Oleh : Reflusmen Assalamualaikum wr wb
Angku, mamak, bundo sarato adi dunsanak sapalanta RN nan ambo muliakan. Sebelumnya, ambo mohon maaf karen a lah lamo indak mancogok di palantako, BB ambo rusak, indak bisa mambale / majoring email. Kesederhanaan Natsir, tak bisa dilupakan oleh George McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika adalah penampilan Natsir saat menjabat Menteri Penerangan ” Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat diantara para pegawai pemerintah manapun” Kata Kahin. Mohammad Natsir (lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun) adalah perdana menteri kelima, beberapa kali menjadi Menteri Penerangan, pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi dan pendiri Dewan Dakwa Islam. Beliau, salah satu toko Islam nan bergaul akrab dengan tokoh-tokoh Katolik, Kristen dan Komunis, selalu mengirim bunga saat Natal ke rumah Chris Siner Key Timu dan Natsir bisa minum kopi dengan D.N Aidit yang menjabat Ketua Central Committee PKI. Natsir yang mendukung Islam dan Soekarno menjagokan nasionalisme-sekularisme sebagai dasar Negara, tahun 1930 terlibat polemik panjang dan berakhir dengan saling mengagumi. Perbedaan ini malah membuat hubungan Natsir dan Soekarno di awal kemerdekaan sangat akrab. Presiden Soekarno dalam suatu pertemuan berucap ” Bung Natsir, kita ini dulu berpolemik, yaa… tapi sekarang jangan kita buka-buka soal itu lagi” Kepentingan Negara di atas perbedaan pendapat pribadi. Saat Syahrir sang Perdana Menteri mengusulkan Natsir menjadi Menteri Penerangan, Presiden Soekarno berucap ” Dialah Orangnya” dan Bung Hatta menjuluki Natsir sebagai ”Menteri Kesayangan”, tak satupun pidato Presiden Sukarno yang dibuat tanpa melalui persetujuan Natsir. Puncak kemesraan hubungan Soekarno dan Natsir, saat mosi kembali ke negara kesatuan mendapat suara mayoritas di Parlemen. Natsir menjadi Perdana Menteri dan wakilnya Sultan Hamengku Buwono IX, namun Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia tidak mendukung kabinet. Sukarno- sesepuh Partai Nasional Indonesia meminta dan mendukung Natsir membentuk kabinet tanpa kedua partai tadi. Kabinet ini dikenal dengan zakenkabinet alias kabinet ahli yang berasal dari orang-orang terpilih tanpa pertimbangan partai. Sayang, kemesraan ini berakhir karena Natsir kecewa terhadap Bung Karno yang memihak PKI dan cenderung otoriter. Natsir bergabung dengan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ( PRRI) /Perjuangan Rakyat Semesta pada tahun 1958. Natsir ditangkap dan dijebloskan ke penjara bersama tokoh lainnya tanpa pengadilan. Setelah Soeharto menjabat Presiden, Natsir dan beberapa tokoh politik lainnya dibebaskan dari penjara dan Natsir mengeluarkan pernyataan yang mendukung Orde Baru. Atas dukungan terhadap Order Baru tersebut, Natsir dijanjikan dapat melakukan gerakan politik, namun rencana Natsir untuk menghidupkan kembali Masyumi ditolak oleh Soeharto. Diawal Pemerintahan Soeharto, Natsir diminta untuk mencairkan hubungan Jakarta dengan Malaysia akibat operasi ”Ganyang Malaysia” pada zaman Sukarno. Permintaan ini, karena utusan Soeharto ditolak oleh Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rachman. Dengan tulisan tangan, Natsir mengirim surat kepada PM Abdul Rachman meminta memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Setelah menerima surat itu, hubungan menjadi cair. Pada tahun 1980 Natsir memperlihatkan watak aslinya, ikut menandatangani Petisi 50 karena melihat Soeharto yang cenderung Otoriter. Anggota Petisi 50 dilarang pergi ke Luar Negeri sehingga tahun 1990 Natsir tidak bisa menerima undangan dari Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Sains Pulau Pinang untuk menerima gelar Doktor kehormatan. Anwar Ibahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia menulis; Natsir, Politikus Intelektual. Hingga hari ini, sejak pertemuan pertama saya dengan Pak Natsir saat saya memimpin mahasiswa Malaysia di Indonesia, saya terkesan bahwa beliau adalah sosok, sikap dan tingkahnya sangat sederhana. Sewaktu saya ke Jakarta awal 1980-an saat menjabat Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan, saya ingin menemui Pak Natsir, namun beliau lebih dahulu datang ke Hotel dan kami sarapan pagi bersama di kamar Hotel. Ketika menemui Pak Harto, saya jelaskan bahwa Pak Natsir ibarat Bapak saya di Indonesia, kami hanya mengobrol secara umum, maklum, saat itu Pak Natsir terlibat Petisi 50. Terakhir, ketika saya menjabat Timbalan Perdana Menteri menemui Pak Natsir di hospital ketika beliau sedang tenat, suasana memilukan dan menyayat hati, saya sedih melihat keadaan hospital, dan saya merasa layanan sebegini tidak layak untuk seorang pemikir Islam besar. Saya rasa beliau wajar mendapat layanan yang lebih baik. Beberapa bulan kemudian, saya dapat berita beliau telah berpulang ke rahmatullah. Menarik, mengenal kisah tentang Natsir yang bersumber dari Buku : Seri Buku TEMPO ”Natsir” Politik Santun di antara Dua Rezim yang diangkat dari liputan khusus majalah Berita Mingguan Tempo. Buku ini diterbitkan oleh: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Majalah Tempo. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/