Sanak rantau, dari e-mail sabalah..

 

MalinSutan

 

From: Deni Suhairi 



Assalamu'alaikum WW,

 

Diambiak dari milist PKS, berisi tentang pandangan sex bebas menurut
urang2 liberal dan patuik awak waspadai karano alah disebar dengan
tertulis. Mudah2an awak bisa terhindar dari pandangan2 sarupo iko,
ataupun yang barupo tipu daya.

 

Wassalam

 

 

 "Islam Progresif" dan Seks Bebas
Friday, 08 January 2010 13:48 

Akibat logis konsep dekonstruksi kitab suci, bukan aneh dukungan kaum
liberal terhadap praktik seks bebas. Baca CAP Adian ke-276 

Oleh: Dr. Adian Husaini*

Di antara pegiat "Islam Progresif", atau "Islam Liberal", nama Sumanto
Al Qurtuby memang sudah bukan asing lagi. Alumnus Fakultas Syariah IAIN
Semarang ini terkenal dengan ide-ide liberalnya yang sangat berani. Di
sebuah Jurnal yang terbit di Fakultas Syariah IAIN Semarang, Justisia,
ia pernah mengusulkan agar sejumlah ayat Al-Quran diamandemen.
Belakangan, kaum liberal di Indonesia, semakin terbuka melontarkan
wacana perlunya proses "Desakralisasi Al-Quran".

Meskipun sudah terbiasa membaca berbagai pendapat liberal dan progresif
yang aneh-aneh, tetapi saya tetap terbelalak dan nyaris tak percaya, ada
sebuah tulisan yang secara terbuka mendukung praktik seks bebas, asal
dilakukan suka sama suka, tanpa paksaan. Tulisan Sumanto itu berjudul
"Agama, Seks, dan Moral", yang dimuat dalam sebuah buku berjudul Jihad
Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama
Oktober 2009). Kita perlu "berterimakasih" kepada Sumanto yang secara
jujur dan terbuka melontarkan ide liberal dan progresif, sehingga lebih
mudah dipahami. Sebab, selama ini banyak yang mengemas ide "Islam
progresif" dan "Islam liberal" dengan berbagai kemasan indah dan
menawan, sehingga berhasil menyesatkan banyak orang.

Untuk lebih jelas menyimak persepsi "Islam Progresif" tentang seks bebas
ini, ada baiknya kita kutip agak panjang artikel dari penulis yang dalam
buku ini memperkenalkan dirinya sebagai kandidat doktor bidang
antropologi politik dan agama di Boston University. Kutipan ini ada di
halaman 182-184:

"Apa yang diwartakan oleh agama (Islam, Kristen dan lainnya) hanyalah
satu sisi saja dari sekian banyak persepsi tentang seks itu atau
katakanlah sex among others. Bahkan jika kita kaji lebih jauh, ajaran
Kristen atau Islam yang begitu "konservatif" terhadap tafsir teks
sebetulnya hanyalah reaksi saja atas peradaban Yunani (Hellenisme) yang
memandang seks secara wajar dan natural.. Kita tahu peradaban Yunani
telah merasuk ke wilayah Eropa (lewat Romawi) dan juga Timur Tengah di
Abad Pertengahan yang kemudian menimbulkan sejumlah ketegangan
kebudayaan. Oleh karena itu tidak selayaknya jika persepsi agama ini
kemudian dijadikan sebagai parameter untuk menilai, mengevaluasi dan
bahkan menghakimi pandangan di luar agama tentang seks.

Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan
oleh kaum beragama (dan lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas
yang vulgar sebagai haram, maksiat, tidak bermoral, dan seterusnya.
Padahal moralitas atau halal-haram bukanlah sesuatu yang given dari
Tuhan, melainkan hasil kesepakatan atau konsensus dari "tangan-tangan
gaib" (invisible hand, istilah Adam Smith) kekuasaan, baik kekuasaan
politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan dalam banyak hal juga
merupakan hasil "perselingkuhan" antara ulama/pendeta dengan pemimpin
politik dalam rangka menciptakan stabilitas.

Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan
masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat
fundamental, Tuhan - seperti secara eksplisit tertuang dalam Alqur'an -
telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir.
Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli, apalagi masalah
seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktik "seks
bebas" atau praktik seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti
tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar
telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi
seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama
itu.

Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin - seperti yang
dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi -
itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita, sekaligus
rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas
kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan
penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak,
hidung, tangan, dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya
"mengakomodasi" bukan "mengeksekusi" fakta keberagaman ekspresi
seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena "daging yang
kotor", tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul
Evdokimov dalam The Struggle with God telah menuturkan kata-kata yang
indah dan menarik: "Sin never comes from below; from the flesh, but from
above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels
pure spirit..."

Bahkan lebih jauh, ide tentang dosa sebetulnya adalah hal-hal yang
terkait dengan sosial-kemanusiaan, bukan ritual-ketuhanan. Dalam konteks
ini maka hubungan seks baru dikatakan "berdosa" jika dilakukan dengan
pemaksaan dan menyakiti (baik fisik atau non-fisik) atas pasangan kita.
Seks jenis inilah yang kemudian disebut "pemerkosaan". Kata ini tidak
hanya mengacu pada hubungan seks di luar rumah tangga, tetapi juga di
dalam rumah tangga itu sendiri. Seseorang (baik laki-laki maupun
perempuan) dikatakan "memperkosa" (baik dalam rumah tangga yang sudah
diikat oleh akad-nikah maupun bukan) jika ia ketika melakukan perbuatan
seks ada pihak yang tertekan, tertindas (karena mungkin diintimidasi)
sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman. Inilah tafsir pemerkosaan.
Dalam konteks ini pula saya menolak sejumlah teks keislaman (apapun
bentuknya) yang berisi kutukan dan laknat Tuhan kepada perempuan/istri
jika tidak mau melayani birahi seks suami.
Sungguh teks demikian bukan hanya bias gender tetapi sangat tidak
demokratis, dan karena itu berlawanan dengan spirit keislaman dan
nilai-nilai universal Islam.

Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama
suka, "demokratis", tidak ada pihak yang "disubordinasi" dan
"diintimidasi"? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks
dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady,
call girl, dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante,
janda-janda, atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk
melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh "menjual"
otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang
"menjual" mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang
"menjual" pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang
penjahit atau pengrajin yang "menjual" tangan untuk menghidupi keluarga,
apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang "menjual" alat
kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?

Ada sebuah kisah dalam sejarah keislaman yang layak kita jadikan bahan
renungan: ada seorang pelacur kawakan yang sudah letih mencari
pengampunan, kemudian menyusuri padang pasir yang tandus. Ia hanya
berbekal sebotol air dan sepotong roti. Tapi di tengah perjalanan ia
melihat seekor anjing yang sedang kelaparan dan kehausan. Karena
perasaan iba pada anjing tadi, si pelacur kemudian memberikan air dan
roti itu padanya. Berita ini sampai kepada Nabi Muhammad yang mulia.
Dengan bijak beliau mengatakan bahwa si pelacur tadi kelak akan masuk
surga!

Kisah ini menunjukkan bahwa Islam lebih mementingkan rasa
sosial-kemanusiaan ketimbang urusan perkelaminan..." (***)

Demikianlah gagasan "Islam-progresif" dalam soal kebebasan seksual yang
diungkapkan Sumanto. Memang, sekarang, istilah "Islam progresif" sedang
digandrungi kalangan perguruan tinggi Islam.. Pada Juli 2009, di UIN
Jakarta diadakan Konferensi 'Debating Progressive Islam: A Global
Perspective'. Tentu banyak tafsir dan penjelasan tentang makna "Islam
Progresif". Salah satunya adalah versi Sumanto..

Islam progresif biasanya dimaksudkan sebagai "Islam yang maju", sesuai
dengan asal kata dalam bahasa Latin "progredior". Sebagaimana banyak
pemikir yang mengaku progresif, mereka menempatkan Islam sebagai
"evolving religion", yakni agama yang selalu berkembang mengikuti zaman.
Dalam perspektif ini, Islam juga dipandang sebagai agama budaya. Karena
itulah, tidak mengherankan, jika mereka memandang tidak ada satu ajaran
Islam yang bersifat tetap. Semua harus tunduk dengan realitas zaman.
Agama ditundukkan oleh akal. Salah satu yang banyak dijadikan dasar
pijakan adalah aspek "kemaslahatan" dan sifat Islam sebagai "rahmatan
lil-alamin". Dengan alasan inilah, berbagai kemunkaran dan kejahatan
bisa disahkan. Tentang keabsahan praktik homoseksual, misalnya, ditulis
dalam buku ini:

"Agama, apalagi Islam, yang mengusung jargon "rahmatan lil alamin" --
rahmat bagi sekalian alam ini-- harus memberi ruang kepada umat gay,
lesbi, atau waria untuk diposisikan secara equal dengan lainnya. Tuhan,
saya yakin tidak hanya milik laki-laki dan perempuan saja, tetapi juga
"mereka" yang terpinggirkan di lorong-lorong sepi kebudayaan." (hal.
176). 

Karena berpijak pada realitas dan sejarah sebagai penentu kebenaran --
juga syahwat atau hawa nafsu - maka teks-teks wahyu, sunnah Rasulullah
saw, dan tafsir wahyu yang otoritatif dikesampingkan. Cara berpikir
seperti ini juga sangat paradoks. Dengan berdalih sikap kritis kepada
tafsir Al-Quran dari para ulama yang otoritatif, banyak kaum yang
mengaku liberal dan progresif pada akhirnya tidak mampu bersikap kritis
sama sekali pada sejumlah ilmuwan Barat. Mereka sangat ta'dzim dalam
mengutip pendapat-pendapat ilmuwan non-Muslim. Ketika menyimpulkan bahwa
dosa bukan karena "daging yang kotor" tetapi lantaran otak dan ruh yang
penuh noda, dikutiplah pendapat Paul Evdokimov dengan penuh hormat dan
takjub, bahwa si Evdokimov "telah menuturkan kata-kata yang indah dan
menarik."

Kita sudah sering membuktikan, sikap sok kritis yang diusung oleh kaum
yang menamakan diri liberal dan progresif ini biasanya hanya kritis
terdapat pendapat para ulama yang dianggapnya tidak sesuai dengan hawa
nafsunya. Dan Allah sudah mengingatkan dalam Al-Quran bahwa, jika
seorang manusia sudah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, maka
akan tertutuplah hati, telinga dan matanya untuk menerima kebenaran. (QS
45:23). Orang bisa memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi ilmunya tidak
bermanfaat, bahkan bisa merusak.

Karena itulah, untuk menjaga agar ilmu tidak merusak, para ulama selalu
menekankan pentingnya masalah adab dalam urusan keilmuan. Dalam kitabnya
yang berjudul Adabul 'Alim wal-Muta'allim, pendiri NU, Kyai Haji Hasyim
Asy'ari mengutip pendapat Ibn al-Mubarak yang menyatakan: "Nahnu iaa
qalilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsirin mina 'ilmi." (Kami lebih
membutuhkan adab, meskipun sedikit, daripada banyaknya ilmu
pengetahuan).

Demikian pendapat KH Hasyim Asy'ari. Orang yang beradab tahu meletakkan
dirinya sendiri di hadapan Allah, Rasulullah saw, para ulama pewaris
Nabi, dan juga tahu bagaimana menempatkan ilmu. Karena itulah, Al-Quran
menekankan pentingnya ada klasifikasi sumber informasi di antara
manusia. Jika sumber informasi berasal dari orang fasiq (orang jahat,
seperti pelaku dosa besar), maka jangan dipercaya begitu saja ucapannya.
Ada unsur akhlak yang harus dimasukkan dalam menilai kriteria sumber
informasi yang patut dipercaya. (QS 49:6). Seorang yang tidak beradab
(biadab) dalam keilmuan sudah tidak dapat lagi membedakan mana sumber
ilmu yang shahih dan mana yang bathil.

Soal zina, misalnya. Sebagai Muslim, tentu kita yakin benar bahwa zina
itu tindakan haram dan biadab. Keyakinan itu berdasarkan kepada
penjelasan yang sangat tegas dalam ayat-ayat Al-Quran, banyak hadits
Rasulullah saw, pendapat para sahabat Nabi, dan para ulama Islam
terkemuka. Dalam soal zina ini, kita lebih percaya kepada pendapat para
ulama ketimbang pendapat Karl Marx, Paul Evdokimov, Bill Clinton, atau
Ernest Hemingway. Sebagai manusia beradab kita bisa membedakan, mana
sumber informasi yang layak dipakai dan mana yang tidak. Sebab, Allah
sendiri membedakan jenis-jenis manusia. Orang mukmin disebut "khairul
barriyyah" (sebaik-baik makhluk) dan orang kafir disebut "syarrul
barriyyah" (sejelek-jeleknya makhluk) (QS 98). Meskipun sering
mengkampanyekan "kesetaraan semua pemeluk agama", tetapi faktanya, kaum
yang menamakan diri mereka sebagai pengikut "Islam liberal", "Islam
pluralis" atau "Islam progresif" juga tetap
menggunakan identitas Islam. Tidak ada yang mau menyebut dirinya
"kafir-liberal" atau "kafir-progresif".

Sebenarnya, jika kita menelaah pemikiran liberal, dukungan terhadap
praktik seks bebas bukanlah hal yang aneh. Ini adalah akibat logis dari
sebuah konsep dekonstruksi aqidah dan dekonstruksi kitab suci. Jika
seorang sudah tidak percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan
Nabi Muhammad saw adalah utusannya, kemudian dia pun tidak percaya
kepada otoritas ulama-ulama Islam yang mu'tabarah - seperti Imam
al-Syafii - maka yang dia jadikan sebagai standar pengukur kebenaran
adalah akalnya sendiri atau hawa nafsunya sendiri. Kita paham,
masyarakat Barat saat ini tidak memandang praktik seks bebas sebagai
suatu kejahatan. Homoseksual juga dipandang sebagai hal yang normal.
Sebaliknya, bagi mereka, praktik poligami dikutuk. 

Nilai-nilai masyarakat Barat yang sekular - tidak berpijak pada ajaran
agama -- inilah yang sejatinya dianut juga oleh kaum yang mengaku
liberal atau progresif ini. Bagi mereka, seperti tergambar dalam
pendapat Sumanto ini, urusan seks dipandang sekedar urusan syahwat
biologis semata, sebagaimana layaknya praktik seksual para babi,
kambing, monyet, ayam, dan sebagaimana. Seks dianggap seperti soal buang
hajat besar atau kecil, kapan mereka mau, maka mereka akan salurkan
begitu saja. Yang penting ada kerelaan; suka sama suka. Tapi, bagi kita
yang Muslim, dan juga pemeluk agama lain, jelas soal seksual dipandang
sebagai hal yang sakral. Karena itulah, agama-agama yang hidup di
Indonesia, sangat menghormati lembaga perkawinan.

Dalam pandangan Islam, jelas ada perbedaan nilai dan posisi antara penis
dengan pipi, meskipun keduanya sama-sama daging. Bagi seorang Muslim,
yang menjadikan "penis" dan "pipi" berbeda adalah nilai-nilai yang
diajarkan oleh Islam. Sebelum zaman Islam, banyak suku bangsa yang masih
memandang sama kedudukan daging wanita dengan daging kambing, sehingga
mereka menjadikan ritual korban dengan menyembelih wanita dan kemudian
meminum darahnya. Seorang Muslim memandang penting perbedaan antara
"daging manusia" dengan "daging ayam". Daging ayam halal hukumnya untuk
dimakan. Jenazah manusia harus dihormati. Jangankan dimakan dagingnya,
jenazah manusia harus dihormati dan diperlakukan dengan baik.

Jika kaum liberal melakukan dekonstruksi dalam aqidah dan nilai-nilai
moral, maka akibatnya, pornografi atau seks bebas pun kemudian didukung.
Sebab, dalam pikiran liberal, tidak ada aturan yang pasti, mana bagian
tubuh yang boleh dibuka dan mana yang harus ditutup. Yang menjadi
standar baik buruk adalah "kepantasan umum". Kalau memang bertelanjang
atau beradegan porno sesuai dengan tuntutan skenario dan dilakukan "pada
tempatnya", maka itu dianggap sebagai hal yang baik. 

Kepastian akan kebenaran dan nilai itulah yang membedakan antara Muslim
dengan kaum liberal. Orang Muslim yakin dengan kebenaran imannya, dan
yakin ada kepastian dalam soal halal dan haram. Hukum tentang haramnya
babi sudah jelas dan tetap haram sampai kiamat. Begitu juga dengan
haramnya zina, dan haramnya perkawinan sesama jenis (homo dan lesbi).
Tapi, dalam perspektif liberal dan progresif, seperti dipaparkan oleh
buku ini, larangan agama terhadap perkawinan sesama jenis ini pun
dianggapnya sudah tidak berlaku. Tentang perlunya legalisasi perkawinan
sesama jenis, ditulis dalam buku ini:

"Dan harap diingat, konsep perkawinan dalam suatu ikatan "sakral" bukan
melulu untuk mereproduksi keturunan melainkan juga untuk mewujudkan
keluarga sakinah (ketenteraman/kebahagiaan). Maka, dalam bingkai untuk
mewujudkan keluarga sakinah ini seorang gay atau lesbian harus menikahi
sesama jenis. Justru melapetaka yang terjadi jika kaum gay-lesbian
dipaksa kawin dengan lain jenis. Untuk mewujudkan gagasan perkawinan
sejenis ini, maka paling tidak ada dua hal yang harus ditempuh:
pembongkaran di tingkat wacana keagamaan, yakni teks-teks skriptural
(dalam konteks Islam: teks tafsir dan fiqih khususnya) yang masih
terkesan diskriminatif dan kemudian pembongkaran di tingkat struktur
normatif masyarakat yang masih bias dalam memandang pola relasi
antar-manusia." (halaman 175).

Berulangkali kita menyerukan kepada kaum yang mengaku liberal, progresif
dan sejenisnya, agar mengimbangi sikap kritis dengan adab. Ada adab
kepada Al-Quran, adab kepada para Nabi, adab kepada ulama pewaris Nabi.
Sayangnya, buku yang memuat pendapat yang merusak - seperti dukungan
terhadap praktik seks bebas ini -- justru dipuji-puji dan didukung oleh
orang yang seharusnya justru bersikap kritis dan mendidik masyarakat
dengan akhlak yang mulia.

Di sampul buku bagian belakang, dicantumkan sejumlah pujian. Djohan
Effendi, pendiri Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP),
menyebut buku ini: "sangat inspiratif untuk melakukan refleksi atas
perjalanan umat Islam selama ini. Pendapatan dan sikap kritis yang ia
lakukan merupakan sumbangan yang sangat berarti untuk mendorong
pemikiran progresif di kalangan generasi baru umat Islam yang
menginginkan kemajuan bersama dengan orang dan umat lain." 

Di tengah upaya kita mendidik anak-anak kita dengan akhlak mulia dan
menjauhkan mereka dari praktik pergaulan bebas, kita tentu patut berduka
dengan sikap sebagian kalangan yang mengusung jargon "Islam progresif"
tetapi justru memberikan dukungan terhadap praktik seks bebas semacam
ini. Bagi kita, ini suatu ujian iman. Kita tidak bertanggung jawab atas
amal mereka. Mudah-mudahan, dengan bimbingan dan lindungan Allah SWT,
kita selamat dalam meniti kehidupan dan mengakhiri hidup kita dengan
husnul khatimah. Amin. [Solo, 22 Muharram 1431 H/8 Januari
2010/www.hidayatullah.com]
Ilustrasi: Otto Pilny/Fine Art Photographic Library/Corbis 

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107
FM dan www.hidayatullah.com

Source :
http://www.facebook.com/album.php?aid=2033078&id=1014022147&saved
<http://www.facebook.com/album.php?aid=2033078&id=1014022147&saved> 

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke