Artikel ko panuah jo masalah teknis, masalah ilmiah nan ndak bisa dicerna
dek urang awam sarupo ambo.

Kalau di ambo cuma batanyo, apa yang harus dilakukan?

riri





2010/11/22 Anzori <anz...@yahoo.com>

> Gempa yang Mengintai Jakarta [image: 
> VIVAnews]<http://sg.rd.yahoo.com/sea/news/article/VIVAlogo/SIG=10vc6gd7e/**http%3A%2F%2Fvivanews.com%2F>
>  By Wenseslaus Manggut, Zaky Al-Yamani, Agus Dwi Darmawan - Senin, 22
> November
>
>    - 
> Kirim<http://mtf.news.yahoo.com/mailto?cid=464&ncid=19&prop=id09news&locale=sg&url=http://id.news.yahoo.com/viva/20101121/ttc-gempa-yang-mengintai-jakarta-078ed6a.html&title=Gempa+yang+Mengintai+Jakarta&h1=/viva/20101121/r_t_viva_tc_head/ttc-gempa-yang-mengintai-jakarta-078ed6a&h2=T&h3=464&s=ZXWVzcZ8D4jnlyMpuKyobC3mkrY->
>    - Kirim via 
> YM<http://id.news.yahoo.com/viva/20101121/ttc-gempa-yang-mengintai-jakarta-078ed6a.html>
>    - 
> Cetak<http://id.news.yahoo.com/viva/20101121/ttc-gempa-yang-mengintai-jakarta-078ed6a.html?printer=1>
>
>   
> <http://id.news.yahoo.com/viva/20101122/img/ptc-1290377896-2010-0-viva-12d679e5abf20.html>
>  Gempa
> di Selat Sunda 16 Oktober 2009
>
> VIVAnews - Masih lekat dalam ingatan Safarudin, saat Jakarta diguncang
> gempa tahun lalu. Rabu, 2 September 2009, pukul  14.55 wib, tukang ojek 27
> tahun yang biasa mangkal di dekat Wisma Nusantara itu terhenyak, ketika bumi
> yang dipijaknya bergoyang keras.
>
> “Kreeek…kreeek,” bunyi itu terdengar dari atas, begitu keras di tengah deru
> kendaraan yang lalu-lalang di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, yang mulai
> memadat. Safar menengadah ke langit, gedung-gedung jangkung di sekelilingnya
> terlihat berayun-ayun seolah-olah hendak rubuh menimpanya.
>
> Belum selesai ia mencerna apa yang tengah terjadi, sekonyong-konyong
> orang-orang dari dalam gedung Wisma Nusantara terbirit-birit berhamburan
> keluar gedung. “Gempa… gempa..” Tanpa pikir panjang lagi, Safar melompat ke
> motornya. Ia pacu gas sekencang-kencangnya menyusuri Jl Sutan Syahrir,
> menjauh dari rimba pencakar langit di pusat kota itu.
>
> Tak jauh dari situ, Sianto Wongjoyo, salah seorang Manajer di Dell
> Indonesia masih ‘terperangkap’ di kantornya yang berada lantai atas Menara
> BCA Grand Indonesia Jakarta. Kantor Dell yang baru setahun pindah ke gedung
> itu, memang terletak lumayan tinggi, yakni di Lantai 48 dari 57 lantai yang
> ada.
>
> Saat kantornya mulai bergoyang, Sianto tengah rapat. Biasanya ia tak
> terlalu sensitif terhadap gempa. Namun kali itu guncangan gempa cukup besar
> untuk menyadarkannya. Lantai bergoyang, kaca-kaca kantor bergetar,
> dinding-dinding berderak. “Kali ini harus saya akui, benar-benar hebat
> guncangannya,” Sianto menggambarkan.
>
> Dengan sigap, petugas keamanan memandu para karyawan berkumpul di lorong
> lift. Dalam hati, Sianto tak lepas berdoa. Menunggu cemas, hingga akhirnya
> gempa berhenti. Sesaat kemudian, semua dievakuasi keluar gedung, menyusuri
> anak tangga satu persatu. Jarak 48 lantai memang cukup membuat lutut sedikit
> linu. “Lumayan capek sih.” Di bawah, ribuan pengunjung dan karyawan yang
> berkantor di Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Wisma Nusantara, Hotel Nikko,
> sudah menyemut.
>
> Jangan lupa, Jakarta juga masih punya sekitar 1400 gedung tinggi lainnya.
> Praktis, aktivitas perkantoran di banyak tempat di Jakarta lumpuh sesaat.
> Padahal, episentrum gempa saat itu berada di perairan selatan Jawa antara
> Sukabumi dan Bandung, atau tepatnya di koordinat 7,809 derajat Lintang
> Selatan dan 107,259 derajat Bujur Timur.
>
> Di Jawa Barat Gempa berkekuatan 7,3 SR itu merenggut setidaknya 79 nyawa,
> 21 korban hilang, 63.717 rumah rusak berat, dengan perkiraan kerugian lebih
> dari Rp 300 miliar. Sementara di Jakarta, tak ada korban jiwa dan kerusakan
> yang berarti. Hanya saja, beberapa gedung mengalami keretakan di sana sini.
> Setidaknya peristiwa itu mengingatkan semua bahwa Jakarta bukan tempat aman
> dari ancaman gempa.
>
> Menurut Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Profesor Riset Hery Harjono,
> secara umum wilayah Jakarta memiliki formasi geologi berusia muda. Lapisan
> paling atas umumnya berupa tanah lunak yang terdiri dari lempung dan lempung
> pasiran yang berasal dari endapan pantai dan endapan akibat banjir yang
> berasal dari periode holosen akhir (berusia sekitar 12 ribu tahun).
>
> Kemudian, di bawahnya terdapat endapan aluvial volkanik yang berasal dari
> pleistosen akhir (berusia lebih dari 12 ribu tahun).  Di bawahnya terdapat
> endapan marine dan non-marine berumur Pleistosen Awal (sekitar 2.588 juta
> tahun). Di bagian paling bawah terdapat batuan berumur tersier (1,8 juta -
> 6,5 juta tahun).
>
> Ir Engkon K Kertapati, peneliti pada Pusat Survei Geologi – Badan Geologi,
> mengatakan bahwa Jakarta berada di atas tanah yang sangat lemah dan rentan
> terhadap guncangan gempa. Secara geologi, Jakarta terbagi dua wilayah;
> Jakarta bagian utara di mana permukaan tanahnya merupakan tanah lunak
> berusia holosen, dan Jakarta bagian selatan yang lapisan tanahnya relatif
> lebih padat dan berusia lebih tua (pleistosen).
>
> Bila gempa kuat terjadi, wilayah Jakarta utara paling rawan mengalami
> proses likuifaksi alias amblasnya permukaan tanah karena perubahan sifat
> tanah dari padat menjadi air karena gempa. Selain itu, sifat tanah di
> wilayah utara itu juga akan merambatkan getaran gempa sehingga mengalami
> amplifikasi atau perbesaran guncangan terhadap gedung-gedung di atasnya.
>
> Menurut Engkon, ini yang membuat Jakarta juga turut merasakan guncangan
> gempa Tasikmalaya yang pusatnya berjarak hampir dua ratus km dari Jakarta.
> Saat itu, wilayah Utara Jakarta mengalami amplifikasi gempa hingga 2 kali,
> sementara wilayah selatan Jakarta mengalami amplifikasi gempa sebesar 1,5
> kali.
>
> Oleh karenanya, ahli Gempa LIPI Dr Danny Hilman Natawidjaya mengatakan bila
> gempa Tasik bermagnitudo lebih besar, misalnya lebih dari 8SR, maka gempa
> itu bisa memporakporandakan Jakarta. “Ini bisa mematikan, seperti kejadian
> gempa di Meksiko tahun 1985,” kata Danny. Saat itu, ia menjelaskan, sumber
> gempa berjarak lebih dari 300 km. Namun, dengan kekuatan gempa sebesar 8,1
> SR, gempa itu meratakan kota Mexico City.
>
> Badan survei geologi AS, USGS, menyebutkan, setidaknya 9.500 orang tewas,
> 30 ribu orang terluka, lebih dari 100 ribu orang menggelandang karena rumah
> mereka hancur, 412 bangunan tumbang dan 3.124 bangunan lainnya rusak di
> Mexico City, dengan jumlah kerugian mencapai US$ 3 – 4 miliar. 60 persen
> dari bangunan-bangunan di daerah lain seperti Ciudad Guzman, Jalisco juga
> musnah.
>
> Dari catatan Prof Masyhur Irsyam, pakar teknik sipil ITB yang juga kepala
> tim revisi Peta Gempa Indonesia 2010, pusat gempa Meksiko terjadi di bawah
> garis pantai Pasifik Meksiko. Episentrumnya berjarak 380 km dari Mexico
> City.
>
> Lalu kenapa jarak pusat gempa yang begitu jauh tetap bisa mengoyak
> bangunan-bangunan di Mexico City? Ternyata kota itu berdiri di atas endapan
> lempung vulkanik yang berusia kurang dari 2.500 tahun. Ini menyebabkan
> getaran gempa di permukaan tanah bisa mengalami amplifikasi antara 4-5 kali,
> dan amplifikasi gempa pada bangunan bisa mencapai 21 kali lipat dari getaran
> di batuan dasar.
>
> Di Jakarta sendiri, gedung-gedung yang dibangun, musti memenuhi standar
> tahan gempa hingga 8 Skala Richter. Menurut Hermawan Sarwono, Direktur Utama
> perusahaan kontraktor umum PT Insani Daya Kreasi, gedung-gedung di Jakarta
> yang dibangun pasca 1989 sudah harus memenuhi persyaratan struktur gedung
> dan kinerja struktur gedung sesuai dengan Standar Nasional Indonesia 1989.
>
> “Bahkan, standarisasi pembangunan gedung pada 2002, ditingkatkan lagi
> melalui SNI 03-1726-2002 yang jauh lebih ketat dari standar SNI 1989,” kata
> Hermawan lagi. Namun, kata Masyhur, ada beberapa tahapan yang perlu dilewati
> dalam sebuah perencanaan bangunan di Jakarta agar tahan gempa.
>
> Pertama, harus diketahui goyangan atau percepatan di batuan dasar. Angka
> ini bisa diperoleh dari Peta Gempa Indonesia 2010, di mana percepatan di
> batuan dasar (Peak Base Acceleration/ PBA) Jakarta adalah 0.19 g (g =
> gravitasi bumi = 981 cm per detik kuadrat)  untuk 10 persen kemungkinan
> terjadinya dalam 50 tahun dan untuk perioda ulang gempabumi 475 tahunan.
>
> Setelah itu, perlu diketahui pula percepatan di permukaan tanah dengan
> menghitung efek kondisi tanah setempat, misalnya apakah tanah lunak atau
> tanah keras. Untuk Jakarta, goyangan di batuan dasarnya bisa saja sama,
> namun goyangan di permukaan tanah Jakarta Utara dan Jakarta Selatan berbeda,
> karena perbedaan tanahnya.
>
> Yang terakhir, perlu diperhitungkan goyangan di bangunannya sendiri, yang
> didasarkan pada perilaku bangunan tersebut. "Dengan mengetahui goyangan pada
> bangunan, maka dapat dihitung besarnya gaya gempa pada bangunan,” kata
> Masyhur.
>
> Padahal, hingga kini Jakarta masih belum memiliki peta mikrozonasi gempa,
> yang bisa secara lengkap menyediakan informasi peta kelabilan tanah,
> termasuk angka percepatan/ goyangan di permukaan tanah di masing-masing
> wilayah Jakarta. “Sayangnya di Jakarta kita tidak punya,” kata Masyhur.
>
> Padahal, Jakarta diintai oleh beberapa sesar aktif yang siap ‘menyuplai’
> getaran gempa yang bisa sampai ke wilayah Jakarta. Di antaranya adalah Sesar
> Cimandiri dengan magnitudo gempa 7,2 SR dan kecepatan pergerakan tanah 4 mm
> per tahun, sesar Lembang dengan magnitudo gempa 6,5 SR dan kecepatan
> pergerakan tanah 1,5 mm per tahun, dan Sesar Sunda dengan magnitudo gempa
> 7,2 SR dan kecepatan pergerakan tanah 5 mm per tahun.
