Sepuluh Hari Jadi Politisi
Sudah sepuluh hari saya menyatakan diri sebagai politisi. Apakah ada yang berubah? Banyak yang berubah, namun banyak juga yang tetap seperti semula. Susunan buku-buku masih rapi, ada beberapa buku baru, baik hadiah atau saya beli. Pulang ke rumah masih tetap larut malam, sekalipun juga sesekali mengatur waktu untuk dinner bersama keluarga. Pergi ke kantor juga tetap pagi, seusai mengajak kedua anak bermain dan berbicara. Yang berubah? Pertama, tentu saya tidak bisa lagi tampil di layar televisi sebagai pengamat. Ada dua stasiun TV sebetulnya yang meminta atau mengijon saya sebagai pengamat tetap. Beberapa pekerjaan sebagai public speaker untuk kegiatan voters education, baik yang diadakan oleh pemerintah atau pihak non-pemerintah, juga harus dibatalkan. Perubahan drastis terjadi pada saldo pemasukan dalam rekening. Siapa bilang ini bukan pengorbanan yang berat? Kedua, semakin banyak telepon dari kampung halaman, daerah pemilihan saya. Ada kegiatan lomba layang-layang, liga bola antar kampung, pengajian rutin, pembangunan pesantren, dan lain-lain. Ibu sayapun terpaksa mengambil tabungan hari tuanya, guna membantu biaya sosialisasi anaknya. Politik memang membutuhkan dana. Aneh, kalau politik tanpa dana. Idealisme betapa politik cukup dengan ide atau gagasan, tertanggalkan. Ketiga, ada banyak sms yang masuk, begitu juga email. Minggu lalu handphone saya sampai hang. Terpaksa diservis dan 4000-an nomor telepon hilang. Tapi karena punya back up di laptop, kembali hanya tersisa 3000-an nomor telepon. Kemaren saya hapus lebih dari 300 nomor telepon. Sepuluh hari lalu saya masih menganggap sebagai nomor-nomor penting, sekarang tidak perlu lagi dijaga. Namun bukan berarti kalau ada teman yang sms atau menelepon, lalu saya bertanya :"Maaf, ini siapa? Handphone saya rusak dan semua nomor hilang," barangkali masuk kategori nomor yang hilang, bukan sengaja saya hilangkan. Keempat, undangan keluar kota terpaksa saya batalkan. Ke Aceh, Manado dan Ambon yang sudah pasti tidak bisa. Biasanya, saya senang untuk pergi keluar kota, membebaskan diri dari belenggu Jakarta. Menghirup udara segar dan energi alam. Saya betul-betul berhitung atas waktu, kesempatan dan kegiatan. Tapi saya tetap punya jadwal ke Mataram, Bali dan Yogya bulan depan. Barangkali juga ke kota-kota lain. Sebagian adalah sisa dari persetujuan yang sudah saya berikan sebelumnya. Kelima, saya makin paham dengan struktur, sistem dan jaringan internal Partai Golkar. Ada beberapa kegiatan yang saya hadiri. Dalam tiga minggu, saya bertemu Jusuf Kalla tiga kali. Bertemu dengan pimpinan yang lain juga berkali-kali. Bahkan mulai dipanggungkan oleh Partai Golkar, sebagai debater, dalam kegiatan kepartaian. Saya sudah memiliki dua jaket, satu dibeli sendiri oleh sekretaris saya di Slipi, satu lagi diberikan oleh pimpinan MKGR. Keenam, saya mulai mengumpulkan orang di lingkaran terdekat, termasuk di kawasan tempat saya tinggal. Istri saya mengatakan, muncul isu bahwa satu mobil yang kami punya adalah pemberian Partai Golkar. Juga permintaan, "Apa yang Golkar bisa berikan?" Satu partai politik mengirimkan ambulans buat kebutuhan warga. Kalau sepuluh hari lalu orang tidak peduli dengan warna dan pilihan baju yang saya pakai, maka sekarang apapun baju yang saya gunakan, pastilah itu baju Partai Golkar. Baju merah sekalipun pasti dianggap kuning. Ketujuh, saya merasa "merdeka" dari status pengamat. Tiga telepon dari luar negeri: Singapura, Jerman dan Australia, yang meminta komentar saya soal-soal politik, dengan sigap saya katakan: "Saya bulan lagi analis politik." Ya, ada keterkejutan, tetapi juga ada "Congratulation!" Sampai kinipun saya tidak begitu paham kenapa orang terkejut dengan perubahan status itu. Selama ini saya melayani wartawan dengan baik, semampu saya. Sekarang, saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan dan katakan. Apakah mereka juga mencibirkan, lantas mengatakan dalam wajah sumringah: "Nah, Indra sekarang sudah berperut buncit!" Saya juga tahu dan sadari, beberapa wartawan, sebagian dari lapisan muda usia, dengan wajah tirus dan terenyuh menyatakan dalam hatinya: "Bang, kami membantumu. Tapi tolong pahami posisi kami." Kedelapan, saya sudah pasti kehilangan banyak teman, tetapi belum tentu dapat teman baru. Politik lebih banyak menyiptakan kesendirian, daripada kehangatan persahabatan. Tentu saya juga menguji sejumlah nilai "pertemanan", "persahabatan", serta kata-kata apapun yang selama ini ada dan terpelihara. Apakah itu benar-benar ada? Ketika seorang politikus meminta bantuan kepada teman dan sahabatnya, apakah itu benar-benar dimaknai sebagai permintaan yang tulus atau imbal jual-beli? Selama ini, saya tidak banyak "menghitung" soal-soal seperti ini, tetapi sekarang saya pantas mengujinya. Kesembilan, ada semangat baru di kalangan orang yang mengenal saya, terutama dari pihak keluarga dekat. Datuk saya menangis ketika saya telepon, lalu setelah itu mengatakan dengan bersemangat bahwa dia sudah membuat sejumlah posko untuk pemenangan saya. "Apa saya harus melepas jabatan datuk ini dan memberikan kepadamu?" Saya menolaknya. Sejak dulu saya menolak jabatan datuk. Beberapa paman saya dari luar Sumbar pulang ke kampung halaman, mengikuti jejak saya pulang, lantas berkeliling. Guru-guru sekolah dasar dan menengah saya juga ikut berbisik ke orang-orang. Sejumlah teman, yang benar-benar teman, terutama teman SD, SMP dan SMA saya, dengan nada kecut mengatakan keterkejutan, tetapi ada juga yang dengan sepenuh hati mengirimkan semangat yang paling murni dari perkawanan paling abadi: persahabatan masa kanak-kanak, ketika kami dulu bahkan sering berkelahi. Kesepuluh, ada beberapa nomor telepon yang selama ini rajin berteleponan tidak lagi bisa ditelepon. Politikus mungkin sejenis anjing kurap, siapapun yang mengenalinya akan terkena virus menular. Mungkin saya terlalu sentimentil, tetapi memang itu yang saya rasakan. Berbahagialah politikus yang merasa dirinya dewa, pengatur kehidupan manusia, namun tidak diketahui rakyat tentang apa yang dia kerjakan atau pikirkan. Ya, cukup sepuluh itu saja dulu. Sebagai catatan selama sepuluh hari ini. Saya tidak tahu, apakah catatan ini pantas dikirimkan ke koran-koran. Catatan seorang politikus pemula, di tengah kerumunan pikiran dan permasalahan orang banyak. Dari 20.000 lebih calon anggota DPR-RI, saya hanya satu di antaranya. Bayangkan kalau catatan 20.000 politisi itu hadir di koran-koran, masihkah kita membutuhkan kalangan penulis lain. Biar blog ini memberikan pelepasan, dari beban pikiran seorang politikus. Jalan masih panjang, hadangan terus membayang. Jakarta, 16 Agustus 2008. Indra Jaya Piliang, Msi Pergi ke Rantau untuk Belajar, Kembali ke Ranah Menuju Akar. http://indrapiliang.com/2008/08/15/sepuluh-hari-jadi-politisi/ --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---