Silakan baca sampai habis, dan kita bisa melihat mereka ( di India ) terus
mengembangkan SDM nya, gimana dengan kita ? masuk ITB sekarang 45 juta
rupiah, masuk UI FK nya bisa 75 juta ? ?
-----------------------------------------------------------------------------
-------------


Kuliah di India? "Nehi, Nehi" …

KEDUA orangtua Dodo, kini 26 tahun, setengah tidak percaya saat ia
memutuskan akan meneruskan kuliah di India. Dosen-dosennya tidak mendukung.
Kawan-kawannya di kampus juga dibuatnya heran. "Sekolah di India? Nehi, nehi
..!" kata kawan-kawannya berkomentar.

SEMULA jika ditanya keberadaan Dodo, orangtuanya pun hanya menjawab bahwa
Dodo tengah belajar di luar negeri. Nama India tidak pernah disebut-sebut.

"Hampir tidak ada yang memberikan dukungan saya kuliah di India," kata Sotar
Dodo, alumnus Jurusan Akuntansi Universitas Trisakti, Jakarta.

Lulus dari Trisakti tahun 2001, Dodo semula bermaksud meneruskan kuliah di
Filipina. Akan tetapi, gara-gara krisis, biaya untuk kuliah ke Filipina jadi
membengkak. Apabila tetap ke Filipina, ia harus menunda keinginannya
melanjutkan studi.

Saat itulah ia diberi tahu seorang kawannya, anak diplomat Indonesia di New
Delhi, tentang perguruan tinggi di India yang tidak kalah bagus dengan
perguruan tinggi di Australia, Inggris, maupun Amerika Serikat. Uang kuliah
dan biaya hidupnya pun relatif murah. Dodo tertarik dan nekat memutuskan
berangkat ke India.

Saat memulai kuliah di India, ia sempat terkaget-kaget. Boro-boro seperti
Kampus Trisakti yang metropolis. Kuliah ber-AC, restoran cepat saji, dan
tempat fitness di kampus, mau nonton film atau mencari barang-barang
bermerek tinggal menyeberang ke depan kampus. Kemewahan seperti itu tidak
akan ditemui di sebagian besar kampus di India. Apalagi di kota kecil Agra,
kota tempat Dodo kuliah.

"Di Trisakti saya kuliah ber-AC, dosen mengajar pakai slide atau power point
 semua ruang kelas pakai whiteboard. Begitu ke sini, kayak kembali ke SD
inpres! Kembali ke kapur dan papan tulis. Bangku pun harus dibersihkan dulu
sebelum duduk," ujarnya.

Dodo baru lega ketika masa kuliah dimulai. Pendidikan di India memang lebih
mementingkan isi daripada kulitnya. Meski gedung-gedungnya kusam, hampir
seluruh dosen yang mengajar di kampusnya bergelar doktor.

Mereka benar-benar mengajar, tidak pernah mewakilkan tugas mengajar kepada
asistennya. Dosen-dosen itu juga begitu gampang ditemui. Dodo yang berangkat
ke India atas biaya sendiri saat ini telah menyelesaikan studi master di
bidang perdagangan dan berniat melanjutkan ke tingkat doktor.

Penampilan fisik kampus-kampus perguruan tinggi di India memang tidak
menjanjikan.

"Perguruan tinggi di India memang tidak sibuk dengan urusan lipstik. Bagi
mereka yang penting substansi pendidikannya. Kecantikan dari dalam," kata
Wisnu Setiawan, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta yang tengah
menempuh studi master bidang arsitektur di New Delhi.

Kampus Indian Institute of Technology Delhi yang berada di peringkat keempat
sebagai universitas terbaik versi Asiaweek pada tahun 2000 juga sangat
bersahaja. Dinding-dindingnya kusam, sebagian lapisan semen pada tangga
menuju ke lantai atas ambrol, dan tidak ada mesin pendingin sekalipun panas
di New Delhi bisa ekstrem.

Penampilan fisik yang sangat sederhana itu jamak dijumpai di kampus-kampus
perguruan tinggi di India. Tetapi akses memperoleh ilmu berlimpah.
Perpustakaan lengkap dengan koleksi buku dan jurnal terbaru, komputer
terkoneksi internet dapat diakses gratis oleh mahasiswa, buku mudah dicari
dan murah.

"Dosen-dosen di sini sangat memerhatikan mahasiswa. Mereka mudah ditemui.
Semua pengajar saya bergelar doktor. Kalau di Indonesia sulit ditemui doktor
datang sendiri mengajar mahasiswa S1," kata Zamashari (24), yang baru saja
menyelesaikan studi Islam di Universitas Jamia Millia Islamia, New Delhi.

INDIA tidak diragukan lagi reputasinya dalam mengelola pendidikan tinggi. Di
bidang kedokteran, manajemen, sains dan teknologi, keberhasilan pendidikan
tinggi di India telah diakui secara internasional. Sekolah-sekolah
kedokteran di India dikelola dengan standar internasional sehingga
lulusannya laku bekerja ke luar negeri. Sekitar 30 persen dokter yang
bekerja di Amerika Serikat berasal dari India.

Di bidang teknik dan teknologi informasi, India adalah tempatnya. Tiap tahun
perguruan tinggi di India menghasilkan 200.000 ahli peranti lunak. Keahlian
mereka juga diakui secara internasional. Di Microsoft, raksasa perusahaan
peranti lunak di Amerika Serikat, tidak kurang 30 persen pekerjanya berasal
dari India meski Bill Gates hanya menyebut angka sekitar 20 persen.

India memiliki tujuh institut teknologi yang telah ditetapkan parlemen
sebagai pusat unggulan nasional. Tujuh institut teknik itu merupakan bagian
dari 13 perguruan tinggi yang ditetapkan sebagai pusat unggulan nasional
yang disokong dananya oleh pemerintah pusat.

Dalam penyelenggaraan pendidikannya, Indian Institute of Technology (IIT)
telah mencapai kelas dunia. Untuk warga India, biaya kuliahnya hanya sekitar
30.000 rupee, atau sekitar Rp 6 juta per tahun dan sebagian besar
mahasiswanya tinggal di asrama. Itu pun sekitar 80 persen mahasiswanya
memperoleh beasiswa.

"Sebagian besar mahasiswa kami tidak perlu merogoh kantong sendiri untuk
kuliah," kata Prof Khusal Sen, pengajar jurusan tekstil IIT Delhi.

Di IIT Delhi, sekitar 20 persen lulusan program S1-nya memilih meneruskan
studi. Sisanya langsung bekerja. Sekitar 80 persen di antaranya menyerbu
pasar kerja luar negeri, terutama Amerika Serikat.

Bagi warga India, IIT Delhi bisa membalikkan tangan nasib seseorang, dari
golongan bawah menjadi kelas menengah atas. Menurut Arnav Sinha, mahasiswa
tahun terakhir di Jurusan Teknik Kimia IIT Delhi, bila langsung bekerja di
India setelah lulus ia akan memperoleh gaji sekitar 400.000 rupee (Rp 80
juta per tahun) yang akan menempatkan dia dalam posisi kelas menengah atas
di India.

Reputasi yang mendunia itu juga mulai dicapai sekolah-sekolah bisnis di
India. Dalam beberapa tahun terakhir enam institut manajemen India melejit
reputasinya karena mengadopsi materi dan cara pengajaran yang berkelas
internasional. Indian Institute of Management di Ahmedabad, misalnya, hampir
disejajarkan sekolah bisnis di Harvard. Lulusan terbaiknya diperebutkan
perusahaan-perusahaan top di Amerika Serikat.

Di balik persoalan kemiskinan, buta huruf, dan angka putus sekolah di
tingkat pendidikan dasar yang tinggi, India menghasilkan ilmuwan-ilmuwan
terbaik di dunia. Sederet pemenang Nobel lahir dari negara berpenduduk
sekitar satu miliar itu. Sebutlah Amartya Sen pemenang Nobel bidang ekonomi,
Subrawanian dan Cancrashekar Venkantaraman di bidang fisika, serta Hargobind
Khorana di bidang kedokteran. Belum lagi Ibu Theresa pemenang Nobel bidang
perdamaian dan Rabindranath Tagore di bidang sastra.

REPUTASI gemilang perguruan tinggi di India itu belum diperhitungkan
orang-orang Indonesia yang ingin belajar ke luar negeri. Tiap tahun belasan
ribu mahasiswa Indonesia lebih memilih perguruan tinggi di Australia,
Inggris, atau Amerika Serikat. Tidak jarang pilihan itu asal ke Australia,
Inggris, atau Amerika Serikat tanpa ambil pusing dengan reputasi institusi
dan kualitas program studi yang dipilih. Mahasiswa Indonesia yang belajar ke
India jumlahnya hanya puluhan, itu pun sebagian besar berangkat ke India
karena memperoleh beasiswa.

Dalton Sembiring, Konsul Kebudayaan Indonesia di New Delhi, mengatakan
pendidikan tinggi di India merupakan alternatif yang baik untuk melanjutkan
studi. Sistem pendidikan tinggi di India telah diintegrasikan dengan standar
internasional. Sayangnya tidak banyak orang Indonesia yang mau belajar ke
India, apalagi untuk bidang teknik dan teknologi informasi. Padahal, kata
Suhadi M Salam-diplomat Indonesia di New Delhi- orang-orang India sangat
menguasai teknologi. "Di Amerika Serikat atau Australia sekalipun, banyak
pengajar teknologi informasinya berasal dari India," kata Suhadi.

Biaya kuliah dan biaya hidup di India masih tergolong murah untuk ukuran
mahasiswa asing. Untuk mahasiswa asing, biaya kuliah S1 rata-rata hanya
sekitar 500 dollar AS (kurang dari Rp 5 juta) setahun. Untuk program
magister bisnis, biayanya masih berkisar Rp 40 juta per tahun, sudah
termasuk biaya hidup di asrama.

Sayangnya, institusi pendidikan tinggi di India kebanyakan masih konservatif
dalam menawarkan pendidikannya untuk mahasiswa asing. Tidak seperti
perguruan tinggi di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat yang telah
mengemas pendidikan tingginya menjadi industri didukung dengan petugas
pemasaran yang agresif, pendidikan tinggi di India lebih bersikap menunggu.

Prof Khusal Sen dari Departemen Tekstil IIT Delhi mengatakan, lembaganya
tidak memberikan perlakuan khusus kepada mahasiswa asing. Mahasiswa asing
bisa saja masuk IIT Delhi asal lolos ujian saringan pertama dan ujian esai
yang diikuti tidak kurang dari 270.000 peminat.

Akan tetapi, sejumlah perguruan tinggi lainnya seperti IIT Roorkee dan
Universitas Jamia Milia Islamia menawarkan prosedur berbeda bagi mahasiswa
asing. Menurut Direktur IIT Roorkee Dr Prem Vrat, mahasiswa asing yang ingin
masuk IIT Roorkee cukup mengirimkan lamaran tanpa harus mengikuti seleksi
masuk bersama ratusan orang India lainnya, meski kualifikasi untuk mengikuti
studi di perguruan tinggi itu tetap disyaratkan.

India memang menjanjikan banyak untuk mereka yang ingin mencari ilmu. Akan
tetapi, untuk orang-orang muda yang ingin mencari kenikmatan hidup, India
bukan tempatnya. Jalanan di New Delhi dan kota-kota lain di India tidak
lebih beradab dari Jakarta. Lomba bunyi klakson tidak pernah sepi di jalanan
 Permukiman kumuh, orang miskin, dan pengemis ada di mana- mana. Mal dan
sinepleks hanya ada satu dua di dalam New Delhi. Di luar sejumlah kecil
enklaf yang dihuni superkaya, India masih berwajah miskin.

"Jangan harap bisa hidup bermewah-mewah kalau mau belajar ke India," kata
Suhadi.(P BAMBANG WISUDO)

Risdianto Widodo Ch <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
India dengan bangga telah berhasil menguji terbang pesawat sipil buatan
India pertama;Saras

Padahal Indonesia sudah pernah mendesain N250-100 yang lebih canggih dan
sudah terbang perdana tanggal 15 Agustus 1995 (9 tahun lebih dulu dari
Saras)

Bedanya di India industri berteknologi tinggi didukung penuh oleh pemerintah
dan masyarakat sedang di Indonesi IPTN dicaci maki, dibiarkan hampir
bangkrut, kehilangan karyawan yang pintar2 (yang mungkin sekarang ikut
mendesain Saras). Dan ini tejadi di saat industri penerbangan sedang booming
 bukti pentingnya pesawat terbang sangat untuk Indonesia.

Kelihatan Indonesia tidak memiliki strategi pengembangan teknologi.
Indonesia juga mengalami krisis mental teknologi. Kita lebih suka menjadi
pengguna teknologi daripada pencipta. Anak2 muda sudah tidak ingin jadi
engineer & researcher teknologi, karena masa depan suram (engineer IPTN yang
pinter2 aja pada dipecat), mendingan jadi lawyer, artis, politikus, ekonom

Sungguh suatu ironi untuk Indonesia !!!!

Salam
RC

Berita Saras: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0408/23/ln/1222813.htm

Kirim email ke