Mak Ibrahim yth

 

Insya Allah urang Minang asli lai ndak safanatik para pendukung makam
Mbah Priok tu doh Mak... dak ka sampai babunuh2an bagai do gara2 mitos
tu... urang Minang asli tantu lai tahu nyo bahasonyo Gunuang Marapi tu
hanyo symbol pemersatu urang Minang asli layaknyo Buruang Garuda jadi
lambang negara RI sekaligus pemersatu NKRI atau sumpah palapa Gajah Mada
sebagai pamersatu ataupun Bhineka Tunggal Ika.

 

Tapi menarik pulo tulisan dari Angku Ahmad Syafii Maarif nan
dipabincangkan kapatangko nan disampaikan dek Cimbuak sbb:

Dengan bahasa sinisme yang tajam, sastrawan Wisran Hadi menulis dalam
Orang-Orang Blanti tentang asal-usul orang Minang yang dikaitkan dengan
Iskandar Zulkarnain sebagai berikut: "Lalu, kita bangga dengan keaslian
turunan kita. Kita menganggap diri kita keturunan langsung dari Raja
Iskandar Zulkarnain yang termasyhur. Padahal mungkin kita keturunan
budak-budaknya. Kita menganggap turunan dari Indo Jalito, Indo Jati,
nenek yang kita keramatkan, padahal kita mungkin keturunan kuntilanak,
musang atau burung hantu."[9] Pernyataan ini bagi saya dahsyat sekali
karena Wisran Hadi mau dan berani menelanjangi diri sendiri dalam kerja
membangun autentisitas. Berkaca diri dan melihat diri apa adanya adalah
sikap terpuji yang harus dikembangkan. Mitologi yang sering berfungsi
sebagai penghibur lara itu jika dijadikan pertimbangan dalam membangun
peradaban hanyalah akan mempertinggi tempat jatuh, karena faktanya
memang tidak ada. Jadi fondasinya rapuh sekali. Percaya kepada mitos
adalah bayangan dari masyarakat yang tidak percaya kepada diri sendiri,
lalu bernaung di bawah payung kebesaran masa lampau yang kosong dan
hampa. Sama halnya dengan kepercayaan kepada kedatangan ratu adil yang
akan membawa lampu aladin untuk melepaskan suatu bangsa atau masyarakat
dari ketertindasan.

Minangkabau adalah kampung umat beriman yang secara lahiriah bangga
dengan ajaran agamanya. Islam datang ke muka bumi dengan suluh matahari,
bukan suluh batang pisang. Sebagai agama terbuka, Islam membela
keterbukaan dan kejernihan berfikir, bebas dari segala mitos yang
mematikan hati nurani dan akal sehat. Perintah al-Qur'an untuk
mempelajari sejarah dan alam semesta bertujuan agar manusia tidak
terpasung dalam perbudakan mitologi. Sebenarnya ungkapan yang populer di
Minangkabau: "Alam terkembang jadi guru" sangat akrab dengan
diktum-diktum yang bertebaran al-Qur'an. Kita kutip terjemahan ayat ini:
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala (alam
semesta) dan pada diri mereka sendiri, sehingga menjadi jelas bagi
mereka bahwa ia (al-Qur'an) itu benar."[10] Oleh sebab itu jika memang
kita berpegang kepada diktum "adat bersendi syarak, syarak bersendi
Kitabullah," segala mitologi yang menidurkan orang Minang harus dibuang
jauh-jauh. Tidak ada pilihan lain untuk bangkit, kecuali membebaskan
diri dari segala macam kepercayaan dan mitologi, betapa pun
kadang-kadang menyenangkan, tetapi pada saat yang sama pasti
menggerogoti posisi dan martabat manusia sebagai teman sekerja Tuhan
dalam mengubah wajah kenyataan.

Mitos lain yang juga terdengar sampai di pelosok adalah cerita adu
kerbau. Ada semacam kepiawaian, jika bukan kelicikan, yang terkandung
dalam cerita itu. Kerbau jantan Jawa yang gagah perkasa dibunuh oleh
anak kerbau Minang yang sebelumnya dilaparkan selama tiga hari, tetapi
diberi tanduk emas. Maka di sebuah tanah lapang, berlagalah dua kerbau
itu. Karena merasa sangat lapar kerbau Minang langsung menyeruduk ke
bawah perut kerbau Jawa yang perkasa itu. Dalam tempo beberapa detik
kerbau Jawa lumpuh, isi perutnya terberai ke luar, tertusuk oleh tanduk
emas anak kerbau Minang. Maka pertandingan dimenangkan oleh Minang, Jawa
menyerah, tidak berkutik. Alangkah hebatnya Minang itu, bukan? Dari
kejadian itulah, kata mitologi itu, nama Minangkabau berasal, bukan dari
nama lain: Menang Kerbau menjadi Minangkabau. Saya tidak tahu apakah di
masa PRRI, cerita semacam ini juga dikembangkan, tetapi di ujung
perjalanan pergolakan, dengan korban yang cukup tinggi di pihak daerah,
sekitar 30.000,[11] fakta sejarah mengatakan bahwa perlawanan Minang
akhirnya menjadi lumpuh total digempur Jakarta, sekalipun Ahmad Husein
masih berani mengintrupsi Sukarno di Istana Bogor tahun 1961 itu.

Ada ungkapan menarik dari seorang antropolog asal Minang kepada saya
beberapa minggu yang lalu, bunyinya begini: "Orang Minang itu bisa
sama-sama bekerja, tetapi tidak bisa bekerja sama." Mudah-mudahan
pernyataan ini tidak didukung oleh realitas yang sebenarnya, orang
Minang masih mau dan bisa bekerja sama, mengapa tidak?

Akhirnya, sebagai perantau saya merasa sangat dekat dengan keminangan
ini, tetapi polusi suara dalam angkot tetap saja menyisakan pertanyaan
ini: quo vadis Minangkabau? Apakah secara kultural dan moral Minang akan
tetap  menjadi bagian dari Indonesia yang rusak atau berusaha bangkit
dengan melakukan penyimpangan dari pola umum bangsa yang sarat dengan
beban itu?

http://www.cimbuak.net/content/view/1125/5/ 

 

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke