Assalamualaikum w.w. para sanak sapalanta,
Di bawah ini saya posting resensi sebuah buku yang saya rasa penting untuk kita 
ketahui bersama, yang isinya mengingatkan bahwa bantuan kemanusiaan yang 
diberikan oleh fihak asing itu selalu ada 'udang di balik batu', yaitu agenda 
neo-liberalisme untuk memberi peluang bagi masuknya modal besar ke suatu 
negara. Cukup banyak diketahui, bahwa dalam tahap rekonstruksi Iraq yang porak 
poranda dihantam angkatan perang Amerika Serikat, sebagian besar kontraktornya 
adalah konco-konco Presiden George W Bush dan Wakil Presiden Dick Chenney, 
umumnya orang Texas. Kalau disini akan disebut KKN.
Dalam ukuran kecil aksi mengambil kesempatan dalam kesempitan itu juga terjadi 
di sini. Setelah Pasar Tanah Abang di Jakarta 'terbakar' atau ''dibakar' 
, menyusullah sesudahnya pembangunan gedung bertingkat atas izin Gubernur  
'Mamak' Sutiyoso , yang sekarang akan mencalon diri menjadi capres. [masih  
ingat bahwa Sutiyoso diberi gelar 'Mamak" oleh sebagian urang awak di DKI ?). 
Siapa yang membangunnya ? Sudah barang tentu konco-konco dari mereka yang 
memerintah DKI. Saya duga hal itu juga yang kejadian dengan 'terbakarnya' Pasar 
Turi di Surabaya beberapa waktu yang lalu.
Oleh karena itu amatlah urgen kita orang Minang membangun jejaring informasi 
yang lebih lancar. Jangan hidup bernafsi-nafsi lagi. Dan jangan beri lagi gelar 
'mamak' kepada siapapun juga !
 
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED];
[EMAIL PROTECTED]


Harga Bantuan Kemanusiaan
 
  
/ Kompas Images
 Kompas, Minggu, 5 Oktober 2008 | 03:00 WIB 
BUDI RAHMAT
Inilah buku yang mengguncangkan jagat pekerjaan kemanusiaan. Semenjak 
peluncurannya tahun 2007, buku ini tidak saja menimbulkan perdebatan hangat di 
kalangan komunitas bantuan kemanusiaan, namun juga di kalangan perencana 
pembangunan, khususnya pembangunan-pascabencana.
Betapa tidak, buku ini secara gamblang menjelaskan bagaimana bencana (bencana 
alam, konflik horizontal dan vertikal, serta aksi terorisme) dijadikan sebagai 
pintu untuk memperkenalkan kebijakan ekonomi pro-pasar. Masyarakat yang terkena 
bencana berada dalam kondisi terkejut (shocked) dan tidak memiliki kontrol 
penuh atas dirinya sendiri, oleh karena itu akan gampang dicekoki oleh nilai 
dan kebijakan baru.
Cuci otak kolektif
Melalui riset selama empat tahun, Klein mengungkapkan bagaimana ”doktrin 
kejutan” (shock doctrine) digunakan secara terencana di berbagai 
kejadian-kejadian penting, seperti kudeta Pinochet terhadap Allende (Chile, 
1973), peristiwa Tiananmen (China, 1989), dan runtuhnya Uni Soviet (1991).
Lebih jauh lagi, Klein juga menjelaskan bagaimana setelah tsunami 2004, wilayah 
tepi pantai di Teluk Arugam, Sri Lanka, dijadikan resor pariwisata, sementara 
masyarakat pesisir tidak boleh mendirikan kembali rumah mereka di sana. 
Sementara itu, di New Orleans, topan Katrina dijadikan rezim Bush untuk 
”menjadikan semua wilayah yang terkena dampak bencana sebagai zona bebas pajak” 
dan ”menjadikan semua wilayah yang terkena dampak bencana sebagai zona ekonomi 
kompetitif, lengkap dengan paket insentif pajak dan deregulasi”..
Klein menjelaskan ”Doktrin Kejutan” ini dengan percobaan penyiksaan yang 
dilakukan pernah dilakukan oleh CIA bersama McGill University tahun 1950-an 
silam. Dalam percobaan tersebut, si pasien berkali-kali mendapatkan kejutan 
listrik untuk membawanya ke tahap ”complete depatterning” atau kurang lebih 
”pemograman ulang”.
Dalam tahap itu, sang pasien diasumsikan akan dapat dengan mudah diperkenalkan 
kepada kesadaran baru, sesuai dengan keinginan pihak luar. Nah, bencana adalah 
cara terbaik untuk melakukan cuci otak secara kolektif. Melalui kejutan yang 
ditimbulkan oleh bencana, semua resistensi yang ada di benak setiap orang akan 
hilang. Alhasil, nilai-nilai baru bisa diperkenalkan dengan mulus.
Pendapat Klein diperkuat oleh Nandini Gunewardena dan Mark Schuller yang 
meluncurkan buku Capitalizing on Catastrophe: Neoliberal Strategies in Disaster 
Reconstruction” (2008). Dalam buku itu digambarkan bagaimana krisis digunakan 
sebagai momentum untuk memperkenalkan paket-paket kebijakan yang tidak populer 
terhadap masyarakat di Haiti dan Guatemala.
Sebenarnya, wacana bahwa bantuan kemanusiaan bisa dikaitkan dengan harga 
ataupun imbalan telah muncul sejak awal abad ke-20. Peter Walker, pakar bantuan 
kemanusiaan dari Tufts University, mencontohkan bahwa ketika gempa mengguncang 
kota San Francisco tahun 1906 silam, pemerintah kota praja membangun kembali 
kota tersebut dengan mengendurkan regulasi pendirian bangunan dan merebut lahan 
yang selama ini dimiliki kelompok masyarakat minoritas.
Hanya saja, suara miring terhadap bantuan kemanusiaan tersebut tidak ada yang 
membahasnya ke dalam kerangka yang lebih sistemik. Di masa lampau, bencana, 
bantuan kemanusiaan, dan proses pembangunan-pascabencana dilihat sebagai 
sesuatu yang apolitis dan berdiri sendiri. Kalaupun ada kritik yang 
komprehensif seperti ”Lords of Poverty: The Power, Prestige, Corruption of the 
International Aid Business karya Graham Hancock” (1994), kritik tersebut lebih 
banyak membahas inefisiensi bantuan kemanusiaan.
Kritikan yang lebih teoretis pernah pula disampaikan Martin Doornboos dalam ”Of 
State Collapse and Fresh Starts: Some Critical Reflections” (2002). Pakar teori 
Gagal-Negara dari Belanda ini mengatakan bahwa operasi bantuan kemanusiaan di 
negara-negara yang terkena konflik kerap mengabaikan keberadaan ”kedaulatan” 
atau ”mandat” unit politik yang ada di negara tersebut (baik pemerintahan yang 
sah, kelompok pemberontak, ataupun para penguasa perang [war lords]).
Kedaulatan akhirnya diberikan kepada PBB ataupun sebuah badan ad hoc yang 
mengatur pemulihan dan peralihan kekuasaan di negara penerima bantuan tersebut. 
Hal ini sudah terjadi di Liberia, Sudan, Sierra Leone, ataupun Etiopia yang 
secara de facto menyerahkan nasibnya kepada komunitas bantuan kemanusiaan 
internasional. Selain masalah kedaulatan, para organisasi donor cenderung 
melihat suasana pascakonflik (dan juga pascabencana alam) sebagai lahan dan 
momen untuk memperkenalkan konsep ekonomi propasar (Doornbos, 2002).
Tidak sekadar bencana
Melalui buku inilah Klein membahas seluruh keterhubungan bencana, kondisi 
keterkejutan (shocked), dan kebijakan ekonomi propasar. Secara gamblang Klein 
menuduh bahwa kaum ekonom neoliberal sebagai dalang perubahan fundamental di 
sejumlah kawasan yang baru saja terkena bencana.
Klein tidak berhenti di sana. Dengan sangat spesifik ia menguraikan 
keterlibatan Milton Friedman dan para anak didiknya di Chicago School of 
Economics membidani pergantian rezim, mematikan demokrasi, dan menciptakan 
ekonomi propasar di Amerika Latin.
Yang menyebabkan komunitas pekerja kemanusiaan resah adalah fakta bahwa bencana 
besar akan diikuti oleh gelombang bantuan dalam jumlah besar pula. Belakangan 
ini, rentetan bencana besar seperti tsunami Aceh (2004), gempa Kashmir (2005), 
dan topan Nargis Myanmar (2008) telah membuka jalan bagi berlangsungnya 
kegiatan pembangunan skala masif.
Wilayah yang terkena bencana tersebut hancur total, sementara seluruh sendi 
kehidupan lumpuh. Wilayah tersebut tak ubahnya sebuah kertas putih yang siap 
ditulisi apa saja sesuai kehendak para pemberi bantuan. Bila ternyata bantuan 
kemanusiaan—yang selama ini dianggap mewakili sisi altruistik umat 
manusia—demikian erat keterhubungannya dengan kepentingan ekonomi dan politik 
yang sangat sistematis, maka pekerjaan kemanusiaan akan kehilangan segala citra 
positifnya.
The Shock Doctrine memperpanjang karya monumental Klein, setelah sebelumnya 
aktivis-jurnalis ini menulis ”No Logo: The Aim at the Brand Bullies” (1999) 
yang juga menjadi bacaan wajib para aktivis antiglobalisasi. Hanya saja, Klein 
terlampau berani untuk menghubungkan ekonom neoliberal dengan proses 
militerisasi Amerika Latin tahun 1970-an.
Hubungan antara para ekonom didikan Friedman dan junta militer terlalu linier 
dan nyaris bagaikan cerita detektif.. Demikian kayanya buku ini dengan 
fakta-fakta yang saling terkait satu sama lain, maka nyaris tak ada keindahan 
teoretis (theoretical niceties) di dalamnya. Namun, bagi aktivis seperti Klein, 
keindahan kosong seperti itu memang tidak dibutuhkan. Yang jelas, Klein sudah 
memulai kajian sistematis tentang bencana, bantuan kemanusiaan, serta paket 
ekonomi-politik yang menyertainya. Kini bencana tidak bisa dilihat dan dimaknai 
seperti dulu lagi.
Budi Rahmat Pekerja Kemanusiaan di Aceh
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke