RE: [balita-anda] Bahayanya DB dan lagi-lagi... PARAHNYA pelayanan RS

2004-02-16 Terurut Topik Sekretaris Operation

Return Receipt
   
Your  RE: [balita-anda] Bahayanya DB dan lagi-lagi... PARAHNYA 
document  pelayanan RS 
:  
   
was   Sekretaris Operation/OPR/JIEP/PAMA   
received   
by:
   
at:   02/17/2004 12:55:56  
   




RE: [balita-anda] Bahayanya DB dan lagi-lagi... PARAHNYA pelayanan RS

2004-02-16 Terurut Topik Doccon 2
Saya sangat sedih  membacanya ,sebab saya sendiri mengalami akhir bulan Juni 2003 pada 
anak saya Jane .Ceritanya persis  banget sampe infus lewat  leher kanan dan kiri, 
,juga vena session sampe 5 kali gagal di kaki sehingga sampe saat ini masih ada 
bekasnya.juga perut yang makin membesar persis kaya orang hamil 9 bulan. kami 
bersyukur pada Tuhan akhirnya Jane bisa melewati masa kritis tsb.
Semoga Mama Bima dan keluarga diberi kekuatan  dan ketabahan  menghadapi semua cobaan 
ini amin

Mama Jane

> -Original Message-
> From: Taufan Surana [SMTP:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: 17, 02, 2004 08:04 AM
> To:   [EMAIL PROTECTED]
> Subject:      [balita-anda] Bahayanya DB dan lagi-lagi... PARAHNYA pelayanan RS
> 
> Mat pagi...
> 
> Sebagai orang yg pernah terkena Demam Berdarah (DB), saya sangat sedih
> membaca artikel di KCM di bawah ini. LAGI-LAGI, RS yg terkenal mahalpun
> TIDAK MAMPU menunjukkan kualitasnya.
> 
> Hati-hati untuk semuanya sayangnya, tuntutan hukum tidak pernah
> dilakukan semaksimal mungkin.
> 
> rgds,
> 
> Taufan
> ---
> Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..."
> 
> Jakarta, KCM
> 
> Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru,
> Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata
> wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6
> tahun itu.
> 
> Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang
> menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan
> dokter juga tidak maksimal.
> 
> Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera
> 
> Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi
> tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1
> sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih
> mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima
> menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih
> mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah
> Bima pulang ke rumah dijemput supir.
> 
> "Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack.
> Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat,
> jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova,
> ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu.
> 
> Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah
> disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa
> disuruh Bima mengerjakan PR-nya.
> 
> "Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal
> sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR
> atau shalat," kata sang ibu.
> 
> Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat
> tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera
> kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan
> kisah binatang kesukaannya.
> 
> "Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil
> termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup
> tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang
> sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun.
> 
> Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang
> anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa
> panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius.
> 
> Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama
> sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus
> diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan
> alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang
> tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas"> 
> 
> Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke
> dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi,
> Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00
> pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu
> tubuh Bima masih cukup tinggi.
> 
> Pagi-pagi sekali, Jum> '> at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke
> Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya.
> 
> "Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter
> di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya.
> 
> Muntah-muntah
> 
> Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa.
> Nova kembali menghubungi ru

[balita-anda] Bahayanya DB dan lagi-lagi... PARAHNYA pelayanan RS

2004-02-16 Terurut Topik Taufan Surana
Mat pagi...

Sebagai orang yg pernah terkena Demam Berdarah (DB), saya sangat sedih
membaca artikel di KCM di bawah ini. LAGI-LAGI, RS yg terkenal mahalpun
TIDAK MAMPU menunjukkan kualitasnya.

Hati-hati untuk semuanya sayangnya, tuntutan hukum tidak pernah
dilakukan semaksimal mungkin.

rgds,

Taufan
---
Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..."

Jakarta, KCM

Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata
wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6
tahun itu.

Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang
menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan
dokter juga tidak maksimal.

Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera

Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi
tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1
sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih
mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima
menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih
mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah
Bima pulang ke rumah dijemput supir.

"Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack.
Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat,
jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova,
ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu.

Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah
disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa
disuruh Bima mengerjakan PR-nya.

"Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal
sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR
atau shalat," kata sang ibu.

Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat
tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera
kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan
kisah binatang kesukaannya.

"Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil
termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup
tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang
sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun.

Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang
anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa
panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius.

Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama
sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus
diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan
alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang
tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas"

Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke
dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi,
Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00
pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu
tubuh Bima masih cukup tinggi.

Pagi-pagi sekali, Jum’at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke
Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya.

"Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter
di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya.

Muntah-muntah

Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa.
Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang
mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa
karena dokter baru tiba siang hari.

Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat
Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit,
buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya.

"Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya suapi
lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu botol
Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai  kelelahan
mengejar antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova.

Usai shalat Jum’at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat deras.
Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes, seng,
terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di Jalan
Radio Dalam Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Siang itu, Bima batal pergi ke dokter, karena keadaan cuaca sangat
berbahaya.

Pukul setengah empat sore, ketika badai mereda, mereka baru bisa  berangkat
ke rumah sakit. "Jalanan porak poranda, akibat banyak pohon tumbang. Setelah
menunggu pohon digergaji dan disingkirkan dari jalan raya, mobil saya baru
bisa lewat," ujar Nova yang sampai di rumah sakit