>
> Belum lagi rumor adanya sesar purba bernama Sesar Ciputat yang konon
> terbujur dari Ciputat hingga ke daerah Kota. Danny Hilman mencurigai
> keberadaan sesar ini dari keberadaan sumber mata air panas di sekitar Gedung
> Arsip Nasional. Meski patahan aktif Jakarta belum terdeteksi, kata Danny,
> sejarah mencatat gempa besar pernah meluluhlantakkan Jakarta yaitu gempa
> yang terjadi pada 1699 dan 1852.
>
> Namun, tak semua setuju dengan indikasi keberadaan sesar di Jakarta.
> “Secara pribadi saya katakan  Sesar Ciputat tidak ada,” kata Engkon. Sebab,
> Jakarta tak memiliki sumber gempa dangkal yang merupakan indikasi dari
> kegiatan sesar. Namun, Engkon sepakat dengan Danny mengenai kejadian gempa
> 1699 yang sempat mengguncang Jakarta.
>
> Gempa tahun 1699, kata Engkon berpusat di selatan Gunung Gede, yang
> menyebabkan terjadinya kerusakan bangunan dan kerusakan parah di sekitar
> Hanjawar, Puncak. Sir Thomas Stamford Raffles juga mencatat dalam
> bukunya History of Java, "Gempa 1699 memuntahkan lumpur dari perut bumi.
> Lumpur itu menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan tak sehat,
> kian parah.”
>
> Menurut buku Encyclopedy of World Geography, gempa ini juga menyebabkan
> Sungai Ciliwung tertutup oleh longsor lumpur, dan pohon-pohon yang
> bertumbangan, sehingga terjadi banjir di banyak tempat. Tak sampai seabad
> kemudian, gempa kembali melanda Jakarta pada 1780.
>
> Sebuah Buku berjudul Transits of Venus: New Views of the Solar System and
> Galaxy mencatat bahwa Observatorium Mohr yang terletak di Batavia, adalah
> observatorium yang sukses melaporkan beberapa kejadian Transit of Venus
> (kondisi saat Matahari Venus dan bumi dalam satu garis). Namun,
> observatorium tersebut  hancur akibat gempa tahun 1780.
>
> Pada 27 Agustus 1883, Jakarta kembali diguncang gempa besar akibat letusan
> Gunung Krakatau yang memicu tsunami 35 meter dan menewaskan 36 ribu jiwa di
> Jawa bagian barat, dan sebelah selatan Sumatera. Dari catatan-catatan
> sejarah tadi, Jakarta memang pernah beberapa kali mengalami gempa hebat.
>
> Yang jelas, kata Engkon, ancaman bagi penduduk Jakarta adalah gempa-gempa
> dangkal yang bersumber dari Jawa Selatan yakni dari arah zona Subduksi
> (Megathrust) seperti gempa Tasik. Kerentanan Jakarta akan semakin parah bila
> daerah-daerah tesebut padat penduduk dan bangunan-bangunannya tidak atau
> kurang memperhatikan aspek bangunan tahan gempa.
>
> Oleh karenanya, Engkon menyarankan agar Jakarta bersiap sebelum bencana
> tiba, khususnya Jakarta Utara. Pasalnya, di wilayah ini berbagai
> infrastruktur penting berdiri, dari mulai pelabuhan, kegiatan ekspor impor,
> transportasi, daerah wisata, sentra-sentra perdagangan juga  peninggalan
> sejarah. ”Sebab, bagaimanapun juga, gempa bumi tidak akan membunuh manusia.
> Tapi, bangunan roboh lah yang bisa membunuh manusia,” kata Engkon.
>
>
>
>
> ------------------------------
> **
>
>  --
> .
> * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain
> wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet
> http://groups.google.com/group/RantauNet/~
> * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
> ===========================================================
> UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
> - DILARANG:
> 1. E-mail besar dari 200KB;
> 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi;
> 3. One Liner.
> - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
> http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
> - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
> - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
> - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama &
> mengganti subjeknya.
> ===========================================================
> Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
> http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.
>

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke