Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu

Carito di saputaran jaman PRRI ko ambo tayang ulang. Manjalang carito nan baru 
sadang (dipikian) ka dibuek pulo....

LENTERA
 
‘Kita dapat perintah dari tentara pusat, mulai hari Sabtu besok setiap rumah 
harus memasang lentera di depan rumah. Perintah ini disampaikan melalui nyiak 
wali nagari. Tadi siang nyiak wali menyampaikan kepada kami para wali jorong 
agar menyampaikannya kepada warga. Jangan dilawan pula perintah ini, daripada 
jadi perkara pula nantinya,’ begitu wali jorong menyampaikan kabar di hadapan 
penduduk kampung yang dikumpulkan di sekolah rakyat.
 
‘Jadi ini perintah yang tidak boleh ditawar lagi? Mantun (=begitu) ?’ tanya 
Sutan Nangkodoh sinis.
 
‘Penat kita Nangkodoh. Dilawan tidak kan terlawan. Kalau Nangkodoh lawan bisa 
jadi dibawanya Nangkodoh tidur perai ke kantor Buter. Lantas angan Nangkodoh?’ 
tanya wali jorong.
 
‘Kita benar-benar sudah terjajah,’ Sutan Nangkodoh menggerutu.
 
‘Sebenarnya apa keperluan lentera itu ?’ tanya Sutan Bagindo.
 
‘Kata yang membuat perintah, supaya orang ronda dapat mengawasi seandainya ada 
tentara luar menyelinap masuk kampung,’ wali jorong menjelaskan. 
 
‘Dimana lentera ini mesti dibeli? Dimana pula mesti diletakkan setiap malam?’ 
tanya tek Saripah.
 
‘Di pekan ada orang menjualnya, kak. Meletakkannya boleh di depan jendela. 
Gantungkan dengan paku di depan jendela,’ jawab wali jorong.
 
‘Datang angin, bisa terpanggang rumah. Berlaba besar galas,’ Sutan Nangkodoh 
masih menggerutu.
 
‘Insya Allah tidak akan sejauh itu. Lentera itukan berdinding kaca. Biar ditiup 
angin tidak akan apa-apa.’
 
‘Kencang angin, terbalik lentera itu tumpah minyaknya, disambar api. Bukankah 
itu mungkin terjadi?’ Katik Sati ikut berteori.
 
‘Hutang saya menyampaikan, tuan-tuan, kakak-kakak. Mau tuan-tuan terima, mau 
tuan-tuan tolak, terpulang kepada tuan-tuan juga.’
 
Orang banyak akhirnya diam. Yang disampaikan wali jorong itu benar. Janganlah 
terpikir untuk mencari perkara. Berat resikonya. Kalau takut rumah akan 
terpanggang, pandai-pandailah menempatkan lentera itu di depan rumah.
 
Mulai petang Sabtu, semua rumahpun berlenteralah. Bertambah kesibukan setiap 
penghuni rumah. Lentera itu berupa sebuah lampu togok atau lampu minyak tanah 
kecil yang diletakkan dalam kotak persegi empat. Tiga sisi kotak itu diberi 
berkaca dan satu sisi yang lain terbuat dari seng. Lentera itu digantungkan di 
depan jendela tengah dan harus menyala sejak sesudah magrib sampai terbit 
matahari. Tidak hanya rumah yang harus berlentera. Pintu keporo dan pos ronda 
juga harus. Nyalanya hampir tidak bermakna. Di tengah malam yang gelap gulita, 
titik api kecil itu paling jauh hanya sanggup menyinari sebuah lingkaran yang 
tidak lebih dari satu meter. Tapi yang penting kelihatannya adalah kepatuhan 
masyarakat.
 
Tentara pusat sering datang mengintai ke kampung itu. Pagi-pagi, ketika 
penghuni rumah membukakan jendela, tahu-tahu bersirobok pandang dengan tentara 
yang tiarap di semak-semak di depan rumah memegang bedil siap ditembakkan. 
Untunglah belum ada orang kampung yang ditembak ketika membuka jendela. Entah 
apa yang diintai tentara pusat itu.  Atau boleh jadi mereka berharap, yang akan 
membukakan jendela anggota tentara luar.
 
                                                                        ***
 
Seketat-ketatnya pengawasan orang ronda, sesering-seringnya tentara pusat 
datang mengintai mengendap-endap, tentara luar dapat juga keluar masuk kampung 
dengan leluasa. Biasanya mereka datang di sekitar tengah malam. Mana mungkin 
tentara pusat itu akan mau berjaga sepanjang hari sepanjang malam. Di kampung 
itu ada beberapa orang anak muda yang ikut jadi tentara luar. Kalau sudah rindu 
dan teragak, mereka biasa pulang. Kadang-kadang mereka tidur di rumah agak 
beberapa hari. Tentu saja dengan bersembunyi-sembunyi.
 
Malam itu Pudin pulang ke rumah ditemani dua orang tentara, Ancin dan Maaruf. 
Hari sudah lewat tengah malam ketika dia mengetuk pelan-pelan dinding kamar 
maknya. Etek Tipah segera terbangun.
 
‘Engkau ?’ tanya etek Tipah setengah berbisik.
 
‘Iya mak, bukakanlah pintu,’ jawab Pudin.
 
Etek Tipah bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan mengendap-endap keluar 
kamar, menuju pintu rumah. Tangannya membawa lampu togok. Lampu togok itu 
diletakkannya agak jauh dari pintu. Dia kembali melangkah lambat-lambat ke arah 
pintu. Di luar terdengar suara orang berbisik-bisik. Etek Tipah berdebar-debar. 
Sebelum membuka pintu ditanyainya sekali lagi.
 
‘Engkau, Pudin?’ tanyanya.
 
‘Iya, mak. Kami bertiga,’ jawab Pudin.
 
Barulah etek Tipah yakin bahwa itu adalah suara anaknya. Dibukakannya kunci 
pintu dengan sangat hati-hati.
 
Ketiga orang yang berkelumun kain sarung itu masuk. Masing-masing memegang 
senjata. Pudin membantu mengunci pintu itu kembali.
 
‘Di bilik belakang sudah mak siapkan nasi bungkus dan cerek air. Kalian 
makanlah disana. Mak akan tidur kembali,’ kata tek Tipah, masih setengah 
berbisik.
 
‘Iya, mak. Pergilah mak tidur. Bapak baik-baik saja?’
‘Bapakmu baik-baik saja.’
 
‘Mak, kenapa lentera mak tidak dinyalakan?’
 
‘Ada aku nyalakan tadi. Mati terlihat olehmu?’
 
‘Ya, mak. Mati.’
 
‘Mungkin minyaknya habis. Bagaimana lagi? Perlu pula aku tambah minyaknya?’
 
‘Tidak usahlah mak. Biarkan sajalah. Pergi sajalah mak tidur,’ jawab Pudin.
 
Ketiga anggota tentara luar itu masuk ke bilik belakang. Mereka mendapatkan 
tiga bungkus nasi yang disediakan tek Tipah dan langsung menyantapnya. Sesudah 
itu mereka langsung tidur.
 
                                                                        ***
 
Pagi-pagi subuh tek Tipah dan suaminya Sutan Mangkudun sudah bangun seperti 
biasa. Mereka pergi ke sumur untuk berwudhu. Waktu kembali dari sumur dan akan 
naik ke rumah mata tek Tipah melihat tiga pasang sepatu kain dekat pintu. 
Sepatu Pudin dan kedua temannya. Tek Tipah yang sangat hati-hati mengambil 
ketiga pasang sepatu itu dan menyimpannya kedalam karung padi. Sesudah shalat 
subuh dan ketika hari sudah terang tanah, barulah dibukanya jendela. Masya 
Allah. Di bandur kebun di depan rumah duduk seorang tentara pusat memegang 
senjata. Darah tek Tipah berdesir, tapi dia berusaha tenang.
 
‘Hei! Ibuk! Kenapa lampu lentera tidak dihidupkan semalam?’ tanya tentara itu 
dengan suara garang.
 
‘Ada dihidupkan pak. Mungkin minyaknya habis,’ jawab tek Tipah setenang mungkin.
 
‘Bohong ! Memberi tanda untuk tentara pemberontak ya ?’ tanyanya tetap garang.
 
‘Tidak, pak. Minyaknya habis,’ jawab tek Tipah yang telah menurunkan lampu 
lentera itu.
 
‘Buka pintu. Saya mau geledah rumah ini,’ perintah tentara itu. Tentara itu 
memanggil temannya
 
‘Baik, pak. Silahkan,’ jawab tek Tipah agak gugup.
 
Pudin dan kedua temannya sudah terbangun mendengar perbantahan maknya dengan 
tentara di halaman. Tek Tipah mampir ke kamar belakang sebelum menuju pintu 
rumah. Dengan isyarat disuruhnya ketiga anak muda itu masuk ke dalam kapuk padi 
yang pintunya tertutup tikar alas kasur. Dengan sigap dan penuh kehati-hatian 
mereka gulung kasur tempat mereka tidur dan meletakkan ke sudut bilik. Tikar 
alas kasur mereka geser sedikit lalu pintu kapuk padi itu mereka buka. 
Ketiganya turun pelan-pelan kedalam kapuk dan menutup pintunya dari dalam. 
Semua dilakukan sesenyap-senyapnya.
Tentara pusat itu menggedor pintu dan berteriak.
 
‘Cepat buka pintu ini!’ perintahnya.
 
Tek Tipah berzikir dalam hati. Dibacanya ayat kursiy. Dia melangkah setenang 
mungkin ke pintu rumah dan membukakan kunci rumah. 
 
‘Silahkan masuk, pak,’ katanya tenang.
 
‘Ada berapa orang di rumah ini?’ tanya si tentara.
 
‘Berdua. Saya dan suami saya. Suami saya kurang sehat, dia ada di bilik,’ jawab 
tek Tipah.
 
Dua orang tentara itu masuk ke dalam rumah tanpa melepas sepatunya. Menggeledah 
ke semua ruangan dan kamar. Menyenter ke arah loteng, ke belakang lemari. Di 
kamar belakang dilihatnya gulungan kasur di sudut dan tikar setengah kusut di 
lantai. Tidak ada siapa-siapa. Untunglah cerek maupun daun bekas nasi 
bungkuspun sudah dibawa masuk kapuk.
 
Di kamar depan mereka dapati Sutan Mangkudun yang berkeringat dingin di tempat 
tidur. Tentara itu membungkuk memeriksa kolong tempat tidur.
 
‘Sakit apa orang tua ini?’ 
 
‘Demam panas, pak,’ jawab tek Tipah.
 
‘Bukan tentara PRRI?’
 
‘Bukan pak.’
 
‘Ada anak ibuk jadi tentara PRRI?’
 
‘Tidak ada pak,’ jawab tek Tipah. Kepalang berbohong.
 
‘Mana lampu lentera tadi, coba saya lihat,’ katanya lagi.
 
Tek Tipah bergegas mengambil lentera itu. Tentara itu memeriksanya.
 
‘Tiap hari harus diperiksa. Sebelum dinyalakan, diisi dulu minyaknya. Faham?’
 
‘Iya, pak.’
 
‘Ya, sudah. Permisi.’
 
Kedua tentara itu keluar dari rumah dan berlalu. Etek Tipah sujud syukur begitu 
mereka sudah sampai di halaman. Mak Tangkudun suaminya terkencing-kencing di 
celana karena ketakutan.
 
Kira-kira sepuluh menit sesudah tentara itu berlalu, barulah Pudin membukakan 
pintu kapuk. Pengap juga di dalam kapuk padi itu karena memang tidak ada 
jendelanya. Untunglah mereka tidak sampai terbatuk ketika berada di dalamnya. 
 
‘Bagaimana seandainya mereka tahu kita ada disini?’ tanya Maaruf yang memang 
agak sedikit pengkhawatir di antara mereka bertiga.
 
‘Kalau sudah begitu tidak ada lagi cara lain. Kita kan ada berbedil pula,’ 
jawab Ancin.
 
‘Maksudmu? Kau akan menembak mereka?’ 
 
‘Harus,’ jawab Ancin mantap.
 
‘Tapi sesudah itu akan mereka panggang kampung ini,’ jawab Maaruf.
 
‘Sudahlah. Kan dia sudah pergi. Tidak perlu pula dipertengkarkan,’ Pudin 
mencoba menengahi.
 
‘Tentara kalera,’ Maaruf masih menggerutu.
 
‘Bukan. Mereka tentara lentera,’ jawab Ancin.
 
Maaruf dan Pudin tertawa tertahan mendengarnya.
 
 
                                                                        *****
 
Wassalamu'alaikum,
 
Muhammad Dafiq Saib Sutan Lembang Alam
Suku : Koto, Nagari asal : Koto Tuo - Balai Gurah, Bukit Tinggi
Lahir : Zulqaidah 1370H, 
Jatibening - Bekasi 


      

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke