Assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh,

 

Waalaikum salam  warahmatullahi wa
barakatuh buya HMA yth  di Sumbar



Ananda Iffah di Bengkulen,

Salam maaf untuk keluarga dan anak-anak. 

Doa buya selalu menyertai ananda dan keluarga, 

dalam kesuksesan mencari redha Allah. Amin.





Amin YRA. Makasih banyak atas doa
buya. Semoga buya dan keluarga besar buya juga selalu sukses, dan jerih payah
buya menjadi amal ibadah bagi buya hendaknya. Amin



Talambek
buya mambaaleh, mohon ananda Iffah memahami, 

tugas buya memang sedang sarat dengan mengunjungi para dunsanak, 

anak cucu jo kamanakan kito nan datang dari rantau.

Dalam istilah di kampuang awak manyilau rang rantau pulang.

 

Buya, hanifah justru sangat salut ke buya, walau
usia buya sudah berkepala tujuh, tapi semangat buya masih semangat empat lima. 
Tak
sampai di rentang waktu 24 jam, buya sudah menulis balasan email ifah, pada hal
saat ini masih suasana lebaran,dimana buya dikeililingi oleh keluarga besar
buya. Entah bagaimnana cara buya menyuri waktu untuk menulis... ck ck ck luar 
biasa
untuk orang setua buya. Hanifah dan dunsanak di palanta maya RN ini sangat kagum
membaca tulisan-tulisan buya yang penuh makna dan nasehat

 

Sabananyo ado istilah dalam
perilaku kito banagari, bakoroang bakampuang.

Yaitu, kok dakek silau manyilau, dan apabila berjarak jangka maka
tibo di nan jauah jalang manjalang, artinya ada satu kewajiban
tidak tertulis di dalam adat pergaulan saling datang mendatangi dalam
mengeratkan silaturahim.

Saling
mendatangi ini dapat dilakukan dengan face to face, menghadiri dan mengabulkan
sebuah undangan, apakah dalam perhelatan atau kenduri kata orang kini. 
Sesungguhnya
menghadiri dan mengabulkan undangan itu hukumnya wajib dalam
syarak (agama Islam), demikian sabda Rasulullah SAW.

 

Buya, kadang karena sesuatu hal, kita tidak dapat hadir di undangan
tersebut. Kalau dikampung kita, undangan bisa berlaku berhari-hari. Tidak bisa
hadir hari ini, bisa hadir besoknya atau lusa. Kalau di rantau kami Bengkulu, 
apalagi
kalau yang pesta orang Bengkulu, jangankan besok apalagi lusa, telat saja dari
jadwal undangan... pestanya sudah usai ... Akhirnya tak semua undangan
terpenuhi, apalagi kalau dihari yang sama ada beberepa pesta  yang mesti 
dikunjungi di lokasi yang kadang berjauhan.
Apa kami berdosa kalau tidak hadir buya ???



Dalam masyarakat adat kita di Minangkabau, umumnya kalau induak-induak (induak
bareh, induak anak, atau bundo kanduang), akan datang dengan
mengepit kampie (semacam tas dari anyaman pandan yang diisi
dengan beras atau telor) sebagai pembawaan ke rumah yang dijelang itu.

Begitu dalam keadaan senang (perhelatan), dan demikian pula dalam
keadaan susah (menjenguk ketika kematian)



Rasanya sangat berat bagi induak-induak untuk datang hanya melenggang tangan,
walau tidak diwajibkan membawa "pembawaan" itu, 

karena di sini dan dalam situasi ini, yang berlaku hanya hukum rasa, yang
menjadi ukuran adalah raso jo pareso, yakni patut
dan pantas.

 

Di kampung hanifah juga
begitu buya. Biasanya yang membawa beras dan telor pertanda yang datang punya
tali kekerabatan secara adat, misalnya keluarga bako, induak bako, keluarga
istri mamak, dll. Kalau hanya sekampung, cukup membawa beras saja. 



Hubungan ke ibuan memang ukuranya raso jo pareso. 

Jangan terlalu heran kalau orang Minang menyandarkan ke keibuan (motherhood). 
Ternyata
perbankan dunia sampai saat ini kalau kita mau melengkapi data-data
peribadi di perbankan, niscaya akan diselipkan sebuah borang (pertanyaan) yang
mesti diisi, siapa nama ibu kita?? Bukannya ditanya siapa nama bapak kita??
Lembaga perbankan sebenarnya telah menerapkan matrilineal, apakah mereka
belajar ke Minangkabau, tak tahulah buya. 

