Mamak

Apokah dampak psikologis PRRI yang dirasoi dek urang Minang itu justru
disebabkan dek tukang-tukang tunjuak itu. Misalnyo inyo bakasus jo urang
dalam konteks politik nagari atau sangketo ulayat, mako nyo tunjuaan
lawannyo ko ka tentara pusek sebagai seorang tentara PRRI, atau paliang
indak adolah simpatisan PRRI tu.

Salam

Andiko Sutan Mancayo

Pada 16 Februari 2010 07:08, Muhammad Dafiq Saib
<stlembang_a...@yahoo.com>menulis:

> Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu
>
> Carito-carito amboko fiktif. Tapi ampia saroman jo nan sabana tajadi katiko
> itu.......
>
>
> *TUKANG TUNJUK*
>
>
>
> Perang adalah bencana. Perang adalah kejahilan dan kebrutalan. Perang
> membawa korban terutamanya di kalangan yang tidak ikut berperang. Di
> kalangan rakyat berderai yang tidak ikut dan tidak mengerti kenapa terjadi
> perang. Mereka biasanya yang paling banyak menderita. Perang adalah tempat
> dimana fitnah dan dendam bisa dikobarkan. Alasan untuk berperang sejak jaman
> *belum ber belum* hampir selalu sama. Untuk melampiaskan hawa nafsu di
> satu fihak dan untuk mempertahankan diri di fihak yang lain. Hawa nafsu
> serakah ingin berkuasa, hawa nafsu ingin melanggengkan kekuasaan, hawa nafsu
> karena pantang kelintasan, hawa nafsu nyata-nyata ingin merampok dan
> menguasai milik orang lain. Maka dikobarkanlah perang. Sebuah negeri
> diserang, dihancurkan, hunian penduduknya dibumi hanguskan, penduduknya
> dipecundangi, dilecehkan, dihinakan, dibunuh dengan semena-mena.
>
>
>
> Perang juga memecah belah masyarakat. Masyarakat terpaksa, dengan alasannya
> masing-masing harus berfihak kepada salah satu kelompok dari yang berperang.
> Berpihak kepada salah satu pihak dalam jaman perang tentu beresiko. Tapi
> juga memberi jaminan seandainya luput dari resiko.
>
>
>
>
> ***
>
>
>
> Si Poan punya alasan tidak suka dengan orang PRRI. Tidak suka dengan orang
> kampung yang mendukung dan membantu orang PRRI. Alasannya karena partai
> orang tuanya berseberangan dengan partai orang-orang PRRI. Orang-orang PRRI
> itu kebanyakan adalah orang Masyumi. Orang yang memandang enteng kepada
> partai ayahnya, PKI. Tapi Poan juga tahu bahwa di kampung boleh dikatakan
> 99% orang pro PRRI. Poan tahu betul siapa-siapa di antara temannya, anak
> muda yang ikut lari ke luar, bergabung dengan tentara pemberontak. Diapun
> pernah diajak ikut. Tentu saja dia menolak. Dengan cara halus.
>
>
>
> Suatu hari tentara APRI masuk kampung. Menggeledah rumah-rumah mencari
> tentara PRRI. Mencari anak-anak muda yang dicurigai ikut jadi tentara PRRI.
> Anak-anak muda yang ada di kampung *berketabungan *lari untuk menghindar.
> Sebenarnya sangat konyol yang mereka lakukan itu. Tiga orang terlihat oleh
> tentara pusat. Diteriakinya supaya berhenti dan mengangkat tangan. Anak-anak
> muda itu tidak tahu aturan seperti itu. Tidak mengerti aturan berhenti dan
> mengangkat tangan. Yang ada di dalam benak mereka hanyalah lari untuk
> menyelamatkan diri. Sementara tentara APRI yang ‘ringan-ringan tangan’ itu,
> sesudah sekali diperintahkan berhenti tidak didengar langsung membidik
> kepala anak-anak muda malang itu. Dor! Anak muda itupun tersungkur. Langsung
> *terjilapak*. *Inna lillahi wainnaa ilaihi raaji’uun*. Si tentara APRI
> tidak mempedulikan sedikitpun. Dia mencari dan mengejar lagi yang lain. Dan
> mendornya pula.
>
>
>
> Beberapa orang masuk ke rumah-rumah. Memeriksa ke sana ke mari. Dengan
> sepatu bot yang tidak dibuka. Berderak-derak bunyi tapak sepatu mereka di
> rumah kayu penduduk. Ada yang sampai memanjat ke atas loteng lalu
> menyenter-nyenter. Bahkan masuk ke dalam kandang di bawah rumah. Sambil
> membentak-bentak, menghardik-hardik, menanyakan dimana disembunyikan tentara
> PRRI. Rakyatpun mati *kuncun* semuanya.
>
>
>
> Si Poan duduk tenang-tenang di rumah. Dengan sangat yakin. Dia tidak akan
> diapa-apakan oleh tentara APRI itu seandainya mereka naik ke rumah. Dua
> orang tentara ternyata memang naik ke rumahnya dengan terlebih dahulu
> menerjang pintu masuk. Soalnya di halaman terjemur tiga helai celana panjang
> laki-laki. Di ruang atas didapatinya Poan sedang duduk dengan tenang di
> tikar.
>
>
>
> ‘Angkat tangan! Kamu pemberontak, ya?!’ teriak seorang dari kedua serdadu
> itu.
>
>
>
> ‘Tidak pak. *Ambo* rakyat,’ jawab Poan dengan tenang.
>
>
>
> Tentara itu menodongkan senjatanya ke kepala Poan sambil matanya melotot
> mencari-cari entah apa di rumah itu. Mata itu akhirnya hinggap di sebuah
> gambar yang ditempel di pintu lemari. Gambar palu arit.
>
>
>
> ‘Siapa yang PKI di rumah ini?’ tanya tentara itu dengan nada suara tidak
> lagi garang.
>
>
>
> ‘*Apak* saya, pak,’ jawab Poan.
>
>
>
> ‘Kau ikut dengan kami ke Bukit Tinggi!’ perintah tentara itu pula.
>
>
>
> Dan Poan dibawa. Dinaikkan ke atas mobil truk reo. Dia ditahan dua hari di
> kantor Balayon B di Bukit Tinggi tapi sesudah itu dijinkan pulang.
>
>
>
>
> ***
>
>
>
> Tentara APRI makin sering masuk kampung. Dan sekarang menangkapi beberapa
> orang kampung yang lalu dibawa ke markas Batalyon B dekat lapangan kantin di
> Birugo. Yang ditangkap umumnya adalah mereka yang punya anggota keluarga
> ikut lari ke luar alias jadi tentara PRRI. Dan kebanyakan adalah wanita.
> Yang suaminya atau saudaranya atau anaknya ikut PRRI. Entah dari mana
> tentara pusat itu tahu. Ditangkap dan dibawa ke Batalyon B itu sangat
> mengerikan. Banyak orang yang dibawa kesana, terutama yang laki-laki, tidak
> pulang dan hilang lenyap bak ditelan bumi. Tapi untunglah tidak demikian
> dengan rombongan ibu-ibu. Setelah ditahan sekitar beberapa minggu, dan
> diinterogasi siang dan malam, mereka umumnya diijinkan kembali pulang.
>
>
>
> Orang kampung curiga. Dimana tentara-tentara pusat itu tahu bahwa ada
> anggota keluarga wanita-wanita itu orang PRRI? Dengan sebegitu jelasnya?
> Tentu ada yang memberi angin agaknya. Tapi siapa?
>
>
>
> Si Poan boleh dikatakan satu-satunya anak muda yang bisa hidup
> tenang-tenang saja di kampung. Sekali sepekan dia pergi ke Bukit Tinggi.
> Pergi menggalas barang *mudo*. Membawa cabai merah, kentang dan
> sayur-sayuran yang dikumpulkan dari petani. Tiba-tiba saja dia sudah jadi
> seorang penggalas. Anehnya dia hanya membawa barang dagangan itu ke pasar
> Bukit Tinggi saja. Tidak pernah ke pekan-pekan berhampiran. Padahal
> kebanyakan orang menghindar untuk pergi ke pasar Bukit Tinggi. Takut di
> geledah dan dibentak-bentak tentara pusat. Tentara pusat memang selalu
> merazia setiap penumpang bendi yang menuju Bukit Tinggi. Penumpang
> laki-laki, meski orang tua-tua sekalipun disuruh turun. Digeledah dan
> ditanyai macam-macam. Barang bawaan ibu-ibu di dalam kambut atau karung
> diobok-obok.
>
>
>
> Pada suatu petang, ketika akan membayar sesudah minum teh telur di lepau
> mak Tangkudun, selembar kertas yang dikeluarkan Poan dari saku bajunya
> terjatuh. Mak Pakiah yang duduk di dekatnya mengambil kertas itu dari
> lantai.
>
>
>
> ‘Kertas apa ini Poan?’ tanya mak Pakiah sambil menyerahkannya kembali.
>
>
>
> ‘Catatan jual beli *lado* *mah*, mak,’ jawab Poan sambil memasukkan kertas
> itu kembali ke saku celananya.
>
>
>
> ‘Si Nuraini kan ndak ada berkebun *lado*. Kenapa ada pula namanya di
> kertas itu?’ tanya mak Pakiah sambil lalu tanpa curiga apa-apa.
>
>
>
> Nuraini adalah kemenakan mak Pakiah. Suaminya ikut ke luar. Nuraini sampai
> hari itu sudah hampir sebulan ditahan di Batalyon B.
>
>
>
> ‘Itu si Nuraini orang penggalas di pasar *mah*, mak. Pedagang yang membeli
> *lado* yang ambo bawa,’ jawab Poan mantap.
>
>
>
> ‘Oooo, *mantun*,’ jawab mak Pakiah pula.
>
>
>
> Mak Tangkudun, pemilik lepau, menyimak saja soal jawab singkat itu. Setelah
> Poan berlalu tidak tahan juga hatinya untuk berkomentar.
>
>
>
> ‘Berdetak saja hatiku,’ kata mak Tangkudun ketika di lepau itu yang tinggal
> mak Pakiah seorang saja lagi.
>
>
>
> ‘Tentang apa?’ tanya mak Pakiah.
>
>
>
> ‘Tentang musang berbulu ayam.’
>
>
>
> ‘Hah? Siapa pula yang jadi musang?’
>
>
>
> ‘Apa yang Pakiah baca di kertas yang jatuh sebentar ini?’ tanya mak
> Tangkudun.
>
>
>
> ‘Kertas yang mana?’
>
>
>
> ‘Kertas yang dikembalikan ke si Poan.’
>
>
>
> ‘Ada tersurat nama Nuraini. Entah kenapa nama itu pula yang tertangkap di
> mata ambo. Ada nama si Fadilah di bawah itu dan nama-nama entah siapa lagi.’
>
>
>
> ‘Si Fadilah kan sama-sama dijemput dan dibawa tentara pusat? Tidak ada lagi
> nama yang lain yang teringat terlihat tadi?’
>
>
>
> ‘Rukayah..... Ya di atas nama si Nuraini ada Rukayah.’
>
>
>
> Mak Tangkudun menghempaskan kopiahnya ke meja.
>
>
>
> ‘Pastilah kalau begitu. Si Nuraini, si Fadilah dan si Kayah sampai hari ini
> belum juga pulang dari Birugo. Ndak berdetak hati Pakiah ada kaitan
> nama-nama di kertas tadi itu dengan kenyataan ibu-ibu yang ditangkapi itu?
> Kalau ambo sangat yakin ambo sekarang,’ kata mak Tangkudun.
>
>
>
> ‘Jadi?’ mak Pakiah mulai ikut berpikir. Mulai agak menangkap maksudnya.
>
>
>
> ‘Tukang tunjuk,’ jawab mak Tangkudun.
>
>
>
>
>
>
> ***
>
>
>
> Alhamdulillah, ibu-ibu yang ditangkap itu akhirnya dilepaskan juga
> semuanya. Hanya, sesudah itu rumah mereka selalu diintai tentara pusat.
> Beberapa kali di antara ibu-ibu itu terkejut ketika pergi ke sumur di waktu
> subuh terserobok dengan tentara sedang duduk bersiaga dekat pintu sumur.
> Mungkin tentara itu semalaman menanti-nanti tentara luar anggota keluarga
> penghuni rumah itu. Siapa tahu mereka pulang ke rumah.
>
>
>
>
> ***
>
>
>
> Seminggu sesudah percakapan mak Tangkudun dan mak Pakiah di lepau, si Poan
> dijemput orang tengah malam.  Tidak sedikitpun dia curiga. Ketika pintu
> diketuk dan namanya dipanggil, dan yang memanggil itu berbahasa Indonesia,
> Poan segera turun. Tentu saja dia kaget ketika sampai di halaman. Yang
> menjemputnya adalah tentara bersenjata tidak berseragam. Poan menghilang
> tidak tentu rimbanya sejak saat itu.
>
>
>
> Beberapa hari sesudah itu wali nagari didatangi tentara pusat. Habis dia
> ditampari dan dibentak-bentak ketika tentara pusat itu menanyakan kemana
> perginya si Poan. Wali nagari menjawab sejujurnya bahwa dia tidak tahu. Wali
> nagari dan wali jorong dibawa ke Birugo dan ditahan sebulan disana. Sesudah
> sebulan, mereka diantarkan kembali ke kampung dalam keadaan lusuh dan kurus.
>
>
>
>
> *****
>
>
>
>  Wassalamu'alaikum,
>
>
>
> Muhammad Dafiq Saib Sutan Lembang Alam
>
> Suku : Koto, Nagari asal : Koto Tuo - Balai Gurah, Bukit Tinggi
>
> Lahir : Zulqaidah 1370H,
>
> Jatibening - Bekasi
>
>
>
>  --
> .
> Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat
> lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet
> http://groups.google.com/group/RantauNet/~<http://groups.google.com/group/RantauNet/%7E>
> ===========================================================
> UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
> - DILARANG:
> 1. Email besar dari 200KB;
> 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
> 3. One Liner.
> - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
> http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
> - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
> - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
> - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama
> ===========================================================
> Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan
> keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
>

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke