-----Original Message-----
From: Koran Digital <korandigi...@gmail.com>
Date: Sun, 17 Jan 2010 18:24:21 
To: Koran Digital<koran-digi...@googlegroups.com>
Subject: [Koran-Digital] Fasli Jalal: Sistem Evaluasi Harus Ada

Fasli Jalal:
Sistem Evaluasi Harus Ada

Derasnya kritik tak menyurutkan niat Kementerian Pendidikan Nasional
melaksanakan ujian akhir nasional tahun ini. Kementerian Pendidikan
juga seakan tak peduli meski pada September lalu telah kalah beperkara
di Mahkamah Agung dalam gugatan terhadap ujian nasional.

Dalam putusannya, Mahkamah memerintahkan Kementerian Pendidikan
memperbaiki sarana-prasarana pendidikan, kualitas guru, dan akses
informasi, serta membuat prosedur penanganan siswa yang gagal tes,
sebelum kembali melaksanakan ujian nasional. Dalam putusan itu,
Mahkamah memang tidak secara eksplisit melarang ujian nasional.

Gatot Goei, Koordinator Tim Advokasi Korban Ujian Nasional, mengatakan
pemerintah mestinya menunda ujian nasional sebelum semua syarat
Mahkamah dipenuhi. Namun, menurut Fasli Jalal, pemerintah sudah
menjalankan sebagian syarat yang diminta Mahkamah. Jadi tak ada alasan
ujian nasional tahun ini ditunda atau dibatalkan.

Dia yakin ujian nasional merupakan metode evaluasi murid yang terbaik
untuk saat ini. ”Tapi kami siap mendengarkan masukan dari mana pun,”
kata Fasli, yang baru dilantik sebagai Wakil Menteri Pendidikan
Nasional dua pekan lalu.

Fasli merupakan birokrat berpengalaman. Menapaki karier dari Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, dia kemudian ikut berperan
merencanakan sistem pendidikan nasional dalam sepuluh tahun terakhir.
Dikenal sebagai figur profesional, Fasli mudah bergaul dan diterima
oleh kalangan pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Jumat pekan
lalu, dia memaparkan beberapa masalah pendidikan di negeri ini kepada
Tempo di kantornya.

Mengapa pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional meski ada putusan
Mahkamah Agung yang ”melarang”?

    Menurut Biro Humas Mahkamah, tidak ada larangan ujian nasional.
Mahkamah hanya memutuskan syarat yang harus kami penuhi sebelum
melaksanakan ujian nasional, yakni memperbaiki sarana-prasarana
pendidikan, mutu guru, dan akses informasi. Berapa tinggi syarat ini
harus dipenuhi, itu terserah Kementerian Pendidikan.

Bagaimana Kementerian Pendidikan memenuhi syarat Mahkamah?

    Sebagian syarat itu sudah kami penuhi karena, misalnya, pada 2006
Kementerian Pendidikan memberikan Rp 5 triliun untuk biaya operasional
sekolah. Dulu tak sepeser pun ada anggaran seperti itu. Setahun
kemudian anggarannya naik menjadi Rp 12 triliun dan tahun lalu menjadi
Rp 18 triliun. Sejak 2007, kami juga memberikan dana tunjangan profesi
guru. Dari semula hanya Rp 1,2 triliun, tahun ini anggaran untuk
tunjangan profesi dialokasikan Rp 15 triliun. Untuk merehabilitasi
sekolah, dianggarkan Rp 625 miliar lima tahun lalu. Dan sekarang
anggaran rehabilitasi sudah melonjak menjadi Rp 10,7 triliun. Makanya
kami memutuskan tetap melaksanakan ujian nasional.

Apa pentingnya ujian nasional?

    Sistem evaluasi murid, tidak bisa tidak, harus ada. Kita sudah
punya pengalaman panjang sejak zaman Belanda hingga 1971, yakni ujian
negara. Ketika Indonesia masuk era Repelita pada 1969, salah satu yang
hendak digenjot adalah angka partisipasi pendidikan. Setelah dikaji,
penyebab rendahnya angka partisipasi pendidikan, selain kurang sekolah
dan kurang guru, adalah banyak yang mengulang. Akhirnya, metode
evaluasinya diganti. Semua diserahkan ke sekolah. Sesudah hal itu
jalan sepuluh tahun, karena semangat meluluskan murid 100 persen,
mutunya tak bisa lagi diraba. Apakah lulus 100 persen di Papua sama
dengan lulus 100 persen di Yogyakarta?

Banyak yang beranggapan metode Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(Ebtanas) cukup ideal....

    Setelah fase pertama evaluasi dianggap gagal, pada 1982 metodenya
diganti dengan metode Ebtanas, yakni rata-rata nilai rapor tahun
terakhir digabung dengan nilai ujian Ebtanas. Ini kan mestinya yang
paling ideal. Tapi, karena semangat meluluskan 100 persen, walaupun
nilai Ebtanasnya hanya empat atau tiga, supaya murid tetap lulus,
nilai rapornya di-mark up. Setelah 20 tahun, Menteri Pendidikan Abdul
Malik Fadjar menghentikan metode Ebtanas. Enough is enough. Perlu
standar evaluasi nasional untuk syarat kelulusan.

Apakah standar kelulusan ujian nasional tidak kelewat tinggi?

    Dari sisi itu, kalau orang ingin mutu bagus, mestinya dia mengeluh
mengapa standar ujian nasional terlalu rendah. Pada 2010 ini kami tak
menaikkan standar kelulusan dan memperkenankan dua nilai empat di
hasil ujian nasional, supaya sekolah yang masih tertatih-tatih tidak
merasa dirugikan. Jadi, meskipun ada dua nilai empat, asalkan rata-
ratanya 5,5, dia tetap lulus. Kalau tak lulus, dia masih bisa
mengikuti ujian ulangan. Jika masih gagal juga, dia bisa ikut ujian
kesetaraan atau paket C.

Mengapa evaluasi itu menjadi syarat kelulusan?

    Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengharuskan pemerintah
melalui lembaga independen melakukan evaluasi terhadap peserta didik
dan satuan pendidikan. Yang penting sebenarnya hasil ujian itu bisa
dipakai untuk memetakan apa yang terjadi dalam pendidikan di suatu
daerah dan bagaimana daya serapnya terhadap suatu pelajaran.
Pemerintah daerah dengan dukungan Kementerian Pendidikan akan
memetakan apa saja masalah yang tecermin dari hasil ujian nasional.

Bukankah di negara maju evaluasinya tak seperti itu?

    Selama pemerintahan Presiden George W. Bush, Amerika Serikat
kembali memberlakukan ujian nasional sebagai syarat kelulusan. Sebab,
mereka sadar sudah jauh tertinggal di beberapa olimpiade sains.

Tidak ada rencana menurunkan standar kelulusan?

    Kita sedang menegosiasikan seberapa rendah standar kelulusan itu.
Kalau mau, bisa saja diturunkan ke dua. Sehingga, bagi sekolah yang
maju, ujian nasional tak lagi ada artinya. Tapi, bagi sekolah yang
tertinggal, ini barangkali menggembirakan. Tapi apa kita tak malu jika
standar kelulusannya hanya dua atau tiga? Bagi sekolah seperti
Kanisius atau Al-Azhar di Jakarta, standar ini sebenarnya tak banyak
artinya. Paling pihak sekolah cemas kalau ada satu atau dua anaknya
yang tidak lulus. Kalau ada satu atau dua anak yang gagal, sebenarnya
tak usah diributkan. Lebih baik dicek kenapa anak itu gagal.

Apa upaya untuk mendekatkan kurikulum pendidikan dengan dunia kerja?

    Tak mungkin mengubah kurikulum setiap tahun. Harus dibedakan mana
yang kurikulum inti dan mana yang simulasi dunia kerja. Yang hendak
dicapai adalah retainability, sehingga mudah di-training saat beralih
pekerjaan, baik karena perubahan teknologi maupun pindah ke tempat
lain. Maka pelajaran matematika, kemampuan berkomunikasi, dan bekerja
dalam tim menjadi penting. Baru setelah itu diperkaya dengan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan di dunia kerja.

Apakah penerjemahan konsep link and match ini dengan memperbanyak
sekolah kejuruan?

    Itu sudah masuk rencana jangka panjang. Tapi kami mesti hati-hati
betul untuk memastikan seberapa banyak kebutuhannya dan bagaimana
memastikan mutu. Kalau membuat sekolah kejuruan tak bermutu,
sebenarnya kita sudah menganiaya anak-anak itu. Mereka merasa sudah
dilabeli sekolah kejuruan, tentu harapannya sudah tersedia lapangan
kerja sesuai dengan kompetensinya. Kalau harapan itu tak terpenuhi,
ketika mereka dites masuk kerja dan ternyata gagal, ujung-ujungnya
mereka frustrasi.

Berapa besar porsi pendidikan kejuruan?

    Biasanya yang terus melanjutkan pendidikan di jalur akademis
sekitar sepertiga murid. Sisanya yang dua pertiga bukan berarti
dipaksakan langsung masuk jalur vokasi. Bisa saja lewat program
nonformal, misalnya kursus enam bulan atau sembilan bulan, sesuai
dengan yang dia mau. Kalau mau jadi penjahit, ya kursus menjahit, atau
mau buka bengkel ya kursus montir. Program itu diperkaya dengan materi
kewirausahaan, sehingga dia bisa mandiri, tidak selalu bekerja pada
orang lain.

Apa prioritas lainnya?

    Prioritas ketiga, presiden ingin sejumlah perguruan tinggi
Indonesia bisa bersaing di tingkat global, menjadi world class
university.

Masih banyakkah anak yang tidak bisa mengecap sekolah?

    Ada tiga parameter. Jika dilihat dari angka partisipasi sekolah,
yakni anak umur 7-12 tahun yang bersekolah, sekitar 98 persen. Namun,
jika diukur dari angka partisipasi kasar, yakni jumlah murid sekolah
dasar dibagi jumlah anak umur 7-12 tahun, angkanya sudah melampaui 115
persen karena banyak anak usia lima atau enam tahun sudah masuk SD.
Sedangkan di daerah terpencil, banyak anak terlambat masuk SD dan
tinggal kelas, sehingga jumlah murid SD membengkak. Tapi, kalau
dilihat dari angka partisipasi murni, yaitu murid SD usia 7-12 tahun
dibagi jumlah anak umur 7-12 tahun, angkanya sekitar 96 persen. Untuk
sekolah menengah pertama, angka partisipasi kasar di atas 95 persen.
Tapi angka itu sebagian disumbang anak usia SD yang sudah masuk SMP.
Angka partisipasi murninya sekitar 80 persen. Jika angka partisipasi
kasar yang dipakai, itu berarti masih ada sekitar empat persen anak
usia SMP atau sekitar 520 ribu orang yang tidak bersekolah.

Penyebabnya?

    Menurut studi Bappenas, itu karena hambatan biaya, jarak dengan
sekolah, dan masalah sosial budaya. Misalnya di daerah itu sekolah
tidak dianggap penting. Cukup bisa baca, menulis, dan berhitung. Di
beberapa industri juga gaji lulusan SD dan tamatan SMP tak ada
bedanya. Jadi, bagi mereka, buat apa sekolah tiga tahun lagi.

Apa upaya memenuhi hak anak berkebutuhan khusus, baik cacat fisik
maupun cacat mental?

    Sekolah khusus sudah ada di semua provinsi dan di beberapa
kabupaten/kota. Tapi yang terjangkau dengan sekolah ini kira-kira
hanya sepuluh persen, dan sebagian besar sekolah swasta. Karena
sekolah ini mahal, perlu banyak barang operasional, dan rasio guru-
muridnya tinggi, kapasitas yang terbatas harus dimaksimalkan. Karena
itu, kami mencoba mengalihkannya ke sekolah-sekolah (umum) inklusi.

Omong-omong, seperti apa pembagian tugas antara menteri dan wakil
menteri?

    Tugas utama wakil menteri adalah membantu menyukseskan kontrak
kinerja antara menteri dan presiden. Kami tidak punya kontrak kinerja
tersendiri. Jadi tidak ada tugas bagi kami selain harus berupaya
supaya kontrak kinerja itu berhasil. Bagaimana pembagian tugasnya, ini
diserahkan kepada menteri masing-masing sebagai penanggung jawab utama
kontrak kinerja dari presiden.

Fasli Jalal

Tempat dan tanggal lahir: Padang Panjang, Sumatera Barat, 1 September
1953

Pendidikan:

    * Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang (1982)
    * Doktor dalam Ilmu Gizi Masyarakat, Cornell University, Amerika
Serikat (1991)

Pekerjaan:

    * Dokter di PT Semen Indarung (1983-1985)
    * Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang (1982-
sekarang)
    * Kepala Biro Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, dan Gizi Bappenas
(1993-1996)
    * Kepala Biro Kesehatan dan Gizi Bappenas (2000)
    * Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen
Pendidikan Nasional (2001-2005)
    * Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Depdiknas (2005-2007)
    * Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas (2007-2010)
    * Wakil Menteri Pendidikan Nasional (2010)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/01/18/WAW/mbm.20100118.WAW132512.id.html

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke