Sanak syafrinal syarien

Memang saya ada dengar seperti yg sanak sampaikan
Tapi yg baru saya alami adalah seperti yg saya tuliskan
Yang saya lihat betapa orang berusaha berbagi  lebih-lebih dalam bulan puasa  
ini
Ada yg bawa susu di termos  ada yg bawa makanan, ada yg bawa teh hitam dan teh 
hijau dari afrika
Ada yg bawa  juice mangga  dan mereka berdiri atau berjalan membagi-bagikannya
Kebetulan saya kecipratan dapat  yg seperti itu
Waktu berebut ber udhuk ketika kita menolong orang  langsung pula kita di 
tolong. Tolong menolong dan lapang melapangkan ditempat yg sangat ramai dan 
sempit itu   ternyata melapangkan hati , tempat dan perasaan
Mudahkanlah,  kita akan di mudahkan
Kebetulan pelaksanaan Umrah  yg baru kali ini kami kerjakan  alhamdulillah   
banyak kemudahan dan ke lapangan
Seperti sanak syafrinal  saya sependapat tentang  Hajar aswad  itu

salam teriring do'a

K Suheimi



----- Original Message ----
From: Syafrinal Syarien <[EMAIL PROTECTED]>
To: RantauNet@googlegroups.com
Sent: Saturday, October 4, 2008 2:54:29 PM
Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: TOLERANSI MASJIDIL HARAM


Syukurlah Pak Dokter masih melihat sikap toleran di Masjidil Haram. Tapi dari 
kisah ini, sikap toleran lebih banyak ditunjukkan oleh jemaah dari Asia 
Tenggara. Jarang kita temukan sikap yang sama dari jemaah lain terutama yang 
berasal dari anak benua India.

Pengalaman saya beberapa kali umrah, yang saya temukan lebih banyak sikap 
egois, saling berdesakan, sikut sana sikut sini. Apalagi untuk urusan mencium 
hajar aswad. Batu hitam yang diduga sebagai meteorid yang jatuh di tanah Arab 
namun diyakini sebagai batu dari surga. Agaknya dengan mencium hajar aswad, 
paling tidak sudah serasa mencium aroma surgawi. Hajar aswad memang wangi 
karena saya melihat sendiri acara pengolesan minyak wangi pada batu hitam itu.

Desak-desakan dan sikut-menyikut ketika mencium hajar aswad ini menciptakan 
peluang bisnis baru. Saya pernah ditawari pengawalan oleh orang Madura 
(barangkali mereka pendatang haram di tanah haram). Dengan membayar 100 riyal, 
3 orang madura itu akan menjadi bodyguard saya untuk bisa mencium hajar aswad. 
Urusan sikut-menyikut dan bentrokan fisik lainnya serahkan pada mereka. Uang 
100 riyal bisa melindungi Anda dari tindihan dan dorongan yang menyesakkan dada 
di tengah terik matahari kota Makkah. 

Tawaran bisnis dari orang Madura ini saya tolak. Bukan karena saya pelit 
mengeluarkan uang 100 riyal, tapi sesungguhnya saya tidak terlalu berminat 
untuk mencium aroma surgawi hajar aswad. Saya ngeri membayangkan sekian ribu 
mulut orang dari berbagai penjuru dunia telah menempel di batu hitam itu. Hanya 
Allah yang tahu entah bakteri jenis apa yang sudah melekat di batu itu hasil 
transfer dari mulut ke mulut. Barangkali Pak Dokter setuju dengan saya soal 
ke-higenis-an ini. 

Mungkin juga Pak Dokter mengamati "toleransi" yang ditunjukkan jemaah asal 
Indonesia terhadap rombongan tawaf 'buldozer' yang biasanya berasal dari Turki. 
Kelompok ini membentuk rombongan yang bak buldozer menghondoh semua yang ada di 
depannya. "Tabalintang patah, tabujua lalu!" begitulah kira-kira semboyan 
mereka. Buldozer ini dibentuk dengan menempatkan pria kuat-kuat di bagian depan 
dan pinggir, dan di tengah buldozer ditempatkan kaum wanita dan lansia. 
Tujuannya mulia: melindungi kaum lemah dan menyatukan rombongan supaya tidak 
bercerai-berai ketika tawaf. Tapi tujuan mulia ini dicemari dengan sikap 
menghondoh semua jamaah yang ada di depannya. "Toleransi" seperti inikah yang 
direnungkan Pak Dokter?

Ka'bah adalah bangunan suci. Seyogyanya kegiatan di sana penuh dengan kesucian 
dan jauh dari kemungkaran. Tapi barangkali saat tengah khusuk berdoa, Pak 
Dokter pernah dihampiri orang dari India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, dan 
kawan-kawannya. Di depan Ka'bah yang suci itu, mereka berusaha menjerat jemaah 
polos seperti kita dengan cerita sedih begini:
- Dia datang ke tanah suci dengan niat fisabilillah plus ongkos pas-pasan
- Dia tinggalkan anak-istrinya di kampung, pergi ke tanah suci berharap masuk 
surga sendirian (inikah toleransi?).
- Sekarang passportnya expired, terlunta-lunta di tanah suci, ia mau balik tapi 
tak ada ongkos.
- Ujung-ujungnya ia berharap sedekah dari jemaah dermawan dan polos seperti 
kita dari Indonesia ini. Lebih parah lagi, ia mematok tarif minimum, "fifty 
riyals should be enough, brother!"

Seorang mualaf asal Manado menceritakan kepada saya kejadian yang sama. Ia 
akhirnya memberi uang 100 riyal ke orang itu. Alasannya: jangan-jangan orang 
itu adalah malaikat yang menguji kedermawanannya. Ia tak percaya bahwa di depan 
Ka'bah yang suci itu, orang masih tega berbuat jahat, tipu-menipu dan 
berbohong. Saya cuma kasih tips buat mualaf ini, "begini saja Pak, supaya Bapak 
tahu orang itu malaikat atau manusia biasa, sebaiknya Bapak tempeleng dulu 
kepalanya. Kalau dia kesakitan berarti dia cuma tukang tipu biasa, bukan 
malaikat!"



      



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke