Jum'at, 28 November 2008 Di Balik Layar Film Juara Kid Witness News Indonesia Pemeran Utama Takut Kambing, Software Editing Bikin Pusing
Film pendek karya siswa SD Islam Sabilillah dinobatkan sebagai juara nasional Kid Witness News (KWN) Indonesia, 20 November lalu. Kemenangan itu mengantarkan film tersebut mewakili Indonesia di KWN regional Asia Oceania di Sabah, Malaysia, dan internasional di Tokyo, Jepang. Bagaimana proses produksinya? Yosi Arbianto ------------------------------------------- "Alam adalah anugerah Tuhan yang diberikan secara cuma-cuma kepada manusia." Terdengar suara Kevin Vonny Putra membacakan preview film Maafkan Bapak, Aku Tidak Tahu (MBATT). An Nisa Nur Laila menyambungnya dengan kalimat, "Manusia sebagai pengelola alam ini harus menjaga dan merawatnya." Dalam film berdurasi 5 menit 25 detik tersebut, keduanya murid kelas lima SD Islam Sabilillah itu kebagian peran presenter dan reporter. Lalu, gambar hutan, ladang di pinggir hutan, dan hutan gundul ditampilkan sekilas. "Salah satu yang harus dijaga adalah hutan." Kembali suara Kevin mengiringi tampilan gambar pepohonan, dedaunan, dan monyet Taman Wisata Wendit yang bergelantungan. "Hutan kita adalah warisan nenek moyang dan juga titipan dari anak cucu kita." Suara keduanya menutup preview yang diakhiri dengan munculnya tulisan judul Maafkan Bapak, Aku Tidak Tahu. Cerita sarat pesan pelestarian lingkungan pun dimulai. Sosok Bapak (tidak disebutkan namanya, diperankan Maskur -salah seorang guru Sabilillah) menuntun sepeda memasuki halaman rumahnya. Sebuah rumah berdinding bambu bercat putih. Bapak itu penjaja topeng Malangan. Di belakang sepeda tuanya, tergantung beberapa topeng Malangan yang setiap hari dijajakan keliling Malang. Panji (diperankan Fahmi Anas Habibie, siswa kelas lima) adalah anak Bapak. Saat Bapak datang, Panji yang baru saja menonton televisi soal kerusakan lingkungan menagih oleh-oleh es krim. Namun, Bapak hari itu tak membelikan es krim. Alasan Bapak, "Dagangan hari ini sepi, Cah Bagus." Sedikit jengkel karena permintaannya tak dituruti, Panji pun masuk rumah. Sebentar kemudian, diam-diam ia mengamati dari balik jendela ketika Bapak memahat kayu untuk dijadikan topeng. Dia teringat cerita di televisi yang baru ditontonnya bahwa hutan rusak karena ditebangi masyarakat. Panji pun berpikir dan berguman, "Berarti Bapak perusak hutan karena menggunakan kayu untuk topeng dagangannya." Sampai akhirnya, suatu saat, Panji melihat sendiri Bapak ternyata tidak menebang pohon untuk membuat topeng, melainkan memanfaatkan sisa-sisa kayu di pinggir sungai. Dia pun merasa berdosa berprasangka buruk kepada Bapak. Saat itulah dia bilang, "Maaf Bapak, aku tidak tahu." Ungkapan itulah yang digunakan sebagai judul film. Fahmi sebagai pemeran utama mengaku cukup senang mendapatkan pengalaman membuat film pendek tentang ekologi dan budaya. Selain punya pengalaman menjadi aktor, siswa kelas 5 B ini gembira karena sekaligus "rekreasi" ke sebuah desa di Tajinan, salah satu lokasi pengambilan gambar. "Saya kan nggak pernah ke desa. Ternyata asyik," ungkap siswa kelahiran Maluku 6 Desember 1997 ini. Bocah yang bercita-cita menjadi aktor atau profesor ini mengaku mendapatkan banyak pengalaman dari proses syuting adegan. Mulai dari ketelatenan, kesabaran, dan juga ilmu akting. "Kan pas tidak dibelikan es krim itu harus sedih. Nah, aku bisa pura-pura sedih," kata Fahmi, lalu tersenyum. Ada pula pengalaman yang dianggap menggelikan bagi bocah bertubuh subur itu. Yakni saat mengambil adegan lari berangkat ke sekolah. Fahmi merasa dikerjai kameramen karena harus terus berlari, padahal sutradara (M. Hafidz Oktavian, siswa kelas 5) telah meng-cut pengambilan adegan. Fahmi pun sempat menangis karena merasa dikerjai. Padahal, itu hanya kesalahpahaman. Dia pun sempat benar-benar ngambek usai pengambilan adegan jengkel kepada Bapak. "Ya habis, sudah cut kok masih disuruh lari," ucapnya. Selain sedih karena salah paham, Fahmi ternyata takut kambing. Saat pengambilan adegan memberi makan kambing, Fahmi tak bisa konsentrasi karena takut. Akibatnya, pengambilan adegan dilakukan berulang-ulang. "Takut tangan saya digigit kambing," tutur bocah berkacamata minus ini lugu. An Nisa yang kebagian tugas menjadi reporter mengungkapkan, membuat film pendek memberikan pengalaman mirip petualangan. Sebab, kru dalam mengambil gambar harus naik turun perbukitan. Terlebih ketika sudut pengambilan gambar dari atas. "Ya kami panjat-panjat gitu. Asyik juga sih," kata bocah kelahiran Malang 20 Januari 1998 ini. An Nisa juga selalu ikut ketika merekam gambar di beberapa tempat. Antara lain Tajinan, Pagak, Poncokusumo, Sumber Brantas, Cangar, Wendit. Dengan mengikuti pengambilan gambar, dia punya banyak gambaran untuk reportase yang dia utarakan dalam naskah film. Sebagai reporter dan pembaca berita, An Nisa mengaku pengambilan gambarnya berulang-ulang. Pemicunya, dia kadang salah atau tak sempurna melafalkan teks. Sering lafalnya salah karena digoda rekan-rekannya. "Kan harus dihafal. Nah kadang lupa. Makanya harus diulang," ujar dia. Proses editing film bocah itu juga dilakukan siswa. Norma Aji Cemara Manani berperan sebagai editor. Siswi kelas lima C ini cukup lihai menggunakan program aplikasi movie maker. Memotong adegan dan disambung adegan lain. Namun, dalam editing film MBATT, Norma merasa kesulitan setengah mati. Apa sebab? Panitia Kid Witness News (KWN) mengharuskan editing menggunakan program aplikasi iMovie yang hanya ada pada sistem macintosh. Sistem ini hanya melekat pada komputer produksi Apple. Meski hampir mirip, karena tak biasa, Norma pun pusing luar biasa. "Pembina (M. Berlian) juga pusing. Saya juga ikut pusing," ungkapnya lugu. Namun, karena terus dipelajari, editing pun rampung sesuai jadwal. Norma mengaku mendapatkan pengalaman baru mengedit film menggunakan iMovie. M. Berlian menambahkan, film pendek itu menggabungkan pesan ekologi dan budaya. Menurut dia, topeng Malangan adalah sebuah tradisi yang sebenarnya menyelamatkan lingkungan. Memanfaatkan alam tanpa merusaknya. "Ini ide bersama dari kami," ucapnya. "Seperti yang dicontohkan Bapak, dia menggunakan sisa-sisa batang pohon yang hanyut ke sungai. Sama sekali tidak menebang pohon guna diambil kayunya," sambung guru berambut kribo ini. Dalam tradisi sebenarnya, topeng Malangan kerap memanfaatkan kayu hutan sebagai bahan. Namun aturannya, kayu yang diambil adalah cabang di atas dua meter. Pohon tak boleh mati saat kayunya dimanfaatkan. Sebab, kalau pohon mati, aura topeng juga ikut mati. "Ini satu filosofi pembuatan topeng Malangan yang dikemukakan Mbah Sutrisno, salah seorang perajin topeng di Tumpang yang seangkatan dengan Mbah Karimun," ungkap Berlian. Semua proses produksi film, lanjut Berlian, dikerjakan siswa. Termasuk pengambilan gambar, lighting, dan soundman. Pendamping hanya mengarahkan kalau ada yang kurang sesuai. Dia mengatakan siswa bisa cepat belajar karena sebelumnya mereka sering berperan dalam produksi film kecil-kecilan. "Biasanya kami main seni peran kecil-kecilan yang diambil gambarnya. Jadi, anak-anak ini tinggal diarahkan," kata guru ekstrakurikuler teater ini. (yn) http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=45096