IAIN Dijamah JIL Saat MTQSabtu, 26 November 2011 03:31  
Persis di saat MTQ ke 34 Tingkat Sumatera Barat di­buka Meteri Agama 
Surya­dharma Ali di Pulau Punjung, Dharmasraya, Selasa 22 No­vem­ber 2011 lalu, 
di  Aula Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol (IB) Padang ber­lang­sung bedah buku 
berjudul 

Pembaharuan Pemikiran Is­lam Indonesia berupa tulisan Da­wam Raharjo, Luthfi 
Assyau­ka­nie, Ulil Abshar Abdalla dan lain-lain yang dikenal se­bagai 
penganjur Jariangan Islam Liberal (JIL). Hebat, memang.

Penyelenggara Komunitas Epistemik (kelompok kecil pemikir) Muslim Indonesia 
(KEMI) di antaranya aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan 
Berkeyakinan, kelompok yang pernah bentrok dengan Forum Pembela Islam  di 
lapangan Monas, Jakarta, Ahad, 2 Juni 2008.

Pembicara tunggal dalam acara ini, seperti diberitakan 

Haluan Rabu (23/11) adalah Abdul Moqsith Ghazali yang dikenal sebagai tokoh 
JIL, anggota tim penyusun, Kom­pilasi Hukum Islam (KHI) yang antara lain 
membolehkan pernikahan antar-agama. Ia menilai  susunan KHI lama banyak 
mengandung  ketidakadilan. Karena itu ia menyu­sun KHI baru dengan mengacu pada 
dalil bahwa  jika tidak ada dalil yang melarang untuk mengubah sesuatu hal, 
berarti itu merupakan dalil untuk mengubahnya (membuat dalil baru) (

Republika, Selasa, 5 Oktober 2004)

Sebagaimana diberitakan pemiki­ran-pemikiran yang dikemukakan Moqsith tampaknya 
berangkat dari prinsip-prinsip ajaran JIL,  yang melihat dan memahami ajar 
Islam atas dasar keilmuan dan rasionalitas. Moqsith, sebagaimana dikutip, 
antara lain menyebutkan bahwa kelemahan umat Islam saat ini selalu mengait­kan 
apapun dengan masa lalu. Misalnya, perjuangan agama sebagai dasar bernegara. 
Katanya, menja­murnya gerakan konservatif dalam beragama akan menyebabkan umat 
mengalami kemunduran karena sifat jumud dalam beragama.

Seperti sudah diduga, pemikiran JIL itu kontan disambut reaksi mahasiswa 
peserta diskusi. Adikur­niawan misalnya menyodok bahwa liberalisasi agama akan 
meng­hilangkan sakralitas agama. Islam hanya akan jadi sumber kajian 
intelektual belaka tanpa diikuti komitmen untuk mengikutinya. Padahal Islam 
merupakan ajaran yang sudah kompleks bagi kehidupan individu, masyarakat dan 
negara.

Pantas jika Alkhendra, Dekan Fakultas Dakwah, mengingatkan. Katanya, setiap 
orang boleh saja berpendapat. Tapi jangan sampai menambah kebingungan umat. 
“Masyarakat kita kini butuh kesejah­teraan, terlepas dari kemiskinan, bukan 
teori-teori yang yang masih mengawang,” ujarnya.

Irfianda Abidin, Ketua Komite Penegak Syari’at Islam (KPSI) menyangkan 
kedatangan  pentalon JIL di IAIN. Katanya, acara tersebut membahas hal yang 
sangat sensitif. Mestinya KEMI mengundang pemu­ka Islam dan KPSI, sehingga ada 
pengimbangan.

“Saya berharap para petinggi IAIN IB menjaga perguruan tinggi ini agar tidak 
dicemari gagasan liberalisme,” katanya.

Menjaga IAIN. Inilah yang sulit dilakukan di IAIN.  Entah merasa berdiri di 
buminya sendiri, berbagai diskusi dan seminar kalangan JIL terus  berlanjut di 
sana. Akhirnya IAIN bukan hanya dijamah melain­kan sudah dirasuki JIL. 
Buktinya, seorang dosen IAIN pada diskusi 5 Juni 2006 dengan gamblang 
membawakan makalah berjudul 

Agama dan Budaya Kekerasan. Ia merujuk sejumlah pandangan Barat yang melihat 
Islam sebagai bahaya, lalu, tanpa beban  menyodok ke arah ajaran Islam.

Ada tiga  hal yang selalu ditiupkan oleh penganjur JIL di Ranah Minang. Pertama 
bahwa di Minangkabau terjadi perampasan kemerdekaan perempuan oleh ninik mamak. 
Yang diajdikan bukti adalah keikutsertaan ninik mamak meneken surat-surat nikah 
keponakannya. Padahal ini berkaitan dengan pengakuan terhadap sako jo pusako.

Kedua, orang Minang mengajar­kan kekerasan permanen. Ia menyebut bukti pepatah 
“Sayang jo anak dilacuti, sayang jo kampuang diting­gakan”. Padahal, bahasa 
Minang selalu bermakna ganda. Lecut di situ bermakna ingatkan.

Ketiga, Islam mengajarkan keke­ra­san. Yang ditunjuk sebagai bukti adalah 
hadits yang mengatakan apabila anak-anakmu sudah berusia tujuh tahun belum 
salat maka lecuti dia agar salat. Padahal kata itu bermakna agar dibimbing dan 
diingatkan, bukan dipukuli layaknya mengajari binatang.

Bahkan mantan Gubernur Guber­nur Sumbar Gamawan Fauzi juga pernah disodok Siti 
Musdah Mulia, tokoh JIL di Metro TV persis sebulan setelah diskusi IAIN itu. 
Gamawan dipersoalkan karena saat Bupati Solok memberlakukan Perda Wajib Baca 
Tulis Alquran dan pakaian seragam muslim karena berbau syariat Islam. Tapi 
ketika Gamawan balik menyoal kenapa Musda yang menantang syariat Islam tak 
melepas saja jilbab dan berbaju pendek biar kelihatan pusarnya, Mursida terdiam.

Mantan Rektor IAIN, Maidir Harun juga menunjukkan sikap liberalnya saat dialog 

tungku tigo sajarangan di gubernuran 26 Juli 2006. Dengan berani ia 
menye­butkan bahwa pemberian nama-nama islami pada anak-anak muslim 
(sebagaimana dianjurkan Nabi Muhammad SAW-pen) merupakan arabnisasi dan 
antiglobalisasi. Tak aneh jika pemilihan Rektor IAIN Senin, 19 Desember dan 
berulang 29 Desember 2005, dianggap dira­suki kepentingan liberaliasi Islam. 
Akibatnya, kemenangan Prof Dr Nasrun Haroen yang Muhammadiyah atas lawannya  Dr 
Maidir Harun kemudian dianulir  Menteri Agama. Dan, seru deru tuntutan agar 
IAIN menjadi UIN juga tak terlepas dari upaya menjungkirbalikkan dari Islam 
sebagai basis dan subjek studi  menjadi Islam sebagai objek studi belaka.

Karena itu banyak yang menduga begitu terjadi pergantian ke­pemim­pinan di IAIN 
aktivitas kelompok JIL di IAIN akan semakin mendapat tempat. Dugaan itu seperti 
ada benarnya. Karena itu kini tinggal pada mahasiswa dan dosen serta pejabat 
yang ada. Akankah penye­baran pemikiran JIL  akan terus mendapat tempat di IAIN 
IB?

Jawabannya tergantung integritas  dan kesetiaan civitas akademika IAIN pada 
visi dan misi IAIN itu. Yaitu (visi) pengembangan ilmu, peman­tapan akidah, 
pembinaan moral, pengembangan wawasan islami yang menghasilkan lulusan yang 
berwi­bawa dalam ilmu, moral, dan iman serta mampu merespon kebutuhan 
masyarakat bangsa dan negara. Dan misinya: meningkatkan kualitas pengajaran, 
penelitian dan pengabdian sehingga tercapai kualitas prima sebagaimana yang 
diinginkan masya­rakat. Yaitu membangun wawasan saintifik, filosofis, moral dan 
teologi islami sebagai landasan aktualisasi keyakinan ilmiah dan imani antara 
agama, masyarakat dan negara. Memantapkan budaya ilmiyah, iman dan taqwa dan 
budaya kesalehan kedalam/keluar lingkungannya.

Sumber : 

http://www.harianhaluan.com/    
  
__

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke