Kalau ndak salah, dalam pilpres kemaren, SBY menang mutlak di 
Sumbar...he...he...he...


Salam,
Marindo Palar 
--- Pada Kam, 14/10/10, Indra Jaya Piliang <pi_li...@yahoo.com> menulis:


Dari: Indra Jaya Piliang <pi_li...@yahoo.com>
Judul: [...@ntau-net] Sebulan Pidato Serumpun
Kepada: RantauNet@googlegroups.com
Cc: koran-digi...@googlegroups.com, "Lisi" <l...@yahoogroups.com>, "Jusuf 
Rizal" <dpp_l...@yahoo.co.id>, fora...@yahoogroups.com, "musyawarah burung" 
<musyawarah-bur...@yahoogroups.com>, kahmi_pro_netw...@yahoogroups.com
Tanggal: Kamis, 14 Oktober, 2010, 4:19 PM


http://www.indrapiliang.com/2010/10/14/sebulan-pidato-serumpun/

Sumber : Suara Pembaruan, 14 Oktober 2010



Sebulan Pidato Serumpun



Oleh : Indra J Piliang



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato yang kini sudah menjadi 
dokumen negara di Markas Besar TNI Cilangkap tanggal 2 September 2010 lalu. 
Pidato itu bukan malah membesarkan hati rakyat Indonesia yang sedang diusik 
rasa nasionalismenya, malah menuai sinisme dan kritisisme dari kalangan 
menengah. Kekecewaan serupa muncul di kalangan masyarakat jelata.



Presiden SBY sebetulnya sudah menarik garis yang dikenal sebagai soft 
diplomacy. Hal ini berbeda dengan reaksi Perdana Menteri Malaysia Muhammad 
Nadjib yang menyebabkan ekskalasi pembakaran bendera Indonesia meningkat. 
Kelompok aktivis pemberang Bendera di Indonesia memang melemparkan kotoran 
manusia ke Kedutaan Besar Malaysia, sehingga memicu reaksi M Nadjib. Tapi kita 
paham bahwa Nadjib sedang menyiapkan diri menghadapi pemilu, sehingga sentimen 
nasionalisme Malaysia bisa menjadi konsumsi politik lokal. Sebaliknya, partai 
pembangkang pimpinan Anwar Ibrahim jauh lebih empati kepada Indonesia ketimbang 
UMNO.



Yang jadi pertanyaan, kenapa Cilangkap sebagai simbol militer Indonesia 
dijadikan sebagai tempat menyelenggarakan pidato Presiden SBY? Cilangkap adalah 
area dengan tingkat keamanan tinggi. Sebagai identitas simbolik akan pertahanan 
negara, justru pidato Presiden SBY kurang banyak menggali sisi itu. Masyarakat 
Indonesia tidak mengetahui dengan detil seberapa besar kekuatan militer 
Indonesia.



Momentum



Pidato Presiden SBY sebetulnya bisa menjadi momentum terbaik guna mengusung 
nasionalisme baru. Indonesia memang tidak mengenal konsep politik luar negeri 
yang ofensif. Sekalipun pernah menjadikan Timor Timur sebagai sasaran 
pendudukan, namun pada saat Indonesia lemah justru provinsi itu menjadi Negara 
Timor Leste. Dalam masa yang kritis itu, Indonesia seperti menghadapi tamparan 
luar biasa, terutama dari negara Amerika Serikat dan Australia yang memberi 
“restu” bagi pendudukan. Berbalik arahnya kedua negara itu – satu sheriff dan 
satu lagi wakil sheriff— menjadi catatan tersendiri akan rapuhnya dukungan 
negara-negara luar atas batas-batas wilayah Indonesia.



Dalam era Perang Dingin antara Uni Sovyet dengan Amerika Serikat, politik luar 
negeri Indonesia atas nama “Mendayung di Antara Dua Karang” menjadi relevan. 
Namun, di masa sekarang, doktrin itu ditambah dengan konsep politik luar negeri 
yang bebas dan aktif sulit dijalankan. Kebangkitan ekonomi Tiongkok membawa 
pengaruh kepada perlombaan di bidang ekonomi, ketimbang militer. Kita melihat 
dalam dekade terakhir terdapat usaha keras untuk melucuti senjata-senjata 
pembunuh massal akibat Perang Dingin.



