Assalamu'alaikum Wr Wb...., Kapado Dunsanak kasadonyo........ Penulis judul ini mengizinkan ambo untuak di muek di Palanta, untuak ka di jadikan bahan renungan.....
MINANGKABAU MENANGISby Muhammad Ibrahim Ilyas on Friday, October 15, 2010 at 12:12pm Beberapa minggu ini, ada dua ungkapan Minangkabau yang bolak balik dalam fikir dan rasa. 'Raso dibao naiak, pareso dibao turun' dan 'Mamak tagak di pintu utang, kamanakan tagak di pintu baia' Kedua kalimat bersayap itu bergelut dalam kepala, kait mengait dengan kenyataan terkini dalam kebersamaan dan kekitaan orang Minangkabau. Anak nagari, di kampung halaman dan di perantauan, mulai terbelah dan benang kusut ini cenderung makin menggumpal, menyedak ke dada. Bermula dari dialektika, perbedaan pendapat berkembang menjadi perang kata-kata, dan kemudian terperangkap dalam wilayah yang tidak lagi mempertimbangkan etika kebudayaan Minangkabau itu sendiri. Salah satu pihak berupaya mempertahankan pendapatnya dengan segala cara, tidak lagi mempedulikan orang-orang yang berbeda pendapat. Setuju atau tidak disetujui mereka akan melaksanakan pemikirannya. Tak peduli apa pun akibatnya. Ketidakhadiran pihak-pihak yang berlainan pemikiran diartikan sebagai 'kalau aniang tando iyo' Disebarluaskan bahwa yang menolak tidak punya alasan penolakan yang kuat, tidak mengerti persoalan, konservatif, bahkan fasis. Pemaksaan sepihak, pembohongan publik, pengklaiman sepihak dan cara-cara yang menjauhkan kita dari keanggotaan suatu masyarakat budaya yang terhormat telah dilakukan. Tuduhan-tuduhan ini sertamerta juga menjadi pemicu emosi yang bisa membawa kita semua semakin jauh dari substansi dan esensi masalah yang diperdebatkan. Tidak heran, situasi dan kondisi emosional juga menular pada pihak yang lain. Jika raso dibawo turun, hawa nafsulah yang menguasai kita. Jika pareso dibao naiak, pemikiran yang kita lontarkan semakin mengawang dan menjauh dari kenyataan dan realita sesungguhnya. Generasi baru Minangkabau ke depan adalah para kemenakan. Apa pun yang dipersiapkan oleh mamak-mamaknya (generasi kemaren dan hari ini) akan berwujud pada buah yang mereka panen di hari-hari mendatang. "Mamak tagak di pintu hutang, kemenakan tagak di pintu baia" Mamak yang baik semestinya dapat mempertimbangkan kaki yang dilangkahkannya sebagai hutang, yang pada gilirannya akan dibayar oleh anak cucu. Tanpa terlalu jauh menoleh ke belakang, kita temukan dua peristiwa yang melukai perjalanan sejarah kebudayaan Minangkabau. Dasar pendirian LKAAM misalnya, sampai sekarang mengakibatkan lembaga itu 'angok-angok-i' memperjuangkan eksistensinya. Kenapa menyalahkan lembaga itu? Bukankah itu buah dari latar belakang pembentukan lembaga itu sendiri? Kenapa lembaga adat dan budaya disamakan strukturnya dengan struktur pemerintahan? Siapakah yang dulu mendirikan lembaga ini, arsiteknya kita semua tahu, dan sudah cukup banyak yang mengerti kenapa dulu lembaga ini dibentuk. Ketika alasan pendiriannya menjadi tak relevan lagi, lembaga ini kemudian ditinggalkan dan sekarang dicaci maki. Saya sempat berbicara panjang lebar dengan mendiang Kamardi Rais Dt. P. Simulie di Yogya tahun 2000 tentang ini. Waktu itu saya mengusulkan pada beliau agar LKAAM dibubarkan atau direformasi. Engku Datuk Simulie mengatakan harus diperbaiki dan saya menyetujui. Kepengurusan LKAAM bukan tidak menyadari ini, dua pengurus terakhir sudah berupaya keras membuat paradigma baru, berusaha lepas dari beban dan bayang-bayang masa lalu. Hasil Mubes terbaru memperlihatkan upaya memperbaiki dan memberdayakan lembaga itu sebagaimana seharusnya. Pemberdayaan lembaga ini memang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab kita semua. Dan sekarang, lembaga ini mau dilikuidasi oleh pendirinya sendiri, karena tidak patuh lagi pada kehendaknya, diganti dengan lembaga lain yang lebih mudah 'dikendalikan' Peristiwa lain yang mengharu biru kebudayaan kita adalah penyesuaian bentuk struktur pemerintahan sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Digantinya nagari dengan jumlah desa yang jauh lebih besar, waktu itu dianggap akan memberikan keuntungan, terutama dalam pembangunan ekonomi. Perubahan dilakukan dan DPRD menyetujui Perda yang diajukan Pemerintah Daerah. Kita secara sengaja memilih pendekatan ekonomi dan menafikan pendekatan kebudayaan (kebudayaan dalam arti yang luas menempatkan ekonomi hanya sebagai salah satu faktornya). Bertahun kemudian kita mulai merasakan masalah-masalah kebudayaan. Hal-hal yang tidak dipertimbangkan atau diabaikan ketika perubahan nagari menjadi desa, ternyata lebih besar dari alasan untuk merubahnya. Ketika desa dikembalikan menjadi nagari, ada banyak hal yang terputus dan tergilas. Paling tidak ada satu generasi baru yang tidak merasakan bagaimana situasi 'adaik salingka nagari' itu. Walaupun semua diusahakan sebagaimana mestinya, ditambah dengan aturan-aturan yang bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan pemerintahan, dalam prakteknya 'baliak ka nagari' masih dalam proses. Proses ini tengah berlangsung dengan segala dinamikanya. Mengembalikan nagari dengan segala perangkatnya dalam konteks kebudayaan ini harus didukung oleh semua orang Minangkabau, bukan malah menambahi beban dengan pembentukan lembaga-lembaga baru. Lembaga yang sudah ada saja, karena baru kita pakai kembali, belum berjalan secara maksimal. Mengganggu atau membebani proses 'baliak ka nagari' tanpa adanya upaya memetakan permasalahan nyata yang mereka hadapi, saya kira akan membawa kita pada suatu gempa budaya. Berkaca pada dua gejala penting dalam perjalanan budaya kita, tidakkah cukup alasan untuk menolak sebuah Kongres Kebudayaan yang akan dilaksanakan sekarang, dan harus sekarang juga? Tidakkah nurani kita terganggu dengan begitu banyaknya masalah lain yang harus kita tangani segera dan tidak dapat dijawab segera oleh hasil sebuah Kongres Kebudayaan? Kongres Kebudayaan (istilah ini saja dipertanyakan oleh banyak kalangan) atau apa pun lah namanya, ingin saya percayai sebagai sebuah niat yang baik dan mulia. Lalu, kenapa niat baik dan mulia itu harus dipaksakan bila ternyata banyak yang menolak dan sebagian besar yang lain tidak mengerti kenapa kita harus mengadakan Kongres? Kongres Kebudayaan Minangkabau? Kita harus menyepakati dulu, mana wilayah kebudayaannya (jelas bukan provinsi Sumatera Barat), atau hal lain, bahasa apa yang akan kita pakai dalam kongres kebudayaan itu. Banyak sanak kita masih berkutat dengan persoalan lain, yang mestinya mendapat perhatian kita bersama. Recovery dan rekonstruksi gempa misalnya, ini bukan hanya menyangkut hal-hal yang bersifat material saja. Masalah kebudayaan dan kearifan lokal sangat harus diutamakan dalam proses ini. Kita bisa berkaca pada bencana di Aceh dan Yogya. Yogya lebih solid dan pemulihannya lebih cepat justru karena adanya insitusi kebudayaan (kesultanan Yogya). Saya berada di Yogya ketika bencana 2006 itu. Persoalan lain juga banyak yang harus ditangani bersama, dan menurut saya sifatnya segera: lapangan pekerjaan, kesulitan melanjutkan pendidikan, nagari miskin dan terisolir, perubahan sikap moral masyarakat, kesehatan (angka HIV/AIDS), prostitusi (terselubung atau tidak), isu penyebaran agama. Sifat segera pada persoalan-persoalan ini, menurut hemat saya, tidak dapat diselesaikan oleh sebuah Kongres Kebudayaan.Saya membayangkan Minangkabau menangis, karena warganya saling caci maki, tidak bisa lagi duduk semeja, tidak dapat lagi berunding sesamanya, karena yang satu menempatkan diri lebih tinggi dan lebih berkuasa dan lebih tahu dari pada yang lainnya. Saya membayangkan Minangkabau menangis, dan saya dapat merasakannya. Marilah introspeksi, tanyai hati nurani. Benarkah kita memperjuangkan Minangkabau dan masa depannya? Atau kita hanya memperjuangkan pikiran dan kehendak kita sendiri, lalu kita atas namakan sebagai kebutuhan dan kehendak orang banyak? Tahun lalu Minangkabau menangis, karena gempa bumi. Sampai hari ini kita masih mendengarkan isak dan sedu sedannya. Hari-hari ini, tangis itu pecah lagi. Luka dan kesakitannya, saya rasakan lebih dahsyat dari akibat bencana yang terjadi setahun berselang. Bila memaksakan kehendak dan mau benar sendiri, alangkah malangnya negeri ini.Minangkabau menangis, alam takambang jadi ngilu... Salam, Marindo Palar -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.