Karena Saya Indonesier
Minggu, 29 Juni 08 - oleh : admin
<http://kotogadang-pusako.com/?pilih=pesan&id=102>  

 

Judul:KELAH SANG DEMANG JAHJA DATOEK KAJO 
PIDATO OTOKRITIK DI VOLKSRAAD 1927-1939

Penulis: Azizah Etek, Mursyid A. M., Arfan B. R.

Penerbit: LkiS, Yogyakarta

Cetakan: 1, Mei, 2008

Tebal: xvi + 512 hal

Kita mulai perbincangan ini dengan sebuah kisah. Juni 1927. Didepan
sidang Volksraad, Hadji Agus Salim berpidato dengan lantang. Pemimpin
sidang, Vorzitter, memperingatkannya agar berbahasa Belanda. Namun Agus
Salim mengelak sembari berargumen bahwa sekalipun ia mahir bahasa
Belanda peraturan Dewan menjamin haknya untuk bicara dalam bahasa
Indonesia. Majelis pun terdiam.

Baru beberapa jenak Agus Salim menyebut sebuah istilah yang tak mungkin
dihindarinya: ekonomi. Mendadak Bergmeyer menyela sambil mengolok-olok.
"Apa kata ekonomi dalam bahasa melayu?" Tanpa pikir panjang, Agus Salim
sontak membalas,"Coba, Tuan sebutkan apa kata ekonomi itu dalam bahasa
Belanda, nanti saya sebutkan Indonesianya!"Bergmeyer tertohok keras. Ia
baru tersadar bahasa Belanda tak punya padanan kata dengan istilah dari
Yunani itu (Rahzen: 2007).

Potongan kisah dalam sejarah Volksraad itu menunjukan bahwa selain
sebagai perantara wicara, bahasa adalah juga soal martabat, harga diri,
cara berpikir, dan kebanggaan terhadap tanah air. Terlebih di muka
persidangan Volksraad, bahasa menjadi persoalan yang amat sensitif. Saat
itu, bahasa Indonesia masih sulit diterima sebagai bahasa resmi,
sekalipun sejak 1918 Sri Ratu memperbolehkan penggunaannya dengan
catatan bahasa Belanda tetap diutamakan.

Sebagai bangsa, kita berutang budi pada tokoh-tokoh Volksraad yang
berupaya "merumahkan" bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan formal
pemerintahan. Bersama Agus Salim, Jahja Datoek Kajo secara efektif dan
konsisten memelopori penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat kritik dan
perlawanan di parlemen. Nama Jahja memang jarang disebut dalam kurikulum
pelajaran sejarah di negeri ini. Kata Buya Syafi'i Maarif, pernik-pernik
kecil dalam sejarah kita sebagai bangsa kerap dilupakan. Seolah-olah hal
itu tidaklah penting dibicarakan dan diingat, meski sesungguhnya gerak
pikir dan kesadaran kita dalam berbangsa sering ditentukan
peristiwa-peristiwa kecil yang terlewatkan.

Jahja Datoek Kajo lahir di tanah Minang, Koto Gadang, pada 1 September
1874. Masa kecilnya dihabiskan di banyak tempat, berpindah-pindah
merantau bersama mamaknya. Selesai membantu mamaknya yang menjadi kepala
gudang kopi di Baso, Jahja magang di kantor Residen Padang Barat. Inilah
momentum pertama pergesekannya dengan birokrasi kolonial. Mula-mula,
sebab dianggap "berkondite" baik, kariernya terus menanjak. Dari sekadar
juri tulis (1892), melompat menjadi Tuanku Laras IV Koto (1895) dengan
gelar Datoek Kajo. Pada 1913, ia ditugaskan merangkap jabatan sebagai
Kepala Laras Banuhampu. Selanjutnya ia sempat menjabat sebagai Demang di
Bukittinggi (1914-1915), Payakumbuh (1915-1919), dan Padang Panjang
(1919-1928).

Titik kisar perlawanan Jahja terhadap kolonial terbaca ketika pada tahun
1915 Asisten Residen James memberinya rapor merah. Sebagai demang, Jahja
dinilai kelewat lunak memerintah, tidak suka menghukum orang, slordig
dalam surat-surat berharga, dan jalan-jalan di distriknya tak sebagus
distrik lain. Di Koto Gadang, Jahja melambari kepemimpinannya dengan
kearifan lokal yang banyak tertuang dalam pepatah-petitih Minangkabau.
Khazanah Minangkabau ini pula yang kelak menghantarkannya menuju
kesadaran berbahasa Indonesia.

Jahja akhirnya "dibuang" oleh pemerintah ke Volksraad untuk periode
1927-1931. Meskipun posisi itu adalah jabatan ambtenar tertinggi untuk
ukuran Minangkabau, pemerintah setempat lebih merasa aman jika Jahja
dijauhkan dari tanah kelahirannya. Perseteruan terbukanya dengan Residen
Whitlau beberapa waktu sebelumnya menimbulkan kekhawatiran akan
munculnya konflik-konflik baru antara pemerintah dan masyarakat.

Menjadi anggota Volksraad berarti kemewahan menikmati fasilitas. Jahja
memang mendapat itu semua, namun hati nuraninya tak bisa dibohongi.
Jahja juga harus berhadapan dengan tradisi Volksraad lebih tampil
sebagai penasihat pemerintah ketimbang penyalur aspirasi rakyat.

Bagi Jahja, seburuk apapun, keberadaan Volksraad menerbitkan harapan
baru. Ia percaya bahwa Volksraad berada pada posisi yang tepat namun
digunakan dengan cara dan tujuan yang keliru. Wajar jika ia menyesalkan
penolakan Dr. Soetomo dan H.O.S Tjokroaminoto untuk diangkat menjadi
anggota Volksraad bersamaan dengan dirinya. Kedua tokoh itu melihat ada
ketidakberesan dalam konsep "mayoritas bumiputera" (Inlandsche
Meederheid) yang hendak diterapkan pemerintah Belanda dalam keanggotaan
Volksraad.

Rumah Bahasa di Parlemen

Sejak Tirti Adhi Soerjo dengan Medan Priaji-nya (1908) merumahkan bahasa
Indonesia, pengandaian tentang nasion menjadi dimungkinkan
(Rahzen:2007). Rumah itulah yang kemudian dihuni banyak orang dari masa
ke masa. Jahja Datoek Kajo tentu saja satu dari sekian banyak penghuni
yang merawat baik-baik "rumah" itu.

Dalam hal berbahasa,Jahja dan Agus Salim memang segendang-sepenabuhan.
Bedanya, jika Agus Salim cenderung blak-blakan, Jahja menempuh cara
"menyerang" sambil "membelakangi". Otokritik sang demang dibalut dengan
daya retorika yang lugas, sopan, dan terarah. Pada persidangan Juli
1938, misalnya, Jahja mengakui Belanda masih menuntun Indonesia menuju
kemajuan. Namun, antara yang memerintah dan diperintah tidak ada
kesepahaman bahasa dan perasaan. "Saya ulangkan lagi, Tuan Vorizitter!
Di Indonesia ini baik ambtenar, baik partikelir, belum 99.99 persen
mengerti dan kenal bahasa Indonesia, sebaliknya bumiputra boleh jadi
0.001 persen yang mengerti bahasa Belanda."

Jahja berhasil membuktikan vitalitas bahasa Indonesia. Ia tak pernah
disanggah seperti halnya Agus Salim. Koran-koran pribumi menyebutnya "Si
Jago Berbahasa Indonesia di Volksraad". Julukan yang tak berlebihan
karena di kemudian hari rintisannya itu memberi pengaruh besar pada
Fraksi Nasional yang digawangi Soeroso, Thamrin, Iskandar Dinata, Abdoel
Rasjid, Soangkoepon, dan Wirjopranoto. Fraksi ini konsisten mengangkat
dan mengembangkan bahasa Indonesia di parlemen dan kancah politik.

Jahja sering mengungkap keburukan perilaku pejabat Belanda. Ia melihat
bahwa alam keselarasan yang tadinya diterangi elok kato dengan mufakat,
buruk kato di luar mufakat tak lagi diindahkan. Masyarakat tak punya
saluran berpendapat, tak punya kesempatan bersuara. Dalam situasi
seperti ini, bagi Jahja, bahasa Indonesia bisa menjadi titik temu untuk
mengatasi problem pemerintah dengan rakyatnya. Komunikasi yang baik
mendorong permufakatan yang baik pula. Dan mufakat, kerja sama
(samenwerken) yang adil bisa diselenggarakan.

Nah, lagi-lagi kita nampaknya perlu mengaca pada masa lalu, pada Jahja,
si demang, si djago, yang telah wafat 66 tahun lampau itu. Ada baiknya
kita simak kutipan pidato bernada testimoni berikut:

"...Saya lebih suka didalam bahasa Indonesia, karena saya sendiri
seorang Indonesier. Tuan tentu memaklumi bahwa sekalian bangsa dalam
dunia ini lebih suka berbahasa dalam bahasanya sendiri. Sebabnya
perasaan indonesier tinggal di orang Indonesier, perasaan Belanda di
Belanda."

Ah, bukankah kita kini kian merasa malu untuk mengucap,"karena saya
Indonesier..."

Ahmad Musthofa Haroen, Pustakawan Cabeyan Scriptorium

Sumber" Koran Tempo/Ruang Baca/ Edisi 51/ Juni 2008 

Kotogadang (c) 2006, Pemerintah Nagari Kotogadang
<http://kotogadang-pusako.com>  
<http://kotogadang-pusako.com/?pilih=lihat&id=102#atas#atas> 



The above message is for the intended recipient only and may contain 
confidential information and/or may be subject to legal privilege. If you are 
not the intended recipient, you are hereby notified that any dissemination, 
distribution, or copying of this message, or any attachment, is strictly 
prohibited. If it has reached you in error please inform us immediately by 
reply e-mail or telephone, reversing the charge if necessary. Please delete the 
message and the reply (if it contains the original message) thereafter. Thank 
you.


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

<<inline: image001.jpg>>

Kirim email ke