Promotion
3. Inter Local-government Cooperation.

Check our web-page
http://groups.yahoo.com/group/MinangUSA
http://groups.google.com/group/pulangbasamo/web
MARKETPLACE
________________________________
Special offer for Yahoo! Groups from Blockbuster! Get a free 1-month
trial with no late fees or due dates.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch
format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Visit Your Group
Weight Loss Group

on Yahoo! Groups

Get support and

make friends online.

Search Ads

Get new customers.

List your web site

in Yahoo! Search.

Yahoo! Groups

Join people over 40

who are finding ways

to stay in shape.

.
__,_._,___

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke