Anggun, saya senang mengetahui Anggun sudah lulus pd Fakultas Filsafat UGM. 
Saya ingin membaca itu disertasi ttg Minangkabau.
Ttg KKM, tidak ada yg membatalkannya. Pertemuan sefihak tgl 3 September  - krn 
tak mengundang SC KKM serta fihak yg mendukung - dengan bijak memilih istilah 
'menolak', bukan 'membatalkan', tentu - atau kira-kira - dgn kesadaran bhw tak 
ada hak atau wewenang beliau-beliau utk membatalkan itu. Kan beliau-beliau 
bukan Kopkamtib ? Lebih dari itu, beliau-beliau mempersilakan KKM untuk  
lanjut, tapi dalam kaitan dgn Mubes Gebu Minang.
Saya setuju dgn kesimpulan Anggun, bahwa penolakan thd KKM lebih banyak 
bersifat psikologis. Kebetulan saya kenal dgn beberapa tokoh yg berada di 
belakang penolakan itu, baik wawasannya maupun gaya komunikasi pribadi mereka. 
Karena itu saya tidak terlalu heran
Sekedar catatan, perlu diingat bhw beliau-beliau hanya mewakili diri mereka 
masing-masing. Panitia KKM, baik pusat maupun lokal, telah mendatangi dan 
berkomunikasi dgn toko-tokoh nagari-nagari, dan suara nagari-nagari tidak sama 
dengan suara beliau-beliau yg berapat tg 3 September tersebut.
Satu hal perlu kaji ulang, yaitu sub-titel judul tulisan Sanak 'Rantau Tak Usah 
Pikirkan Ranah'. Ini sungguh-sungguh apa bukan? 

Saafroedin Bahar. Taqdir di tangan Allah swt, nasib di tangan kita.

-----Original Message-----
From: Abraham Ilyas <abrahamil...@gmail.com>
Sender: rantaunet@googlegroups.com
Date: Mon, 13 Sep 2010 08:26:16 
To: <rantaunet@googlegroups.com>
Reply-To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: Re: Fw: [...@ntau-net] Kegagalan KKM atau Belum? ---> Aaa Juo 
Lai....????

Dunsanak di palanta nan ambo hormati.

Artikel di bawah iko nan ditulih oleh anak mudo mungkin rancak dibaco oleh
Dunsanak yang pro maupun nan kontra KKMK di kutip dari
http://www.padangmedia.com/index.php?mod=artikel&j=4&id=323

RANTAU TAK USAH PIKIRKAN RANAH:
Refleksi Atas “Pembatalan” Kongres Kebudayaan Minang

oleh: *Anggun Gunawan*

Budaya | Rabu, 08/09/2010 23:48 WIB

Rapat antara utusan Rantau (Gebu Minang) dengan kalangan budayawan, LKAAM,
MUI, pers Sumatera Barat Jumat siang (3 September 2010) di gubernuran
akhirnya menghasilkan suara bulat: menolak dilaksanakannya Kongres
Kebudayaan Minang (KKM) yang dibesut oleh Gebu Minang. (Padang Media, Sabtu
4 September 2010)…

Begitulah perkembangan terakhir yang penulis peroleh dari salah satu media
online terkemuka di Sumatera Barat, Padang Media, 2 hari yang lalu.
Rencana para perantau Minang yang tergabung dalam Gebu Minang untuk
mengadakan Kongres Kebudayaan Minang 23-24 September 2010 yang akan datang
besar kemungkinan akan dibatalkan.

Aku sebagai anak muda Minang yang telah bersiap-siap membeli tiket pesawat
selepas lebaran nanti demi menyaksikan Kongres Kebudayaan Minang Kedua (yang
konon merupakan peristiwa bersejarah kedua setelah Kongres Kebudayaan I yang
diadakan 39 tahun lalu, dimana masih ada Buya Hamka dan Bung Hatta sebagai
pembicara – Cerita di balik ringan seputar KKM I itu bisa dibaca pada buku
Kenang-Kenangan 70 tahun Buya Hamka) , mungkin termasuk yang kecewa jika
memang akhirnya memang harus dibatalkan.

Terus terang aku adalah generasi yang tak mengenal adat. Aku tak mengenal
peran mamak kecuali beberapa kali mamak-ku yang tak pernah kuliah harus
kehilangan akal berdebat dengan Ayahku, seorang doktorakdus IAIN. Sementara
mamak-mamak-ku yang lain, lebih sibuk di rantau karena di kampung hidup
melarat.

Ayah lebih mementingkan pendidikan formalku dibandingkan menerangkan
masalah-masalah adat, meskipun aku tahu sedikit banyak beliau mengerti
tentang hal itu. Buku-buku tentang adat di rumahku hanyalah buku “Budaya
Alam Minangkabau” dan “Kesenian Alam Minangkabau”, buku wajib yang
dianjurkan dibeli oleh guru di SMP saat kedua pelajaran itu menjadi Muatan
Lokal di sekolah. Mungkin karena bujukan Buk May, Guru Geografi-ku saat SMA,
yang kala itu merekrut beberapa siswa untuk bergabung di Group Randai SMA 1
Kota Solok, akupun bisa berkenalan dengan sedikit pepatah-petitih Minang
yang dibawakan lewat drama teaktrikal Randai.

Ketika “terdampar” di Jogja, sebuah kota kecil majemuk tempat pertemuan
berbagai suku bangsa di Indonesia, aku tersadar dengan sebuah identitas
budayaku, ORANG MINANG. Suku bangsa yang begitu dihormati karena sejarah
intelektual dan keIslamannya. Ketika mengenalkan diri sebagai Orang Minang,
sontak saja warna suara teman bicaraku berubah. Ada aura penghormatan, ada
kekaguman, yang kemudian diikuti antusias untuk menanyakan lebih jauh
tentang MINANG. Pada titik diskusi inilah, aku merasa kehilangan informasi
untuk mendeskripsikan Minang kepada mereka, hingga mulai saat itulah aku
mulai rajin mencari buku-buku Minang baik di Perpustakaan Kampus ataupun
minta tolong dibelikan kepada teman-teman yang stay di Padang. Lewat
buku-buku yang terbatas itulah aku memberikan penjelasan kepada “the others”
dan membuat makalah-makalah berbau filsafat tentang Minang di kelas-kelas
kuliah Fakultas Filsafat UGM yang beberapa tahun ini memang senang dengan
tema-tema Lokal Wisdom. Beberapa minggu yang lalu, aku terlibat dalam
pengeditan Disertasi dosen Filsafat UGM yang mengulas tentang Falsafah
Minangkabau, “Menjadi Orang dalam Filsafat Alam Takambang Jadi Guru
Minangkabau”.

Kembali pada perbincangan “Kegagalan KKM”, paling tidak ada beberapa
argumentasi yang dilontarkan oleh Kubu Kontra KKM (LKAAM Sumbar, Dewan
Kesenian Sumatera Barat (DKSB) dan ninik-mamak, anak-kemenakan urang Minang
yang tergabung dalam Gerakan Menolak Kongres Kebudayaan Minangkabau
-GM-KKM-):

*1.* KKM Ingin Mengembalikan Orang ke Titik Nol

“Ikrar tersebut jelas sebuah tindakan yang kurang ber-adab karena ingin
memposisikan Minangkabau kembali pada titik nol. Padahal orang Minang di
setiap nagari sudah meyakini, sepakat dan menjalankan ABS, SBK sejak empat
abad silam. Kita memaknai mereka, melalui KKM yang diprakarsai bukan oleh
orang Minang yang ada di ranah-minang, ingin me-Minang-kan orang Minang, “

*2.* Berpotensi Menciptakan Konflik Vertikal dan Horizontal

Kongres Kebudayaan Minangkabau 2010 mengagendakan pembentukan Forum Adat dan
Syara’ (awalnya konseptor KKM ingin membentuk Majelis Adat dan Syara’).
Lembaga baru ini sebagaimana AD/ART yang sudah disiapkan, akan dibentuk
secara hirarkis mulai tingkat propinsi, kota/kabupaten, kecamatan sampai ke
nagari-nagari. Pranata adat Minangkabau yang ada di setiap nagari seperti
Karapatan Adat Nagari dan Majelis Ulama Nagari, akan terganggu dengan
munculnya Forum Adat dan Syara’.

“Jadi, Forum yang dibuat melalui kongres nanti sangat potensial menciptakan
konflik internal dan horizontal di wilayah kebudayaan Minangkabau. Selain
itu, membaca misi dan fungsi, Forum Adat dan Syara’ ini bisa dimanfaatkan
untuk kepentingan politik kekuasaan.”

*3.* Penyeragaman Nilai-Nilai Adat Salingka Nagari dan Peserta Tidak
Representatif

Konsep pikiran penggagas kongres menyeragamkan nilai-nilai adat dan budaya
Minangkabau tanpa mempertimbangkan Adat Salingka Nagari, Pusako Salingka
Kaum. KKM juga mencampurbaurkan antara wilayah adat/kebudayaan Minangkabau
dengan wilayah administrasi Provinsi Sumatera Barat.

“Lanjutan dari cara pikir yang tidak memahami karakter adat/nilai/tatanan
Minangkabau, kongres yang potensi diarahkan untuk mengubah Minangkabau
secara revolutif, pesertanya tidak mencerminkan representasi ninik mamak dan
perwakilan masyarakat adat dari nagari-nagari yang ada.

Justru yang akan diundang adalah aparatur pemerintah mulai dari Gubernur,
Walikota/Bupati, anggota DPRD kota/kabupaten di Sumbar dan dari nagari akan
dihadirkan 2 orang wakil dari unsur tungku tigo sajarangan, bundo kanduang
dan generasi muda.”

Selain ketiga alasan itu, saya juga mendapati beberapa testimoni yang
menguatkan penolakan terhadap terselenggaranya KKM:

Wisran Hadi (Budayan Terkemuka Minang) dengan tegas mengatakan bahwa kongres
yang akan dilaksanakan itu tidak relevan dengan apa yang sesungguhnya
dibutuhkan rakyat Sumatera Barat saat ini.

Seniman Senior Darman Moenir: “Justru menimbulkan kekisruhan dan perpecahan
yang memburukan citra Minangkabau. Itu dapat dilihat dari berbagai caci maki
yang dialamatkan ke pemangku adat maupun kepada kalangan perantau sendiri di
internet.”

Wartawan senior Khairul Jasmi: Orang rantau terlalu over estimet dalam
melihat persoalan di kampung halaman. Kekhawatiran mereka akan pelaksanaan
ABS-SBK terlalu berlebihan. Soal adat kan sudah ada fatsoennya bahwa itu
berlaku untuk selingkar nagari. Lain nagari lain adatnya. “Jadi bagaimana
mungkin kongres akan menggeneralisir menjadi satu ketentuan yang bersifat
Sumatera Barat atau bahkan Minangkabau.”

Dibalik semua itu, saya berpikiran bahwa alasan utama penolakan bukanlah
terletak kepada semangat perbaikan untuk kampung yang diusung oleh Gebu
Minang sebagai orang rantau penggagas KKM, tapi 2 motif psikologis:

Indikasi “Misi Politis” Gebu Minang yang berujung pada pelengseran dominasi
kekuasaan kaum adat yang mendominasi pranata-pranata sosial saat ini di
Minangkabau. Gelombang ini kentara terlihat pada niniak mamak pemangku adat
yang saat ini begitu diistimewakan lewat Undang-Undang Otonomi Daerah.

*Ketakutan tanpa alasan, karena gejala ini sudah tampak jelas ketika
perhelatan Pilkada digelar di Sumatera Barat. *

Dimana orang-orang sukses Rantau kembali ke kampung, turut bertarung
memperebutkan posisi-posisi strategis pemerintahan.

*Tapi apakah misi politis serupa juga dimiliki oleh bapak-bapak sepuh di
Gebu Minang? Yang umurnya saja (maaf) tinggal menghitung hari?? *

Akumulasi kemarahan atas apatisme orang Rantau selama ini larut gelimang
kekayaan baru dan status baru di Rantau hingga mengabaikan kondisi kampung
halaman (bukan pengabaian dari sisi ekonomi tapi secara
religi-sosio-kultural) yang telah berlangsung beberapa dekade.

Fenomena ini akan tampak jelas pada lingkaran intelektual, budayawan, dan
seniman yang terengah-engah, bahkan hampir kehilangan nafas berjuang
“sendirian” tanpa dipedulikan orang Rantau demi mempertahankan eksistensi
adat dan falsafah Minangkabau yang didera perubahan revolutif zaman.

Tentu mereka akan bertanya-tanya, “Ketika masa sulit dulu, kemana perginya
orang Rantau? Saat jalan untuk membangkitkan “batang tarandam” sudah terbuka
lebar, kenapa pula orang Rantau terlihat lebih sibuk dari kami yang dulu
telah susah payah berjuang?”

Sebenarnya, kalau dikaji secara akademis-intelektual tidak ada masalah
dengan tema-tema yang telah dirumuskan oleh panitia KKM.

Semua kajian bisa didiskusikan dan diperdebatan lewat “basilek lidah”,
keterampilan alamiah yang dimiliki oleh setiap orang Minang.

Bahkan mungkin Orang Ranah lebih berpeluang memenangkan perdebatan karena
“pemahaman natural” mereka akan adat lebih kuat dibandingkan Orang Rantau.

*Tapi kenapa sesuatu yang sebenarnya konstruktif untuk perbaikan Minangkabau
harus digagalkan oleh sesuatu substantif?
Kenapa pula Orang Ranah begitu reaktif pada acara yang sebenarnya bisa
dikatakan sebagai “ceremony”* belaka karena begitu banyak seminar dan
kongres yang hasilnya terbang berlalu begitu saja seiring penutupan yang
meriah?

Maka, atas dasar analisis itu penulis berpendapat bahwa MOTIF PSIKOLOGIS-lah
yang menjadi “pangkabala” semua itu.

Jika sudah berkelibat dengan pe*rasa*an, maka alamat kusut akan susah
diurai.
Apalagi melihat kuatnya budaya egaliterian orang Minang yang tidak ingin
kalah satu langkahpun.

Tak ingin diinjak-injak selunak apapun, tak ingin dilecehkan sedikitpun.
Harga diri orang Minang terlalu kuat, hingga lebih baik badan melarat
daripada muka tercoreng arang.

Luka di tubuh bisa diobati, tapi luka di hati entah kemana obat dicari.
Apabila rekonsilisasi perasaan tidak segera dilakukan maka hubungan Kampung
dan Ranah akan semakin memburuk. Orang-orang Kampung akan terus merasa
pintar mengurus Ranah tanpa bantuan orang Rantau. Orang-orang Rantaupun akan
semakin enggan memikirkan kampung karena tak pemikiran mereka tak terpakai
di kampung. *

Jika sudah begini yang kasihan adalah anak-anak muda generasi penerus
Minangkabau. Masih beruntung jika mereka masih mau berusaha mencari
identitas diri. Tapi, jika merekapun sudah tak mau bersusah-susah memikirkan
jati diri etnisitas, alamat Minang hanya tinggal nama saja. *

Sedikit saya hanya ingin mengajak kita merenung bersama. Cubalah lihatlah
makam-makam orang-orang besar Minang yang telah tertulis namanya dengan
tinta emas sejarah. Nama-nama yang begitu dibangga-banggakan namanya saat
ini. Menjadikan kita sebagai suku bangsa yang dihormati sebagai suku bangsa
di wilayah nusantara ini. Sebutlah Buya Hamka, Tan Malaka, Hatta, Syahrir,
Agus Salim, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Mohammad Natsir, apakah
mereka di kubur di ranah Minang? Apakah mereka menghabiskan hari tuanya di
ranah Minang? Ternyata tidak. Mereka “terluntang-lantung” di rantau. Sampai
akhirnya menghembuskan nafas di rantau. Bukan karena tak sayang kampung,
tapi hidup mereka telah diabdikan untuk sesuatu yang lebih besar. Demi
bangsa dan agama. Tapi, meskipun demikian, MEREKA TETAP MINANG. Masih
tersurat kata-kata Minang dalam tulisan-tulisan abadi yang mereka tuliskan.

Bagiku Minang adalah darah. Yang tak akan terputus sampai generasi terakhir
sampai kiamat datang menjelang. Ia akan tetap hidup meski harus bertarung
dengan perubahan. Ia akan tetap harum oleh generasi-generasi terbaiknya yang
terus hadir sepanjang zaman.

Oleh karena itu, MARILAH BERSATU MINANGKU. LEBURLAH SEKAT RANAH DAN RANTAU…
KARENA KITA HANYA SATU, ORANG MINANGKABAU…

*) penulis adalah putra Minang alumni Fak Filsafat UGM Yogya

Catatan: tambahan image dan bold dari AI

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke