Wajah Baru Hidangan Tradisional Belum lama ini saya terkejut melihat tampilan sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Padang di Senayan City. Namanya "Panice". Ternyata, singkatan dari Padang Nice. He he he! Kreatif! Straightforward! Penampilannya sungguh-sungguh out of the way.
Para tamu duduk di kursi-kursi individual seperti layaknya duduk di bar, menghadapi meja panjang yang lebarnya kurang dari setengah meter. Ada juga meja-meja untuk duduk berempat. Minuman dan nasi putih diantar pelayan ke meja. Lauk-pauk meluncur satu per satu di atas ban jalan (conveyor) yang terus memutar. Persis seperti yang biasa kita lihat di berbagai sushi-ya atau sushi bar. Para tamu cukup menunggu sampai lauk favoritnya lewat, lalu mengambilnya. Setiap warna pinggiran piring melambangkan harga lauk yang dimuatnya. Ayam pop, cumi, sambal udang pete di piring kuning berharga Rp 12.000. Rendang, gulai ikan mas, ikan balado di piring biru berharga Rp 10.000. Telur dadar, telur ceplok, sayur nangka, perkedel kentang di piring oranye, berharga Rp 6.500. Soto padang, soto iga, dan daging cincang dapat dipesan tersendiri. Memang lebih mahal dari harga-harga di warung padang langganan Anda. Tetapi, ehm, ehm, di sini 'kan berkemungkinan ketemu Nadya Hutagalung yang jadi ikon Senayan City? He he he! Sekalipun disajikan secara modern, citarasa hidangannya masih autentik dan Padang banget. Tidak disediakan mangkuk berisi air untuk cuci tangan, tetapi Anda tetap dapat pergi ke wastafel untuk mencuci tangan dan makan dengan cara Padang yang khas, yaitu tanpa sendok garpu. Memang, cara penyajian dengan conveyor seperti itu membuat kita tidak lagi dapat menikmati pemandangan para pelayan yang dengan tangkasnya membawa susunan piring-piring lauk di sekujur tangannya - bagaikan akrobat Beijing yang sedang beraksi. Tetapi, apa boleh buat. Sementara pemandangan tradisional seperti itu perlu terus dilestarikan, penampilan baru yang modern juga harus diberi tempat. Bukan hanya masakan Padang yang ditampilkan secara modern, masakan Jawa pun mulai dikemas penyajiannya dengan gaya mutakhir. Tahun lalu, Amna Sardono memerkenalkan saya pada "Warung Tempo Dulu" di Pasar Beling Solo. Warung ini terkenal dengan sajian pecel ndeso-nya. Sayuran pecelnya komplet, disajikan dengan tiga macam dressing alias sambal, yaitu: sambal kacang yang umum, sambal tumpang yang khas, atau sambal wijen yang istimewa. Nasinya pun bisa pilih: nasi putih atau nasi dari beras merah. Lauk-pauk tambahan untuk nasi pecel "ditebar" di atas meja lebar. Tempe dan tahu bacem, tempe kemul (tempe yang digoreng dengan salut tepung), wader goreng, empal dan jeroan goreng, dan banyak lagi lainnya. Sulit untuk menolak "lambaian" lauk-pauk yang tampak menggairahkan itu. Selain pecel dan aksesorisnya, "Warung Tempo Dulu" juga menyajikan berbagai hidangan seperti cabuk rambak, mangut lele, dan lain-lain. Warungnya sendiri ditata apik dengan berbagai perabotan antik. Sebuah warung dengan suasana dan sajian masakan yang Jawa banget. Semua teman yang saya ajak ke sana dijamin senang dengan makanan maupun ambience warung itu. Bulan Ramadhan ini "Warung Tempo Dulu" tutup karena menjalani renovasi. Mudah-mudahan renovasi itu akan membuatnya semakin bagus, dengan sentuhan artistik seperti sebelumnya. Karena itu, pastilah saya akan singgah lagi setelah Idulfitri ini. Di Semarang juga ada sebuah warung modern yang dinamai "Mbah Jingkrak" dengan logo bergambar seorang nenek funky yang sedang berjingkrak-jingkrak. Bukan jingkrak-jingkrak gembira, melainkan jingkrak-jingkrak kepedasan. Maklum, hidangan di "Mbah Jingkrak" memang penuh "ranjau" atau "petasan" alias hidangan yang puedes-nya pol! "Mbah Jingkrak" menyajikan berbagai hidangan bergaya home cooking yang sudah mulai jarang ditemukan di rumah maupun di restoran. Favorit saya di sana adalah mangut iwak pe, alias gulai pedas ikan pari. Wuiiihh, puedes dan semego atau nglawuhi - bikin nasi harus ditambah terus. Seperti "Warung Tempo Dulu" di Solo, warung "Mbah Jingkrak" juga menampilkan suasana hangat dan bersahabat dalam balutan dekor yang nyeni. Cara menata dan menyajikan makanannya juga artistik dan etnik serta menimbulkan gairah makan. Di Semarang sebetulnya juga ada warung "Koh Lim" di seberang Kolese Loyola yang menyajikan berbagai masakan rumahan khas Jawa seperti di "Mbah Jingkrak". Yang paling terkenal di situ adalah asem-asemnya yang sueger dan mak nyus. Sekalipun mutu masakannya sanget bole dipoedjiken, tetapi suasana dan pengalaman makan di "Koh Lim" tentu beda dengan di "Mbah Jingkrak". Di "Koh Lim" suasananya masih sangat raw. Tampilan "Mbah Jingkrak" dan "Koh Lim" juga mirip warung "Ma' Uneh" di Bandung, yaitu menyajikan makanan siap saji seperti layaknya di rumah makan Padang. Pada prinsipnya, memang banyak makanan Jawa yang justru meningkat citarasanya setelah menginap atau selesai dimasak beberapa jam sebelumnya. Di Jakarta sudah agak lama pula kita mengenal "Warung Pojok" yang hadir di beberapa mal. "Warung Pojok" menyajikan masakan Jawa dengan gaya warungan yang ditata secara modern. Konsep ini - warung di mal - tampak diikuti dengan kehadiran "Warung Betawi", "Warung Kita", "Warung Ekspres", dan lain-lain yang banyak bermunculan di mal dan food court. Tidak adil kalau saya tidak menyebut "Payon" di Kemang, sebuah warung yang tampil dalam skala grand. Suasana hangat dan ramah di "Payon" diperkuat dengan kehadiran taman yang luas dan melegakan. Pemiliknya pasti sangat cinta masakan Indonesia. Bayangkan, dengan lahan seluas itu di Kemang mestinya dia bisa membuat hotel atau bangunan komersial yang membawa keuntungan lebih besar. Mungkinkah kehadiran "Warung Pojok", "Warung Tempo Dulu", "Mbah Jingkrak", "Warung Kita", "Warung Betawi" dan lain-lain itu semua sebetulnya meniru sukses "Made's Warung" di Kuta, Bali, yang sudah belasan tahun menuai sukses? Yang jelas, warung-warung seperti itu menggarap niche yang berbeda dengan yang dikejar oleh restoran-restoran fine dining yang menyajikan masakan Nusantara, seperti "Kembang Goela", "Dapur Babah", dan "Lara Jonggrang". Ada kesan kuat untuk menampilkan honest food atau home cooking di warung-warung modern itu. Kalau di masa lalu Ibnu Sutowo pernah menjadi maecenas bagi masakan Indonesia dengan membuka restoran "Ramayana" yang disponsori Pertamina di New York, dengan perkembangan positif masakan Indonesia berkelas fine dining seperti sekarang ini, sudah waktunya untuk memikirkan ulang gagasan membuka restoran-restoran masakan Indonesia di luar negeri. Mosok tidak ada orang kaya atau perusahaan besar yang sudi mewujudkan corporate social responsibility-nya melalui food diplomacy? Thailand sudah membuktikan bahwa restoran adalah duta budaya yang ampuh dan telah mendatangkan jutaan turis ke negerinya. Mengapa kita harus terus-menerus gigit jari melulu? Akhirulkalam, Kakek, Nenek, Pakde, Bude, Ibu, Bapak, Paman, Bibi, Aa, Teteh, adik-adik, sadayana, Selamat Idulfitri. Mohon maaf lahir batin atas semua kesalahan. Terutama maaf bila saya membuat Anda ngiler selama melaksanakan ibadah suci Ramadhan. BONDAN WINARNO Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan masih akan terus melakukan pengembaraannya. (E-mail: <mailto:[EMAIL PROTECTED]> [EMAIL PROTECTED]) [Non-text portions of this message have been removed]