Karena itu tak perlu risih, malah kita harus lebih cerdas menatap sistim
kekerabatan Minangkabau yang memang berbeda dari sistim yang lain. 

Buya melihatnya dari sisi positif saja, yaitu di tengah perbedaan itu,
sesungguhnya terdapat keunggulan, jika kita pandai memanfaatkannya. 

(Ananda Iffah, ini hanya sekedar guyon buya yang faktum, tak perlu ananda
tanggapi serius).

 

He he he bisa juga buya
bercanda ya. 

Misalnya buya manfaatkan dalam
hal apa dan untuk apa ?

Bagi kami kaum perempuan minang, yang kami rasakan untungnya adalah adanya
tempat kembali. Tali kasih sesama perempuan rasanya agak beda juga dengan
saudara laki-laki. Sesama perempuan kadang kita masih mudah saling berbagi ...
bajupun bisa saling pakai. 

Silaturahim (bukan silaturrahmi) adalah satu dari
ajaran syarak mangato adaik mamakaikan yang akan menjadi salah
satu kekuatan yang ampuh di dalam menjalin hubungan kekerabatan  dan
sangat bermanfaat untuk  mengeratkan tali persahabatan dalam hubungan
kekeluargaan yang sudah terbina sebelumnya.



Dalam menerapkan silaturahim, bahasa manajemen modern silaturahim itu artinya 
sinerjis,
yang menjadi kekuatan ampuh menyusun sebuah tatanan (ekonomi, politik,
sosial, budaya, struktur, msyarakat). 



Tanpa sinerji atau silaturahim, rasanya mustahil membangkitkan relationship,
responsibility atau apa juga namanya yang berkaitan dengan mengikat hubungan
satu sama lainnya. 

Ada virus berbahaya yang merusak sinerji ini dan berdampak kepada lemahnya
kinerja dalam berbagai bidang.

Virus sosial itu bernama individualis (bahaso awak ongeh, gaduak, sombong, 

atau dalam agama atau syarak disebut 'ujub, takabbur, dan bakhil.


 

Buya, tuntutan pekerjaaan saat ini, membuat orang sangat susah
bersilaturrahim buya. Jangankan bersilaturahim dengan orang lain, kadang dengan
anak-anak saja sang bapak bisa nggak ngomong-ngomong di hari kerja. Nah untuk
itu di hari libur, mereka habiskan untuk berlibur dan bercengkerama dengan
keluarga. Kehadiran orang lain kadang terasa menggangu acara keluarga.
Begitulah kehidupan sebagian besar teman teman hanifah di Jakarta buya. Bagi
orang minang, libur lebaran itulah kesempatan untuk pulkam, dan mengenalkan
anak-anak atau keluarga kepada saudara-saudara dikampung. Hanya saja tak selalu
berjalan mulus. Adakalanya setelah bertemu kadang ada yang suka kadang ada yang
duka.  Beruntung kalau semua bahagia.
Pernah seorang saudara ngomong ” berlibur kita kebali, pulang libur hati
senang, berlibur kita kekampung, pulangnya pusing ”. 



Apakah
mungkin kita membangun tatanan sosial dengan mengabaikan adat budaya? Apakah
mungkin adat budaya itu hidup subur tanpa keyakinan agama dan didikan perilaku? 
Kearifan ini
yang melahirkan adagium adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. 
Artinya klop menjadi complete civilization
kato urang di subarang ombak nan badabue itu.

Eeh...,
alah kama lo painya rundiang buya ko. Maaf kan buya ananda Iffah.

 

Buya, kok buya minta maaf ???

Bukankah ini dasar dari ABSSBK ???

Oh ya buya, apa yang buya
bahas bersama teman-teman di UNAND tentang ABSSBK beberapa waktu yang lalu ?? 
Apa
ada sesuatu yang baru ???



Kito ba baliek ka pangka kaji.

Datang mandatangi atau jalang manjalan itu, termasuk dalam bagian mufakaik juo
ananda. Termasuk kedalam jenjang musyawarah.

Kita disuruh "mendudukkan" masalah. 

Artinya secara harfiyah (leterlijk) rundingkan semua permasalahan sambil
duduk, artinya secara mantap, mapan, siapkan waktu, dengarkan, bahas dan tidak
tergesa-gesa, sambil duduk.

Ditambah lagi dengan baso basi, artinya sopan santun,
bukan hanya dengan melakukan baa nan lamak dek saalero awak surang
sen doh atau sikap hedonis, permissivisness, anarkis dan semua
tindak tidak terpuji lainnya. 



Jika basa basi dan sopan santun telah habis, maka yang
terjadi tawuran, cakak banyak, atau cakak sakampuang jadinya.

Selain dari sikap sopan santun atau baso basi tadi, maka dilanjutkan dengan 
bakato
lapeh arak, yang mempunyai makna lebih dalam, yaitu
tanggalkan semua yang memberati, duduklah saling berhadapan. 

 

Buya, sekarang yang terjadi adalah cakak banyak
dimana-mana termasuk di ranah. Yang berarti tidak ada lagi mufakat diranah ???
Apa yang terjadi di ranah buya ???



Indahnya lagi dilengkapi dengan barundiang sudah makan. 

Bila tatanan itu berjalan di tengah masyarakat adat Minangkabau, akankah ada
juga silang sengketa ??? Rasanya tidak ada lagi. 

 

Bagaimana kalau yang berunding sama-sama tidak mau mengalah ??? Tidak ada
pulang jadi panutan ???



Pola ini bertemu dalam
struktur adat Minangkabau, 

walau polanya tidak tertulis. 

Hukum
adat itu sebenarnya adalah semacam act atau seni hukum
kebiasaan yang mengikat bagi masyarakat yang beradat itu. 

 

Bagaimana dengan adat yang salingka nagari buya ? kan lain nagari lain pula
adatnya. Bagaimana menyamakan sikap di tingkat yang lebih tinggi ??? Seperti 
buya yang sudah berfikir nasionalis, adat mana
yang buya pakai ??? Apa dalam karir buya, buya tidak ketemu dengan orang dengan
gaya kepiting ?? Seperti yang dibilang IJP tempo hari,
sehingga akhirnya tak seorangpun bisa maju. Bagaimana cara buya mengatasi para
kepiting ini ???



Memang ada penjenjangan dalam musyawarah itu, bajanjang naik batanggo
turun. Kaedah ini merupakan tangga musyawarah di Minangkabau. 

Bahaso awak dikenal babiliek ketek dan babiliek gadang.


Ada kearifan yang semestinya terpakai ketika persoalan dapat diselesaikan
berdua, tak perlu dibawa orang ketiga, seperti contohnya musyawarah dalam rumah
tangga.



Bila tidak selesai dalam lingkungan kecil itu, tak perlu pula disebarkan ke
tengah nagari dan kampung dahulu. Namanya menabur aib sendiri, atau manapiek
aie di dulang. 

Cobalah selesaikan di tengah keluarga dekat dan jauh. 

Ini sebenarnya adalah juga bimbingan syarak yang disebut qarib
(dekat) dan ba'id (jauh). 

Kadang juga disebut karib bait (= bait dengan arti rumah), 

Maknanya adalah selesaikan dahulu oleh keluarga dekat yang serumah, semamak,
sekaum, sesuku, sejorong, sekampung atau senagari.



Dengan demikian tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat adat itu, sebenarnya
masyarakat yang kuat karena tatanan adatnya, struktur kekerabatannya, dan
kuatnya nilai-nilai adat yang mengikatnya.

Di sini terletak kuncinya.

 

Buya, kebetulan di daerah kita termasuk daerah yang mengutamakan mufakat.
Segala sesuatu cendrung di mufakatkan. Untuk daerah yang dari atas turun ke
bawah bagaimana buya ? atau ada datuk yang bisa menjelaskan ?? lalu bagaimana
kedua paham bisa seiring dan sejalan di ranah ???

Bagaimana pula dengan pendengaran kalau saat ini, adatpun sudah goyah di
ranah ?? 



Ananda Iffah,

Buya rasa cukup hingga ini dahulu,

jika Allah mengizinkan, di lain waktu buya sambung pula.

Moga ini ada manfaatnya bagi ananda, 

tetapi cobalah juga bertanya kepada orang lain, 

yang mungkin punya khazanah pengetahuan atau pengalaman, 

yang mungkin lebih dari buya.

 

Maaf buya, tulisan buya yang sangat mantap masih ifah sisipi beberapa
pertanyaan. Buya tidak perlu menjawab sekarang. Semoga Allah masih memberikan
kesempatan kepada buya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut. Semoga saja
ada yang mau menambahkan tulisan buya. Amin

 

Terima kasih,

Wassalam,

Buya HMA

di subaliek Ngarai Sianok, 

labieh saketek 73 baru.

 

Terimaksih juga untuk waktu dan ilmu yang telah buya turunkan ke kami di
palanta ini. Kami tunggu tulisan buya yang lainnya. Mohon maaf kalau buya
keberatan.

 

Wass

 

Hanifah Damanhuri

 



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke