Dunsanak di palanta, nan ketek indak dipanggiakan namo, dan nan gadang indak
dihimbaukan gala.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Usulan (hasutan !) agar *Orang Asing diijinkan untuk memiliki properti
*(tanah/kepemilikan
tidak bergerak) di Indonesia kembali dilewakan melalui harian nasional
Kompas tg. 8 Februari 2010 oleh seorang *ahli manajemen galeh/dagang* dari
UI nan bagala *professor doktor*.

Dalam artikel ini diberitakan pula masalah kepemilikan tanah untuk orang
asing di Mentawai, yang tentunya rekomendasi/kebijaksanaan dikeluarkan oleh
pemda SB.

Entah sengaja atau tidak, istilah istilah yang dipakai adalah bahasa
manajemen yang ambo indak paham, padahal nan akan dipagalehkan milik
pribumi, yaitu tanah.

*ORANG ASING DALAM PROPERTI KITA *
oleh RHENALD KASALI
Guru Besar Manajernen, Universitas Indonesia Kompas 8 Februari 2010

Berita tentang kemungkinan diizinkannya orang asing memiliki properti di
Indonesia menimbulkan *harapan baru di kalangan pengusaha*.

Sepanjang tahun 2008-2009 masih ada pemilik properti yang terimbas krisis.
Namun, kalau dibuka, menurut Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa, akan
masuk investasi asing sebesar *3 miliar- 6 miliar* dollar AS per tahun.

Namun, benarkah properti menarik untuk asing dan benarkah rencana ini
menarik bagi pelaku usaha di sini.

Pembeli asing dalam industri properti kita sebenarnya bukanlah sesuatu yang
baru.
Di daerah Karawang dan Bekasi, Jawa Barat, banyak orang India dan Korea
tinggal di sejumlah kawasan itu.
Mereka mengatakan sebagai pemilik rumah.

Namun, kalau hal itu ditanyakan kepada pengembang, didapat jawaban bahwa
orang-orang asing yang sudah tinggal 10 tahun lebih itu membeli properti
tersebut atas nama perusahaannya.

Di Bali juga banyak properti dibangun oleh orang-orang Italia, Perancis,
Australia, dan Brasil.
Hanya, tanah dan bangunan itu diatasnamakan orang-orang tertentu.
Hal yang sama kita temui di Batam dan Bintan, banyak properti di sana
dimiliki oleh orang-orang Singapura dan Hongkong.

*Di Kepulauan Mentawai yang ombaknya bagus untuk selancar, turis-turis asing
tinggal di atas kapal. *
*Tentu saja bukan karena lebih nyaman, melainkan karena tidak mudah
membangun atau memiliki properti yang memadai bagi turis-turis yang rutin
berada di sana.*
*Kalau hal ini dibiarkan, tentu saja negara kehilangan kesempatan memperoleh
penghasilan dari pajak karena begitu banyak peluang yang terlewatkan dan
luput dari perĀ¬hatian.*

Terbiasa membuat peraturan

Bahwa asing tidak dilarang memiliki properti, hal itu sebenarnya sudah
diketahui.
Namun, kita memang terbiasa *membuat peraturan yang menghambat daripada
membuka*.
Dalam ketentuan yang lama disebutkan, orang asing yang diperkenankan membeli
properti adalah mereka "yang berkedudukan di Indonesia".

Kalimat "yang berkedudukan di Indonesia" ini begitu ditelusuri ternyata
lebih banyak menyatakan "no" daripada "yes' ,

Mengapa tidak dipendekkan saja menjadi "orang yang diperkenankan membeli
properti", titik?
Selain itu, hak pakai yang diberikan terbatas hanya 25 tahun.

Bagi pembeli yang melihat properti sebagai instrumen investasi, ketentuan
itu tentu kurang menarik jika dibandingkan dengan ketentuan yang", berlaku
di negara-negara di kawasan yang sama.
Di *Malaysia dan Singapura*, mereka bisa diberikan hingga *99 tahun*, bahkan
ada yang diberikan hak selama* 900 tahun*.

Selain itu, di negara-negara yang menghendaki datangnya investasi asing itu,
kebijakan properti sejalan dengan kebijakan lainnya, seperti keimigrasian,
izin usaha, keamanan, ketentuan pencegahan pencucian uang, serta perbankan
dan keuangan.

Orang-orang yang melakukan investasi biasanya memerlukan izin tinggal,
status kewarganegaraan, dan seterusnya.
Di sini, wacana seperti itu masih belum seragam.

"*Debottlenecking mindset*"

Ada banyak alasan yang perlu diperhatikan mengapa orang asing mau membeli
properti di suatu negara.
Selain karena kebutuhan akan tempat tinggal, misalnya untuk menyekolahkan
anak, mengurus kesehatan atau berobat, penempatan bekerja, atau pedagang,
juga untuk kebutuhan investasi.

Banyak pedagang asing yang sering bolak-balik membawa produk-produk buatan
Indonesia ke luar negeri memilih mempunyai rumah sendiri di sini dengan
cara-cara ilegal daripada harus tinggal di hotel.

Namun, di lain pihak, properti Indonesia sebenarnya juga menarik bagi
investor di kawasan ASEAN.
*Harga properti Indonesia di jalan-jalan utama dengan kualitas setara
rata-rata masih berkisar 20 persen dari harga yang berlaku di Singapura.
*
sebagai perbandingan, harga properti bintang lima di Singapura sudah
mencapai Rp 150 juta per meter persegi. Di sini, dengan kelas yang sama,
maksimal hanya Rp 30 juta per meter persegi. Selain itu, kenaikan harga
properti sungguh menarik. Jadi, sebenarnya potensinya ada.

Bagi kaum pensiunan Jepang, biaya hidup yang tinggi di negaranya juga telah
mendorong mereka mencari lokasi tempat tinggal di negeri lain.
*Indonesia termasuk tempat yang mereka minati, tetapi mereka selalu gagal
mendapatkannya sehingga memilih Filipina dan Thailand. *

Pengalaman-pengalaman yang ada menunjukkan masih banyak debottlenecking
mindset yang harus diselesaikan untuk mengawal peraturan pemerintah baru,
yang memungkinkan masuknya investasi-investasi baru di sektor properti.

Debottlenecking mindset itu ada pada sejumlah sektor di pemerintahan,
parlementer, yaitu DPR dan DPRD, Kamar Dagang dan Industri (Kadin),
pengusaha, serta kalangan masyarakat.

Pertama, ketentuan baru itu harus cukup menarik bagi investor.
Hak pakai tidak perlu diberi embel-embel lain yang terkesan mengada-ada,
misalnya disebutkan "dapat diperpajang dua kali musing-musing 20 tahun"
setelah sekian tahun.

Kedua, debottlenecking mindset pada departemen-departemen terkait, seperti
keimigrasian, ketenagakerjaan, serta keuangan dan perbankan.

Ketiga, debottlenecking mental blok. Debottlenecking ini menyangkut
ketakutan-ketakutan atau nasionalisme yang berlebihan, yang mengakibatkan
selalu berpikir bagaimana caranya menahan daripada mendorong, misalnya saja
beredar gagasan agar asing dibatasi boleh membeli properti di atas Rp 1,5
miliar, dan hanya boleh membeli rumah baru.

Mindset yang terakhir beredar di tengah kekhawatiran bahwa kebutuhan
masyarakat untuk memiliki rumah masih tinggi, yaitu 800.000 unit. Sementara
itu, data dari Panangian Simanungkalit and Associates menunjukkan, jumlah
rumah baru yang dibangun baru mencapai 257.365 unit pada 2010.

Kita perlu memahami bahwa pasar properti tidak hanya ditentukan oleh
"kebutuhan" atau keinginan membeli saja, tetapi juga pada kesiapan membeli
atau daya beli.

Daripada mempersoalkan hal-hal yang sudah ada mekanisme pasarnya sendiri,
mengapa kita tidak membatasi pada hal-hal strategis saja, seperti larangan
membeli properti di daerah-daerah strategis, perbatasan, atau wilayah yang
dapat merusak kekayaan alam?

Salam

Abraham Ilyas 64 th.
www.nagari.org

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke