RE: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
Return Receipt Your RE: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah document : was Sekretaris Operation/OPR/JIEP/PAMA received by: at: 02/17/2004 12:58:15
Re: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
Inaalillahi wainnalillahi rojiunsedih sekali membacanya , saya sekeluarga turut berduka cita , semoga mama Bimo diberi kekuatan dan ketabahan , segala sesuatunya ada hikmahnya , mungkin Allah sudah mempunyai rencana lain buat mbak Nova .. tabah ya mba ... Ria Febriany Arief Australian Embassy Defence Section Ph: 021- 2550 5245 Fax : 021-2550 5225 - >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Re: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
inna lillahi wa inna ilaihi Raaji'un. Semoga yg ditinggalkan diberi ketabahan dan kekuatan iman dalam menghadapi cobaan ini. "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu" Semoga juga peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih 'cerewet' dan 'bertangan besi' dalam menghadapi 'orang-orang pintar' di rumah sakit sefavorit (mahal) apapun mereka berada. Waktu anak saya step dulu dan dibawa ke UGD-nya RS Puri Cinere juga saya sempet 'ngamuk2' di UGD setelah beberapa kali dan beberapa orang suster semuanya gagal memasang infus di tubuh anak saya dan dokter anak yg tidak datang2 karena kebetulan kata mereka prakteknya sore hari. Akhirnya setelah saya protes dan agak2 'marah' di ruang ICU, baru mereka menghubungi dokter spesialis anak yg sedang praktek di pagi hari untuk memeriksa kondisi anak saya. Maaf kalao kepanjangan, rgrd -Original Message- From: Arsita Laksmi Paramita <[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> Date: Tuesday, February 17, 2004 7:59 AM Subject: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah >Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..." >Jakarta, KCM > >Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, >Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata >wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6 >tahun itu. >Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang >menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan >dokter juga tidak maksimal. >Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera >Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi >tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1 >sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih >mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima >menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih >mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah >Bima pulang ke rumah dijemput supir. >"Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack. >Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat, >jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova, >ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu. >Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah >disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa >disuruh Bima mengerjakan PR-nya. >"Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal >sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR >atau shalat," kata sang ibu. >Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat >tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera >kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan >kisah binatang kesukaannya. >"Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil >termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup >tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang >sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun. >Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang >anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa >panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius. >Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama >sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus >diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan >alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang >tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas" >Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke >dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi, >Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00 >pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu >tubuh Bima masih cukup tinggi. >Pagi-pagi sekali, Jum'at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke >Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya. >"Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter >di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya. >Muntah-muntah >Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa. >Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang >
Re: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
Turut berduka cita sedalamnya kepada mbak Nova.. Saat membaca tulisan dibawah, harus berhenti 2 x karena kalo gak, air mata saya bisa tumpah dengan deras. Saya sangat memahami perasaan mbak Nova, ditinggalkan oleh orang yang sangat-sangat kita cintai, Bimo adalah belahan jiwa. Dengan kejadian ini semoga kita semua bisa lebih mafas diri. Salam, Mama Bryan - Original Message - From: <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Tuesday, February 17, 2004 10:09 AM Subject: RE: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah > Aduh saya sedih sekali bacanya, sampe nangis pelajaran berharga buat > kita... > > -Original Message- > From: Arsita Laksmi Paramita [mailto:[EMAIL PROTECTED] > Sent: 17 Februari 2004 7:59 > To: [EMAIL PROTECTED] > Subject: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah > > Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..." > Jakarta, KCM > > Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, > Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata > wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6 > tahun itu. > Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang > menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan > dokter juga tidak maksimal. > Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera > Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi > tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1 > sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih > mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima > menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih > mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah > Bima pulang ke rumah dijemput supir. > "Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack. > Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat, > jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova, > ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu. > Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah > disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa > disuruh Bima mengerjakan PR-nya. > "Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal > sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR > atau shalat," kata sang ibu. > Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat > tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera > kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan > kisah binatang kesukaannya. > "Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil > termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup > tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang > sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun. > Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang > anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa > panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius. > Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama > sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus > diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan > alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang > tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas" > Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke > dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi, > Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00 > pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu > tubuh Bima masih cukup tinggi. > Pagi-pagi sekali, Jum'at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke > Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya. > "Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter > di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya. > Muntah-muntah > Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa. > Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang > mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa > karena dokter baru tiba siang hari. > Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat > Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit, > buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya.
RE: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
Aduh saya sedih sekali bacanya, sampe nangis pelajaran berharga buat kita... -Original Message- From: Arsita Laksmi Paramita [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: 17 Februari 2004 7:59 To: [EMAIL PROTECTED] Subject: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..." Jakarta, KCM Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6 tahun itu. Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan dokter juga tidak maksimal. Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1 sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah Bima pulang ke rumah dijemput supir. "Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack. Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat, jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova, ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu. Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa disuruh Bima mengerjakan PR-nya. "Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR atau shalat," kata sang ibu. Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan kisah binatang kesukaannya. "Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun. Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius. Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas" Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi, Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00 pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu tubuh Bima masih cukup tinggi. Pagi-pagi sekali, Jum'at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya. "Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya. Muntah-muntah Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa. Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa karena dokter baru tiba siang hari. Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit, buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya. "Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya suapi lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu botol Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai kelelahan mengejar antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova. Usai shalat Jum'at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat deras. Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes, seng, terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di Jalan Radio Dalam Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Siang itu, Bima batal pergi ke dokter, karena keadaan cuaca sangat berbahaya. Pukul setengah empat sore, ketika badai mereda, mereka baru bisa berangkat ke rumah sakit. "Jalanan porak poranda, akibat banyak pohon tumbang. Setelah menunggu pohon digergaji dan disingkirkan dari
RE: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
Benar-benar membuat sedih, pagi jakarta hujan dan cerita ini membuat hujan air mata juga ... semoga tabah dan mendapat hikmah dibalik cobaan musibah ini ... yuli ibunya al&asa -Original Message- From: Arsita Laksmi Paramita [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, February 17, 2004 7:59 AM To: [EMAIL PROTECTED] Subject: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..." Jakarta, KCM - >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
RE: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
MasyaAllah ..Nau'zhubillahiminzhalig .. Benar-benar sedih sekali rasanya baca email ini .. sesak rasanya didada .. Ibu Nova ..semoga Allah berikan kekuatan bagi ibu .. Bima sayang .. bekal kunci syurga bagi ibu bapak mu Semoga Allah berikan ketabahan yang berlipat-lipat bagi ibu bapaknya Bima ..Amienn..Amienn ya Rabbal Alaminn... Salam Neneng *Ygsangatberduka* -Original Message- From: Arsita Laksmi Paramita [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, February 17, 2004 7:59 AM To: [EMAIL PROTECTED] Subject: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..." Jakarta, KCM Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6 tahun itu. Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan dokter juga tidak maksimal. Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1 sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah Bima pulang ke rumah dijemput supir. "Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack. Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat, jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova, ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu. Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa disuruh Bima mengerjakan PR-nya. "Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR atau shalat," kata sang ibu. Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan kisah binatang kesukaannya. "Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun. Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius. Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas" Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi, Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00 pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu tubuh Bima masih cukup tinggi. Pagi-pagi sekali, Jum'at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya. "Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya. Muntah-muntah Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa. Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa karena dokter baru tiba siang hari. Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit, buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya. "Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya suapi lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu botol Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai kelelahan mengejar antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova. Usai shalat Jum'at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat deras. Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes, seng, terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di Jalan Radio Dalam Raya, Kebayoran Ba
[balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..." Jakarta, KCM Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6 tahun itu. Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan dokter juga tidak maksimal. Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1 sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah Bima pulang ke rumah dijemput supir. "Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack. Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat, jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova, ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu. Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa disuruh Bima mengerjakan PR-nya. "Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR atau shalat," kata sang ibu. Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan kisah binatang kesukaannya. "Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun. Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius. Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas" Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi, Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00 pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu tubuh Bima masih cukup tinggi. Pagi-pagi sekali, Jum'at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya. "Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya. Muntah-muntah Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa. Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa karena dokter baru tiba siang hari. Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit, buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya. "Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya suapi lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu botol Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai kelelahan mengejar antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova. Usai shalat Jum'at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat deras. Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes, seng, terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di Jalan Radio Dalam Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Siang itu, Bima batal pergi ke dokter, karena keadaan cuaca sangat berbahaya. Pukul setengah empat sore, ketika badai mereda, mereka baru bisa berangkat ke rumah sakit. "Jalanan porak poranda, akibat banyak pohon tumbang. Setelah menunggu pohon digergaji dan disingkirkan dari jalan raya, mobil saya baru bisa lewat," ujar Nova yang sampai di rumah sakit pukul 18.30. Karena dokter langganannya ke luar negeri, Nova memilih dokter lain. "Saya pilih dokter yang namanya sudah sangat populer dan dikenal bagus," ujarnya Setelah Nova menceriterakan keadaan Bima, dokter memeriksa bocah itu dengan sangat teliti. Mulai dari telinga, hidung, mata, hingga mulut. Pa