Assalamualaikum w.w. Datuk Endang dan para sanak sa palanta, Rintisan perjuangan mencarikan dasar hukum untuk masyarakat hukum adat yang sudah saya mulai di Komnas HAM, kini saya lanjutkan dalam Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat (Seknas MHA), yang sudah dibadanhukumkan di Pekanbaru pada bulan Januari 2007 yang lalu. Dapat saya sampaikan bahwa senior saya di Komnas HAM Bp Dr Enny Soeprapto sudah menyiapkan draft ratifikasi Konvensi ILO 169/1989 serta sudah menyiapkan draft Naskah Akademik RUU Masyarakat Hukum Adat. Dalam keseluruhan kegiatan ini kerjasama dengan Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi tetap dipelihara. Dalam kaitannya dengan Minangkabau, saya mengadakan kerjasama dengan LKAAM Sumatera Barat cq Angku Bachtiar Abna Dt Rajo Penghulu SH MH, Ketua Bidang Advokasi Adat dan Syarak LKAAM dan Dosen Hukum Adat& Hukum Adat Minangkabau Fakultas Hukum Universitas Andalas. Bersama beliau, saya juga bekerjasana dengan Bp. Ilhamdi Taufik SH,MH, dari Fakultas Hukum Universitas`Andalas. Dapat saya sampaikan, bahwa masalah hukum adat yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat Minangkabau sungguh teramat unik. Jika masyarakat hukum adat lainnya di Indonesia bernasalah dengan negara, masyarakat hukum adat Minangkabau bermasalah dengan dirinya sendiri. Bagaimana cara menyelesaikannya secara mendasar dan menyeluruh, tentu terpulang kepada para pemangku adat serta anak kemenakannya. Rangkaian kasus-ksus yang terjadi selama ini dapat dijadikan masukan untuk perumusan kebijakan yang lebih baik. Wassalam, Saafroedin Bahar (L, 71 th, Jakarta) Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED]
--- On Sat, 8/2/08, Datuk Endang <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Datuk Endang <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: SATU KASUS LAGI TENTANG GOYAHNYA TANGGA MENUJU MUFAKAT To: "Rantau Net" <rantaunet@googlegroups.com>, RantauNet@googlegroups.com, [EMAIL PROTECTED] Cc: "MH Bachtiar Abna SH" <[EMAIL PROTECTED]>, "Ilhamdi TAUFIK" <[EMAIL PROTECTED]>, "Warni DARWIS" <[EMAIL PROTECTED]>, "Azaly DJOHAN SH" <[EMAIL PROTECTED]>, "Drs. Said HASYIM" <[EMAIL PROTECTED]>, "Drs. AMIDHAN" <[EMAIL PROTECTED]>, "Prof Dr Ruswiati SURYA SAPUTRA MS" <[EMAIL PROTECTED]>, "Ridha Saleh" <[EMAIL PROTECTED]>, "Janedjri M GAFFAR" <[EMAIL PROTECTED]> Date: Saturday, August 2, 2008, 10:36 AM Pak Saaf dan sanak sapalanta yang ambo hormati. Memang masalah tanah ulayat masih menjadi persoalan sejak UUPA 5/1960 hingga saat ini. Ada hal yang belum diselesaikan secara perundang-undangan dan kelihatannya belum menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Pertama saya sampaikan bila pengakuan terhadap hak asal-usul dan kelanjutan sistem hukum telah dijamin melalui UUD 1945, dan sebenarnya saya melihat dalam UUPA juga telah memberi peluang terhadap hal tersebut. Namun kebijakan lanjutan belum mengatur lebih lanjut, sehingga pegangan yang digunakan oleh aparat pemerintah selama ini hanya perundang-undangan dalam hukum positif kita, yang mungkin kurang tepat karena sistem nilai yang berbeda. Padahal belum tergali Hukum Adat dan Hukum Islam sebagai bagian dari Hukum Nasional kita, yang telah tumbuh berkembang hingga sebelum masa kemerdekaan. Penyelesaian sengketa adat (sako dan pusako) memang harus diselesaikan secara adat, melalui bajanjang naiak batanggo turun; dan putus mufakat di balairungsari. Dalam kasus di bawah saya belum melihat masalah ini diselesaikan seperti itu, dan sepertinya langsung menggunakan sistem peradilan umum. Saya dulu berharap banyak kepada organ seperti Komnas HAM dll untuk mendudukkan kembali sistem Hukum Nasional kita, untuk mengisi berbagai kekurangan sistem nilai yang dibutuhkan oleh masyarakat, baik secara nyata maupun secara laten, dan memecahkan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan pembangunan dewasa ini. Namun kelihatannya belum terlihat usaha dan upaya untuk itu. Pemecahan yang dilakukan akhirnya kembali dengan mekanisme peradilan umum, yang terikat dengan sistem nilai hukum positif (baca: UUPA), dan mungkin kurang menimbang sistem nilai Hukum Adat dan rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat. Untuk itu perlu keserasian dalam mengembangkan sistem Hukum Nasional kita, yang berdasarkan sejarahnya ditumbuhkan oleh tungku nan tigo sajarangan (Hukum Hindia Belanda, Hukum Adat, dan Hukum Islam). Mudah-mudahan ini dapat menjadi perhatian dalam Program Legislasi Nasional kita ke depan. Demikian terlebih terkurang pendapat dan pandangan disampaikan. Wassalam, -datuk endang --- On Fri, 8/1/08, Dr.Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Dr.Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [EMAIL PROTECTED] SATU KASUS LAGI TENTANG GOYAHNYA TANGGA MENUJU MUFAKAT To: "Rantau Net" <rantaunet@googlegroups.com> Cc: "MH Bachtiar Abna SH" <[EMAIL PROTECTED]>, "Ilhamdi TAUFIK" <[EMAIL PROTECTED]>, "Warni DARWIS" <[EMAIL PROTECTED]>, "Azaly DJOHAN SH" <[EMAIL PROTECTED]>, "Drs. Said HASYIM" <[EMAIL PROTECTED]>, "Drs. AMIDHAN" <[EMAIL PROTECTED]>, "Prof Dr Ruswiati SURYA SAPUTRA MS" <[EMAIL PROTECTED]>, "Ridha Saleh" <[EMAIL PROTECTED]>, "Janedjri M GAFFAR" <[EMAIL PROTECTED]> Date: Friday, August 1, 2008, 6:01 PM Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta, Sebagai seorang pengamat masalah adat Minangkabau, secara pribadi saya memperhatikan secara cermat perwujudan norma adat dalam kenyataan hidup sehari-hari termasuk masalah tanah, yang termasuk dalam tema sako dan pusako. Sangat menarik perhatian saya betapa masalah ini merupakan salah satu sumber konflik sosial yang tidak putus-putusnya dalam masyarakat Minangkabau,sampai berlarut-larut ke Mahkamah Agung. Masalah ini telah dibahas secara mendalam oleh Prof Dr Keebet von Benda-Beckmann dalam disertasi beliau "Goyahnya Tangga Menuju Mufakat". Dalam hubungan ini ada dua hal yang menjadi perhatian saya: Pertama, sistem penyelesaian sengketa menurut adat kelihatannya tidak berjalan mulus, karena hampir selalu -- atau sering sekali -- sengketa sako dan pusako ini berujung di pengadilan negeri, bahkan sampai ke Mahkamah Agung, seperti dalam kasus di bawah ini. Menurut catatan fihak pengadilan, sengketa mengenai tanah di Sumatera Barat termasuk yang tertinggi di Indonesia. Kedua, saya sungguh merasa heran bahwa untuk menyelesaikan sengketa tanah pusako seluas 13.000 meter persegi -- jadi kurang dari dua hektar -- kedua pihak yang sama-sama satu pesukuan tersebut menyatakan 'siap perang'. Mengapa tak didorong 'panarukoan' lahan baru melalui program transmigrasi, dimana setiap, saya ulangi setiap, KK bisa memperoleh dua hektar setengah? Mengapa tanah pusako yang sudah amat sempit itu juga yang diperebutkan? Apa tidak ada lagi semangat pionir, semangat perintis, di kalangan pemuka adat? Mengapa tidak dimanfaatkan demikian banyak peluang yang terbuka dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara yang ikut kita dirikan bersama ? Mengapa demikian senang hidup 'di bawah tampuruang'? Saya pernah menghubungi salah seorang direktur jenderal Depnakertrans bersama Bp H Azaly Djohan SH, Sekjen Seknas MHA, dan mendapat keterangan bahwa pada saat ini masih terbuka peluang untuk menjadi transmigran. Dengan kata lain, daripada 'berperang' memperebutkan tanah yang kurang dari dua hektar tersebut untuk sebuah suku, mengapa tak diambil langkah yang lebih konstruktif melalui semacam 'bedol desa' yang dapat kita namakan sebagai 'manaruko nagari baru' ? [Jika dikehendaki, dengan segala senang hati, dalam rangka kegiatan saya di Seknas MHA secara pribadi saya bersedia membantu memfasilitasi terwujudnya program 'manaruko nagari baru' ini dengan Depnakertrans]. Bagaimana pendapat para sanak sa palanta ? Wassalam, Saafroedin Bahar (L, 71 th, Jakarta) Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED] Eksekusi Tanah Suku Melayu Berakhir Damai singgalang, Sabtu, 02 Agustus 2008 Agam, Singgalang Suku Melayu, di Jorong Koto Kaciak, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam, akhirnya letakkan senjata. Padahal, Kamis (31/7), menjelang tim eksekutor dari PN Lubuk Basung datang, dua kelompok yang bersengketa soal harta pusaka itu, menyatakan siap perang. Berbagai peralatan perang sudah berada dalam persediaan sejumlah anggota satu kelompok. Pagi, Kamis itu, suasana di Jorong Koto Kaciak, benar-benar mencekam. Maklum, pagi itu, sekitar pukul 10.00 WIB bakal dilangsungkan eksekusi tanah seluas 13.000 meter persegi. Tanah dari pesukuan Melayu ini dipersengketakan sejak beberapa tahun lalu, yang akhirnya turun putusan dari Mahkamah Agung yang memenangkan kelompok H. M. Nur St Palimo. Turunnya putusan MA tersebut mementahkan perlawanan Hendra Sardi Dt. Simirajo. Kedua kelompok sama satu suku dan satu penghulu. Hanya saja M. Nur St. Palimo ketika menggugat tanah yang tengah dikelola Dt. Simirajo. Suasana kian mencekam ketika alat pengeras suara dari mushalla dan masjid setempat dan ditambah dengan pengumuman lewat pengeras suara berkeliling jorong mempergunakan sepeda motor. Pengumuman itu jelas membuat masyarakat Jorong Koto Kaciak keluar untuk mengetahui jalannya eksekusi tanah tersebut. Diperkirakan masyarakat eksekusi ini bakal berlangsung seru dan bahkan tidak mungkin bakal terjadi pertumpahan darah. Maklum, di atas tanah yang bakal dialih-kepemilikan itu berdiri dua unit rumah dan lainnya berupa sawah tanah peladangan. Meski pada prinsipnya, masyarakat Kenagarian Magek umumnya dan khususnya Koto Kaciak dominan prihatin terhadap nasib Dt. Simirajo. Mereka semua tahu bahwa yang berhak atas tanah ulayat itu adalah Dt. Simirajo dan kemenakannya.. Tapi, warga juga paham dengan hukum. Apa yang sudah menjadi keputusan hukum juga harus dipatuhi. Tak heran ketika tim eksekutor dari PN Lubuk Basung masuk ke Jorong Koto Kaciak, sekitar pukul 10.00 WIB, bersama dengan regu Dalmas dari Polresta Bukittinggi yang dipimpin langsung Wakapolres, masyarakat sudah siap membendung agar tim eksekutor tersebut tidak sampai ke lokasi objek perkara. Antara petugas dan warga pun terjadi saling dorong. Pekik histeris kaum ibu juga membahana. Begitu juga raungan anak kecil yang memang tidak tahu entah apa yang diributkan orang. Suasana kian menjadi kacau, ketika sejumlah kian nekat membela tanah tersebut. Bahkan beberapa diantaranya sudah mulai mengancam akan terjadi pertumpahan darah bila tim eksekutor terus juga merangsek. Keberanian kelompok Dt. Simirajo yang didukung warga tersebut jelas membuat tim eksekutor agak mengendorkan niatnya. Apalagi di tengah keramaian warga tersebut juga terlihat sejumlah ninik-mamak, alim ulama, cerdik pandai dan pemuda Magek. Seorang nenek, Saonan, 97, di tengah kerentaannya, sempat juga memimpin sejumlah kaum ibu untuk membentuk pagar betis. “Kami siap mati di sini, dari pada harta kami diambil,” rarau gaek itu terbata-bata. Di tengah kekacauan itulah, muncul ide, agar dicarikan jalan damainya. Untuk apa harus bermusuhan, toh masing-masingnya akan bersua juga. Wakapolresta Bukittinggi, pun mengambil inisiatif. Dari pada harus berlanjut dan menimulkan korban, lebih baik dicari jalan damai. Kedua pihak yang bertikai dihubungi, yakni M. Nur St. Palimo dan Hendra Dt. Simirajo. Dalam perundingan yang juga dihadiri ninik-mamak dan cerdik pandai itu diperoleh kata sepakat, yakni objek perkara dibagi. Yang jadi milik M. Nur, adalah petakan tanah yang berada di belakang rumahnya terus ke belakang sampai batas dengan suku lain, berikut sepiring sawah. Sisanya, adalah milik Dt. Simirajo dengan kemenakannya. Pembagian itu pun dituangkan dalam sepucuk surat perjanjian, yang intinya kedua belah tidak akan saling tuntut lagi pada masa mendatang. Pembagian itu juga menyenangkan hati warga yang memang simpati pada Dt. Simirajo. “Pada surat perdaimaian” kata Ketua tim eksekusi, Mustafa, SH, selaku juru sita, dihadiri dua saksi, Amril dan Marzuki, penetapan 23 Juli 2008, Nomor 12/Pdt G/2001, PN. LB. BS, tetap pergi ke lokasi sengketa pemohon eksekusi, H. M. Nur, tergugat, Hendra Sardi, Dt. Simirajo, melalui musyawarah Ketua KAN, anggota DPRD, Camat, Walinagari, Wakapolres, Kapolsek, kedua belah pihak menemui jalan perdamaian. Di antaranya, tanah sebelumnya, dikuasai, Dt. Simirajo, dibelakang rumah penggugat Bungo Pakan berbatasan dengan, Dt. Kulabu (jambak) berikut satu lupak sawah di Simpang Kubu melalui kesepakan tersebut, kini menjadi hak milik, H. M. Nur. Perkara perdata No. 17/ PDT.Plw/2007, diajukan oleh Dt. Simirajo, apapun hasilnya di Peradilan tingkat banding tidak berlaku (cabut), Sedangkan masalah harta pusaka selama diperkarakan itu, tidak akan menjadi permasaalahan lagi sampai ke anak cucu nantinya. PK diajukan melalui pengecara Iskandar Kalil, kedua kali dinyatakan, Dt. Simirajo, dicabut. Hubungan kedua belah pihak yang bersengketa sebelum, baik secara adat maupun secara Hukum Negara tidak lagi bersengketa, Dan begitu pula terhadap Surat pengaduan pidana yang dilaporkan oleh, Dt. Bagindo Sati, dan Kasiana tentang diri, H. M.Nur St. Palimo, tidak berlaku lagi pernyataan telah dicabut Sebenarnya pelaksanaan eksekusi Kamis kemarin itu adalah untuk kedua kalinya. Pertama, Selasa (8/7), eksekusi gagal dilaksanakan, mengingat banyaknya warga Magek yang turun ke lokasi dan menghalangi jalannya pengalihan hak atas tanah sengketa itu. 408/202 --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---