Artikel Kompas http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0405/14/Musik/1023225.htm
14 Mei 2004

Gumarang, Teruna Ria, dan Kumbang Tjari

IRAMA musik Latin sudah masuk dalam ramuan aransemen musik lagu-lagu
Indonesia sejak pertengahan tahun 1955. Pelakunya adalah seorang yang
bernama Asbon Majid, pemimpin orkes Gumarang. Dengan maksud memberi
alternatif lain dari seriosa, keroncong, dan hiburan, Asbon memasuki
unsur-unsur musik Latin yang pada masa itu memang sedang populer di
Indonesia.

SEMENTARA itu, orkes Kumbang Tjari dipimpin oleh Nuskan Syarif, Teruna Ria
oleh Oslan Husein, dan Zaenal Combo oleh Zaenal Arifin. Tiga orkes ini
memasukkan rock'n'roll pada lagu-lagu Minang dan non-Minang, seperti Kampung
Nan Jauh Di Mato, Tirtonadi, dan Bengawan Solo.

Menjelang akhir tahun 1953 dan awal 1954, ada beberapa anak muda asal
Sumatera Barat yang, antara lain, bernama Alidir, Anwar Anif, Dhira Suhud,
Joeswar Khairudin, Taufik, Syaiful Nawas, dan Awaludin yang di kemudian hari
menjadi Kepala Polri. Bersama beberapa orang lainnya mereka berkumpul di
rumah Yus Bahri di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka sepakat
mendirikan sebuah grup musik untuk meneruskan kiprah orkes Penghibur Hati
yang mendendangkan lagu-lagu Minang.

Mereka menamakan grupnya orkes Gumarang. Nama itu diambil dari cerita
legendaris Minang, Cindue Mato, yang tokoh utamanya memiliki tiga binatang
kesayangan. Tiga binatang itu adalah Kinantan si ayam jantan yang piawai,
Binuang si banteng yang gagah perkasa, dan Gumarang si kuda sembrani berbulu
putih yang larinya bagaikan kilat sehingga menurut legenda tersebut bisa
keliling dunia dalam sekejap. Anwar Anif pun didaulat menjadi pemimpin.

Mula-mula yang dibicarakan adalah bagaimana konsep musik yang akan dibawakan
untuk lagu-lagu Minang yang sudah dipopulerkan oleh Penghibur Hati melalui
Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Lagu-lagu Penghibur Hati yang
disiarkan radio itu, antara lain, Kaparinyo, Dayung Palinggam, Nasib
Sawahlunto, dan Sempaya.

Pengaruh lagu-lagu Latin (seperti Melody d'Amour, Besame Mucho, Cachito,
Maria Elena, dan Quizas, Quizas, Quizas) yang sedang digemari tak mampu
mereka tepis. Oleh sebab itulah musik Latin tersebut menjadi unsur baru
dalam aransemen musik Gumarang.

Pada masa itu tidaklah mudah bagi seorang penyanyi atau sebuah grup untuk
tampil di RRI. Mereka harus lulus tes di depan sejumlah juri, sebagaimana
layaknya peserta sebuah lomba.

Walaupun Anwar Anif hanya memimpin selama sembilan bulan, ia berhasil
membawa Gumarang lulus tes RRI. Alidir yang menggantikannya ternyata
bertahan lebih singkat lagi dan kemudian menyerahkan pimpinan Gumarang
kepada Asbon, bulan Mei 1955.

Asbon tidak hanya mempertegas dominasi musik Latin dalam lagu-lagu yang
sudah biasa dibawakan Gumarang, tetapi juga pada lagu-lagu baru ciptaannya
maupun ciptaan personel Gumarang lainnya. Pada masa Asbon inilah bergabung
pianis yang memiliki sentuhan Latin, Januar Arifin, serta penyanyi Hasmanan
(kemudian menjadi sutradara), Nurseha, dan Anas Yusuf.

Kebesaran Gumarang tidak bisa disangkal berkat seringnya grup ini tampil di
RRI dan memeriahkan acara Panggung Gembira. Sukses Gumarang merebut hati
masyarakat menyebabkan penampilan orkes itu berlanjut di tempat-tempat
lainnya, seperti Istana Negara, Gedung Kesenian, dan Istora Senayan.

Pada masa kepemimpinan Alidir, Gumarang sempat merekam sejumlah lagu di
bawah naungan perusahaan negara, Lokananta, di Solo. Rekaman dilakukan di
Studio RRI Jakarta dan hasilnya dibawa ke Lokananta untuk dicetak dalam
bentuk piringan hitam (PH).

Dalam rekamannya yang pertama ini Gumarang bermain dengan gendang, bongo,
maracas, piano, gitar, dan bas betot. Mereka tetap mempertahankan rentak
gamat dan joget sambil memadukannya dengan beguine, rumba, dan cha-cha.

Bunyi alat musik Minang, seperti talempong, memang memberikan asosiasi pada
irama Latin, demikian juga saluang. Itulah sebabnya irama Latin mudah
dipadukan dengan lagu-lagu Minang.

Suyoso Karsono yang memimpin perusahaan rekaman Irama di Jakarta ternyata
diam-diam tertarik pada Gumarang. Sebagai seorang pengusaha, orang yang
dikenal dengan nama Mas Yos itu tahu bahwa irama yang dibawakan Gumarang
bukan saja mampu menyajikan lagu-lagu Minang sesuai dengan aslinya, namun
juga memiliki ramuan irama Latin yang amat disukai masyarakat.

"Sebenarnya irama Latin itu hanya dalam tempo, supaya lagu-lagu Minang bisa
diterima juga oleh masyarakat di luar Minang," kata Asbon ketika menerima
tawaran Irama untuk merekam sejumlah lagu. Gumarang merekam Ayam Den Lapeh
ciptaan A Hamid, Jiko Bapisoh dan Laruik Sanjo ciptaan Asbon, Yobaitu
ciptaan Syaiful Nawas, Takana Adiak ciptaan Januar Arifin, Baju Karuang, Ko
Upiek Lah Gadang, Titian Nan Lapuak, Nasib Sawahlunto, dan lagu lain-lain
yang jelas sekali dipadukan dengan irama cha-cha yang dikenal sebagai
pengiring tarian di Amerika Selatan.

"Cha-cha memang sedang menjadi favorit masyarakat waktu itu, sebagaimana
kami senang naik becak dari tempat indekos menuju Studio Irama. Kalau
selesai rekaman, Nurseha diantar Asbon dengan becak ke rumahnya di Grogol.
Soalnya, rekaman yang dimulai pukul delapan malam biasanya selesai pukul dua
dini hari," ujar salah seorang penyanyi Gumarang, Syaiful Nawas, yang sempat
menjadi wartawan harian Waspada, Pedoman, Purnama, Trio, Aneka, Sinar
Harapan, Abadi, Suara Pembaruan, dan majalah Selecta.

"Sayalah yang bertugas menulis semua kejadian karena ikut di dalam proses
rekaman. Mas Yos memberikan bahan-bahannya dan saya tulis di berbagai surat
kabar serta majalah Selecta dan Varia. Bahkan, harian Pedoman menulis
Gumarang dalam tajuk rencananya. Sementara Asbon langsung memberikan PH yang
baru dari pabrik ke RRI," ungkap Syaiful Nawas, kakek dari lima cucu yang
sekarang setiap hari berkantor di rumah makan miliknya, Padang Raya.

Hasilnya, Laruik Sanjo dan Ayam Den Lapeh berkumandang tidak hanya di RRI,
namun juga di toko-toko yang khusus menjual PH di Jakarta dan luar kota.
Pemutaran lagu-lagu Gumarang itu adalah atas permintaan masyarakat yang
mendatangi toko-toko itu dan membeli PH mereka. Laruik Sanjo yang berarti
larut senja dan Ayam Den Lapeh sebagai analogi kehilangan kekasih, menjadi
lagu-lagu populer secara nasional.

Sedemikian populernya kedua lagu itu, Laruik Sanjo dilayarputihkan oleh
Perfini tahun 1960 dengan sutradara kondang Usmar Ismail serta aktor Bambang
Irawan dan aktris Farida Oetojo sebagai pemeran utama. Sementara Stupa Film
memproduksi Ayam Den Lapeh pada tahun yang sama dengan sutradara H Asby dan
Gondosubroto, sementara Asbon dan Gumarang dipercaya mengisi ilustrasi musik
film ini.

Ceritanya diambil dari lirik lagunya. Si kucapang si kucapai/ saikua tapang
saikua lapeh/Tabanglah juo nan ka rimbo/Oi lah malang juo. Artinya, yang
dikejar luput, yang dimiliki terlepas.

Kumbang Tjari

Sementara itu, di Padang tersebutlah seorang pemuda yang gila musik bernama
Nuskan Syarif. Saking besar keinginannya bermusik dan memiliki gitar, uang
untuk membeli baju Lebaran dibelikannya gitar bekas di tukang loak.

Nuskan, yang bangga dengan popularitas Gumarang, pada tahun 1954 sempat
berlibur ke Jakarta. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan selama berada di
Ibu Kota dan menawarkan lagu ciptaannya, Kok Upiak Lah Gadang, ke Gumarang.
Ternyata lagunya diterima dan dimainkan dalam acara Panggung Gembira di RRI.

"Lagu itu saya tulis notasi dan liriknya karena tape recorder belum
memasyarakat seperti sekarang. Saya kembali ke Padang dan meneruskan karier
sebagai penyanyi amatir sambil memperdalam pengetahuan saya bermain gitar,"
kata Nuskan yang juga dikenal sebagai guru Pendidikan Jasmani di SMP Negeri
I Padang hingga tahun 1960.

Pindah ke Jakarta, Nuskan meneruskan karier sebagai guru olahraga, sementara
kemampuannya bermain gitar dan mencipta lagu semakin meningkat. Atas saran
Anas Yusuf, Nuskan memutuskan bergabung dengan Gumarang. Tetapi, Asbon yang
sudah tahu kemampuan anak muda itu justru menyarankannya membentuk grup
musik sendiri.

"Itulah awal lahirnya orkes Kumbang Tjari pada tahun 1961. Meskipun saya
mengagumi Gumarang, saya berusaha membuat musik yang berbeda. Kalau Gumarang
dominan dengan pianonya, Kumbang Tjari mengedepankan melodi gitar," lanjut
Nuskan, ayah dari sembilan anak dan kakek dari 10 cucu.

Di sinilah Nuskan menunjukkan keperkasaannya sebagai pemain gitar, bukan
hanya dalam soal teknik, namun juga dalam soal eksplorasi bunyi. Petikan
gitarnya mengingatkan pendengarnya akan suara saluang, seruling bambu khas
Minang. Ciri khas ini belum ada duanya sampai sekarang. Hal ini diperjelas
Hasmanan, salah seorang penyanyi Gumarang yang menulis kesan-kesannya di
sampul depan PH.

"Sebagai orkes baru jang masih harus berdjuang memenangkan simpatik dan
popularitas, menarik sekali nafas dan penghajatan jang diberikan 'Kumbang
Tjari' terhadap lagu-lagunja. Hidangan2 mereka terasa masih dekat sekali
kepada tjara lagu2 rakjat asli Minang dibawakan. Petikan2 gitar Nuskan
Sjarif sering mengingatkan orang akan bunji alat2 musik asli Minang seperti
talempong, rebab, dan saluang," demikian tulisan di sampul depan PH itu.

PH Kumbang Tjari yang pertama ini berisi lagu-lagu Asmara Dara yang
dinyanyikan oleh Elly Kasim, Randang Darek dinyanyikan Nuskan Syarif,
Taraatak Tangga (Elly Kasim dan kawan-kawan), Mak Tatji (Nuskan Syarif), Apo
Dajo (Elly Kasim dan kawan-kawan), Tjita Bahagia (Elly Kasim dan Nuskan
Syarif), Cha Cha Mari Cha (Nuskan Syarif), Gadis Tuladan (Nuskan Syarif),
Kumbang Djanti (Elly Kasim), Langkisau (Nuskan Syarif dan kawan kawan),
Kureta Solok (Nusikan Syarif dan kawan-kawan), dan Oi, Bulan (Elly Kasim dan
kawan-kawan).

Bersama Kumbang Tjari inilah Elly Kasim menjadi penyanyi lagu-lagu Minang
yang belum tergantikan sampai sekarang. Perempuan kelahiran Tiku, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat, tanggal 27 September 1942, itu terkenal dengan
lagu-lagu seperti Kaparinyo, Dayung Palinggam, Kelok Sembilan, Barek Solok,
Lamang Tapai, Sala-lauak, Si Nona, Lansek Manih, Main Kim, Mudiak Arau, dan
masih banyak lagi. Lagu-lagu itu telah dimuat dalam puluhan PH, kaset,
maupun VCD selama lebih dari 40 tahun.

Namun, Kumbang Tjari kemudian terpaksa vakum ketika Nuskan sebagai guru
olahraga menerima untuk ditempatkan di Sukarnapura (sekarang Jayapura),
Papua, pada bulan Juli 1963. "Saya sangat menikmati profesi sebagai guru
olahraga. Dikirim ke Irian Barat saya anggap sebagai amanat yang harus
dilaksanakan. Setelah saya pergi, sayang teman-teman tidak bersedia
meneruskan Kumbang Tjari," ujar Nuskan.

Selama di Jayapura, ia sempat juga membina bibit-bibit penyanyi dan
menciptakan sejumlah lagu. Lahir di Tebing Tinggi tanggal 4 Januari 1935,
dalam usia menjelang 70 tahun sekarang ini, Nuskan masih rajin joging di
pagi hari dan tetap siap tampil bersama Kumbang Tjari-nya.

Walaupun hanya dua tahun (1961-1963) di belantika musik, Kumbang Tjari
menjadi grup pertama yang tampil di TVRI ketika stasiun televisi pemerintah
itu diresmikan tahun 1962. Orkes ini juga mengisi acara pembukaan Bali Room,
Hotel Indonesia, dan kemudian tampil bersama Gumarang serta Taruna Ria dalam
pertunjukan bertajuk "Tiga Raksasa" di Istora Senayan.

Nuskan kembali ke Jakarta 29 November dan Januari 1969 Kumbang Tjari
dibentuk lagi dengan personel yang berbeda dan tidak pakai embel-embel
"orkes" lagi. Kumbang Tjari pun kembali dipimpin Nuskan dan seperti
sebelumnya mulai masuk studio rekaman dan mengisi berbagai acara panggung
hingga tur ke Malaysia bersama Elly Kasim, Benyamin S, Ida Royani, serta
Ellya Khadam.

Di samping Gumarang dan Kumbang Tjari, juga tidak bisa dilupakan orkes
Teruna Ria yang mempertegas irama rock'n'roll dalam lagu-lagu Minang.
Bubarnya Teruna Ria menyebabkan penyanyi utamanya, Oslan Husein, mendirikan
Osria. Sementara personel lainnya, Zaenal Arifin, mendirikan Zaenal Combo,
yang merajai penataan musik rekaman hampir semua penyanyi pada akhir 1960-an
sampai awal 1970-an.

Penyanyi-penyanyi yang diiringi Zaenal Combo, yaitu Lilies Suryani, Ernie
Djohan, Alfian, duet Tuty Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty
Kadi, Anna Mathovani, Emilia Contessa, Titi Qadarsih, Angle Paff, atau Lily
Marlene.

Zaenal Arifin, pencipta lagu Teluk Bayur, meninggal 31 Maret 2002. Asbon
tutup usia pada 16 Maret 2004, sedangkan Oslan Husein dan Nurseha mendahului
keduanya beberapa tahun sebelumnya.

Mereka memang sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak berupa musik Minang dan
Indonesia modern. Gumarang dengan irama Latin dan Teruna Ria
me-rock'n'roll-kan lagu serta musiknya. Sementara gitar bersuara saluang ala
Nuskan Syarif masih bisa dinikmati sampai sekarang bersama Kumbang
Tjari-nya.

Theodore KS Penulis Masalah Industri Musik 

-----Original Message-----
From: RantauNet@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
Behalf Of hambociek
Sent: 08 Oktober 2008 13:42
To: RantauNet@googlegroups.com
Subject: [EMAIL PROTECTED] koleksi lagu Oslan Hosen --- Saiful Bahri


Angku Suryadi, 

Alun basuo latar bulakang kampuang Oslan Hosen, tapi takileh Saiful Bahri,
nan mangarang lagu Semalam Di Malaya; ruponyo Urang Awak juo dari
Payokumbuah. Silakan baco di bawah.

Salam,
--MakNgah


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke