JAKARTA (Media): Saat ini kecenderungan antibiotik menjadi tidak
ampuh dalam membunuh virus, bakteri, dan jamur, semakin meningkat.
Bahkan, hasil penelitian Divisi Penyakit Infeksi dan Tropik
FKUI/RSUPN Cipto Mangungkusumo memperlihatkan resistensi antibiotik
juga muncul di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) orang dewasa
maupun anak-anak.
Demikian diungkapkan tiga peneliti penyakit infeksi dr Latre
Buntaran SpMK, Prof dr Djoko Widodo, dan dr Khi Chen dalam simposium
International Parasitic Disease Update 2005 ke-1 dan Jakarta
Antimicrobial UpDate 2005 (JADE) ke-6, Sabtu (16/4) di Jakarta.
Menurut Latre, penelitian yang dilakukan pada 1999-2002 di ruang
IGD sebuah rumah sakit di Jakarta menunjukkan adanya kuman-kuman
yang resisten terhadap antibiotik.
''Bahkan antibiotik generasi ketiga yang biasa digunakan di IGD
pun kini menjadi resisten. Pola kuman ini sangat beragam dari gram
positif, gram negatif, hingga bakteri, jamur, candida, dan patogen
lainnya. Gram negatif paling banyak ditemukan dibandingkan gram
positif,'' kata Latre.
Sedangkan di luar negeri gram positif lebih dominan dibandingkan
gram negatif. Akan tetapi, kata Latre, rumah sakit di Indonesia
tidak perlu mencontoh pola kuman itu. ''Yang penting bagaimana
menekan kuman itu agar tidak berkembang menjadi ganas,''
jelasnya.
Latre mengatakan, penelitian serupa terhadap empat RS lain di
Jakarta juga menunjukkan adanya pola kuman yang resisten terhadap
antibiotik. ''Ini artinya pasien akan lama sembuhnya bahkan
cenderung bisa meninggal dunia karena kualitas hidupnya menurun.
Biaya pengobatan pun semakin tinggi,'' tambah Latre.
Sejumlah kuman yang banyak dijumpai di rumah sakit maupun IGD,
jelasnya, antara lain Staphylococcus aureus, Klebsiella
pneumoniae, E.coli, Enterobacter cloacae, Pseudomonas aeruginosa,
Streptococcus pneumonia, dan Enterococcus faecalis. Selama ini
sumber kuman terbesar yang resisten terhadap antibiotik ditemukan di
paru-paru, disusul perut.
Tidak sesuai
Pada simposium yang mengambil tema Peningkatan pengetahuan
antibiotik dan antiparasit menuju penatalaksanaan lebih baik di
bidang penyakit infeksi itu, Djoko Widodo menjelaskan,
meningkatnya resistensi antibiotik terhadap pembentukan pola kuman
di RS maupun ruang IGD disebabkan penggunaan antibiotik tidak sesuai
dengan ukuran.
''Banyak antibiotik yang tidak penting atau tidak perlu justru
diberikan. Atau antibiotik yang penting cukup disimpan dan tidak
digunakan. Akhirnya baru diberikan ke pasien saat menjelang
meninggal,'' kritik Djoko.
Ketidaktepatan memberikan antibiotik itu, lanjutnya, memunculkan
virus generasi terbaru yang lebih ganas dari sebelumnya, misalnya,
SARS. Terjadinya resistensi antibiotik terhadap kuman, kata Djoko,
sebetulnya dimulai dari awal ketika dokter pertama kali memberikan
antibiotik kepada pasien.
Timbulnya mikroba yang resisten, kata Djoko, berpengaruh pada
peningkatan penyakit infeksi seperti AIDS, ISPA, Tb, diare, dan
malaria. ''Ada kekeliruan di awal pemberian. Apabila memang pasien
itu terkena infeksi berat semestinya langsung diberi obat yang kuat,
lengkap dan sesuai ukuran. Namun selama ini justru pemberiannya
tidak adekuat. Dari sedikit demi sedikit dan kuman makin membandel.
Akhirnya dokter memberikan dosis tinggi, namun keadaan pasien tidak
semakin bagus atau menuju kematian.''
Sedangkan Khi Chen menjelaskan perlunya pemberian antibiotik satu
jam pertama setelah diketahui jenis penyakitnya. ''Pemberian
antibiotik satu jam pertama ini akan memberikan respons lebih baik.
Sebab obat ini harus melalui beberapa tahapan sebelum mencapai
lokasi infeksi.''
Dengan pemberian antibiotik sesuai dengan ukuran dan cepat akan
mempercepat tubuh memberikan reaksi. Pemberian antibiotik pada satu
jam pertama ini apabila pasien mengalami sepsis atau infeksi lokal
pada kulit dan darah sehingga terjadi respons hebat yang menyebabkan
patogen makin berkembang.
Pemberian antibiotik tidak tepat juga berdampak kerusakan pada
ginjal, hati, alergi, dan demam tinggi. Latre menambahkan, untuk
menekan terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik, para dokter
wajib mencuci tangan dengan antiseptik.
Salah satu contoh antibiotik yang tidak bisa lagi digunakan
akibat pemakaian tidak tepat, kata dr Nelwan dari RSUPN adalah
Para Amino Salicyl acid (PAS) yang diberikan untuk penyakit
Tuberkulosis (Tb).
(Nda/CR-48/H-1) |