Indonesia memiliki posisi yang baik, terutama dalam forum G-20, yakni 
negara-negara yang masuk kategori mempunyai kekuatan ekonomi terbesar di dunia. 
Malaysia tidak bergabung di dalamnya. Perang, misalnya, bisa menghancurkan 
posisi ekonomi negara yang lebih kuat itu. Amerika Serikat yang perkasa saja 
mengalami krisis, akibat begitu banyak dana yang digunakan untuk perang di Irak 
dan Afghanistan. Pilihan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dengan tak 
mengucap sentimen perang adalah tepat.



Namun, perang juga punya definisi yang lain. Tidak hanya konvensional berupa 
penggunaan senjata atau tentara, tetapi juga perlombaan di bidang ilmu 
pengetahuan dan teknologi, informasi sampai aspek-aspek kebudayaan. Hal inilah 
yang banyak dipertanyakan dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia, yakni 
tatkala kesenian tradisional Indonesia seperti Tari Pendet bisa “dirampas” oleh 
Malaysia, misalnya. Di balik protes yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, 
sesungguhnya terdapat perasaan bahwa Indonesia dikalahkan secara tidak adil. 
Nah, kenapa Presiden SBY tidak menyebut perang modern itu?



Serumpun



Presiden SBY malah menyampaikan upaya percepatan perundingan perbatasan dengan 
Malaysia. Diluar itu, terdapat satu masalah yang lebih serius, yakni dalam 
konteks negara serumpun. Bagaimana mengejawantahkan dalam kehidupan 
sehari-hari? Dalam masa Orde Baru, kita mengenal begitu banyak kota di 
Indonesia yang disama-samakan dengan kota-kota di negara lain, dengan sebutan 
sister city. Dengan konsep negara serumpun, apakah Indonesia-Malaysia adalah 
dua negara kembar?



Bagi saya, sebutan sebagai negara serumpun ataupun saudara kembar dan 
sejenisnya itu adalah strategi yang keliru. Dalam aspek apapun, Indonesia lebih 
besar dari Malaysia. Indonesia menjadi negara multi-etnis yang memberikan 
kesetaraan kepada setiap warga-negara. Kesejajaran dalam konteks sesama etnis 
Melayu-pun tak layak untuk Malaysia, mengingat konstitusinya tidak mengatur 
itu. Malaysia tetap menjadi negara dengan tiga etnis dominan: Melayu, Tionghoa 
dan India.



Malaysia juga negara kerajaan dengan sistem yang ketat. Warga memiliki 
kebebasan besar di bidang ekonomi, bahkan banyak perusahaan Malaysia menjadi 
tidak lagi jago kandang. Tetapi untuk menyatakan pendapat secara bebas, 
Kerajaan Malaysia melarangnya. Jadi, tidak ada yang mirip antara Indonesia 
dengan Malaysia, kecuali kerjasama di bidang ekonomi. Sudah saatnya sentimen 
serumpun atau saudara-saudaraan lainnya dihapuskan. Sentimen itu sungguh tak 
hidup di masyarakat Malaysia, hanya berkembang di sebagian masyarakat Indonesia.



Orang-orang Melayu mengatakan: musuh pantang dicari, bersua pantang dielakkan. 
Dan itu terjadi dalam hubungan antara Indonesia-Malaysia. Kalau memang tidak 
ada lagi rasa-keserumpunan itu, untuk apa dipaksakan? Indonesia adalah negara 
demokrasi, jauh lebih demokratis dari Malaysia. Namun, untuk menunjukkan 
ketegasan, jangan sampai demokrasi atau jajak pendapat yang dijadikan biang 
keladi. Jika Presiden SBY tegas sedikit saja, maka demokrasi tidak akan binasa 
dan Malaysia bisa lebih tahu diri lagi...



Penulis adalah Dewan Penasehat The Indonesian Institute



.


      

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.


-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke