[ppiindia] Catatan Sastra Seorang Awam:MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA [14]

2005-11-26 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

14.


Kembali kepada masalah cara pengungkapan sastra lisan [oral]. Kalau 
pengamatanku benar, sastra lisan, terutama puisi ,  nampak bahwa puisi lisan 
seperti "Sansana Kayau" atau mantera-mantera di daerah Sungai Katingan, 
Kalimantan Tengah, selain bercirikan : [1]. pengungkapan yang langsung dari 
lubuk hati ; [2]. langsung menjawab keperluan kehidupan, dan [3]. walau pun 
sederhana tapi mempunyai puitisitas yang tinggi. Sederhana dan taraf puitisitas 
yang tinggi!. Dengan ciri-ciri ini, bisa kupastikan sastra oral tidak tergolong 
pada puisi-puisi gelap -- yang dipandang sebagai canggih atau modern. 
Puisi-puisi yang terkadang hanya penyairnya seorang yang paham akan maksudnya. 

Dalam kesederhanaannya, puisi oral  memperlihatkan usaha menyelami hakekat, dan 
tidak berhenti pada gejala di permukaan. Sebagai contoh , barangkali hal yang 
hakiki nampak dari pantun berikut:

"ke pulau sama ke pulau
ke pulau menangguk udang
merantau sama merantau
kalau mati, mati seorang"

Juga dari baris-baris alm.Cak Durasim pemain ludruk dari Jawa Timur yang 
dibunuh oleh pendudukan militeris Jepang:

pagupun omahe doro
melu nippon tambah sengsoro

Terjemahan bebas dengan harapan dapatkan puitisitas:

[pagupun rumah merpati
ikut nippon membuat  mati]


Pada baris "kalau mati, mati seorang", aku memahaminya terdapat masalah hakiki 
yang dihadapi oleh anak manusia dalam  hidup yaitu bahwa pada galibnya manusia 
itu adalah suatu individu dan individu ini menentukan sendiri jalan nasibnya, 
pada hakekatnya seorang anak manusia dalam menelusur jalan hidupnya tetap 
seorang diri juga. Orangtua, sanak-saudara, handai taulan, istri atau kekasih, 
keadaan sejarah atau lingkungan, betapa pun besar dan berartinya peranan 
mereka, tapi pada analisa terakhir, individu itu  seorang dirilah  yang 
menentukan.  Misalnya para tapol yang disekap di penjara atau pulau pembuangan 
Orba , hakekat ini pun tercermin. Macam-macam sikap dan perangai disaksikan 
bagaimana para tapol itu menghadapi cobaan ajal di bayonet Orba. Ada yang tetap 
gagah sampai  mati, ada yang belum apa-apa sudah menyerah dan sanggup jadi 
"tukang tunjuk" atau tak obah bagaikan "jago yang keok pagi-pagi". Hal ini pun 
terbayang pada berbagai sikap para mereka yang terpental di negeri orang. 

Sederhana dan kedalaman renungan agaknya tidak terpisahkan, juga tidak 
terpisahkan dari keindahan. Karena itu tidak gampang menjadi sederhana dan 
indah. Berindah-indah dengan kata-kata dan  kalimat tapi hampa isi,  kukira 
tidak bisa dimasukkan sebagai suatu kesederhanaan. Pengalaman dan kemampuan 
menyimpulkan pengalaman, kiranya, akan berperan besar untuk bisa sampai pada 
"sederhana dan indah".

Contoh lain, adalah apa yang kualami ungkapan penduduk kampung di Sungai 
Kapuas, juga sebuah sungai yang terdapat di Kalimantan Tengah. Kejadiannya 
sebagai berikut:

Setelah menyelesaikan SMA Santo Thomas di Yogyakarta, aku menggunakan waktu 
liburan untuk pulang ke Kalimantan Tengah dan sebelum sampai ke Katingan aku 
manfaatkan waktuku untuk ke Kapuas dari Barito. Tak ada satu alamat pun yang 
kupunyai di saku. Malam sudah tiba ketika aku tiba di Kuala Kapuas. Untuk 
mendapatkan tempat tidur, maka kuberanikan diri mengetok sebuah rumah yang 
lampunya masih nampak masih menyala. Ketika pintu dibuka oleh yang empunya 
rumah, kujelaskan maksudkan untuk mencari tempat menumpang tidur semalam. Juga 
kujelaskan apa-siapa diriku dan dari mana serta mengapa aku sampai ke Kuala 
Kapuas. Yang empunya rumah menyilahkan aku masuk dengan segala keramahan. 
Sebelum tidur, kami berbincang hulu-hilir dan kemudian yang empunya rumah 
menjelaskan tentang perpindahan penduduk Dayak dari satu sungai ke sungai lain 
dengan mengatakan:

"Kita ini nak, seperti burung yang terbang dari dahan ke dahan mencari buah 
manis" 

Kata-kata ini sangat sederhana tapi kurasakan memiliki tingkat puitisitas yang 
tinggi. Di dalamnya terdapat sejarah manusia Dayak dan harapan-harapan mereka 
yaitu "mencari buah-manis" sehingga harus "seperti burung yang terbang dari 
dahan ke dahan". Kecuali mengandung unsur sejarah, dari kalimat di atas pun 
kudapatkan unsur mentalitas serta psikhologi  manusia Dayak pada waktu itu.

Sedangkan puitisitas, adalah masalah teknhik pengungkapan dalam bentuk puisi. 
Pengungkapan diri yang memperhitungkan unsur-unsur sebuah puisi, terutama 
irama, persamaan bunyi, perbandingan, pilihan dan jumlah kata serta plastisitas 
ungkapan.  

Kembali mengambil contoh pantun di atas:

"ke pulau sama ke pulau
ke pulau menangguk udang
merantau sama merantau
kalau mati, mati seorang"
 
Pantun ini, kalau pengamatanku benar, sangat kaya akan persamaan bunyi atau 
persajakan, baik berupa sajak awal mau pun  tengah, apalagi sajak akhir. Dengan 
jumlah kata yang terhitung sesuai tradisi pantun, bait di atas mengungkapkan 
ide filosofis sang penyair anonimnya -- ciri lain dari puisi lisan --  secara 
singkat 

[ppiindia] Catatan Sastra Seorang Awam:MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA [13]

2005-11-26 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Sastra Seorang Awam



  MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
  PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

  13.


  Ony Basalin adalah salah seorang budayawan Sabah yang menaruh banyak 
perhatian terhadap sastra lisan Dayak di negara bagian Sabah. Bahkan dalam 
pengungkapan dirinya, Ony banyak menggunakan bentuk-bentuk [genre] sastra lama 
seperti pantun, genre sastra klasik yang sangat hidup di Sabah dan secara sadar 
dibimbing perkembangan dan pengembangannya oleh pemerintah negara bagian Sabah, 
misalnya dengan penyelenggaraan pekan pantun seperti yang baru-baru ini 
dilangsungkan di kalangan siswa-siswa Sekolah Menengah. 

  Salah satu ciri dari sastra lisan, selain pemeliharaan puitisitas,  kukira, 
seperti yang terdapat pada pantun atau mantera, adalah  pengungkapan yang 
langsung dan sederhana. Sastra lisan tidak pernah menjadi puisi-puisi gelap 
yang terdapat pada puisi-puisi yang disebut puisi modern. Ciri ini pun 
barangkali terdapat pada haiku  atau puisi-puisi Tiongkok Klasik. Kesederhanaan 
dan ungkapan langsung  sebagaimana yang terdapat di hati nurani. Dua ciri 
inilah yang kudapatkan telah menandai puisi-puisi Kathirina yang entah sadar 
atau tidak terpengaruh oleh konsep puisi-puisi sastra lisan Dayak. 

  Berbeda dengan Ony Basalin, barangkali Kathirina kurang intensif mempelajari 
sastra lisan Dayak, tapi karena ia berasal dari etnik ini juga dan dibesarkan 
oleh lingkungan budaya etnik Dayak juga, secara tidak sadar Kathirina telah 
dipengaruhi olehnya dalam  cara pengungkapan diri. 

  Pada etnik Dayak kehidupan berpuisi jauh lebih kuat dibandingkan dengan 
kehidupan berprosa --salah satu ciri dari masyarakat yang tergantung banyak 
pada alam serta agraris . Ciri ini, kukira menunjukkan peranan bangunan dasar 
[basic structure] pada bangunan atas [super structure].

  Ketika berbicara tentang kesederhanaan dan puitisitas, aku serta-merta 
teringat pada penyair kelahiran Aceh, alm. Agam Wispi, penyair yang hidup-mati 
dari puisi. Wispi mengatakan dalam filem dokumenter otobiografis yang dibuat 
oleh Yayasan Lontar pimpinan John McGlynn, Jakarta, bahwa puisi yang indah itu 
adalah puisi yang sederhana dan gampang dimengerti. Menjadi sederhana tidaklah 
gampang. Karena dalam sederhana terkandung keindahan dan dalam keindahan 
terkandung kebenaran. Untuk mencapai indah diperlukan kegiatan perenungan dan 
pencarian tak kepalang. Ini pun adalah salah satu ciri dari puisi-puisi 
Kathirina. Jika Kathirina menyadari ciri-ciri ini padanya, dan mengembangkannya 
secara sadar dengan mengkaji sastra lisan, sastra modern berbagai negeri, tidak 
hanya sebatas puisi-puisi Usman Awang alm, penyair terkemuka Malaysia, bisa 
diharapkan bahwa Kathirina bisa memadukan unsur lokal dan global dalam 
karya-karyanya. Puisi memang tidak mempunyai batas negara, etnik dan agama. 
Mengurung diri pada batas-batas ini hanya membuat diri sebagai penyair yang 
ketinggalan zaman, tertinggal dan membuat diri tertinggal secara sukarela dan 
secara tidak sadar. Ketertinggalan karena kecupetan cakrawala pandang diri 
semata, penyair yang tak obah bagaikan "katak di bawah tempurung". Kalau ada 
penyair yang mengatakan secara otoproklamasi sebagai "presiden penyair" seperti 
yang terjadi di Indonesia, kukira, penyair model ini pun secara hakiki tidak 
lain dari  penyair model "katak di bawah tempurung" juga adanya. "Katak di 
bawah tempurung" merasa dirinya besar alias ditandai oleh keangkuhan.  Ciri 
keangkuhan ini tidak terdapat pada Kathirina bahkan ia merasa dirinya tetap dan 
masih sebagai pelajar awal dalam dunia sastra-seni, sikap rendah hati yang 
merupakan modal penting untuk maju sekalipun ia pernah meraih hadiah pengakuan 
dari dunia sastra Sabah. Berbeda dengan sikap yang merasa diri sudah jadi 
penulis handal dan dengan gampang melecehkan orang lain. Menjadi sastrawan 
handal dan diakui dunia -- yang semestinya dijadikan standar -- adalah suatu 
proses jatuh-bangun dan kerja keras. Aku sering geli sendiri menyaksikan ulah 
otoproklamasi sementara penyair tapi tanpa disertai dengan produktivitas dan 
kualitas yang tak lepas dari studi, perbandingan dan percobaan. Dalam hal ini 
bakat menjadi faktor pelengkap dari usaha kerja keras yang menegasi segala 
keangkuhan jika ia dijadikan dasar mencari pengakuan dunia. Ya, standar 
dunialah yang kukira paling layak dijadikan patokan dalam bekerja, termasuk di 
dunia sastra. Dunia dalam arti standar tinggi, bukan standar "ecek-ecek". 
Standar yang dikenakan pada diri sendiri akan melahirkan karya yang sesuai 
dengan standar tuntutan diri itu juga seperti kata pepatah tetua kita bahwa 
"buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya". Karya adalah buah dari sastrawan, si 
pohon.

  Dengan standar dunia ini , sastrawan menjadi manusia yang terbuka bagi segala 
masukan. Bukan hanya melihat ke Barat atau ke Timur tapi ke segala penjuru 
untuk bisa menakar kadar diri . Juga melihat di mana ia dilahirkan. Ada 
kecenderungan kita hanya melihat ke Barat tapi sedikitpun tidak tahu 
kamp

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [12]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-25 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

12.



Sejauh ini, aku masih berbicara tentang masalah pandangan dan sikap Kathirina 
sebagai anak manusia dan penyair, dua hal yang kukira tidak terpisahkan. 
Apalagi setelah mencermati "puisi-puisi November"nya, barangkali, berangkat 
dari pengalaman pribadinya yang pahit-getir Kathirina banyak merenungi masalah 
manusia dan kemanusiaan , berusaha memahami arti hidup dan manusia secara umum. 

Biasanya dalam keadaan begini  tidak sedikit  orang yang dengan semena-mena 
memanfaatkan kepahit-geritan orang lain untuk kepentingan diri sendiri dan yang 
bersangkutan bisa dieksploatasi saat yang terkait menempuh jalan eskapisme atau 
jalan pintas. 

Membandingkan puisi-puisi Kathirina sebelum "sanjak-sanjak November" dan 
sanjak-"sanjak November"-nya, ada kudapatkan usaha penyair sekali pun 
tertatih-tatih untuk menyimpulkan pengalamannya. Keadaan ini memberikan 
kepadaku tambahan bukti bahwa melakukan kesalahan adalah suatu hak asal ketika 
menyadari adanya kekeliruan, yang bersangkutan sanggup mengkoreksinya.

Pengalaman-pengalaman hidup baik yang manis dan getir jika bisa bisa 
disimpulkan akan membuat seorang anak manusia dewasa dan menemukan jalan baru 
yang mantap atau lebih mantap. Inilah yang kunamakan sebagai proses perjalanan 
pencarian nilai seorang penyair dan langsung mempengaruhi karya-karyanya.

Dalam perjalanan pencarian nilai ini seorang penyair akan sangat banyak 
terbantu oleh jenis karya-karya sastrawan lain yang juga jatuh-bangun menemukan 
dirinya.Karya-karya para sastrawan lain adalah proses  penncarian diri dan 
nilai. Dari karya-karya tersebut, pembaca selain menemukan peliknya suatu 
perjalanan nilai, pembaca juga akan mendapatkan acuan nilai sehingga hidup 
tidak sebatas "for bread only", atau hidup asal hidup. Di samping itu, pembaca  
akan mendapatkan pelajaran secara langsung tentang tekhnik pengungkapan diri. 
Membaca adalah membanding. Dengan membanding penulis bisa meningkatkan dirinya. 
 Jika kita berbicara tentang kepenyairan maka di sini kita memasuki tekhnik 
kepenyairan.

Tekhnik pengungkapan diri, jika dilihat dari segi ilmu komunikasi, maka ia 
tidak lain bagaimana pengungkapan diri itu bisa komunikatif. Dan karena ia 
seorang penyair, maka masalah yang muncul adalah bagaimana tekhnik pengungkapan 
diri itu bisa puitis, yang jika menggunakan istilah pelukis Amrus Natalsja, 
memperhatikan unsur-unsur keindahan -- ciri dari kesenian!. Kuantitas dan 
kualitas bacaan tanpa batas, dalam hal ini akan banyak membantu sang penyair 
baik dari segi pemikiran maupun dari segi tekhnis. Apalagi aku tidak percaya 
penyair bisa lahir dan berkembang secara instingtif dengan mengabaikan belajar 
di mana membanding merupakan bagian dari pemelajaran. Aku tentu saja bukan 
penganut pandangan bahwa bakat menentukan kelangsungan berkembangnya seseorang 
sebagai penyair. Yang banyak menentukan adalah bagaimana penyair  menjawab 
apa-siapakah menjadi  penyair itu.

Di Indonesia, juga di dunia kepenyairan  Eropa Barat, ada sejenis puisi yang 
disebut "puisi gelap" artinya makin ia tidak dipahami pembaca, makin puisi itu 
dipandang sebagai bermutu tinggi. Tidak komunikatif pun dipandang tidak menjadi 
soal sekali pun sejarah hubungan  puisi dengan  kehidupan manusia, sejak awal 
lahirnya puisi tidak memperkuat alasan ini. Puisi gelap dan tidak komunikatif 
begini oleh penyair terkemuka Perancis abad ke-20, Paul Elouard, dinamakan 
sebagai "puisi para pangeran" atau "puisi anak raja", yang merasa diri mereka 
sebagai lapisan istimewa masyarakat [nomenklatura], lapisan yang merasa  tidak  
perlu mengerti mayoritas masyarakat tapi menuntut untuk dipahami. Lapisan "anak 
raja" atau "para pangeran" ini,  umumnya tidak mengenal kehidupan nyata serta 
permasalahan-permasalahannya karena mereka hidup di dunia tersendiri yang 
disebut "menara gading" [ivory tower].

Kathirinia yang berasal dari lapisan masyarakat bawah dan tidak lupa pada 
asalnya, bukanlah penyair "anak raja" atau yang merasa diri sebagai para 
"pangeran",   hal ini  terbukti  dari cara pengungkapan diri penyair yang 
langsung dan gampang dimengerti. Kathirina bukanlah pengikut aliran puisi-puisi 
gelap. 

Jika mencermati puisi-puisinya Kathirina baik yang terdapat di website 
"kathytati.tripod.com/bungakasih dan puisicintaku serta "puisi-puisi 
November"nya, ia bukanlah termasuk pengikut aliran "puisi-gelap" .Kathirina 
berbicara langsung dan sederhana seperti apa yang ada di hatinya sehingga 
sangat komunikatif. Misal,  dalam puisinya berikut:


 BERAPA BANYAK LAGI.
   
  Aku benci peperangan!
  Aku sudah tidak tahan melihat darah bertumpahan
  Tubuh jatuh bergelimpangan angkara peluru kejam
  Aku sudah puas melihat kemusnahan
  Aku benci kekejaman ini!
   
  Aku sudah tidak tega lagi.
  Melihat anak anak muda keperbatasan
  Kekasih kekasih hatiku ini
  Harus di hantar ke barisan hadapan
  Bertarung hidup bergadai nyawa
  Antara pulang 

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [11]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-22 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

11.


Milis mata-bambu dan watan_sabah, 22 Nopember kembali menyiarkan sebuah puisi 
Kathirina yang paling akhir. Dalam puisi terbaru ini, penyair berbicara 
tentgang masalah alam lingkungan. Lengkapnya puisi tersebut sebagai berikut:

AKU SAYANG PADA MEREKA
 
 
 
Seperti hari-hari berlalu kususuri lagi jalan ini
Ada kesedihan bertapak di hati
Ada sesal tertakhta di jiwa
Ada kekecewaan bermain di perasaan


 Aku bukan benci pembangunan
Apa lagi untuk kemajuan
Ini rezeki kotaku
Mewarnai darjat negariku.
Mengangkat martabat  negaraku.
 
Aku bukan anti kemajuan
Bangunan pencakar langit itu
Jalan jalan lelangit itu
Adalah kebanggaan kita
Maruah Negara kita..
 
Namun aku sayang padanya
Mereka di sana subur sebelum aku dilahirkan
Mungkin ditanam oleh generasi selepas perang
Atau mungkin sudah berada di situ sebelum perang
Tapi mereka membesar bersamaku
Masihku ingat di atas tubuhnya yang berkulit keras.
Aku mengukir janji cinta pertamaku.
 
Aku bukan benci pembangunan
Jauh sekali menjadi anti kemajuaan
Namun aku sayang padanya
Pepohon hijau dan rendang memayungi setiap mahluk bernyawa
Berkorban saban hari demi kita semua
Mempastikan pencemaran bukan santapan kita.
 
Hancur luluh jiwaku
Melihat satu demi satu mereka dibunuh
Rebah menyembah bumi
Aku nampak tangisan mereka
Aku terasa rintihan mereka
Aku  dengar keluhan  mereka
Ketika jatuh rebah menyembah bumi
Pembangunan memutuskan mereka harus pergi dari bumi ini.
 
Aku bukan benci pembangunan
Bukan juga anti kemajuan
Tapi cuma melepaskan kekecewaan
Kerana kita telah  korbankan keindahan alam 
Kita musnahkan struktur alam  sekitar
Bila taufan datang mengamuk
Bila banjir kilat datang melanda
Apa pun bentuk mala petaka datang mendadak
Dia tidak berada disana lagi
Menjadi penyelamat kita
Dan...
Aku takut Bandaraya Hutan tropika impian kita
Bertukar menjadi Bandaraya Hutan Batu Belantara
Yang bahangnya panas membakar
Membunuh penghuninya secara diam diam.
 
Aku bukan benci pembangunan
Apa lagi untuk kemajuan
Tapi pemusnahan alam sekitar
Harus kita bendung bersama.
Kerana mereka juga punya nyawa
Punya rasa, punya simpati
Seperti kita yang bergelar manusia.
 
 
Kathirina Susanna Tati 
Kota Kinibalu, November 2005



Dalam puisi ini kudapatkan protes, sinisme atau sindiran tajam tetapi juga 
harapan yang tidak hilang pada diri penyair. 

Protes atas kerusakan alam lingkungan ini, antara lain  nampak dari baris-baris 
:

Aku bukan benci pembangunan
Apa lagi untuk kemajuan
Tapi pemusnahan alam sekitar
Harus kita bendung bersama.

Sedangkan sinisme atau sindiran tajamnya, kurasakan pada pernyataan:

  
Kerana mereka juga punya nyawa
Punya rasa, punya simpati
Seperti kita yang bergelar manusia.

Entah, aku yang terlalu perasa sehingga memahami kata-kata "Seperti kita yang 
bergelar manusia"  sebagai sinisme atau sindirian tajam, ataukah juga pada 
kenyataannya penyair Kota Kinibalu ini pun berpandangan serupa. Yang jelas, 
berdasarkan materi yang kukumpulkan dari berbagai sumber, tidak banyak 
sastra-seniman yang hirau akan masalah lingkungan yang rusak, sekalipun 
kerusakan  lingkungan, sebenarnya langsung menyentuh diri pribadi siaapapun. 
Orang lebih asyik meratapi cinta yang patah dan kepatuhan pada dewa dan dewi di 
langit ketujuh  dan di  antah berantah dengan melupakan persoalan kongkret 
dunia nyata. 

Tidakkah pola pikir dan mentalitas begini lebih banyak merupakan ujud nyata 
dari eskapisme ketika kehidupan makin menekan dan menghimpit?! Dalam menghadapi 
kesulitan, sikap orang memang bisa bermacam-macam. Menghadapinya dengan gagah 
atau lari. Bentuk pelarian sangat beragam. Hanya saja pelarian tidak pernah 
memecahkan masalah.

Sejauh bahan yang kumiliki, sastrawan Sabah yang banyak membicarakan soal 
kenyataan kongkret dan tidak memasang rambu-rambu di jalan kesastrawanannya 
yang pasti adalah Kathirina, Ismaily Bungsu, Sitti Azizah, Rem, Hasyuda Abadi 
dan mungkin ada nama-nama lain tapi luput dari amatan dan data-dataku. 

Yang menarik dari sanjak Kathirina di atas bahwa penyair ini memperhatikan dan 
mengungkapkan antara lain tentang kerusakan lingkungan yang menandai keadaan 
pulau Kalimantan/Borneo sekarang.Tidak banyak sastrawan yang mengindahkannya 
karena mungkin dianggap tidak jadi urusan sastrawan-seniman. Perhatian yang 
menunjukkan bahwa penyair tidak lupa asalnya, tidak lupa pulaunya, dekat pada 
masalah riil kehidupan sehingga karya-karya penyair mencerminkan kehidupan 
masyarakat dan bukan hanya melolong-lolong tentang kehilangan atau putusnya 
cinta. Hal ini nampak dari luasnya lingkup perhatian penyair.

Dengan varian tema yang diolahnya, aku melihat bahwa  bagi penyair Kota 
Kinibalu yang disebut "kota di bawah bayu", tidak mentabukan apa pun. Tidak 
juga mentabukan politik [masalah lingkungan adalah masalah politik], sementara 
sastrawan lain membatasi masalah kebudayaan, sastra-seni hanya hanya pada soal 
sastra-seni seakan-akan sastra-seni i

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [10]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-21 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

10.




Hal lain yang menarik perhatianku pada puisi-puisi Kathirina, terutama 
puisi-puisinya yang kusebut "Puisi-puisi Nopember", terletak pada usaha penyair 
merenung dan menukik permasalahan yang dia angkat.Penyair tidak berhenti pada 
gejala dan permukaan permasalahan tapi ia mencoba menyelami lubuk hakekat 
permasalahan yang dalam. Misalnya pada puisi berikut:

UNIKNYA CINTA INI


Cinta ini terlalu unik
Terlalu sakral
Andai diri dibaluti namanya cinta
Tidak mengira usia
Tidak mengira darjat.

Cinta membuatkan manusia
Hilang perhitungan
Sanggup berkorban
Biar nyawa tergadai!
Membuatkan manusia menjadi buta
Tapi cinta itu bukan buta!

Cinta terlalu unik dan sakral
Sanggup melepaskan mahkota 
Nekad meninggalkan taktha
Mengejar kebahagian atas dasar cinta
Kebahagian yang samar
Satu perjudian
Antara bahagia atau derita!


Dalam puisi ini,Kathirina sedang berbicara tentang cinta.

Barangkali ada yang berpendapat bahwa tema ini tema usang dan tiada guna bagi 
kehidupan sehingga ada yang memandangnya jika berbicara tentang cinta, lalu 
sementara orang ini menganggapnya sebagai "memuakkan". Sayangnya, si pengkritik 
tidak mengajukan sedikit pun argumen nalar untuk menopang pendapatnya sehingga 
kita tidak bisa memandangnya serius, kecuali sebatas suatu umpatan emosional 
yang sulit dipandang sebagai kritik sehat dan membangun.Sekali lagi kukatakan 
bahwa bagiku tidak ada tema tabu untuk diolah oleh penulis. Masalahnya terletak 
pada bagaimana si penulis menggarap tema tersebut, dan hal ini banyak 
tergantung pada kadar si penulis.Juga cinta dan menggarap tema cinta, sama 
sekali tidak tabu. Apalagi cinta memang bisa dikatakan menjadi bagian nyata 
dari kehidupan anak manusia, bahkan jika diperhatikan, dalam kehidupan hewan 
pun, cinta juga terdapat.

Kathirina ketika mengolah tema cinta ini, ia mencoba merenungi dan menyelami 
lubuk hakekatnya -- yang tentu saja bisa dipandang dari berbagai segi.Karena 
seperti halnya dengan semua hal-ikhwal, cinta pun bersegi banyak dan samasekali 
tidak bersegi tunggal.Dibantu oleh pengalaman hidupnya, kegagalan dan 
kejatuhannya [Lihat: biodata singkat penyair di bagian terdahulu!], Kathirina 
sudah tidak lagi meratap dan merengek bagai remaja yang patah cinta pertamanya. 
Pengalamannya membawa Kathirina sampai pada kesimpulan bahwa di satu segi:

Cinta ini terlalu unik
Terlalu sakral
Andai diri dibaluti namanya cinta
Tidak mengira usia
Tidak mengira darjat.

Cinta membuatkan manusia
Hilang perhitungan
Sanggup berkorban
Biar nyawa tergadai!
Membuatkan manusia menjadi buta


Tapi di pihak lain, penyair juga melihatnya:"...cinta itu bukan buta!". Penyair 
malah melihatnya sebagai "terlalu sakral", pandangan atau kesimpulan yang sama 
dengan pandangan dan kesimpulan pemikir Perancis, Pascal Bruckner. Sebagai 
suatu hal-ikhwal, cinta, demikian, Kathirina, mengandung berbagai kemungkinan 
bagaikan permainan di meja perjudian di mana para pemain berhadapan dengan 
menang, kalah, tetap tegak kokoh atau terbanting jatuh. Tulis penyair:

Cinta terlalu unik dan sakral
Sanggup melepaskan mahkota 
Nekad meninggalkan takhta
Mengejar kebahagiaan atas dasar cinta
Kebahagiaan yang samar
Satu perjudian
Antara bahagia atau derita!

Cinta sebagai meja judi tidak menjanjikan kebahagiaan dan juga tidak memastikan 
akan hanya dapatkan derita kepada para aktornya. Kedua-duanya sama 
"samar"nya.Saling melaga.Barangkali penyair secara tersirat ingin berkata bahwa 
jika takut resiko janganlah mencintai. Dengan kesimpulan ini, nampaknya 
penyair, sanggup menghadapi apa pun yang terjadi tanpa meraung-raung jika 
kemudian mesti terbanting sebagaimana yang dikatakan oleh penyair Amerika, 
Longfellow bahwa "life is not easy".Sadar akan resiko ini maka penyair 
menajamkan pandang ketika berhadapan dengan soal cinta.

Dari kesimpulan dan sikap begini, aku melihat Kathirina sebagai anak manusia 
yang sudah mencapai taraf kematangan tertentu. 

Dengan contoh puisi di atas, yang sebenarnya ingin kukatakan bahwa seniman itu, 
sesungguhnya tidaklain dari seorang pemikir, seorang perenung dan pada usaha 
besar pemikiran inilah ia bisa memberikan sumbangan bagi pemanusiawian manusia, 
di samping sumbangannya pada bidang pembinaan bahasa -- sarana 
ekspresinya.Melalui pemikirannya ia menawarkan tentang manusia yang 
diandalkannya.Tentu saja,hasil pemikiran dan renungannya merupakan pintu lebar 
terbuka bagi suatu debat, tidak merupakan suatu kebenaran, tapi sebatas suatu 
acuan dan gelitikan pada renungan pembaca yang juga punya kedaulatan sebagai 
pembaca.

Jika hipotesa ini mendekati kebenaran, maka barangkali kadar sastra pun tidak 
terelakkan dari buah renungan dan pemikiran juga adanya.Artinya, tidak ada 
sastra yang disebut bermutu atau berbobot, tapi hampa wawasan pemanusiawian. 
Untuk mencapai taraf ini,aku jadi teringat akan sebuah wawasan yang terdapat di 
Indonesia pada tahun-tahun 1960-an yang mengharap

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [9]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-20 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

9.


"Namun kita harus bersyukur
Kerana dulu-dulu dan sekarang
Mengajar kita 
Dan 
Mmimpin kita ke jalan yang benar
Namun kita harus bersyukur
ke arah cinta sejati" 

[Kathirina Susanna]


Bait ini aku kutip dari puisi Kathirina Susanna yang disiarkan oleh milis-milis 
"mata-bambu" dan "watan_sabah" 20 Nopember 2005. 

Lengkapnya puisi tersebut adalah sebagai berikut:

INDAHNYA BUDAYA KITA

Pejamkan matamu.
Buka mindamu
Dengar
Dengar
Dan hayatilah
Merdu sungguh irama mendayu-dayu
Mengamit rindu yang panjang
 
Irama rindu seorang kekasih
Rindu pada kehijauan sawah terbentang
Pada kekunaingan padi
Bak hamparan permaidani emas
Pada keaslian desa dengan kicauan burung pagi
Pada irama asli menawan kalbu
Pada lembutnya lengok tari si anak desa
 
Pejamkan matamu
Dengar
Dan hayatilah
Indahnya jiwa irama ini
Terasa ada ketenangan disini 
Ada harmoni membaluti jiwa
Indahnya simponi lagu dalam budaya kita
Menyatukan silatulrahim
Membibitkan benih benih perpaduan
Inilah warisan tingallan nenek moyang.
 
Malukah kamu dengan keaslian budaya ini?
Dengan kesucian dan lembutnya bahasa kita ini?
Kita di sini
Biar berbagai etnik, berbagai kaum, tetap bersatu
Memelihara kesucian dan keaslian budaya kita.
 
Atau
Berbanggakah kamu dengan budaya asing itu?
Terlalak terlolong dengan irama membinggungkan
Meloncat menari dengan langkah-langkah sumbang!
Bukan!
Bukan itu budaya kita
Bukan itu ajaran nenek moyang kita
Bukan itu kebangaaan kita!
 
Pejamkan matamu
Hayatilah.
Dengarilah.
Asli dan sucinya budaya kita
Biar berbagai bangsa, berbagai kaum, berbagai  bahasa
Tetap bersatu mencipta keamanan
Dan mereka itu
Biar serumpun sebangsa
Namun berpecah, saling benci membenci!
Mencipta peperangan.
 
Dan
Bukalah matamu sekarang
Bangunlah dari mimpi siangmu
Dengari dan hayatilah
Tidakkah kamu rindu.
Pada sentuhan keaslian budaya kita
Pada murninya adat resam kita
Pada keasyiknya tari warisan kita.
Irama lagu rindu seruling bambu
Pada keunikan bunyi perpaduan Kulintagan
Pada rancaknya paluan Gong Warisan
Pada megahnya rentak Gendang bila di palu
Pada asyiknya petikan irama Gambus.
 
Tidakkah kamu rindu
Pada keaslian irama lagu warisan kita ini
Yang bersama bersatu menuju satu jalan
Yang tidak bersimpang-siur
Bersatu berpadu
Hormat menghormati
Kearah perpaduan kaum
Mencipta keamanan dunia!
 
Tidakkah kamu rindu semua ini.
Bangun dan melangkahlah
Jangan biarkan budaya dan adat kita
Lesap ditelan zaman
Dihapus dek budaya asing
Berbanggalah dengan warisan budaya kita.
Jangan biarkan warisan mati tanpa dibela.



Dalam puisi ini, Kathirina kembali memperkokoh keunikannya dengan membicarakan 
masalah masalah masa silam, hari ini dan esok di mana ia memperlihatkan sikap 
sejarah yang tandas dalam melihat permasalahan Sabah. Berdasarkan teks-teks 
yang aku miliki, tidak ada seorang pun penulis Sabah yang melihat masalah 
dengan sikap sejarah yang tegas begini. 
 
Bagaimana sikap sejarah Kathirina yang kumaksudkan? Hal ini antara lain bisa 
kita lihat dari puisi di atas, terutama pada bait berikut: 

"Namun kita harus bersyukur
Kerana dulu-dulu dan sekarang
Mengajar kita 
Dan 
Mmimpin kita ke jalan yang benar
Namun kita harus bersyukur
ke arah cinta sejati" 


Dari bait ini, aku melihat bahwa Kathirina, seperti halnya dengan kelompok 
sejarawan Annales Paris, memandang masa silam, hari ini dan haridepan atau 
esok, mempunyai saling hubungan pengaruh-mempengaruhi. Hari ini tidak akan ada 
tanpa masa silam, dan hari esok  dibangun atas dasar hari ini. Dengan pandangan 
ini,  Kathirina mengajak orang Sabah untuk tidak melupakan sejarah dan 
merenungkan makna tradisi serta modernitas. "dulu dan sekarang/mengajar 
kita/dan/ memimpin kita ke jalan yang benar", tulisnya.

Apakah jalan benar itu? 

Jalan benar ini menurut Kathirina  bahwa Sabah milik semua rakyat Sabah, Sabah 
yang  :

"Biar berbagai bangsa, berbagai kaum, berbagai  bahasa
Tetap bersatu mencipta keamanan"

 

Dengan sikap sejarah ini kemudian Kathirina mengambil sikap budaya dan sikap 
sastra membumi yaitu agar membangun budaya dan sastra atas dasar keadaan budaya 
dan sastra lokal yang sungguh-sungguh nyata. Dalam hal ini agaknya Kathirina 
bertemu dengan pandangan dan sikap filosof Perancis yang meninggal Mei 2005 
lalu, Paul Ricoeur atau Prof. Dr. Sajogyo dari Insitut Pertanian Bogor [IPB].

Paul Ricoeur melihat bahwa "kebudayaan lokal memungkinkan orang bisa berdialog 
dengan kebudayaan lain", dan  Paul menegaskan bahwa "kebudayaan itu majemuk 
sedangkan kemanusiaan itu tunggal". Kemajemukan adalah berbagai jalan mencapai 
tujuan yaitu kemanusiaan, memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, 
sesuai juga dengan konsep budaya Dayak, "rengan tingang nyanak jata" [anak 
enggang, putera-puteri naga] . Pandangan dan sikap begini dirumuskan oleh 
Prof.Dr. Sajogyo sebagai "Jalan Kalimantan" dalam perberdayaan diri [Lihat: 
Sahewan Panarung, Palangka Raya , 2000]. 

Denga

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [8]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-19 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

8.



Apa bagaimana posisi unik Kathirina dalam dunia kepenyairan khususnya dan 
sastra umumnya di Sabah? 

Tentu saja pertanyaan ini, tidak lebih dari pertanyaan hipotetis yang 
mengharapkan komentar dari teman-teman penulis Sabah, apalagi aku tahu benar 
bahwa pengetahuanku tentang Sabah masih sangat di bawah minim.Tapi perlu 
kugarisbawahi bahwa teks dan teks merupakan materi sendiri yang tak bisa 
diabaikan begitu saja oleh siapa pun.Teks mempunyai suara sendiri bebas dari 
kemauan subyektif siapapun, juga bebas dari kemauan si penulis teks ketika itu 
dilepaskan ke publik.

Secara agama, Kathirina Susanna,  kalau tak keliru, dan dari namanya saja bisa 
dipastikan ia bukanlah seorang yang menganut agama Islam. Tidak ada orang Islam 
bernama Kathirina Susanna. 

Kathirina adalah adalah seorang Dayak Kadazan yang menganut agama Katolik. 
Dibandingkan dengan agama Islam, di Sabah, agama Katolik tidak merupakan agama 
dominan atau mayoritas. Sekalipun ia beragama Katolik,tapi nafas kekatolikan 
tidak pernah menonjol dalam karya-karya Kathirina [lihat sanjak-sanjak Nopember 
dan website-nya].Sekali lagi apa yang kukatakan ini hanya berdasarkan teks-teks 
yang ada di tanganku. Beda halnya dengan karya-karya para penyair dan sastrawan 
Sabah lainnya yang memeluk agama Islam. Pada kelompok para sastrawan terakhir 
ini nafas keislaman sangat menonjol, yang juga tercermin pada komentar atas 
serie tulisan ini.Misalnya komentar di bawah ini:


- Original Message - 
From: salbiah Sirat 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Saturday, November 19, 2005 2:02 PM
Subject: [Watan_Sabah] Fwd: Re: catatan sastra seorang awam [7]: membaca 
puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah



"Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn majah,
Rasulullaah menyatakan jika cinta disandarkan kepada
harta boleh menyebabkan sombong diri, 
jika disebabkan kedudukan ataupun kemuliaan yang sementara,
Allah akan memberikan kehinaan di pertengahan dan jika cantik yang menjadi
sandaran boleh mendatangkan kecelakaan".
NursaraSarqina 
(salbiah sirat)


Lebih jelas lagi dari posting berikut:


 Original Message - 
From: othman abdul malek 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Saturday, November 19, 2005 2:14 PM
Subject: Re: [Watan_Sabah] sebuah situs dari yogya


Saya baca sikit2 artikel ini, tapi sebagai seorang muslim banyak perkara yang 
saya tidak setuju. Bagi kami agama Islam merupakan penyelesaian segala masalah. 
Dalil2 yang dikemukakan juga lemah cuma berdasarkan pemikiran penulis sahaja. 

Saya berpendapat artikel2 ini bukan pandangan dari seorang Muslim.

Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 

  Notify Blogger about objectionable content.
  What does this mean?  

  BlogThis!
  DISKUSI & PEMBELAJARAN KEBUDAYAAN 
  
.

  [dipotong]



Dan masih banyak teks-teks lainnya yang kiranya tak perlu aku beberkan di sini 
agar tidak memenuhi kolom, termasuk yang terdapat di milis [EMAIL PROTECTED], 
milis milik Ikatan Penulis Sabah [IPS].

Membandingkan teks-teks ini, aku melihat bahwa di Sabah jelas terdapat 
macam-macam agama dan aliran pikiran sebagaimana dicerminkan antara lain dalam 
artikel-artikel Rem yang dikirimnya dari Norwich. Belum lagi dihitung 
orang-orang Dayak dari berbagai sub-etnik yang ada Sabah yang tentunya ada yang 
masih berpegang teguh pada kepercayaan mereka.Pertanyaan sentral di sini, 
menjadi: Di mana letak kemajemukan jika ada pihak yang mendesakkan hegemoni 
atau dominasinya? Aku tahu, apakah memang Sabah menjurus ke pelenyapan atau 
penyingkiran aliran dan pandangan-pandangan lainnya dan menjadikan Sabah 
sebagai negara bagian beraliran atau berasas tunggal [la pensée unique] yang 
sebenarnya kadaluwarsa?. 

Pertanyaan ini kuajukan sebagai prinsip umum bertolak dari kenyataan bahwa 
dalam suatu negara atau propinsi, kabupaten, kecamatan bahkan kelurahan, secara 
demografis senantiasa dihuni oleh penduduk yang sangat beragam, tanpa niat 
mencampuri urusan Sabah -- walau pun sejak kanak, Sabah dan Sarawak bahkan 
Brunei tidak pernah asing di hatiku karena berada di satu pulau.Apalagi jika 
melihat ke depan, ke hari-hari yang sedang dijelang oleh penduduk penghuni 
pulau Kalimantan/Borneo ini. 

Sepengetahuanku,terutama di kalangan orang Dayak, perbatasan negara Malaysia 
dan Indonesia bukanlah menjadi perbatasan di hati.Mengatakan ini jauh dari niat 
mengobah perbatasan legal, tapi sekedar berpikir tentang bagaimana kerjasama 
saling menguntungkan bisa digalang, tanpa dominasi tapi dengan semangat 
repuliken: kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan [liberté, egalité, 
fraternité] agar masing-masing "dapat tempat dan dicatat" jika menggunakan 
kata-kata penyair Chairil Anwar.

Dalam perbandingan teks, aku melihat karya-karya Kathirina, ja

[ppiindia] Surat Kembang Kemuning: E.DU PERRON [1899-1940] TELADAN KEJUJURAN DAN PEMBERONTAKAN SASTRAWAN

2005-11-19 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI





André Malraux et Edgar du Perron en Bretagne

(Archives Kees Snoek) 

 

 

Surat Kembang Kemuning:



E.DU PERRON [1899-1940]
TELADAN KEJUJURAN DAN PEMBERONTAKAN SASTRAWAN



Amphie théâtre Universitas Sorbonne, 15 Agustus diisi  oleh pengunjung seminar 
tentang André Malraux dan Eddy du Perron dalam konteks Indonsia yang 
diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan Franco-Indonesia "Pasar Malam", 
Universitas Sorbonne, Sahabat Internasional André Malraux, dan Institut 
Néerlandais Paris. Kegiatan terencana begini diselenggarakan oleh Lembaga 
Persahabatan Franco-Indonesia "Pasar Malam" secara terprogram dalam dalam 
rangka memperkenalkan dan mempromosi Indonesia melalui pendekatan kebudayaan. 

Sayangnya pihak resmi perwakilan Indonesia yang terkait di Paris, pada 
kesempatan ini tidak nampak hadir padahal dari segi politik atau pun dari segi 
tugas diplomatik, menghadiri kegiatan begini yang hanya menguntungkan 
Indonesia, sama sekali tidak ada kerugiannya, juga tidak menimbulkan masalah 
protokoler diplomatik.Aku tidak tahu apa yang menjadi alasan pihak resmi 
perwakilan Republik Indonesia memilih tidak hadir.Apakah karena tidak tahu 
adanya kegiatan ini, ataukah karena André Malraux seorang sastrawan kiri [tapi 
mendapat penghormatan tertinggi dari pemerintah Prancis nampak dari tempat 
pemakamannya yaitu  di Pantheon,makam putera-puteri terbaik Perancis].

Dari segi kepentingan Indonesia, kegiatan tipe ini samasekali menguntungkan 
Indonesia. Bahwa André Malraux seorang budayawan kiri seperti juga akhirnya 
Eddy du Perron akhirnya berkembang menjadi seorang humanis anti kolonialis, 
kukira secara konsepsional yaitu dari segi nilai-nilai republik dan 
keindonesiaan, sama sekali tidak ada pertentangannya. Hanya pandangan yang 
tidak memahami atau menolak bahwa makna Republik dan Indonesia saja yang akan 
mempertentangkan secara konsepsional republik dan keindonesiaan dengan konsep 
kiri karena konsep memanusiawikan manusia adalah suatu pandangan kiri juga 
adanya.Kiri tidaklah monopoli kaum Marxis tapi adalah sebutan bagi semua pihak 
yang mau memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat serta orang-orang 
jujur dan berhati nurani. Republik dan Indonesia adalah konsep kiri. Hal ini 
dibuktikan oleh proses perkembangan Eduard du Perron.

Dari anak seorang kaya pemilik tanah besar yang lahir dan hidup di Indonesia 
tanpa kesulitan ekonomi dan politik apapun, akhirnya Eddy memihak rakyat 
Indonesia dan menentang kolonialisme Belanda setelah ia mempelajari dan melihat 
dengan mata kepala sendiri-sendiri praktek-praktek tidak manusiawi dari 
pemerintah kolonialis Belanda sehingga membangkitkan pemberontakan jiwa pada 
E.du Perron.

Keberpihakan Eddy pada rakyat Indonesia, kupandang sebagai ujud dari sikap 
jujur seorang anak manusia yang punya hatinurani dan sikap teladan bagi 
sastrawan sebagai warga repulik berdaulat sastra-seni yang menjunjung kebebasan 
berpikir dan bertindak. Kebebasan berpikir dan mencari memberikan kepada para 
sastrawan-seniman untuk menemukan. Sedangkan pembudakan jiwa dan pikiran, baik 
secara sukarela atau terpaksa,  membuat manusia kehilangan harkat dan martabat 
kemanusiaannya. Keberpihakan Eddy adalah hasil pencarian dan pengamatannya yang 
berarti bahwa keberpihakan merupakan buah pengamatan dan perenungan manusia 
bernurani atas kehidupan dan lingkungannya terutama sehingga keberpihakan tidak 
lain dari suatu proses pilihan sadar atas dasar pengetahuan atas kehidupan riil.

Dekatnya Eddy dengan kehidupan riil telah mengantarnya pada suatu taraf baru 
pemikirannya yaitu memiliki kesadaran politik, tanpa usah menjadi partisan 
suatu kekuatan atau partai politik apapun. Menjelang akhir khayatnya, menjadi 
seorang sastrawan yang sadar politik -- kesadaran yang di negeri ini sekarang 
di negeri ini, di Indonesia, sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak 
diperlukan sastrawan. Padahal dari kehidupan E. du Perron, ternyata kesadaran 
politik membuat pandangan sastrawan-seniman kian tajam dan sangat membantunya 
dalam berkesenian dan menjalankan hak-wajibnya sebagai warga republik berdaulat 
sastra-seni yang bercirikan kebebasan berpikir dan bertindak alias sebagai free 
thinker dan bukan beo atau semata menyuarakan "his master's voice". Menjadi 
sastrawan-seniman, dari pengalaman E.du Perron,  nampak padaku menyangkut 
kemampuan kita menjadi anak manusia berharkat dan bermartabat yang bukan hidup 
asal hidup dan mengutamakan pemburuan nama. Akhirnya riwayat E.du Perron 
memperlihatkan bahwa yang utama bagi seorang anak manusia yang benar manusiawi 
bukanlah nama, bukanlah kelimpahan harta, tapi nilai manusiawi dan kemampuannya 
mewujudkan nilai-nilai manusiawi itu. Dari segi material, E. du Perron 
samasekali tidak terusik. Tapi ia akhirnya tidak melihat kelimpahan materi ini 
yang menentukan kadar kemanusiaan dirinya dan kesastrawanannya.

Eddy, jadinya, selain salah satu lambang hati nurani dan kejujuran mencari 
serta kesetiaan pada temuan pencariannya, ia juga kulihat

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [7]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-18 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

7.


Tema dan permasalahan yang diangkat oleh Kathirina sangat beragam, misalnya 
dalam sanjak di bawah ini ia berbicara tentang perbandingan kehidupan di kota 
dan di desa:


ANTARA DESAKU DAN KOTAMU

Di desa aku melihat kedamaian
Kehijauan sawah luas terbentang mengamit rinduku
Keharmonian mewarnai benakku
Jernihnya air yang mengalir di celah batu batu 
Membayangkan ada kedamaian di sini.
Ada keamanan yang menyejuk rasa.

Namun di kotamu
Ketika mendongak melihat indahnya kondo kondo
Aku merasai ada keegoan di sini 
Debu dan kesesakan seluruh kota
membayangkan kematian bakal menjemput 
Setingan yang tumbuh bagai kulat di pinggir kota
Kulihat satu pencerobohan!

Arggghh!
Terlalu jauh bedanya
Antara kedamaian, keharmonian dan ketenangan
dan 
Keangkuhan, keegoan dan pencerobohan!

Arrrh
Terlalu jauh! 
Terlalu jauh!
Seperti langit dan bumi!
Antara desaku dan kotamu
antara kekolotan dan kemajuan
antara adat dan kebebasan
antara keindahan dan kejahilan
antara kedamaian dan pencerobohan
Terlalu jauh 


Sedangkan dalam puisi; "Jangan Tuan, Jangan!",  Kathirina berbicara tentang 
perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang terhadap kaum buruh atau mungkin juga 
terhadap para TKW [Tenaga Kerja Wanita],  tentang penjual ganja yang tertangkap 
polisi,  tradisi dan modernitas, masalah jender dan berbagai aspek kehidupan. 
Dan dalam dalam menghadapi masalah apa pun, Kathirina mengambil posisi yang 
tidak banci atau oprtunis tapi berpihak pada yang dianggapnya benar dan adil 
tanpa menghiraukan segala resiko. Barangkali keberpihakan yang tegas ini 
berawal dari latarbelakang hidup Kathirina semasa remaja yang penuh kesulitan 
sehingga ia merasakan benar apa arti kepahitan hidup dan perlakuan yang tidak 
adil. Pada saat ia mncapai hasil-hasil tertentu dalam pekerjaan, dan menduduki 
posisi yang tidak jelek, ia tidak melupakan nasib para bawahannya, atau  
buruh-buruh perusahaan yang berada langsung menjadi tanggungjawabnya. Ia dengan 
tegas membela dan memperjuangkan nasib mereka tanpa menghiraukan segala resiko 
yang mungkin tiba. Jika menurut pelukis-pematung  Indonesia, Amrus Natalsja, 
unsur keberpihakan merupakan salah satu unsur penting dalam berkesenian 
disamping unsur ilmiah atau benar dan indah. Unsur keberpihakan ini sudah 
dimiliki oleh Kathirina, sampai-sampai ia sanggup menderita demi orang lain.  
Semangat inilah yang melatarbelakangi puisi Kathirina "Jangan, Tuan, Jangan!":  
 

JANGAN,TUAN!JANGAN!
 
Jangan lihat mereka seperti anjing, Tuan
Mereka juga manusia seperti kau dan aku
Ada perasaan.
Tahu rasa sakit.
Tahu rasa lapar dahaga
Menerti apa itu penghinaan
Dan punya maruah diri.
Jangan layan mereka seperti anjing, Tuan
Kita ada undang undang
Kita kaya budi bicara
Kita masyarakat yang penyayang
Adili mereka seperti mengikut perlembagaan
Bukan mengikut perasaa kita.
Jangan kasari mereka, Tuan
Mereka itu seperti abang daan adik kita
Seperti ayah dan ibu kita
Seperti saudara mara kita
Tidakkah simpati melihat darah daging kita dibuat begitu?
Jangan Tuan...
Mereka datang kerana nama mencari rezeki
Meninggalkan kampung halaman
Mengharungi berbagai derita 
Coba membina hidup baru
Segala karena keterpaksaan
Karena mau mencari arti kehidupan
Arti kebahagian
Sehingga lupa kita ada undang undang.
Tapi Tuan..
Jangan layan mereka seperti anjing
Mereka punya rasa malu dan sesal
Punya rasa marah dan terhina
Jangan biarkan mereka terbakar begini
Kita tunjukkan pada mereka
Negara kita berdaulat
Punya perlembagaan yang adil
Maukan rakyat yang berwawasan
Inginkan keamanan dan sepakatan
Bukan inginkan persengkataan
Bukan mencari permusuhan
Adili mereka dengan saksama, Tuan.


Membaca puisi di atas ini, pada dasarnya Kathirina adalah seorang humanis dan 
keberpihakannya dalam berkesenian serta hidup sehari-hari juga berangkat dari 
sikap seorang humanis.Pemberontakannya pun pemberontakan penyair humanis.

Luas lingkup jamahan perhatian penyair Kota Kinibalu ini, memungkinkan ia 
memberikan sumbangan besar dan lebih besar lagi kepada duniaa sastra dan 
masyakarat Sabah jika ia rajin mengamati, mengasah pisau analisa dan tingkat 
tekhnik penulisan melalui kerja keras dengan latihan demi latihan sadar 
terancang.

Dari segi kebenaran data,jika menggunakan ukuran Amrus Natalsja tentang 
sastra-seni, kukira, berkat pengamatan dan pengalaman serta kedekatannya dengan 
kehidupan, data-data yang diungkapkan oleh Kathirina,tidak terlalu jauh dari 
kenyataan dan kebenaran. Artinya dari tiga unsur sastra-seni yang diajukan oleh 
Amsrus Natalsja, telah dipenuhi oleh Kathirina. 

Dibandingkan dengan puisi-puisinya yang terdapat di website, puisi-puisi 
Nopember 2005 Kathirina nampak lebih luas cakupan temanya. Masalah cinta dalam 
pengertian sempit tidak lagi menjadi pusat kegalauan perhatiannya. Kalau pun ia 
berbicara tentang cinta demikian, ia melihat masalahnya dari sudut pandang 
lebih luas yaitu keadaan sosial dan ni

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [6]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-17 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

6.



Dari puisi "Kau Pernah Berkata" ini pun, aku melihat hal lain. Apakah hal lain 
itu?

Di samping aku melihat pergulatan pikiran dan perasaan yang menggejolak di 
kepala dan batin Kathirina,  dari empat puisi Kathirina yang ditulis pada bulan 
Nopember 2005, dan disiarkan oleh milis matabambu 16 Nopember 2005, aku juga 
membaca samar-samar perkembangan yang terjadi di masyarakat Sabah.Terutama 
perkembangan nilai dan khususnya tentang nilai dominan dalam masyarakat Sabah.

Sebelum menulis "Catatan Sastra Seorang Awam" tentang Kathirina ini, aku pernah 
menanyakan kepada Kak Ony Basalin, seorang penyair dan anggota Ikatan Penulis 
Sabah [IPS] mengenai komposisi demokrafis [kependudukan] di Sabah. Aku pastikan 
seperti daerah dan negeri manapun, Sabah tentu dihuni oleh berbagai etnik dan 
agama, aliran pikiran serta kepercayaan.

Ketika berkunjung ke Sarawak, dengan maksud khusus mengenai negara bagian 
Malaysia ini,aku menyaksikan keragaman etnis dan peranan masing-masing serta 
hubungan antar mereka yang meninggalkan kesan manis padaku.Terkesan padaku 
hubungan antar etnis di Sarawak cukup serasi dan menjanjikan.Berdasarkan 
penglihatan kunjungan singkat itu maka kepada Kak Ony Basalin kutanyakan 
bagaimana komposisi kependudukan [demografis] di Sabah, khususnya bagaimana 
posisi etnik Dayak? Pertanyaan ini muncul di benakku karena teringat bahwa 
Kitingan yang seorang Dayak pernah menjadi Perdana Menteri Sabah, kemudian 
tergusur. Tidaklah mungkin Kitingan yang Dayak jika komunitas Dayak tidak 
mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Kak Ony dan Kithirina sendiri adalah 
orang-orang Dayak juga adanya. Kak Ony bahkan puteri seorang kepala adat Sabah. 

Menjawab pertanyaanku Kak Ony menjelaskan bahwa komunitas Dayak memang secara 
jumlah bisa dikatakan dominan, hanya kemudian mereka banyak beralih agama 
dengan menganut Islam.Keluarga Anggota keluarga Kak Ony sendiri menganut 
berbagai macam agama. Dari kasus ini, aku melihat bahwa Sabah, seperti bagian 
planet kecil kita ini di mana pun pada dasarnya, adalah suatu masyarakat 
majemuk.Hanya saja jika mengamati karya-karya sastra Sabah terakhir terasa 
bahwa nilai dominan sangat terasa nilai-nilai ke-islaman, yang mungkin 
merupakan agama terbesar di negara bagian Malaysia itu.Aku tidak tahu apakah 
perkembangan ini, ada kaitannya dengan perkembangan, terutama perkembangan 
politik, yang terjadi di Malaysia atau Semenanjung Malaya di mana Kuala Lumpur 
sebagai ibukota terdapat dan ingin mendominasi negara-negara bagian secara 
terbuka atau tertutup.Tapi kukira, tentu bukanlah kebetulan.

Perkembangan nilai, terutama nilai dominan ini tercermin dari puisi Kathirina:


KAU PERNAH BERKATA

Mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan!!!
Jangan singkirkan angan yang indah itu
Tanpanya kau tidak punya harapan
Jangan
Putus harapan sebelum bertarung bermatian
Jangan murahkan harga diri
Karena kau wanita istimewa.
Mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan malu mengaku alpamu
Kita kuat dari pengalaman itu
Dan mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan sesalkan kekurangan ini
Karena kemampuanmu hanya sampai disini.
Mamaku sayang
Ulang tahun ketiga belas kepergianmu
Aku masih disini
Masih alpa dan sesal
Kenapa aku tidak setabah itu.


Dari puisi ini, terbaca padaku perbedaan nilai antara alm.ibu Kathirina dan 
Kathirina sendiri yang dalam enam puisinya terdahulu menyerah pada "takdir", 
sedangkan sang ibu berpesan kepada puterinya untuk "bertarung bermatian" dahulu 
demi membela dan memenangkan "harapan". Bagi alm. ibu Kathirina, perempuan 
adalah seorang manusia dengan harga diri dan martabat yang setara dengan 
lelaki, sebagaimana terdapat pada konsep Dayak "rengan tingang nyanak jata" 
[anak enggang dan putera-puteri naga]. Sedangkan Kathirina sendiri mengakui 
dalam puisinya di atas "masih alpa" pada nilai "rengan tingang nyanak jata" ini 
yang menimbulkan "sesal" padanya. 

Masalah nilai dominan ini juga telah disentah oleh Rem, penulis Dayak Sabah 
lainnya yang sekarang sedang menyelesaikan program Ph.D-nya di Norwich dalam 
bidang sain, ketika ia membaca puisi-puisi Sabah sekarang.Nilai dominan, 
kukira, mempunayi arti menentukan bagi perkembangan masyarakat selanjutnya dan 
keadaan masyarakat pada suatu periode. Dan sanjak-sanjak Kathirina mencerminkan 
dengan hal ini demikian.Melalui sanjak-sanjak Kathirina, aku melihat pola pikir 
dan mentalitas dua generasi, yaitu generasi sang ibu dan generasi si anak yang 
hidup di Sabah hari ini, masyarakat yang nampaknya tidak lain dari masyarakat 
maskulin dengan maskulinisme.Maskulinisme bukanlah konsep "rengan tingang 
nyanak jata" manusia Dayak. Agaknya nilai-nilai kedayakan yang tanggap zaman, 
jika mencermati karya-karya Kathirina sudah memudar .Benarkah demikian? Tentu 
kawan-kawan sastrawan Sabah yang bisa menjawabnya sebagaimana bagaimana mereka 
menjawab soal kemajemukan dan menilai budaya Dayak di Sabah, maskulinisme a

[ppiindia] surat kembang kemuning: menyambut lahirnya komunitas matabambu cabang tasikmalaya

2005-11-17 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


Surat Kembang Kemuning:

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS MATABAMBU CABANG TASIKMALAYA



Sejak lahirnya pada 13 Agustus 2005 yang lalu, saban bulan Komunitas Matabambu 
melakukan kegiatan demi kegiatan secara teratur dibimbing oleh program dan 
prinsip  yang mendasari kelahirannya.Bulan pertama, yaitu bulan Agustus lalu, 
Komunitas Matabambu mengawali kegiatannya dengan peluncuran antologi puisi JJ. 
Kusni yang disertai dengan orasi budaya Pramoedya A. Toer. 

Menurut keterangan, apakah benar atau tidak, kegiatan Matabambu ini merupakan 
yang terbesar dalam sejarah PDS H.B. Jassin. Kegiatan pertama yang bisa 
dikatakan berhasil ini disusul dengan peluncuran buku Aguk Irawan Ms pada bulan 
September. Walau pun tidak semeriah kegiatan pertama, tapi kegiatan kedua ini 
pun tidak bisa dikatakan tidak berhasil. Ia dihadiri oleh sekitar 70 orang 
walaupun Jakarta dikucuri hujan deras. Sebagai kegiatan ketiga, pertengah bulan 
Nopember ini, Matabambu mengambil prakarsa untuk mengumpulkan dana solidaritas 
buat Maruli Simbolon -- salah seorang pemrakarsa Matabambu juga -- yang 
sekarang terbaring di rumah sakit. Dalam usaha ini, Matambambu berhasil 
mengajak banyak komunitas sastra-seni di Jakarta -- hal sangat penting dan 
barangkali bisa dibilang membidas jalan bagi solidaritas antar seniman. 

Tergalangnya solidaritas antar seniman dari berbagai komunitas, berbagai alur 
pikiran,kukira sangat penting bagi pembinaan sastra-seni negeri ini secara 
sehat sesuai dengan yang dikatakan oleh Paul Ricoeur, filosof Perancis bahwa 
"kebudayaan itu majemuk tapi kemanusiaan itu tunggal". Solidaritas tidak 
menghilangkan perbedaan pendapat. Solidaritas juga tidak meniadakan kritik dan 
otokritik.Tapi kritik dalam alur solidaritas yang artinya didasarkan pada 
prinsip saling asih, saling asuh dan saling asah untuk tiba di capaian lebih 
tinggi dan kian tinggi sehingga sastra-seni mungkin secara nyata memberikan 
sumbangan dalam usaha memanusiawikan manusia, penegakan nilai-nilai republiken 
dan keindonesiaan serta menjadi bagian dari social control power secara 
independent tanpa kangkangan partai politik. Keadaan sastra-seni beginilah yang 
kusebut sebagai republik berdaulat sastra-seni, pandangan yang pernah 
dilecehkan sementara orang.

Pagi ini, dari posting Manik Sinaga, pimpinan redaksi majalah sastra-budaha 
Aksara dan salah seorang pimpinan Komunitas Matabambu, bahwa sejumlah seniman 
di Tasikmalaya berkeputusan untuk mendirikan Matabambu Cabang Tasikmalaya. 
Artinya dalam waktu tiga bulan sejak berdirinya, Matabambu sudah punya 
cabang.Sudah bisa mengembangkan diri. Berdirinya Matabambu cabang Tasikmalaya, 
kupahami sebagai perkembangan dan perluasan ide dasar alias konsep budaya 
Matabambu.Organisasi tanpa konsep, kukira tidak punya makna dan lebih bersifat 
amatiran. Adanya konsep budaya akan membuat organisasi menjadi wadah dan 
pengelola kegiatan sadar dan terancang dan bukan spontan. 

Aku membayangkan bahwa jika Matabambu mempunyai cabang di berbagai daerah serta 
pulau di tanahair bahkan di mancanegara, maka ia akan merupakan kekuatan  
budaya yang bisa memberi sumbangan bagi pembangunan budaya manusiawi, yang 
republiken dan berkeindonesiaan tanpa tergantung dan tidak terganggu oleh 
masalah finansil [sesuai dengan konsep  budaya atau visi-misi dan tujuan umum 
Matabambu -- Lihat Siaran Matabambu, 13 Agustus 2005].  

Kemungkinan berdirinya cabang-cabang Matabambu di seluruh Indonesia dan 
mancanegara, kiranya bukanlah hal yang muluk dan ilusioner, karena 
anggota-anggota Matabambu sekarang sudah tersebar di tempat-tempat tersebut. 
Jaringan kerjanya pun sudah sudah tersebar walau pun betul belum maksimal dan 
masih bisa berkembang.

Yang menarik dari lahirnya Matabambu Cabang Tasikmalaya bahwa ia lahir atas 
prakarsa lokal, prakarsa dari seniman-seniman setempat, artinya berdasarkan 
kesepakatan sadar atas visi-misi, tujuan dan program Matabambu. Hal adanya 
prakarsa dari "bawah" ini kukira sangat penting apalagi Matabambu sejauh 
pengetahuanku, bukanlah suatu organisasi budaya sentralistik. Matabambu 
hanyalah suatu "brand" umum untuk suatu kegiatan atas dasar kesepakatan sadar 
pada visi-misi dan tujuan serta program. Cabang bebas mempunyai program sendiri 
dan mengembangkan segala bentuk prakarsa mereka.

Barangkali lahirnya Matabambu Cabang Tasikmalaya merupakan awal dan dorongan 
bagi muncul dan lahirnya cabang-cabang di tempat lain.Jawabannya terletak pada 
anggota-anggota Matabambu yang terdapat di berbagai tempat.

Terbentuk dan lahirnya Matabambu Cabang Tasikmalaya adalah hasil renungan dan 
diskusi matang dan persiapan yang padan. Ia bukan kelahiran tak dimaui atau 
yang disebut kelahiran dari "hamil kecelakaan" atau hasil spontanitas. Kukira 
model kelahiran begini patut dipertimbangkan karena hanya dengan begini, suatu 
cabang bisa mempunyai dasar solid karena tidak diada-adakan, tidak dipaksakan 
tapi memang dimaui. Kukira ini bisa dipandang suatu sikap acuan kalau bukan 
teladan.

Baris-baris s

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [5]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-16 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

5.



Pada tanggal 16 Nopember milis [EMAIL PROTECTED] , milis milik Komunitas 
Matabambu,  kembali menyiarkan puisi-puisi terbaru  Kathirina Susanna seperti 
di bawah ini:


KAU PERNAH BERKATA

Mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan!!!
Jangan singkirkan angan yang indah itu
Tanpanya kau tidak punya harapan
Jangan
Putus harapan sebelum bertarung bermatian
Jangan murahkan harga diri
Karena kau wanita istimewa.
Mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan malu mengaku alpamu
Kita kuat dari pengalaman itu
Dan mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan sesalkan kekurangan ini
Karena kemampuanmu hanya sampai disini.
Mamaku sayang
Ulang tahun ketiga belas kepergianmu
Aku masih disini
Masih alpa dan sesal
Kenapa aku tidak setabah itu.


TINGGALKAN TEMPURUNGMU

Jangan mengeluh sayangku
Jangan sesalkan suratan hidupmu
Jangan salahkan takdir
Bangun dan celikkan mata butamu
Keluarlah dari tempurungmu
Jangan merintih sayangku
Lihat dunia luarmu
Membidang dada
Menyambut kedatanganmu
Tinggalkan sejarahmu di belakang
Ayo! Terbang bersamaku
Menuju puncak gemerlapan itu.


DUKAMU ABADI
 
Dukamu adalah dukaku
Airmatamu adalah airmataku
Kesedihan abadimu
Membuat bahagiamu sirna
Hingga keakhir tirai hidupmu
Dukamu tetap abadi.
Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini
Berbekalkan sejuta dukamu
Mengiringi setiap langkahku
Menguja semangat jituku
Karena dukamu adalah dukaku
Abadi dalam duniaku!
Namun dia datang
Meruntuhkan segala penjara rasa
Membebaskan aku dari derita ini
Dukamu menjadi sejarah silam
Dasarnya ku jadikan asas
Membangunkan semangat baru
Biar dukamu itu adalah dukaku
Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!


MAAFKAN AKU KEKASIHKU

Cintamu sesegar daun bermandikan embun pagi
Kasihmu seromantis bayu malam membelai rasa
Sayangmu setinggi gunung tidak tercapai tangan
Rindumu sedalam perut bumi tidak bisa diselami
Namun terlalu kejam aku persiakan.
Lalu kau pergi jauh dariku
Membawa semua kebahagiaan itu bersamamu
Meninggalkan aku sendirian
Tanpa menoleh ke belakang
Tanpa bicara
Maafkan aku kekasihku
Aku kehilangan segalanya
Dan sesalku tiada noktahnya
Karena menanam duka di jiwamu
Membuatkan lukamu terus berdarah.

Kathirina Susanna
Kota Kinabalu, November 2005

***

Membandingkan empat puisi terbaru yang disiarkan oleh milis matabambu [16 
Nopember 2005] dengan sanjak-sanjak Kathirina Susanna dalam websitenya atau 
enam puisi terdahulu, aku membaca adanya perkembangan baru pada pikiran pada 
pikiran dan perasaan  Kathirina yang menunjukkan bahwa penyair Kota Kinibalu 
ini tidak berhenti mencari dan mencari dalam usaha agar tidak mengoyak-ngoyak 
nilai-nilai manusiawi seperti yang diharapkan oleh Paul Valery di atas. 

Dari empat puisi di atas ini nampak bahwa Kathirina mulai meninjau kembali 
pandangannya tentang "takdir". Usaha memikir ulang masalah "takdir" ini nampak 
misalnya pada sanjak "Kau Pernah Berkata":

KAU PERNAH BERKATA

Mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan!!!
Jangan singkirkan angan yang indah itu
Tanpanya kau tidak punya harapan
Jangan
Putus harapan sebelum bertarung bermatian
Jangan murahkan harga diri
Karena kau wanita istimewa.
Mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan malu mengaku alpamu
Kita kuat dari pengalaman itu
Dan mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan sesalkan kekurangan ini
Karena kemampuanmu hanya sampai disini.
Mamaku sayang
Ulang tahun ketiga belas kepergianmu
Aku masih disini
Masih alpa dan sesal
Kenapa aku tidak setabah itu.


Pada puisi ini, kita lihat bahwa Kathirina sudah mulai berbicara tentang 
"jangan putus harapan/sebelum bertarung bermatian", sikap yang sangat berbeda 
dengan menyerah pada "takdir".Bertarung demi "harga diri" seorang perempuan. 
Dan kemudian Kathirina secara jelas menyesali sikap "menyerah" atau "pasrah"nya 
pada "takdir", dalam kata-kata:

Mamaku sayang
Ulang tahun ketiga belas kepergianmu
Aku masih disini
Masih alpa dan sesal
Kenapa aku tidak setabah itu.

Kathirina menyatakan "sesal" atas sikap "masih alpa"nya, karena melakukan 
kekeliruan ini itu karena tidak menunaikan pesan sang ibunda yang meninggal 13 
tahun silam, sehingga jatuh pada konsep "takdir" atau bahkan melakukan 
macam-macam bentuk pelarian [eskapisme] ujud dari "putus harapan" sebagai jalan 
keluar memintas dan gampang "sebelum bertarung bermatian". Biasanya sikap 
mengambil jalan pintas dan gampang-gampangan ini dilakukan oleh generasi baru 
yang belum tertempa oleh bantingan-bantingan keras kehidupan tapi mengira diri 
sudah matang.Aku tak tahu apakah premis ini berlaku juga bagi masyarakat Sabah, 
ataukah Sabah merupakan suatu kekecualian yang dihuni oleh manusia-manusia 
supra seperti yang dilukiskan atau dibayangkan oleh Nietzche atau seperti 
manusia Rambo atau super women beberan filem-filem Amerika Serikat karena 
dominasi nilai maskulinisme?. 
Dari puisi "Kau Pernah Berkata" ini pun, aku melihat Tapi Tapi dari  empat 
puisi Kathirina yang ditulis pada bulan Nopember 2005, dan di

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [48]:" menyongsong esok"

2005-11-16 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [48]


"MENYONGSONG ESOK"




Azan subuh yang bertalu-talu di angkasa Serua Indah, bermain di pucuk-pucuk 
pepohonan rimbun, membangunkan aku agak awal. Aku  memeriksa ulang semua 
barang-barang yang akan kubawa ke Paris, agar tidak satu pun yang ketinggalan. 
Memeriksa ulang segala hal-ikhwal ini adalah suatu kebiasan yang diniscayakan 
dan dilatih pada diriku sejak bertahun-tahun hidup di lingkungan 
kemiliteran.Cermat, jangan meninggalkan tanda yang bisa membuat petaka dan 
meninggalkan sesal, memperhitungkan segala kemungkinan,termasuk yang paling 
buruk dan pahit, kukira itulah  pesan inti dari pekerjaan memeriksa ulang 
persiapan segala sesuatu yang akan dilakukan.Dengan demikian kita meminimkan 
kekalahan dan kejatuhan walau pun kekalahan dan kejatuhan tetap saja bisa 
menyusup masuk bersama barisan komandonya yang terlatih.

Bawaanku kembali ke Paris kali ini terutama terdiri dari koper-koper buku. 
Buku-bukuku yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta pesanan Koperasi 
Restoran Indonesia Paris, ditambah dengan sedikit buku yang kubeli di berbagai 
tokobuku dan yang dihadiahkan oleh teman-teman dari berbagai daerah.Pakaian 
tinggal beberapa perangkat saja. Semuanya kutinggalkan. Bagiku buku jauh lebih 
utama dan kuutamakan dari pakaian. Buku sejak kecil, sejak aku meninggalkan 
rumah orangtua pada usia 11 tahun, menjadi sahabat dan pengganti ibuku.Pada 
buku-bukulah aku mencari pegangan dan arahan, mendapatkan pelampung guna 
melampaui masa pancaroba, periode "sturm und drang" yang kuanggap periode gawat 
dalam kehidupan.

Selesai mememeriksa semua persaiapan keberangkatanku malam ini, aku turun ke 
halaman. Seluruh kampung, atap, daun-daun dan dahan-dahan nampak bersih, 
dibasuh hujan semalam. Memandang langit timur, cahaya merah fajar sudah nampak 
memerahi angkasa dan dedaunan.Burung-burung nampak turut girang menikmati 
pagi.Memandang sosok pagi begini, aku melihat harapan dan mendapatkan suasana 
baru yang menggugah semangat dan menjanjikan. Tidak heran jika pagi sering 
dilambangkan sebagai harapan.Kahayalan membisikkan ke telinga judul buku R.A. 
Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang", pada novel Mochtar Loebis "Masih Ada 
Hari Esok" dan beberapa syair klasik Tiongkok zaman dinasti Thang tentang 
masalah harapan dan arti harapan bagi kehidupan seorang anak manusia. 
Bayangkan, apa jadinya hidup jika kita sudah hilang harapan. 

Bersama cahaya fajar Serua Indah ini, aku datang menjenguk dalam bayangan "Nusa 
Dunia", "Café Bandar", Teluk Balikpapan dan Sungai Mahakam -- tempat-tempat 
yang mempunyai arti tertentu bagiku. Kepada mereka,  diam-diam kukatakan: 
"Malam ini aku kembali melanjutkan kembara ke Barat. Seperti ujar Ramadhan KH: 
"ternyata aku hanyalah seorang pengembara, memang" atau seperti yang sering 
diucapkan oleh Arief Budiman: "Kau memang seorang pemimpi dan penempuh jalan 
sunyi, Emil".

Barangkali memang, aku akan menjadi pinisi yang tenggelam di laut pengembaraan 
dan sunyi ini juga akhirnya. Tenggelam dan mati sendiri sambil menyebut nama 
demi nama yang terdekat di hati, kemudian meninggalkan wangi mimpi dan sunyi 
itu di permukaan laut,sungai, danau dan dedaunan gunung yang pernah 
mengasuhku.Tapi aku mencintai jalan cinta-mimpiku, mencoba menyetiai kataku 
sendiri,dan tidak akan berpaling daripadanya. Sungai, laut dan gunung tidak 
akan kukhianati.

Melanjutkan kebiasaan sejak kanak di mana pun aku tinggal, menggunakan waktu 
yang ada, sebatang sapu lidi bertangkai panjang kuambil untuk membersihkan 
halaman yang luas.Halaman Serua Indah ini pun mengenal kebiasaanku ini, juga 
halaman rumah kakek di Yogya atau halaman rumah gubernur di Palangka Raya pada 
masa Tjilik Riwut mulai memimpin Kalteng.Tentu halaman-halaman petani Klaten 
yang pernah kuinapi selama turba pada masa mengikuti Gerakan Aksi Sepihak, akan 
ingat kebiasaanku ini. Sesudah menyapu, aku pun melakukan latihan-latihan 
fisik. Kalau ada karung goni berisi pasir, karung pasir itu kutinju, kalau 
tidak kulakukan beberapa gerakan setipe kungfu yang kupelajari  pada masa aku 
hidup sebagai orang militer.Fisik harus terjaga sehat dan bugar selalu untuk 
menysongong esok penuh tanya dan kemungkinan.Esok yang tak terelakkan akan 
menantang dan aku tidak ingin terbanting sia-sia tanpa berlawan habis-habisan 
sebagai seorang anak enggang putra naga,"rengan tingang nyanak jata" atau jika 
menggunakan kata-kata penyair-cerpenis Shantined dari Kaltim: "gagah sampai 
akhir".

Setelah matahari makin meninggi, Serua Indah kutinggalkan menuju TIM dan 
menunggu teman-teman seniman dan yang bukan seniman sebelum petangnya 
meninggalkan Jakarta.Waktu terasa sekali membatasi percakapan dengan 
teman-teman di detik-detik terakhir.Itu pun tidak semua teman bisa 
kutemui.Tidak sedikit mereka yang tidak bisa kuhubungi dan kutemui sesuai 
rencana.Yang paling kusesali, Daniel Johan dari pemuda Budhis, Liong MS dari 
Singapura, Manik Sinaga dari Aksara-Komunitas Matabambum,Novina Setia

[ppiindia] catatan sastra seorang awam [4]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

2005-11-15 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

4.



Barangkali dalam hal ini, terdapat jasa Kathirina, sekali pun mungkin tidak 
sangat ia sadari. Keadaaan Sabah dan tingkat perkembangan masyarakat Sabah 
terbaca dari dari puisi-puisi duka Kathirina dan puisi-puisi penyair Sabah 
lainnya [dari aspek lain]. Artinya, puisi tidak lepas dari keadaan masyarakat 
di mana penyairnya menggulati waktu.
Sikap fatalis dan menyerah menerima posisi perempuan direndahkan hanya sebagai 
pemuas birahi atau  seksual lelaki, oleh masyarakat maskulin dan juga 
masyarakat yang dikuasai oleh uang, pada galibnya adalah masyarakat yang tidak 
manusiawi sama sekali. Masyarakat itu sendiri, dalam kenyataan sesungguhnya 
mendekati masyarakat barbar yang tak jauh dari tingkat komunitas hewani. Betapa 
tidak, dengan corak masyarakat  demikian separoh penduduk yaitu para 
perempuannya ditempatkan pada taraf  terendah. Padahal kaum perempuan, jika 
menggunakan ungkapan Tiongkok Klasik adalah "penyangga separo langit". 
Bagaimana posisi perempuan dalam suatu masyarakat, kukira, memperlihatkan 
apakah secara hakiki masyarakat itu bebas, demokratis dan menjunjung Hak Asasi. 
Megatruh Kathirina Susanna adalah cerminan dan akibat dari adanya masyarakat 
maskulin di atas. Artinya, ketika membaca megatruh atau elegi atau lagu-lagu 
duka Kathirina, kukira patut dibedakan antara sikap penyair dan masalah 
sebab-akibat sehingga kita lebih adil menilai sikap penyair serta memberikan 
harapan kepada penganut sikap fatalis dan menyerah untuk berkembang alias 
berobah maju sesuai dengan hukum dialektika serta saling hubungan antara  unsur 
satu dengan yang lain. Penyair atau siapa saja yang tidak mengakui hukum 
dialektika, kukira adalalah penyair atau orang yang sekali pun masih bernafas 
tapi secara hakiki ia sudah mati sebelum mati. Ciri utama penyair adalah 
kegelisahan mencari dan terus mencari, terus mengalir seperti arus memburu 
muara bukan bagai sabut dihanyutkan atau menghanyut di arus.

Dari segi kritik, fatalisme dan sikap menyerah Kathirina yang tercermin dari 
enam sanjak di atas, bisa ditafsirkan secara terbalik yaitu salah satu cara 
mengkritik keadaan masyarakatnya. Melalui fatalisme dan pembudakan separoh 
warga masyarakatnya, penyair menunjukkan secara tidak langsung: "Beginilah 
akibatnya jika masyarakat maskulin dan maskulinisme dikembangteruskan". Padahal 
jika potensi perempuan dibebaskan, tidak dibelenggu, maka masyarakat hanya 
mendapatkan keuntungan atau manfaat. 

Jika benar pemahamanku bahwa pesimisme Kathirina merupakan bentuk kritik pada 
maskulinisme dan masyarakat maskulin, maka dengan cara ini, Kathirina setia 
pada posisinya sebagai sastrawan yang adalah warga republik berdaulat. Republik 
sastra yang dengan kedaulatannya berani melakukan pemberontakan berikut segala 
resikonya dan sering berdiri hadap-hadapan dengan repulik atau kerajaan politik 
formal. Dengan status begini, status sebagai warga republik sastra yang 
berdaulat, maka sastra dan sastrawan bisa dipandang salah satu aktor dari 
kontrol sosial. 

Berbicara tentang pemberontakan atau perlawanan maka pemberontakan atau 
perlawanan itu paling tidak terdiri dua jenis. Pertama pemberontakan/perlawanan 
instingtif dan kedua perlawanan sadar. Pemberontakan/perlawanan instingtif 
umumnya bersifat spontan, sedang pemberontakan sadar adalah perlawanan yang 
dibimbing oleh suatu konsep dibuntuti oleh rencana dan penyediaan sarana untuk 
mewujudkan konsep tersebut. Penyair yang bisa dikategorikan sebagai seorang 
pemikir dalam barisan warga republik berdaulat sastra-seni, seyogyanya jika 
memberontak melancarkan pemberontakan sadar dan bukan perlawanan spontan yang 
instingtif. Untuk bisa sadar, dari penyair dituntut kegiatan mengamati, studi , 
menguasai tekhnik bersastra, bebas  berpikir,  komitmen dan ketegasan tanpa 
kepalang guna melaksanakan komitmen manusiawi tersebut. Dengan berkata begini, 
aku mau memperlihatkan bahwa komitmen dan komitmen itu ada berbagai macam. Ada 
komitmen yang anti kemanusiawan dan ada pula  komitmen yang manusiawi. Tanpa 
unsur-unsur ini, kukira, penulis akan tetap berada pada tingkat penulis 
"ecek-ecek" tanpa hirau akan tanggungjawab yang menyertai sebutan penyair atau 
sastrawan dan "ecek-ecek' pulalah taraf kemanusiaannya sekali pun mereka 
berlindung di balik nama para dewa-dewi serta para malaikat kayangan yang asing 
dari kenyataan hidup di bumi. Tentu saja bahwa kesadaran dan komitmen bukanlah 
sesuatu yang sekali jadi sebagaimana pula halnya dengan taraf kemampuan 
bersastra. Ia adalah suatu proses sesuai dengan dialetika alam. Karena itu, aku 
membedakan adanya dua jenis penyair yait penyair instingtif dan penyair sadar.

***

Ide "takdir" yang mendominasi enam sanjak  Kathirina di atas mengingatkan aku 
akan kuliah Prof. DR. Arkoun dari Universitas Sorbonne Paris beberapa tahun 
silam di depan para mahasiswa IAIN di Indonesia yang sedang melawat ke Paris 
setelah be

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [47]:"D I BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MA LAM SERUA INDAH"

2005-11-14 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [47]


"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"

8.



Kukira sanggar Bumi Tarung dan pelukis-pelukisnya memang layak ditulis 
tokoh,apalagi sampai sekarang mereka telah memberikan sumbangan yang tidak bisa 
diabaikan, terutama di bidang seni lukis dan pemikiran.Sambil lalu kudengar 
memang dalam Temu Serua Indah malam ini dari pembicaraan Misbach Thamrin dan 
Gumelar bahwa buku tentang Bumi Tarung sudah ditulis bahkan mungkin sudah 
terbit atau siap terbit.Pengalaman Sanggar Bumi Tarung, kukira unik dan mungkin 
eksprimen dalam berkreasi dan pencarian-pencarian mereka berguna untuk 
dipelajari oleh angkatan sekarang.

Sampai pada malam ini, Amrus masih mengajukan ide dan prakteknya yang ia sebut 
sebagai "creative sparing partner".

Apakah "creative sparing partner" itu?

Dari penjelasan Amrus Natalsya, aku ketahui bahwa yang ia maksudkan dengan 
patner dalam berkreasi adalah teman atau patner yang berani mengkritik karyanya 
secara habis-habisan, tanpa tedeng aling-aling. Dengan patner begini, ia 
berusaha mencapai tingkat setinggi mungkin. Untuk itu kedua orang yang 
ber-"sparing partner" dituntut untuk meningkatkan taraf menyeluruh diri mereka 
masing-masing.Sebagai "creative sparing partner", keduanya berlaga 
habis-habisan tanpa belas kasihan untuk mencapai taraf karya setinggi 
mungkin.Amrus mendapatkan "creative sparing partner"nya pada Misbach Thamrin, 
pelukis-esais anak buruh tambang minyak Kalimantan yang bangga pada asal 
keluarganya. "Creative sparing partner" dengan demikian bisa juga dipandang 
sebagai tungku penggondokan dan pengolahan karya sebelum karya itu dilemparkan 
ke publik. 

Hal lain yang dikemukakan oleh Amrus bahwa dalam masalah kreativitas adalah 
patutnya dijaga  watak indah,ilmiah dan keberpihakan.Tiga watak  ini bagi Amrus 
Natalsja dianggapnya sebagai keniscayaan.Indah adalah menjadi keniscayaan 
karena seni tidak bisa dileraikan dari unsur indah. Jika tidak indah maka ia 
bukan seni lagi,ujar Amrus. Dalam kesenian, unsur indah dalam kesenian adalah 
suatu kemutlakan, tambah Amrus. Tanpa unsur keindahan,suatu  karya sulit 
disebut sebagai karya seni.

Sedangkan unsur ilmiah bersangkutan dengan pengenalan atas kehidupan dalam 
segala segi  serta permasalahannya yang tidak pernah sederhana, dan juga 
masalah benar-salah, baik atau buruk.Aku tidak tahu apakah ketika 
mengetengahkan masalah ilmiah ini, pada Amrus Natalsja terkandung juga 
pengertian takhayulisme baik dalam bentuk usang atau pun yang kekinian.

Dalam soal keberpihakan,Ammrus dengan tegas mengambil sikap berpihak kepada 
mayoritas umat manusia, mayoritas penduduk negeri, sikap yang dianut oleh 
Sanggar Bumi Tarung sejak berdirinya sampai sanggar itu tidak lagi bisa 
bertahan semenjak Orde Baru menguasai Indonesia dan banyak anggota-anggotanya 
yang menjadi penghuni penjara atau dikirim ke pulau pembuangan.

Malam makin mutlak menguasai kampung Serua Indah. Gerimis makin menderas 
menjadi hujan.Tantangan esok mengalahkan hasrat untuk meneruskan pertemuan 
pertama Serua Indah hingga subuh seperti yang dulu dilakukan di Sanggar Bumi 
Tarung atau sanggar-sanggar Yogya lainnya. Kami menyadari bahwa Yogya dahulu 
sudah silam, yang tertinggal barangkali hanya apinya di hati terpancar di sorot 
mata.Api inilah yang kukatakan sebagai "Api Yogya" yang menyertai kami yang 
tersisa dan angkatan baru yang turut hadir malam ini, dalam menjelang esok yang 
tak punya tepian. Saling peluk dan tatap-dalam penuh makna dan harapan 
mengakhiri pertemuan yang pasti meninggalkan kenangan manis di hati 
masing-masing. Yang diucapkan bukanlah "selamat jalan" tapi "sampai jumpa"! 
Sampai jumpa,Bung! Sampai jumpa kembali! 

Paris,Nopember 2005
--
JJ. Kusni

[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Group

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [46]:"D I BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MA LAM SERUA INDAH"

2005-11-11 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [46]


"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"

7.




Sebelum memasuki masalah "patner kreatif" atau "sparing partner" [padanan 
lawan] dalam berkreasi yang diajukan oleh Amrus Natalsja ini, bolehkan aku 
bercerita sedikit tentang Amrus.

Amrus¨termasuk salah seorang pelukis yang tergabung dalam Lembaga Seni Rupa 
Lekra Yogyakarta dan pendiri Sanggar Bumi Tarung Yogya yang dahulu terletak 
persis di depan rumah pelukis Amri Yahya alm.Tokoh-tokoh lain dari Bumi Tarung 
adalah Misbach Thamrin, anak buruh tambang minyak dari Kalimantan Selatan, Issa 
Hassanda dari Sumba, Sabri Jamal alm. dari Minangkabau, penyair-pelukis-novelis 
Kuslan Budiman dari Jawa Timur, pelukis Gumelar dari Jawa Tengah, dan 
lain-lain... Sedangkan pelukis Joko Pekik yang juga menjadi anggota Bumi Tarung 
pada waktu itu masih merupakan anggota pupukbawang belaka.

Karena menjadi anggota Lekra, Amrus ditangkap oleh Orba dan dimasukkan ke dalam 
penjara selama 10 tahun lebih tanpa proses pengadilan apapun. Amrus 
kemudiandibebaskan bersama ribuan tapol yang disebut "tapol PKI" pada saat 
Jimmy Carter melaksanakan politik luarnegeri kemanusiaannya saat menjadi 
Presiden Amerika Serikat, berkat tekanan dan lobbie  politik internasional yang 
kuat.Saat dibebaskan,Amrus tidak tahu pergi ke mana.Karena itu, ia kembali ke 
penjara, kalau tidak salah penjara Cipinang, dan minta diizinkan untuk 
sementara bisa tinggal di penjara. Melihat Amrus kembali, pengurus penjara 
bertanya:

"Mengapa kau kembali?"

"Lha, saya mau tinggal di mana? Tidak ada satu alamatpun yang bisa saya 
harapkan dan dapatkan di Jakarta ini. Lebih baik aku tinggal kembali di 
penjara. Di sini saya jelas ada tempat tinggal dan tidak tidur di jalan jadi 
gelandangan.Aku tidak mau jadi gelandangan". Kisah ini Amrus tuturkan kepadaku 
ketika kami bertemu untuk pertama kalinya di Pajempongan, Jakarta.

Demikianlah Amrus untuk sementara tinggal di penjara, tapi leluasa ke mana pun 
karena ia sudah berstatus "bebas". Ia saban hari mencari kontak dengan 
temlan-teman lama. Setelah ia dapatkan alamat di mana ia bisa tinggal, ia 
meninggalkan penjara dan mencoba mengadu nasib kembali untuk hidup di Ancol 
sebagai pelukis.

Di Pasar Seni Ancol, Amrus mengamati bentuk-bentuk lukisan yang ada di 
situ.Dari pengamatan ini, muncul pikiran pada Amrus bahwa jika ia mengikuti 
arus yang ada, maka ia tidak bakal bisa hidup. "Aku harus menemukan dan 
menciptakan sesuatu yang baru, lain dari yang lain,sehingga karyaku adalah 
karya yang unik", pikirnya. Dari sinilah kemudian, Amrus sampai pada ide, untuk 
melukis di kepingan kayu.Ia pun mulai memungut kayu-kayu yang dibuang orang dan 
menjadikan kayu-kayu itu sebagai kanvasnya. Dan benar, apa yang 
dibayanngkannya, menjadi kenyataan. Ia tampil unik ditambah lagi dengan 
kemampuan tkehnis serta pengetahuan akademisnya, Amrus muncul menjadi pelukis 
unik dan mendapat perhatian dunia seni lukis. Boleh dikatakan, Amrus menjadi 
pelopor dalam tekhnik melukis ini. Karya-karyanya sangat laku dengan harga 
cukup tinggi, kalau tidak bisa dikatakan sangat tinggi, sehingga ia bisa 
mengobah keadaannya yang papa secara ekonomi setelah lepas dari penjara.

Ketkika aku diundang ke sanggarnya yang besar dan luas di Jakarta, dan bahkan 
diajak ketemu dengan kolektor lukisannya, aku memang saksikan lukisan-lukisan 
di atas kanvas kayu berukuran besar, 4 X 6 meter, serta patung-patung kayu yang 
memang jadi kekuatan Amrus.Ia membiarkan aku sendiri menjelajahi sanggarnya, 
sementara ia dengan bersila tenggalam dalam keasyikan melukis.Saat melukis, ia 
tidak ingat lagi dunia kanan-kirinya.Aku pun tidak mengusiknya.

Aku tidak tahu, apakah ilham menjadikan  kayu sebagai kanvas ini ada tautannya 
dengan seni cukilan kayu yang dirintis oleh pelukis Suromo, Surono Ngajar Bana 
Sembiring dan diikuti oleh S. Pudjonadi dari Klaten Pertanyaan ini tak sempat 
kuajukan kepada Amrus termasuk saat kami bertemu di TIM Jakarta dan di Temu 
Serua Indah. Kami masing-masing sibuk dengan kegiatan masing-masing dan 
pertanyaan-pertanyaan yang diketengahkan forum. Agaknya tekhnik yang ditemukan 
oleh Amrus, sekarang  sudah mulai menjalar ke kalangan pelukis-pelukis angkatan 
muda. 

Dari penemuan Amrus ini aku melihat di satu pihak, betapa keadaan 
sosial-ekonomi mempengaruhi pikiran manusia, kesulitan melecut manusia untuk 
mencari jalan keluar, dan di pihak lain betapa manusia yang menolak fatalisme 
tidak gampang dihancurkan.Apalagi seorang seniman yang benar seniman dan 
memilih hidup sebagai seniman.Pengalaman banyak seniman menunjukkan bahwa untuk 
menjadi seniman yang sungguh, perlu penyerahan diri total pada dunia 
kesenimanan dengan segala resikonya.Yang takut pada kemelaratan dan kemiskinan, 
terutama pada periode awal, tidak bakal mungkin betah dan bisa bertahan lama di 
dunia kesenimanan.

Dengan pilihannya untuk tetap hidup sebagai seniman, ketika masih di penjara, 
kepada teman-teman seniman sepenjara Amrus katakan bahwa "kita ak

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [45]:"D I BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MA LAM SERUA INDAH"

2005-11-10 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [45]


"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"

6.



Soal militer dan militerisme tidak lama dibicarakan karena kemudian kami 
memasuki masalah kerukunan nasional dan maaf, juga dengan mengambil pendapat 
Pramoedya sebagai acuan. 

Kelam malam makin dipertebalkan oleh gerimis yang tak juga mereda tapi juga tak 
seorang pun kami yang gubris.Saban berada dalam keadaan begini, aku selalu dan 
selalu saja teringat akan sanjak Chairil Anwar:"Senja Di Pelabuhan Kecil" yang 
ditujukannya "Buat Sri Ayati":

"kali ini tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita 
serta tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang 
menemu bujuk pangkal akanan.Tiada bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi.Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap"


Laut, sungai,gunung dan pelabuhan sampai sekarang tetap merupakan lingkungan 
hidupku baik secara nyata maupun secara metafora. Secara nyata sejak 
bertahun-tahun aku tinggal di pegunungan kota Paris, dan saban hari sungai 
Seine dengan kapal, dengan camarnya yang meliuk-liuk, kulalui.Seperti yang 
dilukiskan oleh Chairil dalam puisinya di atas, kurasakan benar diriku "sendiri 
berjalan menyisir semenanjung" yang "masih pengap harap" mencari untuk "menemu 
bujuk pangkal akanan", dan "kali ini" tanpa ingin "mencari cinta di antara 
gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali". Hal tersebut kurasakan 
seperti masa silam dan berada di "pantai keempat" yang tak mungkin kucapai, tak 
"bisa terdekap".Sedangkan tali-tali di pelabuhan dan yang mengisi kapal, 
menyeret kenangku pada masa remaja. Saban pulang ke Kalimantan, dari Yogya 
melalui Surabaya, aku sering menyembunyikan tubuh kecilku di dalam tumpukan 
tali itu, sekedar untuk menguji kejelian pengawasan para anggota KKO yang 
mengawasi pelabuhan. Dan aku senantiasa berhasil sampai Banjarmasin tanpa 
bayar, walau pun di kantongku masih cukup uang pembeli tiket.Demikianlah saban 
melangkah meninggalkan pelabuhan Banjarmasin menuju alamat di mana aku akan 
singgah sebentar, aku tertawa sendiri, ngakak dalam hati seperti halnya aku 
mengacungkan tinju ke langit saat gelombang sungai bocah dahulu 
kukalahkan.Hanya sekarang, aku jadi orang kalah dan berjalan "menyisir 
semenanjung", di bawah gerimis kembara yang mempercepat kelam, sendiri dan 
tanpa cinta yang tak lagi kucari.Di sini kurasakan kekuatan magis puisi dan 
terdapat mengapa puisi jadi langgeng melamapui kurun waktu hidup si 
penyair.Juga aku melihat bahwa tema cinta bukanlah tabu ditulis penyair. 
Paling-paling masalahnya bagaimana kita mengolah dan bagaimana melihat serta 
menganalisa  tema tersebut. Tak ada tema yang tabu bagi penyair dalam 
pencariannya sama halnya tak ada hutan paling keramat pun yang mencegah kembara 
pencarian penyair.

Oleh karenanya  aku sedikit pun tidak menjadi terusik dan galau jika ada yang 
mengkritikku sebagai telah melakukan pemerosotan diri, ketika menulis aku 
menulis tema cinta.Aku hanya bertanya: Mengapa begitu simplistis?

Cinta dan harapan sesungguhnya adalah tema besar, dalam dan luas jika kita 
menyempitkan pengertiannya, apalagi jika sebatas birahi. Cinta dan harapan 
seperti halnya dengan ingat dan lupa sering harus dipertarungkan habis-habisan 
dengan segala konsekwensinya agar tetap memberi cahaya pada kehidupan dan tetap 
ada dalam kehidupan. Dalam konteks ini aku sering kembali merenung dengan 
konsep dan praktek Yesus tentang kasih atau cinta sampai ia punya kesanggupan 
mati di salib Golgotha.Agaknya untuk mampu sungguh-sungguh mencintai dan 
memiliki harapan, kita dituntut untuk sanggup melakukannya dengan kemampuan 
serta keteguhan menghadapi segala konsekwensinya, termasuk hilang kepala dan 
nyawa.Tidakkah jadinya pada cinta dan harapan kita dapatkan kemampuan hidup 
serta usaha untuk hidup secara manusiawi.Lupa jadinya nampak di mataku sebagai 
sikap lari dari persoalan dan menyerah pada cobaan ajal yang sering mengirimkan 
kesulitan demi kesulitan ke beranda bahkan ruang pribadi kita. Untuk "ingat", 
dan "selalu ingat", agaknya diperlukan keberanian, kejujuran diri, ketulusan 
dan kesetiaan.Bahkan mungkin menyangkut soal pada komitmen manusiawi.

Masalah "kerukunan nasional" dan "maaf", kukira erat hubungannya dengan soal 
lupa,ingat,cinta dan harapan.

Dalam hal ini Pram mempunyai sikap tegas "tiada maaf" juga kepada orang seperti 
Gus Dur yang secara terbuka meminta maaf atas peranan orang-orang NU atau di 
sekitar NU dalam Tragedi Nasional September 1965. Dalam soal ini sikap kami 
yang hadir di dalam Temu Seru Indah, dan aku sengaja tidak menukikinya karena 
tahu benar bahwa  masalah besar begini, tidak akan mungkin terselesaikan dalam 
temu beberapa jam.Tapi yang sama kami

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [44]:"D I BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MA LAM SERUA INDAH"

2005-11-10 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [44]


"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"

5.



Semua orang yang hadir leluasa mengemukakan pandangan masing-masing secara 
"blak-blakan" tanpa kembang atau bunga,  dengan gaya masing-masing.Ada yang 
duduk, ada yang berdiri, berbicara sambil berjalan-jalan  atau duduk seperti di 
warung kopi dengan sebelah kaki di angkat di atas kursi.Keadaan yang 
mengingatkan aku pada masa-masa diskusi di sanggar-sanggar zaman remaja Yogyaku 
dahulu atau percakapan hingga subuh di depan pasar Beringharjo.Tapi justru dari 
diskusi seperti inilah banyak ide-ide muncul.Sebagian besar dari para seniman 
yang hadir dalam Temu Serua Indah ini kebetulan adalah mereka yang pernah 
tinggal dan besar di Yogya.Pada pertemuan pertama ini nampak benar padaku bahwa 
masing-masing seniman ingin menumpahkan maksimal kerinduan mereka yang 
terbungkam selama berdasarwarsa. Ketika masih berada di Balikpapan, Indang Dina 
mengirimku sms agar sekali-kali jangan lupa akan Temu Seniman Serua Indah 
ini."Teman-teman mengingatkan kau agar kau mengutamakan pertemuan ini, dan  
jangan sampai gagal", tulis Indang Dina dalam smsnya. Karena memahami harapan 
dan perasaan teman-teman, maka sejak Balikpapan, apalagi waktu di Palangka 
Raya, pertemuan ini dengan segala usaha kubela, dengan segala cara kesulitan 
transport kuatasi.Tahu akan hal ini juga maka sejak dini, Shantined yang 
mengorganisasi peluncuran bukuku di Balikpapan, mendorongku untuk jangan 
memikirkan peluncuran di Balikpapan. "Berangkatlah, jangan ragu. Aku bisa tekel 
acara di sini, walau pun kau memang sangat diperlukan hadir. Berangkat", ujar 
Shanti.

Pembicaraan tentang militer dan militerisme yang bermula dari pernyataan Pram 
di atas, sejenak terpotong oleh datangnya Rali -- seorang lelaki yang 
disekolahkan oleh Indang Dina untuk jadi sopir, dan juga punya kemampuan 
sebagai arsitek, bekerja sejak muda dengan Indang Dina -- datang membawa 
sekotak bir pesanan Tariganu.Hanya Tariganu yang menikmati bir ini dan hanya 
kami berdua sajalah yang merokok tak putus-putus seperti cerobong lokomotif.

Melihat datangnya sekotak bir yang dibawa oleh Rali, Amrus Natalsja pematung 
dan pelukis dari Medan, salah sorang pendiri Sanggar Bumi Tarung, Yogya, 
sekarang salah seorang anggota Akademi Kesenian Jakarta,berkomentar tenang 
dengan gaya khasnya:

"Kalian berdua akan segera mati dengan cara bunuh diri demikian.Aku hanya bisa 
berkata :Syukur, syukur, sambil melemparkan mawar merah ke liang kubur kalian". 
Mendengar ucapan Amrus itu, semua hadirin tertawa terkakak-kakak.Seperti tidak 
terusik sedikit pun Tariganu yang memang pernah lama brsekolah di RRT [Rpublik 
Rakyat Tiongkok] menjawab tenang dengan gaya seakan berkata pada dirinya 
sendiri:

"Kalau kita mengamati riwayat pemimpin-pemimpin RRT, mereka yang merokok dan 
minum justru berumur sangat panjang". Tariganu menyebut nama-nama Chu Teh, Lin 
Piao, Mao Tsedong dan nama-nama lainnya untuk membela dalilnya.Teman-teman 
kembali tertawa terpingkal-pingkal."Sebaliknya bagaimana mungkin orang yang 
hanya makan sayur-mayur seperti kambing bisa panjang umur dan punya tenaga? 
Mana ada kambing yang berulur panjang?" lanjut Tariganu diarahkan kepada Amrus 
Natalsja yang sedang menikmati makanan vegetarian yang dia bawa dalam rantang 
khusus dari rumahnya. Derai tawa kembali menyingkirkan gerimis yang terus 
membasuh debu-debu atap dan dedaunan halaman rumah Indang Dina yang disebut 
oleh teman-teman secara bercanda sebagai "tuantanah".

Sesudah canda itu usai, kami kembali membicarakan soal yang dikemukakan 
Pramoedya di PDS HB. Jasssin di atas, yang mengatakan "tiada maaf bagi militer".

"Yang kupertanyakan, apakah pandangan demikian, tidak perlu dirincikan lebih 
lanjut? Sebab kukira antara militer, orang militer dan militerisme terdapat 
perbedaan. Tidak semua orang militer adalah militeristik atau penganut 
militerisme. Dari pengalaman Indonesia di tahun 1965 saja kita mendapatkan 
bukti bahwa di kalangan orang-orang militer terdapat orang-orang yang berhati 
nurani. Belum lagi kalau kita melihat bahwa Gamal Abdel Nasser dari Mesir, 
Chavez dari Venezuela, Kemal Ataturk dari Turki sekali pun mereka orang-orang 
militer, tapi tidak serta-merta menjadi penganut militerisme. Yang sipil, yang 
bukan militer justru tidak sedikit yang menganut militerisme dan menjadi batu 
rintangan bagi tegaknya masyarakat sipil.Kalau pengamatanku benar maka di dalam 
kalangan militer terdapat militer yang berpikiran cerah dan ada memang yang 
militeris, penganut militerisme sehingga penggeneralisasi militer identik 
dengan militerisme barangkali merupakan ide atau kesimpulan yang sulit 
dipertahankan. Kukira kekuatan militer yang berpikiran cerah ini untuk 
Indonesia patut dikembangkan. Dari segi negara, sebelum "negara itu melenyap", 
militer tetap diperlukan. Mempertahankan adanya militer, kukira tidak identik 
dan membuat kita jadi penganut militerisme.Kekuatan militer yang berpikiran 
cerah ini akan mempuny

[nasional_list] [ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [42]:"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"

2005-11-09 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café 
Bandar [42]


"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"

3.


Pada titik ini, temu antar seniman di Serua Indah-Suka Damai sampai pada soal 
"sastra-seni kepulauan".

Dalam pandanganku konsep "sastra-seni kepulauan" ini sangat penting Indonesia 
dan bahkan kuanggap sesuai dengan nilai-nilai republiken serta nilai Indonesia 
itu sendiri.

Bagiku, ketika kita menyebut negeri ini sebagai  Republik Indonesia,maka di 
dalamnya terkandung serangkaian nilai republiken dan nilai-nilai 
keindonesiaan.Yang kumaksudkan dengan nilai-nilai republiken adalah 
kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan [liberté, egalité, fraternité] nilai 
warisan Revolusi Perancis yang Prancis sendiri belum selesai mewujudkannya.Aku 
tidak melihat adanya nilai lain dari nilai-nilai di atas ketika "founding 
fathers" kita menamakan negeri ini sebagai "Republik Indonesia" [R.I].Sehingga 
Republik dan Indonesia merupakan rangkaian nilai yang dijadikan pegangan untuk 
berbangsa dan bernegara.

Tapi sejarah perkembangan R.I, sering mempertontonkan ke dunia bahwa 
nilai-nilai republiken itu dijadikan puntung rokok di bawah tumit sepatu.Bahkan 
sampai pada hari ini. R.I. pun pernah merosot menjadi militerisme dan kerajaan 
feodal.

Ketika nilai-nilai republiken dan Indonesia ini tidak diterapkan maka Indonesia 
akan tetap jadi semacam negara penindasan.Pusat dan mayoritas menindas 
minoritas. Orang Indonesia menjajah orang Indonesia.Pusat menindas 
daerah.Celakanya daerah selalu dikambinghitamkan.Padahal perlawanan daerah 
adalah reaksi terhadap pilihan politik Pusat.Sehingga masalah sebenarnya 
bukanlah terletak pada separatisme tetapi pada apa bagaimana politik pemerintah 
Pusat di Jakarta. Jika mau berbicara tentang yang disebut separatisme,maka 
pertanyaan utama kukira adalah apakah Jakarta menyetiai ide republiken dan 
Indonesia.Jangan dilihat secara terbalik dan menjadikan daerah sebagai kambing 
hitam. Hanya saja pola pikir mencari kambing hitam, sangat kental di negeri ini.

Yang diabaikan sampai sekarang juga adalah nilai keindonesiaan. Apakah nilai 
keindonesiaan itu? Nilai keindonesiaan bagiku tidak lain daripada kemajemukan 
sebagaimana diruluskan dalam motto:"bhinneka tunggal ika".

Malangnya motto yang merumuskan nilai keindonesiaan ini termasuk kurang 
diindahkan oleh para budayawan dengan menegakkan atau kecenderungan untuk 
menegakkan dominasi nilai yang bersifat sentris, terutama Jakarta sentris , 
paralel dengan pengerti Republik Indonsia sebagai NKRI yang sentralistik. 
Sentralisme nilai begini kukira adalah ujud dari ide NKRI sentralistik di 
bidang kebudayaan,khususnya sastra-seni. 

Berbalikan dengan ide sentralistik dan pengangkangan nilai ini adalah konsep 
sastra-seni kepulauan yang ingin mendesentralisasikannya, ingin melihat bahwa 
pulmau-pulau dan daerah bisa berkembang juga menjadi pusat-pusat kebudayaan, 
ingin menggali dan merevitalisasikan nilai-nilai serta potensi yang ada di 
daerah.Konsep sastra-seni kepulauan, kukira juga merupakan suatu politik 
kebudayaan dalam menyikapi macam-macam budaya dari luar negeri.Dengan adanya 
universitas-universitas di setiap ibukota propinsi, kukira, syarat 
berkembangtumbuhnya pusat-pusat kebudayaan di berbagai daerah, menjadi lebih 
tersedia.

"Bhinneka tunggal ika" bagiku, sama dengan nilai keindonesiaan yang repuliken 
dan bukan dominatif. Nilai dan sikap dominatif ini pun sebenarnya ditunjukkan 
oleh penilaian bahwa yang disebut kebudayaan nasional itu adalah "puncak-puncak 
kebudayaan daerah" [Lihat: Penjelasan UUD '45].Yang lebih sesuai dengan 
nilai-nilai  republiken dan keindonesiaan, adalah konsep "sastra-seni 
kepulauan" sebagai pengewantahan dari ide "bhinekka tunggal ika". Adanya dan 
bermunculannya komunitas-komunitas budaya di berbagai pulau atau daerah bisa 
dipandang sebagai bentuk organisatoris dalam mewujudkan ide "sastra-seni 
kepulauan".

Dalam hubungan inilah, kukira, apa yang dilakukan oleh penyair Tariganu , 
misalnya dengan penerbitan kaset "Puisi Pincala" menjadi penting,termasuk 
kegiatan-kegiatan eksploratifnya di daerah-daerah seperti di Kalimantan.

Kalau dewasa ini sering dipertanyakan: "Apakah gerangan sekarang yang menjadi 
perekat guna menjadi Indonesia", kukira pertanyaan ini lebih mungkin didapatkan 
jawabannya melalui usaha menterapkan konsep "sastra-seni kepulauan" daripada 
keinginan konsep sentralisasi dan dominasi nilai yang bisa dilebih persiskan 
menjadi Jakarta sentris. Indonesia bukan hanya Jakarta atau Jawa.

Pandangan ini kuajukan dalam temu antar seniman di Serua Indah-Suka Damai 
menanggapi apa yang diajukan oleh Targianu guna mendapatkan tanggapan-tanggapan 
dan komentar balik.***  


Paris,Nopember 2005

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [41]:" DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS M ALAM SERUA INDAH"

2005-11-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [41]


"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"

2.


Sosok demi sosok kuamati satu persatu. Di bentuk sosok siapa pun mereka yang 
hadir, baik lelaki atau pun perempuan, jelas kulihat tegaknya di depan mataku 
tokoh jiwa yang perkasa setelah melampaui masa jatuh bangun tak terperikan. 

Dengan maaf besar, di sini tak kusebut nama-nama mereka satu per satu.

***


Tentu saja acara peluncuran buku 'sanjak' sederhanaku yang lebih bersifat 
kronik peristiwa: "Sansana Anak Naga Dan Tahun-tahun Pembunuhan" yang 
diselenggarakan oleh Komunitas Mata Bambu, di Pusat Dokumentasi Sastra HB. 
Jassin, Taman Ismail Marzuki [TIM] Jakarta, 13 Agustus 2005, sebagai kegiatan 
pertama komunitas, menjadi bahan pembicaraan santai dan bebas kami.Bahkan soal 
peluncuran inilah yang mengawali pembicaraan.

"Bagaimana pendapat Bung JJ tentang peluncuran buku tanggal 13 Agustus lalu 
itu?" tanya Tarigan U.

"Barangkali pertanyaan itu pertama-tama adalah pertanyaanku, Bung. Dan aku 
sangat ingin mendengar pendapat kawan-kawan yang tentu lebih bisa membaca 
keadaan serta perkembangan serupa di PDS daripada aku", jawabku. "Dan 
pendapat-pendapat kawan-kawan kelak akan kusampaikan kepada kawan-kawan di 
Komunitas Matabambu [KM] sebagai sangu melangkah lebih lanjut", tambahku lagi.

"Secara umum kukira peluncuran itu sangat berhasil. Lihat saja misalnya, harian 
nasional penting seperti "The akarta Post" atau "The Sunday" pun telah 
menurunkan artikel dan foto berarti mengenai Bung JJ dan kegiatan 
tersbut.Barangkali ini bisa dijadikan satu indikasi. Saya tidak tahu bagaimana 
di daerah-daerah di mana Bung lewati", ujar Tarigan U yang di Jakarta memiliki 
sanggar seni sendiri dan juga penggiat pada Perhimpunan Persahabatan 
Indonesia-China" Jakarta."Belum lagi jika kita lihat dari jumlah yang hadir 
hingga ruangan PDS terasa tidak memadai".

"Aku dengar bahwa dari segi jumlah yang hadir, peluncuran 13 Agustus itu 
merupakan salahsatu yang terbesar sepanjang sejarah PDS, kalau bukan yang 
terbesar. Apakah benar? Pertanyaan ini kuajukan terlebih untuk kepentingan 
membaca perkembangan sekarang. Karena ia bersentuhan dengan pertanyaan "mengapa 
bisa terjadi demikian, faktor-faktor apa yang menyebabkannya", tanyaku lagi.

Dengan pertanyaan ini, aku serentak teringat akan adanya sebuah spanduk kecil 
di pintu masuk TIM berisi peringatan "akan kebangkitan kembali komunis" dan 
surat tuduhan yang menuduh Matabambu mengangkat orang-orang Lekra. Surat 
tuduhan ini disampaikan ke Walikota DKI dengan beberapa tembusan.Juga 
mengingatkan aku akan apa yang disampaikan oleh Nursam dari Penerbit Ombak 
Yogyakarta dan penyair-cerpenis Harsanti [Shantined] dari Balikpapan yang 
mengatakan keengganan sementara harian menerima kedatanganku dan keengganan 
tokobuku terkemuka untuk dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan peluncuran di 
Balikpapan.Harsanti, penyair-cerpenis Kaltim ini adalah organisator utama, 
dibantu oleh Bung Syafiq dari Harian Tribun Kaltim untuk peluncuran bukuku di 
atas di Balikpapan.Terimakasih Santi, terimakasih Mas Syafiq. 

Adanya spanduk dan keterangan-keterangan ini, bagiku termasuk bahan-bahan 
berharga dalam membaca keadaan pola pikir dan wajah mental nyata  
manusia-manusia di tanahair hari ini.

"Aku kira evaluasi di atas tidak terlalu jauh dari kenyataan", ujar Tarigan U 
yang disokong oleh penyair Toga Tambunan. 

Komposisi hadirin pertemuan antar seniman Serua Indah-Suka Damai malam ini, 
memang agak unik.Yang berasal dari Jawa hanya tiga orang, termasuk tuan rumah 
yaitu Indang Dina, sedangkan yang lain berasal dari pulau-pulau luar Jawa yang 
waktu di Yogyakarta dikenal dengan sebutan "anak seberang" -- suatu cara 
pandang Jawa sentris dalam memandang Indonesia, barangkali paralel dengan 
posisi Jawa dalam NKRI yang sentralistik.

Dengan komposisi peserta begini, apalagi umumnya sudah saling kenal sejak lama 
dan biasa bicara bebas leluasa, maka pembicaraan dan pendapat diajukan tanpa 
batasan tatakrama semu dan feodalistik.

Benar bahwa aku memang dibesarkan di Yogyakarta dan memang dipengaruhi oleh 
budaya Yogya, tapi tetap saja tidak bisa membuang kedayakanku.Barangkali 
karenanya aku bisa disebut Dayak-Yogya tapi bukan Yogya-Dayak.Penamaan ini 
kudasarkan pada teori Paul Ricoeur, filosof Perancis yang meninggal pada Mei 
tahun ini,  yang memandang bahwa "budaya lokal merupakan dasar dialog dalam 
keragaman".Pandangan yang tentu saja berbeda dengan anggapan bahwa budaya etnik 
lebih dekat pada fasistis.

Teman-teman lain pun nampaknya sepakat dengan apa yang diucapkan oleh Tarigan U 
dan Toga.Hanya yang tetap menjadi pertanyaan: Mengapa yang datang demikian 
banyak, termasuk kehadiran para wartawan dan acara berjam-jam masih dirasakan 
terlalu pendek?

Apakah karena persiapan Matabambu yang baik, ataukah karena ada faktor 
Pramoedya A.Toer  dan tampilnya orang Lekra, yang berada di bawah angin, di 
TIM? Ataukah mencakup semua faktor-faktor itu? Kebetulan tanggal 17 Agustus 
ad

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [40]:" DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS M ALAM SERUA INDAH"

2005-11-06 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [40]


"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"



Akhirnya aku pun sampai di Serua Indah di mana pertemuan akan dilangsungkan. 
Hari sudah jam 15:00 petang.Begitu memasuki halaman yang luas di mana 10-15 
mobil bisa berparkir, yang pertama-tama kucari adalah teman-teman seniman yang 
sedianya datang dan berjanji pasti datang.Tapi tidak nampak seorang pun. Yang 
ada hanyalah dering demi dering telepon genggam mengatakan bahwa mereka akan 
datang berombongan dan sedang menuju Serua Indah.

Dari pengalaman sendiri di Jakarta, kurasakan betapa kemacetan jalan kota 
sungguh menjengkelkan, membuat kita sulit menepati waktu sebuah rendez-vous.

Kedatanganku sendiri tidaklah terlambat dari jam yang dijanjikan karena memang 
sudah kuhitung benar sejak dari Palangka Raya.Kuhitung juga kemungkinan macet 
di jalan Jakarta. OLeh karena itu, kedatanganku lebih tepat waktu dibandingkan 
dengan teman-teman lain.Apalagi aku memang tidak suka menunggu dan tidak suka 
membiarkan orang menunggu jika tidak harus menunggu karena alasan tak 
terpungkirkan lagi.

Terhadap waktu , aku memang selalu menghargainya secara maksimal, karena aku 
sadar benar bahwa  waktu yang hilang tidak pernah bisa diraih kembali. Dalam 
pengembaraanku dari benua ke benua, kurasakan benar sakitnya kehilangan waktu 
atau penggunaan waktu yang tidak efektif dan berdampak langsung pada hidupku.


Gerimis membasahi dedaunan yang rimbun di halaman mempercepat tibanya remang 
dan mengurangi terik yang menyengat.Sementara itu, di meja ruang terbuka dengan 
alam sebagai dekor, oleh Indang Dina sudah disiapkan masakan makanan Jawa yang 
khusus untuk menyambut seniman-seniman itu. 

Berada di ruang terbuka begini, kita tidak merasakan adanya kesumpekan bahkan 
sebaliknya merasa longgar. Apalagi sesekali angin semilir berhembus turun dari 
dedaunan dan malam yang mulai menampakkan kehadirannya makin jelas dan makin 
jelas.

Di tempat ini, dahulu, memang sering kuselenggarakan pertemuan-pertemuan dengan 
teman-teman dari berbagai kalangan dan dari berbagai daerah tanahair. Tempatnya 
tertutup oleh pepohonan.Tamu-tamu luar negeri dari Eropa Barat, Jepang dan 
lain-lain pun sering menginap di sini untuk waktu kadang-kadang sampai satu 
bulan.Tempat ini sekarang merupakan tempat menyelenggarakan "Perpustakaan 1001 
Buku" untuk anak-anak dan orang kampung Serua Indah di samping tempat 
menyenggarakan kursus masak-memasak dengan maksud menambah sumber penghasilan 
penduduk secara berprakarsa.Hal ini dimulai dengan pembuatan kue donat yang 
pemasarannya dirancang benar oleh pihak pengelola.Dan agaknya usaha produktif 
begini sangat menjanjikan.Sehingga aku makin yakin bahwa untuk negeri ini masih 
ada harapan dan jalan keluar dari keterpurukan asalkan rakyat bawah bisa 
menjadi aktor pemberdayaan diri mereka sendiri.Pemberdayaan dan pembangunan 
dari bawah begini inilah yang pernah kusebut "pemberdayaan dan pembangunan dari 
pinggir".Dari apa yang kusaksikan di !Serua Indah Suka Damai ini, kuyakini hal 
begini bukanlah hal muluk-muluk. Barangkali usaha tipe begini bisa disebut 
salah satu bentuk "pembebasan tenaga produktif".Barangkali!

Di bawah gerimis dan temaram malam yang makin nampak di antara cahaya neon dan 
listrik rumah, satu-satu mobil dari berbagai jenis,yang membawa teman-teman 
berdatangan masuk ke halaman.Begitu semua kendaraan sudah masuk, gerbang besi 
pun ditutup kembali.Dari luar sama sekali tidak kelihatan bahwa di halaman 
Serua Indah ini, terdapat beberapa kendaraan.

Begitu turun dari kendaraan, dengan kegirangan luar biasa, kami saling peluk 
dan kembali saling peluk tanpa mengucapkan kata sepatah pun. Paling-paling 
hanya saling pandang dengan pandang yang dalam terkadang nampak di bola mata 
ada air menggenang menngungkapkan secara utuh apa yang tersimpan di hati selama 
kurun waktu panjang tak berjumpa.Di air menggenang pada mata itu pun tersimpul 
segala cerita pahit dan manis, jika ada manisnya, tapi juga ada api yang masih 
menyala tak padam.

Semua teman akhirnya mengambil tempat duduk dan bergerak bebas mengambil 
makanan atau minuman yang terhidang dimeja sesudah Indang Dina menawarkan tanpa 
basa-basi.Ada yang berdiri, ada yang duduk, ada yang sambil mondar-mandir. 
Masing-masing dengan perangai masing-masing dan tak seorang pun yang acuh akan 
perangai siapapun kecuali memamahaminya. Terkadang meledak gelak oleh perangai 
itu jika dirasakan menggelikan.Kurang lebih puluhan teman seluruhnya, terutama 
sastrawan dan pelukis yang hadir di pertemuan pertama kami.Dengan gaya 
beginilah maka percakapan dengan bebas tanpa aturan dan acara dimulai.Indang 
Dina sibuk mengamati hidangan apakah cukup atau harus segera ditambah sambil 
mengamati apakah karyanya bisa dinikmati teman-teman atau tidak sambil memasang 
telinga mendengar percakapan yang hangat suasana dengan isi yang serius 
diselingi canda-canda tajam dan kocak.

Sosok demi sosok kuamati satu persatu. Di bentuk sosok siapa pun mereka yang 
hadi

[ppiindia] Fw: catatan dari meja nusa dua dan café bandar [40]: MEMBURU WAKTU KE SARUAN INDAH -- SUKA DAMAI

2005-11-06 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [40]


"MEMBURU WAKTU KE SARUA INDAH"


Saban pesawatku tinggal landas meninggalkan Palangka Raya, melalui jendela 
pesawat, selalu kucoba melihat ke bawah, melihat tanah, sungai, gunung dan 
hutan kampung kelahiran.Melirik huruf-huruf besar TJILIK RIWUT yang tertera di 
atap gedung utama bandara.Memandangnya, kurasakan terkumpul segala rupa kisah 
kampunghalaman dari masa ke masa, termasuk harapan yang masih diburu dan hanya 
ditunda oleh kesulitan untuk mencapainya.  Tak pernah kuucapkan "selamat 
tinggal" pada Kalimantan, apalagi Kalteng, khususnya Katingan, tak pernah pula 
kukatakan bahwa kegagalan, kejatuhan, penyingkiran dan keterpinggiran bisa 
meremuk mimpi generasi dan mimpiku pribadi.Seperti enggang, bisa patah, bisa 
luka dada dan sayapnya, tapi sampai pada  gelepar penghabisan ia akan mencari 
cara mewujudkan mimpi dan cinta tertunda."Isen Mulang" [tak pulang perang jika 
tak menang] masih mempengaruhi diriku kendati benua demi benua sudah 
kukembarai, penjuru demi penjuru kusidiki. Kendati memang akhirnya aku tetap 
juga seorang pengembara, paling tidak sampai hari ini.

Memandang gunung, sungai, tanah dan hutan Kalimantan, seperti kudengar suara 
menyeru-nyeru: 

"Kami tunggu kau kembali pulang, anakku sayang. Kau adalah anakku, anak kami 
tak perduli sebengal apa pun kau, sejauh apa pun kembaramu.Cinta antara kita 
tak bisa dipenggal seperti tak siapapun bisa memandaui  air sungai hingga 
terpotong sampai tak tersambung lagi.Waktu dan ruang pun tidak!"

Sebelum gunung, sungai, hutan dan tanah Kalimantan melenyap dari pandang, 
kepada mereka diam-diam kukatakan bahwa "Kalian memang danau arah pulang seekor 
bangau, hutan pulang si anak enggang".

Fokker Merpati melaju membawaku ke Jakarta dikawal oleh gumpalan awan yang tak 
obah bagaikan  ribuan kawanan kuda putih berderap melomba laju Fokkerku. Ribuan 
joki remaja berpakaian kelabu duduk di pungggung ribuan kuda yang memacu dan 
melomba. Melihatnya aku rasakan ada suatu dinamisme. Dinamisme alam.Elan 
kehidupan -- hal yang sangat diperlukan agar hidup tidak hanya asal hidup. 
Apakah arti hidup jika asal hidup? "Life is not for bread only"  tulis seorang 
pengarang Barat, kalau tidak salah pengarang dari Russia.

Sepanjang penerbangan, waktu aku manfaatkan  untuk membaca teks "Visi, Misi Dan 
Program Kerja" yang diberikan oleh gubernur Kalteng Teras Narang dan yang ia 
minta dikomentari.Sementara itu, tak lama kemudian, pramugari sudah mengumumkan 
bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta.O, waktu 
demikian cepat berlalu dana tak punya ampun. Sama sekali tak perduli yang lalai 
dan berleha-leha. 

Dahulu, pada usia 15 tahun, pertama kali aku ke Jakarta, aku menggunakan kapal 
laut milik KPM bernama van Goen [nama seorag jenderal kolonialis Belanda yang 
turut menindas perlawanan rakyat Aceh]  dan berlabuh di Tanjung Priok. Perlu 
dua hari dua malam pelayaran dari pelabuhan Sampit untuk sampai ke 
Priok.Sedangkan dari Kasongan, kampung kelahiranku, untuk ke Sampit juga 
memerlukan waktu pelayaran tidak kurang dari waktu demikian, menggunakan kapal 
kecil atau bahkan dengan perahu layar yang menggantungkan lajunya padaa angin. 
Karena selain menempuh pelayaran di sungai juga mesti menyisir Laut Jawa.Total 
pelayaran paling tidak tiga hari tiga malam juga.Berdirinya Kalteng turut 
merobah keadaan ini.Sekarang dari Jakarta ke Kasongan paling lama memerlukan 
waktu empat jam perjalanan pesawat dan kendaraan darat.Oleh adanya warnet dan 
jaringan telepon, aku dengan gampang bisa menghubungi Kasongan dari Paris.Aku 
bayangkan pada suatu hari yang tidak jauh,Kasongan  akan mempunyai bandara 
sendiri sehingga bisa dicapai dalam waktu lebih singkat lagi.Mengapa tidak? 
Berdirinya Katingan sebagai kabupaten tersendiri, kukira membuka peluang ini, 
jika Katingan ingin memutuskan keterisolasiannya dan menjawab tanggap tantangan 
perkembangan yang cepat melaju.


Melirik pada arloji di tangan, aku melihat bahwa waktu pertemuan yang sudah 
diatur oleh Indang Dina,di Sarua Indah,Suka Damai, Ciputat, dengan para seniman 
 makin mendekat.Menurut rencana pertemuan yang sudah direncanakan sejak lama 
ini akan diselenggarakan jam 15:00.

Seniman-seniman yang menungguku adalah seniman-seniman kawakan dan cukup 
terkemuka di bidang masing-masing,serta sudah melalui lika-liku hidup amis 
darah di mana berseliweran sampai di beranda dan kamar-kamar pribadi.

Aku sangat khawatir bahwa aku tidak bisa datang tepat waktu oleh kemacetan 
lalulintas di Jakarta. Memprediksi hal-hal ini, Indang Dina sudah mengirimkan 
mobil jemputan untukku.

Pertemuan dengan para seniman kawakan ini kurasakan penting karena dari sini 
aku mungkin terbantu untuk membaca keadaan kesenian dan pikiran-pikiran hidup 
yang ada di dunia kesenian Indonesia sekarang, terutama di Jakarta, bukan hanya 
yang terdapat di kalangan anak muda. Aku merasa perlu mengenal keadaan nyata 
dunia kesenian pada berbagai kalangan atau lapisan. 

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [39]: "has eh hari", ayo serbu kembali langit kembara!

2005-11-05 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [39]


"HAS EH HARI", AYO SERBU KEMBALI LANGIT KEMBARA!



Besok siang aku ditunggu Jakarta.Lusanya Paris.Tulah dan tubin entah di 
mana.Hidup kurasakan bagai teka-teki silang tak pernah usai diisi.Yang pasti 
bahwa  di tiap tapak dan tikungan, ada duka, ada luka, ada hilang menanti siap 
menyergap dan menyiksa. Harapan mengabut tapi tetap ingin diburu dan 
direbut.Sejak lama keduanya merupakan ayunan di mana aku bermain tak kenal 
jera.   Nusa Dua dan Café Bandar seperti Kasongan dan Katingan bersama sekian 
nama, juga namamu Meldiwa,  akan kian jauh di mata, tapi tertating selalu di 
tangan hati menolak menyerah.Hadir mengatasi ruang dan waktu tanpa "selamat 
tinggal" apalagi "adieu"!.Tak ada "aideu" atau "selamat tinggal" bagi harapan 
yang memang kadang bersembunyi atau "ndelik" jika menggunakan istilah anak 
perempuanku yang lucu dan nakal suka mengusikku.

Keesokannya, jam sembilan pagi, aku sudah berada di Bandara Tjilik Riwut di 
antar oleh mereka yang merasa dekat denganku tak peduli daki-daki yang 
mengotori wajah jiwaku. Mereka mencintaiku sebagaimana adanya aku, tanpa ilusi 
puritanis.

Pada tahun 1957an, ketika bandara ini sedang mulai dibangun,usiaku masih 
remaja,  ketika mengajakku berkeliling dengan sebuah jip Willys 1945, Oom 
Tjilik Riwut menjelaskan mimpinya kepadaku dengan dingin.

"Kita akan bangun dua lapangan terbang di ibukota Kalteng ini, Ken [dari kata 
"aken" bahasa Katingan brarti "ponakan"] . Satu untuk penerbangan dalam negeri, 
dan sebuah lagi untuk penerbangan internasional. Lapangan terbang internasional 
kurancangkan diberi nama lapangan terbang Panarung" [fighter]-- sekarang 
menjadi nama sebuah kampung di Palangka Raya. Kita harus bangun Kalteng sebagai 
ujud tanggungjawab manusia Dayak pada hidup". 

Mendengar dengan cermat tuturannya, aku dapatkan bahwa Pamanku ini memang 
seorang pemimpi. Dari mimpi dan cintanya kepada Tanah Dayak lahir laksa dan 
berlaksa prakarsa dan ide serta ketetapan mengejawantahkannya sampai 
selesai.Menelusur riwayat Tjilik Riwut ini aku menyaksikan bahwa cinta dan 
mimpi memang merupakan suatu kekuatan magis yang kuasa menantang dan menatap  
maut secara mata dengan mata tanpa kedip.Terngiang kembali "lahap"nya, 
bagaimana ia memekikkan kata "Merdeka" saban ketemu di jalan, dan bagaimana ia 
"manakir petak" [menumiti bumi] memperlihatkan kebulatan hati seorang "putera 
panarung". Semuanya membekas dalam diriku sampai sekarang dan memberiku 
pengaruh diam-diam.

Tjilik Riwut dan angkatannya adalah angkatan panarung mandi darah dan airmata, 
berbeda dengan angkatan sekarang yang mengendalikan Kalteng. Barangkali 
perbedaan latarbelakang ini turut mempengaruhi gaya dan langgam dalam 
menyelenggarakan Kalteng.

Ketika masih bekerja di Palangka Raya, Pamanku yang lain pernah bercerita bahwa 
saat Palangka Raya sedang dibangun dari hutan menjadi kota, Tjilik Riwut dan 
kegubernurannya berkedudukan di Banjarmasin, di depan gedung bioskop Kalimantan 
dekat Komando Militer Kota.Yang mengagetkan dari cerita Pamanku itu bahwa di 
rumah, rumah sorang gubernur, gubernur Kalteng, kehabisan beras.Gubenur 
Kalsel-- sahabat seperjuangan Tjilik Riwut --  pada waktu itulah yang kemudian 
membantu Tjilik Riwut yang sibuk, mengatasi soal beras ini dengan mengirimkan 
satu dua goni beras.Bandingkan dengan keadaan sekarang. Jabatan sama dengan 
peluang KKN dan memperkaya diri.Untuk memperoleh jabatan kunci pun dilakukan 
dengan membelinya.

"Mengapa aku tidak menjual saja tanah agar dapat pos pgawai negeri itu", 
demikian tanpa malu-malu diucapkan oleh suami-isteri di depanku waktu dahulu 
bekerja di Kalteng.Pernyataan jujur dan polos ini sangat hakiki dan berbicara 
banyak, bahwa jabatan tidak lain dari barang dagangan dan alat korupsi.

Saat harus kembali berangkat ke Jawa di tahun 57an,untuk melanjutkan sekolah di 
Gadjah Mada, bandara Panarung masih merupakan belantara sedang dibuka. Kembali 
lagi setelah lebih dari empat dasawarsa, pesawat Merpati yang membawaku dari 
Jakarta dengan tenang mendarat di bandara Palangka Raya yang dinamai bandara 
Tjilik Riwut dan bukan lagi Panarung.Masih merupakan bandara kecil tidak 
sebesar bandara Jajapura, Balikpapan atau pun Biak. Tapi ketika melihat atap 
bandara bertuliskan hurufhuruf besar TJILIK RIWUT,aku seperti melihat sebagian 
mimpi pamanku sudah terwujud walau pun jauh dari sudah. Juga melihat bahwa yang 
pernah nampaknya sebagai khayali, sesungguhnya bukan tidak mungkin. Hidup 
adalah laksaan kemungkinan di mana imajinasi leluasa tumbuh berkembang walau 
pun kejatuhan dan kegagalan menunggu di tiap tikungan dan langkah tapi Sysiphus 
tak pernah berhenti mencari puncak.Inilah barangkali absurditas hidup itu -- 
hidup yang betapa pun absurdnya tetap kucintai dan kusetiai serta kujaga dengan 
semangat anak panarung sekalipun harus berdarah-darah. 

Bandara Tjilik Riwut yang kulihat hari ini makin membaik, baik dari segi besar, 
kebersihan atau pun pelayanan.Jalan dua lapis

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [38]: ke katingan!

2005-11-03 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [38]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

20




Dengan selesainya acara jumpa gubernur, maka acara utamaku di Palangka Raya pun 
selesai. Tinggal sekarang aku menindaklanjut segala program dan rencana yang 
sudah dicapai.

Selama di Kalteng, dengan pihak pemerintah daerah aku sudah mencapai dua 
kesepakatan: [1]. dengan pemerintah propinsi melalui Gubernur Teras Narang dan 
[2]. dengan pemerintah kabupaten Katingan melalui Gatin,sekretaris daerah 
[sekda]nya yang khusus datang ke rumah adik kandungku di mana aku menginap. 
Gatin juga adalah sahabat lamaku.

Ketika menjadi guru di Universitas Kristen Palangka Raya [UNKRIP], Gatin dan 
teman-temannya pernah khusus datang ke rumah kontrakanku di Gang  Batu Hurun, 
Bukit Hindu untuk merundingkan apa-apa yang kongkret bisa kami sumbangkan 
kepada Kalteng, terutama di bidang pendidikan.Rencana ini terpenggal oleh 
meletusnya Tragedi Sampit 2001.Aku terpaksa keluar Indonesia. Apakah 
persetujuan Kasongan dengan Gatin selaku sekda kabupaten Katingan akan terujud? 
Aku pun kembali ke Paris secara pasti hanya membawa tandatanya sebab "di dalam 
air lumpur kehidupan" Indonesia, juga di Katingan:

apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
ketidakpastian merajalela"

Di Indonesia aku merasa seperti orang bermain loncat tali atau "tarik tambang" 
dengan ketidakpastian.Barangkali juga berjudi!

Waktu yang diberikan oleh visa mendesakku harus segera kembali ke Jakarta dan 
mengharuskan aku seperti halnya waktu  berada di Balikpapan meninggalkan 
rencana menemui orang-orang kunci ibukota Kalteng, Palangka Raya serta 
teman-teman lama yang pernah melakukan banyak hal bersama-sama.

Cepat atau lambat mereka akan mengetahui bahwa aku sempat ke Palangka Raya dan 
barangkali menyesali karena tidak menyempatkan diri datang berkunjung. 

Sesal sebagai suatu macam perasaan kemudian kurasakan juga sekaligus sebagai 
kenyataan yang tak terpisah dari kehidupan, terutama kehidupanku.Sebagai 
perasaan dan kenyataan semuanya harus kukelola sebagaimana adanya 
kenyataan.Yang paling berat adalah bagaimana mengelola rasa kehilangan dan 
kejatuhan tiba-tiba di luar hitungan. Pada saat begini yang paling penting 
bagaimana mencoba agar bisa bertahan. Bertahan dan jangan buru-buru mengambil 
keputusan.Sebab keputusan yang diambil tergesa-gesa pada saat kehilangan dan 
jatuh akan sangat berbahaya bahkan bisa sangat fatal.Karena itu pernah seorang 
pimpinan gerilya Tiongkok dalam Perang Anti Jepang pada Perang Dunia II, 
mengatakan bahwa bisa bertahan berarti menang dan mencoba melihat titik terang 
kendatipun secercah. Kehidupan bukanlah kegelapan total.Gelap dan terang 
terdapat dalam sebuah bumi yang sama seperti halnya empat musim di daerah 
dingin dan bersalju.Jangan katakan musim semi sudah binasa dari puncak musim 
salju.

Pekerjaan mendesak yang harus kuselesaikan sebelum meninggalkan Palangka Raya 
adalah mengurus pengelolaan perpustakaan pribadi yang kubentuk selama empat 
tahun bekerja di kota berpasir putih dan tegak di atas tanah granit ini. Kepada 
siapa ia harus kuserahkan agar bisa berguna dan dimanfaatkan di tengah-tengah 
ketidakacuhan akan arti perpustakaan dan buku.Perpustakaan pribadi yang kususun 
dengan buku-buku dari Jawa dan Eropa ini pernah membantuku ketika menjadi guru 
di UNKRIP yang kurasakan belajar dengan buku-buku pegangan sudah tidak zamani 
alias sangat ketinggalan zaman sampai lebih dari 50 tahun.Aktualisasi text 
books, kukira akan mempengaruhi mutu pendidikan.Tapi jangankan berbicara soal 
aktualisasi buku pegangan, minat baca para mahasiswa pun ternyata sangat minim. 
Tak ada tokobuku-tokobuku yang berarti di Palangka Raya. Ada satu yang agak 
besar terletak di jalan protokol Jalan A. Yani tetapi yang dijual terutama 
buku-buku rokhani alias keagamaan.

Keputusan untuk membuka tokobuku jenis ini, bagiku menunjukkan bahwa ia 
didasarkan pada evaluasi pemilik, buku-buku apa yang dikira diminati penduduk 
atau yang diharapkan jadi lapisan pembeli.Jika  pemilik tokobuku tidak 
mengindahkan masalah rentabilitas usaha, berarti tokobuku ini dibuka untuk 
tujuan lebih mengarah ke propaganda agama.Yang menggelitik diriku adalah 
pertanyaan:Inikah jalan yang diharapkan sebagai jalan alternatif bagi Kalteng 
untuk keluar dari keterpurukan?

Perpustakaan pribadi yang kubangun selama 4 tahun tentui saja beda dengan 
buku-buku yang dijual di tokobuku-tokobuku di Palangka Raya. Untuk 
membangunnya, kusisihkan dana khusus. Buku-buku yang sesuai dengan corak 
keinginan dan perhatianku kubeli dari tokobuku-tokobuku yang ada di Palangka 
Raya, sekali pun sudah sangat lama.Untuk keperluan ini seperti saat berada di 
kota mana pun selalu kusediakan waktu untuk berburu buku.Tapi minat baca di 
ibukota propinsi ini kurasakan sangat "mengeneskan" hati. Bagaimana mungkin 
menumbuhkan suatu angkatan manusia bermutu tanpa minat baca dan belajar 
terutama atas dasar telinga semata.Naif, 

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [37]: ke katingan!

2005-11-03 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [37]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

19


"Bagaimana?", tanya Teras Narang. Sadar bahwa yang kuhadapi sekarang adalah 
orang pertama propinsi, tapi menjaga keenggananku menggunakan istilah "bapak", 
maka aku mencoba menggunakan istilah kompromi yaitu "gubernur" yang 
kadang-kadang kusingkat dengan "Gub".

Menjawab pertanyaan gubernur dan aku melihat bahwa ia menungguku mengajukan 
persoalan dan agar mengembangkan diskusi, tanda bahwa ia sudah lelah,  maka 
kukatakan:

"Baik! Tapi sebelumnya aku mau jelas juga dalam bahasa apa kita diskusi? Apakah 
menggunakan bahasa Dayak atau bahasa Indonesia? Hanya kuanggap akan lebih layak 
jika kita menggunakan bahasa Indonesia, karena kukira ini adalah pertemuan 
resmi". Teras-Narang menyetujuiku. Maka kulanjutkan:

"Seperti yang telah kita diskusikan melalui sms, terus-terang pertanyaan 
utamaku: Apakah gubernur bisa membantuku pulang ke kampunghalaman? Soal 
berikutnya: Apakah gubernur mau menggunakan tenagaku untuk pemberdayaan dan 
pembangunan Kalteng -- yang adalah propinsi lahirku terhadap mana aku merasa 
mempunyai "hutang moral".

"Ya permasalahannya jelas.Tapi saya ingin tahu, apa keistimewaan dan kehebatan 
Anda maka mengharapkan tenaga Anda digunakan?".Gubernur bertanya. Mendengar 
kata "keistimewaan" dan "kehebatan", aku sedikit bingung karena tidak mengerti 
akan isi pertanyaan.Sebelum pertanyaan itu kukejar, Teras Narang memberikan 
penjelasan:

"Yang kumaksudkan dengan keistimewaan dan kehebatan", misalnya saya. 
Keistimewaan dan kehebatan saya adalah mempunyai S1 ilmu hukum".

"Aku mengerti sekarang" jawabku."Tapi bagiku S1 ilmu hukum dan lain-lain 
bukanlah keistimewaan atau kehebatan.Tapi adalah petunjuk jenjang pendidikan 
yang sudah dicapai atau dilalui oleh seseorang. Ia sama sekali bukan jaminan 
keistimewaan atau pun kehebatan.Jenjang pendidikan mungkin bisa membantu orang 
untuk bisa istimewa dan hebat tapi, "mungkin" bukanlah jaminan."Mungkin" adalah 
 tempat bersarang bagi macam-macam kata sifat [ajektif] dan keadaan 
[situasi].Yang ideal, kukira, jika "mungkin" ini tempat bertumpu kata kerja 
[verb].  

Kembali pada apa yang Gubernur sebut sebagai "keistimewaan" dan "kehebatan", 
yang aku punya hanyalah beberapa S1 dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai 
universitas di dunia, S2 antropologi-sosiologi dan S3 sejarah.Tapi keinginanku 
agar Kalteng mau dan bisa menggunakan tenagaku terutama berangkat dari hasrat 
membayar hutang moral pada kampunghalaman bukan karena merasa diri istimwa dan 
hebat.

Sampai sekarang, aku masih melihat bahwa pemberdayaan dan pembangunan daerah, 
pertama-tama bersandar pada putera-puteri daerah.Apa yang kita capai sampai 
sekarang, lebih merupakan hasil jerih-payah dan perjuangan mandi darah dan 
airmata putera-puteri daerah ini sendiri, bukan karena putera-puteri dari luar 
daerah.Karena itu sangat ideal jika putera-puteri daerah yang ada di rantau 
setelah usai pendidikan, mereka segera pulang dan tidak keenakan di rantau 
orang.Dari segi ini pula, aku akan sangat berterimakasih jika Gubernur mau 
membantuku membayar hutang moralku dengan menghadirkan diriku secara fisik di 
Kalimantan Tengah ini.Kalimantan Tengah dalam penglihatanku adalah gugusan 
gunung pekerjaan yang menunggu uluran tangan.Dan dalam soal ini aku melihat 
bahwa masalah sumber daya manusia [sdm] merupakan kunci.SDM tentu bukan 
sebarang sdm tapi sdm yang berwawasan manusiawi dan berketerampilan tinggi, dan 
yang kusebut sebagai "Dayak bermutu".Rincian program tentu tidak bisa kuajukan 
dalam waktu beberapa menit seperti sekarang, tapi segalanya ada dibenakku dan 
pernah kucoba lakukan saat di Kalteng dua tiga tahun lalu.Aku kekurangan waktu 
untuk mewujudkan mimpiku. Karena itu aku minta dan menagih, bukan berharap,  
kepada Gubernur bisa memberiku waktu melanjutkan pekerjaan yang 
terpotong.Menjadi Indonesia dan Dayak adalah hak alamiku tapi dirampas dan 
direnggut dari tanganku tidak dari hatiku, oleh Orba.Aku minta hak alamiku 
dikembalikan tanpa syarat, jika kita sama-sama benar Dayak dan Indonesia.

Agar sama-sama jelas,maka perlu Gubernur ketahui bahwa saat hak alamiku 
direnggut, aku terpaksa mengambil kertas formalitas Perancis".  

Gubernur memandangku, berucap:

"Tidakkah dengan langkah itu, Anda telah mengkhianati Indonesia?"  

"Aku  kira kata "berkhianat" atau tidak, termasuk jenis kata sensitif yang 
punya latarbelakang sejarah dan politik tertentu, samahalnya dengan kata 
"reformasi", "rekonsiliasi nasional" dan bahkan "Kalteng" serta "Indonesia" itu 
sendiri.Terhadap kata-kata peka yang membuka ruang diskusi, barangkali 
diperlukan kecermatan. Lebih-lebih jika kita seorang pemegang kekuasaan penentu 
kebijakan. Apalagi bagi seorang pemegang gelar S1 ilmu hukum yang terkenal akan 
ketelitiannya dalam berbahasa serta menggunakan istilah. 

"Wah, saya suka dengan diskusi terus-terang begini.Lebih suka lagi karena 
menyentuh soal-soal m

[nasional_list] [ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [36]: ke katingan!

2005-11-02 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café 
Bandar [36]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

18


Frans Untung, yang ajudan, dengan ramah mempersilahkan aku, Lethus dan Esau 
duduk.

- "Kami bukan yang diundang, lho", ujar Esau. "Kami berdua hanya mengawal", 
tambah Esau kepada Frans yang tidak menjawab apa-apa. Dari ucapan ini kuketahui 
bahwa Esau pun akhirnya merasa "kagok" atau "rikuh" sendiri dengan kehadirannya 
dalam pertemuan itu. 

Mendengar dan mengamati semua ini, aku hanya diam, berpikir dan menilai 
sedangkan dalam hati, aku berkata pada diri, sekali sesuatu sudah kulakukan 
akan kulakukan sampai akhir. Aku tak mau melakukan sesuatu dengan kepalang 
tanggung.Sikap ini jadi dalam tertancap dalam pada diriku sejak aku masih 
berada di SMP Kristen Sampit. 

Waktu itu aku sedang menyapu ruang kelas, tapi pekerjaan kutangguhkan karena 
tiba-tiba aku dipanggil oleh seorang guru.Tapi Hans Dürig, misionaris Swiss 
yang menjabat kepala sekolah kebetulan datang dan menanyakan:

"Siapa yang melakukan pekerjaan ini?"

Hans nampak marah. Begitu selesai dengan guru yang memanggilku, Hans kudatangi 
dan mengatakan:

"Akulah yang mengerjakannya".

Tanpa mau tahu latarbelakangnya, Hans menegurku dengan nada keras:

"Kalau mengerjakan sesutu, harus dikerjakan sampai selesai. Jangan 
setengah-setengah", tegurnya. 

Mendengar teguran keras itu aku hanya diam dan menatap tajam mata Hans dengan 
mata kanakku, merasa ada ketidakadilan dalam teguran Hans.Aku merasa 
diperlakukan tidak adil oleh Hans.Ketidakadilan dan teguran Hans ini membekas 
di hatiku sampai sekarang ketika rambutku sudah berwarna dua.

Ketika aku berada di Freiburg, Jerman, kudengar Hans masih hidup dan tinggal di 
Basel. Timbul rasa rindu padanya yang merangsang hasrat untuk menemuinya. Tapi 
waktu memaksaku membatalkan keinginan ini. Jika bertemu dengan guruku yang 
orang Swiss ini, akan kuucapkan lagi rasa terimakasih kepadanya. Terimakasih 
atas tegurannya dulu, sambil bercanda.

Ah, masa silam! Akhirnya "masa silam betapa pun getirnya akan menjelma menjadi 
buah manis", kata orang Katingan.  

Ingatan akan Hans menyusup kebenakku setelah mendengar ucapan Esau di atas. 
Sedangkan aku merasa, akulah yang bertanggungjawab atas kehadiran mereka 
bersamaku karena aku tidak pernah menyatakan penolakan.Artinya apa pun yang 
terjadi, akulah yang harus memikul tanggungjawab dan resikonya. Sekali 
keputusan diambil patut kulaksanakan sampai tuntas.Karena sikap begini maka 
pernah seorang teman sangat akrabku mengatakan bahwa aku adalah orang yang 
"berkepala batu".

"Tapi kepala batu yang berprinsip dan mencoba adil,bukan",candaku padanya. Ya 
"kepala batu" dan "kepala batu" pun  ada macam-macam.

"Ah, kau mana pula ada orang bisa melawanmu debat", balas teman terdekatku itu 
kesal pada dirinya dan memahamiku.Tertawa.Melihat mulutku mau mengucapkan 
sesuatu, teman terekatku itu cepat berucap:

"Diam, diam, diam! Jangan katakan apa pun lagi.Kau, semangat tarungmu tak 
pernah surut", ujarnya."Suka berkelahi", tambahnya lagi seperti bergumam. 

Aku ketawa melihat tingkahnya. Temanku ini belum tahu bahwa betapa waktu kanak 
dahulu di kampung, jika aku pulang ke rumah menangis karena kalah bertinju 
dengan orang yang lebih besar, ayah malah memukulku. 

"Pulang ke rumah ini tidak ada orang yang boleh menangis kalau kalah. Ayo sana 
keluar, kejar dan cari lawanmu. ajak ia berkelahi lagi", bentak ayah dan aku 
pun terpaksa keluar sambil mengumpulkan segala tekad dan akal, menggerutu 
melepaskan rasa kesal:

"Ayah ini bodoh!Bodoh!". 

Tapi langkah membawaku mencari lawan berkelahiku tadi untuk memulai perkelahian 
baru.Perkelahian habis-habisan.Tanpa bantuan siapa pun karena ditanamkan padaku 
agar tidak boleh main keroyok. 

"Lelaki tidak boleh main keroyok", ujar ayah.Kalau kemudian, aku pulang dengan 
luka-luka atau patah-patah, ayah tidak memarahiku dan dengan lembut membantuku 
membersihkan luka-luka itu tanpa menanyai siapa kalah siapa menang atau 
bagaimana jalannya perkelahian seakan semuanya itu urusanku. Ayah merasa puas 
bahwa aku pulang tanpa menangis dan sudah melawan.

Tapi dalam kehidupan di negeri ini, kemudian kusaksikan betapa orang merasa 
gagah jika main keroyok dan berintrik, pandai saling tipu-menipu dan bangga 
pada khianat, sikap yang kukategorikan sebagai sikap pengecut.Tapi coba 
bayangkan! Bagaimana bisa mengeroyok ombak,arus dan topan sungai yang sering 
kutantang? Tapi kalau kuperhatikan situkang keroyok memang bukanlah anak asuhan 
alam yang garang. Sedangkan kegarangan jika sudah kita hadapi, ia tidak akan 
terasa garang lagi.Boleh jadi aku menangis karena kalah dan tidak bisa selalu 
menang. Tapi tangi

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [35]: ke katingan!

2005-11-02 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [35]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

17


Kendaraanku akhirnya sampai ke gubernuran, sebuah kawasan luas, tertata rapi 
dengan gedung-gedung megah berciri Dayak dan bahkan ada sebuah betang [rumah 
panjang] terbuat dari kayu besi -- kayu yang terkenal oleh daya tahannya dan 
beratjenis [BD]nya pun lebih besar dari BD air. Kayu ini kian langka di 
Kalteng.Halaman ditumbuhi oleh hutan hijau, terutama di bagian belakang, 
dilengkapi dengan kursi-kursi kayu panjang untuk duduk berteduh dari 
terik.Sebuah parit merentang panjang membelah hutan itu. Terkadang gemersik air 
yang mengalir terdengar membuat sejuk di tubuh dan di hati.Di bagian depan 
terhampar sebuah lapangan hijau di mana upacara-upacara resmi 
dilaksanakan.Indah dan megah serta punya ciri lokal yang menonjol.

Waktu Soeharto masih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan militerismenya, 
menjadi rahasia umum bahwa kantor gubernur ini pun ingin dibeli oleh Mbak 
Tutut.Tentu saja aku tidak bisa membuktikan kebenaran rahasia umum ini, hanya 
umum diketahui masyarakat bahwa Soeharto dan keluarganya ingin menguasai dan 
sudah melakukan penguasaan atas laut,darat dan bumi tanahair. Juga menentukan 
hidup mati seseorang. "The king can do no wrong" benar-benar menjadi kenyataan. 
Presiden dan keluarganya tidak boleh dikritik. Keadaan masyarakat Indonesia 
pada waktu itu dilukiskan oleh Rendra dalam kata-kata:

"Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok  pagi.
Ketidakpasatian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki,
menjadi merahabahaya,
menjadi isi kebon binatang"

Mujur saja pembelian kawasan gedung gubernur oleh Mbak Tutut yang rakus tidak 
menjadi kenyataan dan  hanya tersimpan di rahasia umum.

Saat turun dari kendaraan, kenangan akan segala kegiatan di gubernuran ini 
ketika masih bekerja di Palangka Raya datang menyambutku.Mereka bagaikan satu 
kumpulan kenalan lama yang rindu.Sekali pun yang menjadi gubernur sudah 
berganti tapi orang-orang lama masih ada, ketentuan protokoler pun tetap tidak 
berobah.Kusapa dan kusalami mereka yang nampak sedikit heran, kemana dan di 
mana saja aku selama ini.Keheranan yang hanya diungkapkan pandang tapi tidak 
diucapkan.

Sesuai ketentuan aku melapor dan mendaftar ke bagian penerima tamu. Di ruang 
tunggu sudah banyak orang menunggu giliran tak obah orang menunggu giliran di 
ruang tunggu dokter atau dukun di Serua Indah, Ciputat. Aku tertawa sendiri 
diusik oleh perbandinganku.Tapi tidakkah jika seorang gubernur, orang pertama 
propinsi, bisa memilih dan mentrapkan politik yang tepat, ia bisa membawa 
dampak seperti dokter terhadap keadaan masyarakat yang sakit? Tapi 
sebaliknya,apabila pilihan politiknya tidak tanggap dan aspiratif, kekuasaan 
politik di tangan bisa menjadi magi hitam amis darah dan asin airmata.

Seperti orang lain aku pun mendaftarkan diri, demikian juga Lethus Kitie Uda, 
seorang arsitek muda, dan Esau, yang bekerja untuk masalah lingkungan. Lethus 
dan Esau adalah sahabat lama, dan mereka ingin juga turut serta bertemu 
gubernur memanfaatkan undangan kepadaku. Aku menyetujuinya dengan menanggung 
segala kemungkinan konsekwensinya karena secara protokoler kutahu tidak 
kena.Barangkali dua teman muda ini tidak memikirkan masalah protokol.

Saat berada di Balikpapan, Teras Narang berpesan agar tidak perlu mengantri, ia 
memintaku menghubungi Frans Untung, ajudannya. Karena enggan mendapat 
perlakukan khusus begini pesan Teras ini tidak kulakukan segera. Kurasakan 
terlalu mewah bagiku mendapatkan perlakuan khusus, lagi pula tidak mendidik. 
Aku, Lethus dan Esau duduk di ruang tunggu. Di sini ternyata tidak sedikit 
orang-orang yang masih mengenalku. Mereka berdiri dan mendatangiku mengulurkan 
tangan dan berbincang-bincang. Serombongan wartawan dari tivi dan media cetak 
tiba-tiba datang. Aku tidak tahu apa yang mau mereka liput. Dalam ketergesaan 
kerja, mereka masih  menyempatkan diri menyapaku:

"Kau sudah di sini lagi?" 

Kemudian berlalu.Kami berbicara dengan pandang.Terasa adanya kekagetan mereka 
melihat kehadiranku. Selama bekerja di Kalteng, dengan mereka aku memang sangat 
akrab.Tidak sedikit kegiatan-kegiatanku disiarkan melalui tivi dan koran.Tivi 
bahkan terkadang mewawancaraiku secara khusus selama 30 menit.Hal yang kemudian 
merepotkan diriku sendiri, terutama di hadapan polisi.Karena aku dianggap telah 
melampaui wewenang visa masuk Indonesia."Wewenangmu adalah mengajar di 
universitas, bukan memberikan wawancara", ujar seorang perwira polisi dan 
imigrasi setempat.

"Kalau apa-apa yang kulakukan kalian permasalahkan maka pertama-tama yang 
dipermasalahkan semestinya adalah pemerintah daerah, termasuk gubernur. Juga 
para wartawan yang mewawancarai. Mereka yang mengajak.", jawabku. Akhirnya 
pihak imigrasi Kalteng mengatakan:

"Baiklah, kami akan tutup mata dengan jari renggang". Melihat tapi pura-pura 
tidak melihat. Tahu tapi pura-pura tidak tahu.

Setelah men

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [34]: k e katingan!

2005-11-01 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [34]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

16


KFC di Palangka Raya! Lambang modernisasikah, lambang kemajuankah ataukah 
lambang dari laju penetrasi kebudayaan Amerika di Kalteng melengkapi hasil 
melalui parabola yang sudah sampai ke pedalaman?

KFC yang terletak di Jalan Yos Soedarso adalah yang kedua dan lebih ramai 
daripada yang terdapat di Jalan Kinibalu.

Sungguh menyedihkan bahwa di Palangka Raya, restoran yang menjual makanan Dayak 
sangat minim jumlahnya. Yang bisa disebut paling-paling Restoran Samba, Bukit 
Raya [yang nampaknya mengalami banyak kesulitan sejak pemiliknya terlibat dalam 
unjuk rasa anti Gubernur Warsito. Kekuasaan politik lalu turun tangan untuk 
mengendalikan lawan-lawannya dengan berbagai cara. Restoran Dayak lainnya 
terdapat di Jalan Kinibalu, sebuah restoran atau sebenarnya warung 
sederhana.Restoran di jalan Kinibalu ini mengkhususkan diri dengan jualan 
masakan Dayak berbasiskan daging babi.Dari ketiga restoran atau warung Dayak 
ini, yang memadai pelayanan dan penampilannya hanyalah Restoran Bukit Raya yang 
sekarang seperti kukatakan nampak merosot. Oleh keadaan ini maka waktu berada 
di Palangka Raya aku mencoba mendirikan sebuah restoran dan secara kebersihan, 
penampilan serta rasa makanan boleh dibilang terbaik yang dimiliki oleh orang 
Dayak di Palangka Raya. Sayangnya ketika aku harus meninggalkan Kalteng dan 
Indonesia, restoran yang kumimpikan sekaligus sebagai pusat kebudayaan jadi 
mati.Tutup tanpa kutahu penjelasan sebab-sebabnya. Tentang tutupnya pun 
kuketahui dari orang lain.Aku sendiri tidak pernah diberitahu hal-ikhwalnya 
seakan-akan peranku sama sekali tidak ada. Inikah ujud dari tatakrama berkawan?

Dari kejadian ini aku lagi-lagi melihat adanya masalah tentang tidak sehatnjya 
pola pikir dan mentalitas di kalangan orang Dayak.Bagiku masalah ini 
dibandingkan dengan jumlah uang ratusan juta rupiah jauh lebih mendasar dari 
jauh lebih penting dari rusaknya kredibilitasku -- yang tak kuhiraukan demi 
kampunghalaman. Apakah kita paham arti pentingnya kredibilitas? Dayak dan 
Indonesia serta kredibilitas sama halnya dengan soal martabat adalah 
penting.Pokrol bambu mau menang sendiri yang menolak hakekat , sama sekali 
bukan jalan penyelamatan sekalipun jutaan kali dalam sehari kita menyebut nama 
Tuhan.Dengan cara ini Tuhan diajak  berkomplot melakukan kejahatan dan menohok 
kawan.

Dibandingkan dengan apa yang kami lakukan di Paris melalui Koperasi Restoran 
Indonesia, rata-rata restoran di Palangka Raya dari segi pelayanan dan 
kebersihan boleh dikatakan masih di bawah standar koperasi kami.Barangkali 
masalah ini patut diperhatikan baik oleh pemilik restoran/warung maupun oleh 
pemerintah kotapraja. Sekedar usul saja,mudah-mudahan bisa jadi perhatian. 
Mengembangkan pariwisata kiranya erat kaitannya dengan restoran juga 
transport.Soal fasilitas transport dalam menopang turisme di Palangka Raya 
sangat lemah. Jangankan untuk keperluan turisme, untuk melayani penduduk saja 
tidak padan dengan jarak-jarak yang patut ditempuh di ibukota propinsi terbesar 
dari segi topografis. 

Keunggulan KFC kukira terletak pada kebersihan dan pelayanan yang tidak 
asal-asalan dan berwajah serta berselera masa kini.Kekuatan KFC juga terletak 
pada kemammpuannyha mengikuti "trend" masa kini ditopang oleh citra keliru 
tentang Amerika yang diciptakan dengan bantuan kecanggihan tekhnologi. Ia 
mempunyai "l'ambiance", suasana yang meriah, hangat.Apakah benar penglihatanku 
bahwa berkembangnya KFC hingga ke jalan Yos Soedarso memperlihatkan proses 
Amerikanisasi sudah mulai menyusup ke Kalteng?

Kurangnya restoran/warung Dayak di Tanah Dayak sungguh terasa bagiku suatu 
ironi yang menohok. Terlalu sulitkah menyelenggarakan restoran Dayak yang 
benar-benar mewakili dan layak tampil? Lebih menohok lagi ketika melihat 
orang-orang Dayak merasa bangga memasuki mall atau toko serba ada sebagai 
sesuatu yang prestisius.Kalau pengamatanku benar, dari kebanggaan ini kurasakan 
ada sesuatu yang hakiki telah hilang seperti halnya "manasai" [tari kolektif], 
suling balawung, gong dan kangkanong atau kecapi,  dikalahkan dan dipojokkan  
oleh rock'n roll atau musik-musik pop Barat. 

Sedang lusuk [lumbung padi]yang melambangkan kebiasaan orang Dayak 
memperhitungkan masa depan dan kemungkinan yang buruk seperti kemarau panjang, 
sekarang pun tidak pernah kudapatkan lagi. Kemampuan membuat perahu atau kapal 
juga pudar. Seni tenun, letrampilan membuat sabun atau gula juga lenyap seperti 
halnya tekhnik pengobatan tradisional yang mandeg dan hancur bersama masuknya 
HPH yang memusnahkan tanaman obat-obatan. Demikian juga seni patung dan 
barangkali sebentar lagi seni anyam-menganyam. 

Sudahkah kita bertanya dan menjawab mengapa hal-hal tersebut melenyap dari 
tangan dan bumi kita? Sudahkah kita mencoba menyusun sejarah sastra-seni kita 
dan berkaca pada sejarah itu? 

Barangkali ada yang berpendapat

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [33]: ke katingan!

2005-10-31 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [33]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

15


Menggunakan kendaraan yang disediakan oleh adik kandungku sesuai janji, 
pagi-pagi aku meluncur ke Palangka Raya dengan kecepatan 70-80 km/jam menempuh 
jarak 60 km.Jalan Kasongan-Palangka Raya memang masih sepi dalam artian bahwa 
jalan-jalan tidak terlalu padat kendaraan sehingga para pengendara mungkin 
berlari kencang. Aku sendiri pernah melarikan kendaraanku dengan kecepatan 90km 
bahkan 100 km/jam terutama kalau aku sendiri sehingga kalau terjadi apa-apa aku 
tidak mencelakakan orang lain.

Sekali pun jalan di Palangka Raya atau jalan antara Kasongan-Palangka Raya 
masih sepi atau relatif sepi, j tapi keadaan begini justru sering melahirkan 
kecelakaan dan membawa korban nyawa yang tidak sedikit, terutama pada para 
pengendara sepeda motor.

[Perlu aku catat di sini bahwa Kasongan adalah ibukota kabupaten Katingan, dan 
tidak ada yang disebut "kabupaten Kasongan" seperti yang diduga oleh sementara 
penulis dalam mengomentari tulisanku "Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café 
Bandar].

Para pengendara sepeda motor di kota ini sangat menqkutkan. Mereka suka ngebut 
dan main potong dalam jarak hanya beberapa meter atau nyelip tanpa hirau 
keadaan, mungkin nyelit atau tidak.Para pengendara sepeda motor yang suka 
ngebut ini sering disebut orang di Palangka Raya sebagai "koboi jalanan" dan 
nampaknya dengan ngebut mereka merasakan kepuasaan tersendiri.Umumnya tukang 
kebut ini terdiri dari anak-anak muda. 

Apakah dengan begini lagi-lagi aku dianggap sebagai menyalah-nyalahkan angkatan 
muda? Apakah angkatan muda tidak boleh dikritik? Apakah angkatan muda serba 
benar dan bebas kesalahan? Apakah kekurangan, kesalahan dan "koboi-koboian" 
patut didiamkan. Bahwa ada saling hubungan antara angkatan satu dengan angkatan 
yang lain, tidak kubantah dan ini sesuai dengan sikap dan pandangan sejarah, 
terutama dari Grup Annales,yang kuterima, bahwa antara masa silam, hari ini dan 
haridepan ada saling hubungannya.Tapi adanya saling hubungan ini tidak berarti 
angkatan muda tabu kritik.Mentabukan kritik, termasuk kepada angkatan muda, 
kukira sikap berbahaya.Masing-masing angkatan punya keunggulan dan kelemahan 
karena itu "tiga pemaduan", memadukan angkatan tua, menengah dan muda menjadi 
hal yang tetap relevan untuk bisa menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki 
masyarakat.Usia memang bukan ukuran dan jaminan kebenaran. Ada yang sudah jadi 
kakek tapi masih saja tidak dewasa-dewasa, tapi ada pula yang karena sudah 
melampaui jenjang akademi lalu merasa diri memiliki kebenaran dan lebih pintar. 
Di sini kukira kritik merupakan cara efektif untuk saling bantu, saling asah 
dan saling asuh atas dasar saling asih. Kritik atas dasar "tiga saling" ini 
tentu berbeda dengan maki-maki dan cerca atau memelesetkan nama orang atau 
gunjing.Caci-maki, cerca dan menggelari orang dengan macam-macam julukan atau 
pun gunjing serta watak suka "jutakan", bukanlah argumen, karena bukan argumen 
maka ia hanya menunjukkan kelemahan saja bukan kekuatan. Kritik atas dasar 
"tiga saling" di atas, juga berbeda dengan kepongahan yang pada hakekatnya 
tidak pernah punya dasar rasional. Maki-maki dan cerca, secara psikhologis 
kukira pada dasarnya tidak jauh berbeda dari psikhologi "koboi-koboi jalanan 
Palangka Raya" yang oleh polah tingkah "koboi-koboian" ini melakukan bunuh diri.

Dalam menuju Kantor Gubernur, di mana Teras Narang menungguku, kendaraanku 
kembali mendekat Bundaran Besar.

Dahulu di kanan Bundaran Besar ini, ada sebuah bioskop tua. Sekarang sudah 
dirobohkan. Dan di Palangka Raya sampai sekarang tidak ada satu gedung bioskop 
apa pun.Tempat bekas bioskop ini dikabarkan pernah ingin dibeli oleh Mbak Tutut 
pada Soeharto masih di puncak kekuasaannya. Bukan hanya lahan ini yang mau 
dibeli bahkan kantor gubernur dan lahannya yang luas juga mau dibeli oleh Mbak 
Tutut.

Ketika masih bekerja di Palangka Raya, kudengar dari sumber yang bisa 
dipercayai, di lahan bekas gedung bioskop tua ini, akan dibangun toko serba 
ada.Hanya saja ketika Agustus 2005 lalu aku kembali ke kota yang sangat berciri 
Dayak ini, di lahan tersebut masih tidak nampak adanya gedung apa pun.Jalan 
besar yang makin ramai adalah jalan Yos Soedarso di mana banyak terdapat banyak 
toko-toko, restoran, warnet dan yang baru adalah KFC.

KFC di Palangka Raya! Lambang modernisasikah, lambang kemajuankah ataukah 
lambang dari laju penetrasi kebudayaan Amerika di Kalteng?


Paris, Oktober 2005.
--
JJ.Kusni

[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now.
http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berd

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [32]: ke katingan!

2005-10-31 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [32]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

14


"Jangan katakan kami pahlawan sejati 
jika tak sampai ke puncak" 
***
"bangunlah kaum yang terhina
bangunlah kaum yang lapar"


***



Melihat keadaan kampung-halaman yang mengiris hati, hatiku seperti rotan di 
mata jangat [alat pembelah rotan untuk bisa dianyam digunakan oleh 
perempuan-perempuan Katingan]. Perihnya, keperihannya ingin kujadikan penyang 
pambelum [sangu moral dalam memenangkan kehidupan]. Ia kurasakan sebagai 
tantangan:seberapa jauh dan tangguh kadarku sebagai anak manusia dan seorang 
Dayak "rengan tingang nyanak jata" sebagaimana dahulu bocahku melihat tantangan 
gelombang dan angin ribut.

"Jangan katakan kami pahlawan sejati 
jika tak sampai ke puncak" 

tulis seorang penyair Tiongkok abad ke-20 ketika menempuh Long March ribuan li 
[ukuran jarak di Tiongkok],baris-baris yang ditulis pada saat maut, lapar dan 
dingin memburu serta mengepung dan menguji kadar tapi merasa bahwa merekalah, 
angkatan merekalah yang menjadi penanggujawab timbul-tenggelamnya negeri.

Kembali dan lagi-lagi sastra serta pesan kawan dekatku yang juga seorang 
penyair,agar "selalu gagah", menjadi pelampungku berpegang seperti halnya 
ketika aku meninggalkan ibu saat usia sepuluhan tahun.Lebih-lebih di saat 
mengarungi masa pubertas penuh gejolak kosong pengalaman.

Di hadapan kegalauan kampungku, aku melihat tokoh Sun Wukung atau si raja kera 
putih, berdiri di hadapan menungku, nakal mengejek: "Beranikah kau, Kusni, 
menyerbu dan mengobrak-abrik kerajaan sorga?". Ya, Sun Wukung dan si raja kera 
putih, si Hanoman dengan ribuan lasykar keranya nampak nampak nakal mengejekku, 
juga mengejek angkatan sekarang. Tidakkah kalian merasa terejek?

Aku berpikir, tidakkah Katingan, tidakkah negeri ini memerlukan Sun Wukung dan 
Hanoman si pemberontak? Yang sorga sekali pun mereka obrak-abrik jika di situ 
terdapat ketidakadilan? Tidakkah Tanah Dayak memerlukan tokoh seperti Panimba 
Tasik dan Panetek Gunung yang diabadikan dalam legenda orang Katingan? 
Barangkali semuanya telah mati? Apakah benar, jiwa atau mental Katingan sudah 
jadi bangkai atau sabut dan busa hanyut di sungai kehidupan yang deras 
mengalir? 

Kata-kata Eugène Pottier [1871] yang ditulis di tengah-tengah kehancuran 
pemberontakan Komune Paris mengiang lantang di telingaku:

"bangunlah kaum yang terhina
bangunlah kaum yang lapar"

berbarengan dengan suara kawan dan guruku waktu remaja Yogya, Rendra:

"Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan 
Agar kehidupan bisa terjaga"


Bersamaan dengan itu ketika memandang bayangan wajahku di sungai, aku pun 
melihat diriku yang terus menua dan menua:

"Ya,Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati" 

dituakan oleh kembara yang tak berujung.

"Kini aku berdiri di perempatan jalan
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak
Sebagai seorang manusia" 

Mas Willy, di pinggir sungai kelahiranku, Katingan, kudengar suaramu seperti 
dahulu menasehatiku. Juga hari ini. Ya, di perjalanan seperti tak berujung ini 
benar, "aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing" yang tidak diindahkan 
samasekali oleh negeri dan kampung-halaman.

Dari segi hakekat dan skala lebih luas, siapa gerangan yang "sudah menjadi 
anjing" dan tak mampu menulis "sajak sebagai seorang manusia" di negeri ini?! 
Siapa yang telah kehilangan kemanusiaan dan nurani? Di Katingan, 
pertanyaan-pertanyaan ini kudengar seperti suara hutan diaduk angin, kudengar 
di antara gemuruh arus dan riam.

"Kau memang berkepala batu", ada suara lembut lain begitu kuhapal, begitu 
kukenal.Ya, tidakkah dalam  mencintai memerlukan keteguhan bukan hanya sekeras 
batu, tapi barangkali harus bisa sekeras granit tanah Palangka Raya agar bisa 
mengundang petir.Aku kira negeri dan Katinganku memerlukan "petir" yang 
sabung-menyabung "agar kehidupan bisa terjaga".Cinta yang menggranit kukira 
diperlukan untuk mengundang petir.Petir yang mampu menggoncangkan kerajaan 
sorga.Barangkali dari sini manusia Dayak bisa kembali dilahirkan, Katingan bisa 
membangkitkan naga putih, merah dan kuning dari lubuknya seperti yang 
dituturkan dalam legenda -- hari ini kian lenyap dari ingatan terutama di 
kalangan para penangis.Menjadi Dayak dan Indonesia kukira adalah kemampuan 
menjadi petir kemanusiaan.

Esok aku ditunggu di Palangka Raya, ditunggu oleh Teras Narang, gubernur baru 
yang memanggilku ketika masih di Balikpapan. Menyongsong esok aku merebahkan 
tubuh di rumah yang dibangun sendiri oleh ayah dari kayu besi, hasil hutan 
Katingan yang sekarang sudah makin melangka. 

Paris, Oktober 2005.
--
JJ.Kusni

[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--

[nasional_list] [ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [31]: ke katingan!

2005-10-29 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [31]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

13


"life is not easy
there is time to be happy
and there is time to be unhappy too"

"but don't be afraid
face the future with courage"

***


Katunen sekarang merupakan kampung baru dari Kasongan. Waktu kanak dulu, 
Kasongan terdiri dari empat kampung yaitu Kasongan Lama, Kasongan Baru, Pata 
dan Tewang Rusau. Sedangkan Katunen, seperti telah kukatakan di bagian lain,  
masih merupakan tanah tinggi [kéréng -- bahasa Katingan] yang ditutupi hutan 
rimba serta tempat orang berladang atau mengembangkan kebun buah serta rotan.

Kasongan Lama dahulu, umumnya dihuni oleh penduduk Kaharingan, Pata terutama 
yang beragama Islam sedangkan Kasongan Baru dihuni oleh penduduk yang beragama 
Kristen Protestan, demikian juga Tewang Rusau yang pada waktu itu masih terdiri 
dari beberapa rumah saja.

Kasongan Lama adalah tempat Tjilik Riwut dilahirkan. Dan ketika melancarkan 
gerakan grilya menghalau Belanda, basis massa utama Tjilik Riwut adalah 
orang-orang dari Kasongan Lama. Sementara Kasongan Baru menjadi sandaran 
serdadu Belanda saban mereka datang ke Kasongan untuk mengejar gerilyawan. Tapi 
sering juga karena tidak merasa aman di Kasongan Baru, serdadu Belanda tidur di 
kapal mereka.Berlabuh di tengah-tengah sungai. Padahal ini pun bukanlah 
jaminan. Karena pernah terjadi, kapal perang Belanda yang berlabuh di tengah 
sungai diserbu oleh gerilyawan dan ditenggelamkan. Bangkai kapal ini kemudian 
tumbuh menjadi sebuah pulau di tengah sungai.

Penduduk Pata yang umumnya terdiri mereka yang beragama Islam, agak acuh tak 
acuh pada gerakan gerilya.Tapi juga tidak memihak Belanda, berbeda dengan 
penduduk Kasongan Baru.

Katunen, baru kemudian kuketahui, pada waktu itu menjadi sarang gerilyawan yang 
berseragam hitam-hitam dan segaris merah putih melekat pada leher baju. 

Sekarang, Katunen menempati kedudukan strategis dalam hubungan lalulintas 
antara kota pelabuhan Sampit dan ibukota Kalteng, Palangka Raya. 

Terlihat padaku melalui berbicara dengan penduduk Katunen bahwa orang-orang 
luar Kasongan mulai giat membeli tanah di jalur strategis ini dan pada masa 
mendatang pada saat misalnya jalan trans Borneo-Kalimantan sudah jadi 
kenyataan, kubayangkan Katunen akan makin menjadi jalur lalu-lintas penting 
yang dilewati orang-orang bepergian dari satu kota ke kota lain. Aku 
benar-benar merasa cemas dengan kesukaan orang Dayak Katingan, khususnya di 
Katunen yang gemar menjual tanah mereka sekedar untuk memenuhi kepentingan 
sesaat, tapi tidak melihat sedikit jauh ke depan. Bukan mustahil jika pada 
suatu saat yang tidak berapa jauh,  penduduk Katunen yang Dayak sama sekali 
tidak bertanah lagi. Kepada orang-orang yang kuajak bicara selalu kutekankan 
agar jangan gampang-gampangan menjual tanah. Ke mana kita akan berumah dan 
pergi jika sebidang tanah pun tidak lagi kita miliki? Jika kita berada pada 
keadaan demikian maka kita akan benar-benar jadi orang yang berkampunghalaman 
tapi tak bertan
 ah [kalimat varian dari baris puisi Sabarsantoso Anantaguna: "Yang bertanahair 
tapi tak bertanah"].Aku jadi ngeri sendiri apabila membayangkan kemungkinan ini 
menjadi kenyataan.

Kalau pun hal begini belum terjadi, tapi apabila praktek kesukaan menjual tanah 
itu berlangsung terus, bisa dipastikan keadaan menjadi kenyataan amat pahit. 

Hal yang menarik perhatianku juga adalah masih banyaknya lahan-lahan tidur 
milik orang Dayak. Aku heran, mengapa lahan-lahan tersebut tidak diproduktifkan 
misalnya dengan menjadikannya kebun sayur, buah-buahan, membangun warung, 
tambak ikan, beternak ayam, sapi, kambing, babi, atau apakah lagi yang lain 
yang bersifat prdouktif. Pemilik-pemilik lahan tidur ini lebih senang membeli 
sayur di pasar daripada memetiknya di kebun sayur sendiri jika mereka 
menjadikan lahan tidur itu sebagai kebun sayur. Tentu saja dengan berkebun, si 
pemilik tanah dituntut untuk bekerja rajin merawatnya. Tapi apa salahnya dengan 
keniscayaan begini? 

Yang banyak mengelola kebun sayur dan menyuplai pasar akhirnya orang-orang dari 
luar seperti orang dari Jawa atau Madura. Boleh dikatakan orang-orang inilah 
yang menguasai pasar sayur.

Dari pembicaraan-pembicaraan intensif dan pengamatan langsung selama 
bertahun-tahun di Kalteng, kudapati bahwa yang menjadi ideal mereka adalah 
menjadi pegawai negeri betapa pun kecilnya gaji yang mereka peroleh. Menjadi 
pegawai negeri dianggap sebagai pekerjaan ideal dan dicoba diproleh dengan 
macam-macam cara termasuk mnyogok. Padahal berapa gerangan kesempatan kerja 
yang bisa ditampung dan diberikan oleh pemerintah daerah? Berhadapan dengan 
pola pikir dan mentalitas begini, aku melihat benar betapa besar persoal

[nasional_list] [ppiindia] Surat Kembang Kemuning: temu sastra tentang andré malraux dan e.du perron di sorbonnne paris, 15 oktober 2005 [4 -- selesai]

2005-10-29 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
Surat Kembang Kemuning: 

TEMU SASTRA TENTANG ANDRE MALRAUX DAN E.DU PERRON DI SORBONNE PARIS

15 Nopember 2005.

4.


Dibandingkan dengan masa hidup André Malraux yang mencapai 75 tahun, E. du 
Perron hanya sempat mengenyam hidup selama 41 tahun.

Eddy du Perron dilahirkan di Jawa Barat -- kalau tidak salah ingat di daerah 
Sukabumi --  pada tahun 1899 dalam sebuah keluarga bangsawan atau lapisan atas 
masyarakat,  pemilik tanah kaya, yang tinggal di Hindia Belanda, yang sekarang 
bernama Indonesia. Adalah wajar apabila asal sosial ini meninggalkan bekas pada 
kehidupan psikhologi Eddy.Dua puluh dua tahun dari 41 tahun masa hidupnya, 
dilewatkan oleh Eddy di tanah asalnya. Barangkali dari perasaan inilah Eddy 
melahirkan karya utamanya yang berjudul "Negeri Asal" [Het land van herkomst], 
terbit pertama kali dalam tahun 1935 artinya pada Eddy mencapai usia 35 tahun.

Tahun 1921, ketika Edddy sudah berusia 22 tahun, orangtua Eddy berkeputusan 
untuk pergi dan menetap di Eropa.

Setelah melampaui masa singkat yang disebut "periode moderniste", 1923-1926, 
Eddy memastikan kedudukannya dalam dunia sastra Belanda sebagai "penyelusup 
yang tidak disukai", yang jika  menggunakan istilah Johanna Lederer, sang 
penari-sastrawan dan pakar sastra Amerika itu, sebagai "une espèce 
d'intrus".Dengan sikap ini Eddy mencermati "produksi sastra Negeri Belanda dari 
sudut pandang baru dan bebas", sekaligus mempertahankan pandangan bahwa 
kepribadian seorang pengarang sebagai faktor menentukan kadar sastranya". 
Dengan sikap dan pandangan inilah Eddy melancarkan kritik-kritik tanpa kompromi 
dan tajam. Melalui esei-esei demikian Eddy bertarung melawan "mentalitas 
kolonial" menggunakan sebuah majalah progresif yang kecil.Dengan ini kita 
menyaksikan bahwa akhirnya Eddy menjadikan sastra sebagai senjata di tangannya 
untuk berjuang, guna mewujudkan harapan dan mimpi-mimpinya sebagaimana juga 
yang dilakukan oleh Multatuli dan pengarang-pengarang besar lainnya di berbagai 
negeri. 
 Dalam pertarungan inilah Eddy makin memantapkan pandangan dan sikap sampai ia 
meninggal di Negeri Belanda pada tahun 1940 karena serangan jantung setelah 
serangan udara Jerman.

Keberpihakan E.du Perron pada kemanusiaan -- untuk tidak mengatakan berpihak 
pada rakyat terjajah -- bukanlah datang serta-merta. Ia lahir melalui suatu 
proses. Barangkali di sinilah antara lain terdapat peran diskusi saban hari 
Eddy dengan Malraux, ketika Eddy tinggal di Paris sebagai wartawan. Tapi yang 
lebih menentukan lagi adalah pengalaman langsung Eddy ketika ia kembali ke 
"Negeri Asal"nya Hindia Belanda, pada bulan Oktober 1936, seusai Perang Saudara 
di Spanyol antara kaum repupbliken melawan pasukan fasis Franco yang disokong 
oleh Hitler. Kepergian Eddy kembali ke Hindia Belanda, menurut Johanna Lederer, 
pada tahun tersebut sebagian disebabkan oleh rasa muaknya pada politik yang ia 
alami ketika tinggal di Paris. Tapi ketika ia tiba di Hindia Belanda, ia tidak 
lagi bisa mengelak dari politik. Selama hampir tiga tahun [1936-1939] ia 
tinggal di Hindia Belanda, tiga tahun ini ditandai oleh konfrontasi 
terus-menerus dengan masyarakat kolonial. Eddy pun dengan kejadian ini 
 menjadi kehilangan mimpi-mimpi  indahnya akan masyarakat kolonial. Ia tidak 
bisa menerima mentalitas kolonial. Ketidaktahanan dan perlawanan yang 
menandakan watak jujur dari E.du Perron sebagai sastrawan. Ia memberontaki 
ketidakadilan kolonial dan menjadi sangat politis. Pengalaman hidup kembali di 
"Negeri Asal" membuat Eddy dari muak politik menjadi sadar politik dan memilih 
pihak yang menantang kolonialisme.Barangkali tahap sadar politik dan mengambil 
pihak ini merupakan tahap kedua bagi kehidupan Eddy sebagai penulis.Tahap baru, 
tahap sadar politik yang dia mulai pada usia 37 tahun.

Ancaman Perang Dunia II yang makin menegangkan Asia Tenggara termasuk Hindia 
Belanda, memaksa E. du Perron pada September 1939, meninggalkan "Tanah Asal"nya 
lagi dan pergi menetap ke Negeri Belanda di mana ia delapan bulan kemudian 
meninggal oleh serangan jantung setelah Negeri Belanda dibom pesawat-pesawat 
Hitler.Maut yang ditabur oleh bom-bom Hitler menghentikan Eddy melanjutkan 
tahap kedua hidupnya.

Rician biografi Eddy bisa disimak selain melalui romannya Het land van 
herkomst, juga dan terutama melalui karya Kees Snoek, yang telah menulis 
biografi lengkap E. du Perron berjudul "E. du Perron. Het leven van een smalle 
mens" [La vie d'un homme étroit], terbit dalam bulan Maret 2005.

***

Dari riwayat singkat Eddy di atas, aku melihat bahwa penulis yang jujur 
akhirnya didorong untuk memilih pihak dan pihak itu adalah kemanusiaan dan 
keadilan. Pemilihan pihak ini disertai oleh munculnya kesadaran politik tanpa 
harus menjadi partisan partai politik. Adanya kesadaran politik membuat pena 

[nasional_list] [ppiindia] Surat Kembang Kemuning: temu sastra tentang andré malraux dan e.du perron di sorbonnne paris, 15 otkboer 2005

2005-10-28 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **


Surat Kembang Kemuning: 

TEMU SASTRA TENTANG ANDRE MALRAUX DAN E.DU PERRON DI SORBONNE PARIS

15 Nopember 2005.

3.


Dibandingkan dengan E.du Perron [1899-1940] yang melewatkan waktunya lebih dari 
dua puluh tahun di tanah kelahirannya, Jawa Barat, Oost-Indië, sekarang  
bernama Indonesia, André Malraux boleh dikatakan tak dikenal oleh masyarakat 
sastra Indonesia. 

Agustus 2005 lalu ketika pulang ke Indonesia, seperti biasa, saya jelajahi 
tokobuku demi tokobuku sampai ke toko-toko buku loak dengan buku bertumpuk tak 
teratur dan tak bersistematik. Di rak-rak buku tokobuku atau di tumpukan buku  
tokobuku loak itu,  tidak kudapatkan karya-karya André Malraux yang di Perancis 
merupakan tokoh politik dan sastra terkemuka sampai ia ditempatkan di Pantheon 
bersama Emile Zola, Alexandre Dumas, Victor Hugo dan Balzac. 

Posisi André sebagai sastrawan,budayawan dan politisi di Prancis bahkan di 
Eropa Barat,  kukira jauh melebihi kedudukan Eduard [Eddy] du Perron yang mati 
muda.

Seperti diketahui, Pantheon yang terletak tak jauh dari Universitas Sorbonne, 
di mana Temu Sastra ini akan berlangsung, merupakan makam bagi yang disebut 
putra-puteri terbaik dan berjasa Perancis. 

Sungguh menarik bahwa yang banyak menghuni Panthon justru orang-orang 
berpandangan kiri bahkan tidak sedikit dari mereka adalah anggota-anggota 
Partai Komunis Perancis seperti Jean-Moulin, pemimpin utama perlawanan terhadap 
penduduk Nazi Hitler -- seperti halnya yang memimpin perlawanan anti fasis di 
kota Paris juga seorang komunis --, penerima hadiah nobel suami-isteri Currie.

Merenungi tentang apa-siapa yang menghuni Pantheon ini, aku sampai pada 
pertanyaan:Apakah dan siapakah yang disebut "kiri" itu? Memperhatikan 
riwayat-riwayat mereka, aku sampai pada suatu hipotesa bahwa yang disebut 
"kiri" itu kukira tidak lain semua mereka yang berjuang dan sanggup 
menggadaikan nyawa untuk ide memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat.

Jadi "kiri" tidaklah identik dengan Komunis atau Marxis, lebih-lebih tidak 
menjadi monopoli mereka. Apalagi jika kuingat apa yang dikatakan oleh Mao 
Zedong dari Tiongkok yang dalam salah sebuah tulisannya mengatakan bahwa "kaum 
komunis akan selalu minoritas. Mereka tidak bisa sendirian melakukan perobahan 
maju". Kukira sejalan dengan ini maka Mao menumis  dalam artikelnya "The 
Situation and Our Policy After the Victory in the War of Resistance Against 
Japan" [August 13, 1945, Selected Works, Vol.IV, p.16]: 

"Our duty is to hold ourselves responsible to the people. Every word, every act 
and every policy must conform to the people interests, and if mistakes occur, 
they must be corrected -- that is what being responsible to the people means".

Tidakkah "people interests" itu pada hakekatnya adalah  sama dengan 
"memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat" atau menjadikan bumi tempat 
hidup manusiawi anak manusia? Atau jika menggunakan konsep manusia Dayak adalah 
"rengan tingang nyanak jata" [anak enggang putera-puteri naga]? Yang berbeda 
barangkali hanya perumusannya saja.

Nilai-nilai republiken Perancis yang dikenal dengan "liberté, egalité et 
fratenité", kukira juga  paralel dengan apa yang dikatakan oleh Mao di atas 
sehingga barangkali tidaklah mustahil jika Pantheon banyak diisi oleh 
pejuang-pejuang beraliran "kiri". Dalam konteks ini, aku tidak bisa 
membayangkan Ferdinand Celine, betapa pun ia dihormati sebagai sastrawan besar, 
tapi karena sikap pro fasisme akan mendiami Pantheon. Pantheon adalah suatu 
lambang nilai republiken. Sehinngga kalau André Malraux dimakamkan di Pantheon, 
 kukira bukanlah suatu kebetulan dan permainan nepotisme.Juga bukan kebetulan 
jika Jacques Chirac memakamkan sastrawan yang berdarah Afrika Hitam ke 
Pantheon. Aku masih ingat apa yang diucapkan oleh Chirac dalam pidato resmi 
saat memindahkan A.Dumas ke Pantheon. "Dumas adalah lambang Perancis hari 
ini".Perancis yang majemuk.

Apabila Malraux kurang atau bahkan asing bagi masyarakat sastra Indonesia 
sehingga sampai pada hari ini, tidak satu pun karyanya yang diterjemahkan ke 
dalam bahasa Indonesia, seperti halnya dengan karya utama Eddy du Perron, 
"Negeri Asal"[Le pays d'origine] . Barangkali dari keadaan belum adanya 
karya-karya Malraux yang diterjemahkan dan asingnya tokoh sastrawan dunia 
terkemuka ini di Indonesia, belum atau bahak tidak dikenal, barangkali, 
mencerminkan banyak keadaan yang ada di negeri terutama di bidang sastra.

Malraux memang seorang yang dekat dengan ide-ide Trotkis seperti halnya mantan 
Perdana Menteri Perancis yang populer, Lionel Jospin. Tapi sekali pun demikian, 
Jendral Charles de Gaulle,  seorang nasionalis seperti Bung Karno, ketika 
menjadi Presiden Perancis paska Perang Dunia II,  mengangkat Malraux sebagai 
Menteri Kebudayaan. Dan sebagai menteri k

[ppiindia] surat kembang kemuning: temu sastra tentang andré malra ux dan .du perron di sorbonne, paris [2] elmb

2005-10-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI



Surat Kembang Kemuning:





ACARA TEMU SASTRA TENTANG ANDRE MALRAUX DAN E. du PERRON DI SORBONNE, PARIS 

15 Nopember 2005. 



2



Menurut rencana, Temu Sastra ini akan dibuka pada jam 16.00, oleh Kees Snoek 
dari Universitas Paris IV yang akan memperkenalkan secara singkat apa siapa 
André Malraux dan du Perron dengan makalah berjudul "Malraux dan du Perron 
Antara Eropa dan Asia [Malraux et du Perron Entre l'Europe et l'Asie].



Kees Snoek yang juga turut ambil bagian aktif dalam "Hari Sastra Indonesia di 
Paris" dua tahun silam, adalah seorang pengajar pada Universitas Sorbonne Paris 
IV di Departemen Kajian Tentang Belanda terfokus pada soal "Du Perron dan 
Pengadilan Kolonial di Indonesia". Ia pernah mengajar bahasa, sastra dan 
kebudayaan Belanda antara lain di Jakarta dan di Auckland, Selandia Baru. Sejak 
2004, ia menjuadi dosen yang tergabung pada Studi Negeri Belanda di Universitas 
Sorbonne Paris IV. Ia telah menerbitkan buku-buku tentang kebudayaan Belanda, 
tentang kritik Multatuli di Indonesia dan tentang pengarang Belanda Eddy du 
Perron [1899-1940].Kees Snoek-lah yang telah menulis biografi lengkap E. du 
Perron berjudul "E. du Perron. Het leven van een smalle mens" [La vie d'un 
homme étroit], terbit dalam bulan Maret 2005.



Kecuali itu Kees Snoek juga telah menterjemahkan sanjak dan cerita-cerita buah 
tangan Sitor Situmorang dan Rendra. Kumpulan puisi yang ia terjemahkan dan 
terbit di Jakarta dalam edisi dua bahasa pada tahun 2004 berjudul "Lembah 
Kekal" [Eeuwige vallei].



Guna melengkapi apa yang disampaikan oleh Kees Snoek, Pierre Coureux 
mempertunjukkan dokumen-dokumen koleksi pribadi Alain du Perron dan Ramon de 
Herrera, putera pelukis Pedro Creixam yang hidup sezaman dengan André Malraux 
dan Eddy du Perron. 



Pierre Coureux adalah petugas pemerintah Perancis dalam kerjasama kebudayaan 
dengan luar negeri yang didirikan sejak 10 tahun lalu. Coureux jugalah yang 
kemudian menjadi pendiri organisasi "Amitiés internationales André Malraux", 
sedangkan rasa ingin tahunya yang besar mendorongnya giat dalam penyelenggaraan 
seminar, colloques, pameran-pameran bekerjasama dengan para profesionalis 
berbagai bidang seperti museum, lembaga ini dan itu. Bersama-sama dengan 
Universitas Henri Godard, pada bulan Mart 2004, Coureux mendirikan sebuah 
majalah bernama "Pésence d'André Malraux" ["Kehadiran André Malraux"],di mana 
ia menjadi penanggujawab masalah aktualitas Malrusian [malrucienne].



Melanjutkan beberan Coureux maka Aziz Bennis, juga dari "Association des 
Amitiés International André Malraux" menyampaikan makalahnya berjudul: "Malraux 
dan Indo Cina Yang Terbelenggu" [Malraux et l'Indochine Enchaînée], disusul 
oleh Henri Godard dengan makalah: "Les amitiés de Malraux" ["Rasa persahabatan 
Malraux"] dilanjutkan oleh pembicara ketika yaitu Philippe Noble dengan kertas 
kerja berjudul:"Malraux dan du Perron, para cendikiawan dan Sisi Kiri" 
["Malraux et du Perron, les intellectuels et la rive gauche"].



Apa-siapakah ketiga pembicara lainnya yang berhasil diajak kerjasama oleh 
"Pasar Malam"ini?



Aziz Bennis adalah seorang doktor sastra modern lulusan Universitas Sorbonne 
Baru [l'Université de la Sorbonne Nouvelle yang juga disebut Paris III.



Pada tahun 2001, Presses Univrsitaire du Septentrion, Aziz Bennis telah 
menerbitkan karyanya tentang André Malraux berjudul:"André Malraux. Histoire 
d'un parcours entre deux tentations croisées: le réalism journalistiques et le 
monde imaginaire du mythomane".



Bennis sekarang sedang menyiapkan buku terdiri dari dua jilid tentang 
perjalanan Malraux di Indo Cina dan jilid lainnya tentang langlangbuananya di 
di Yaman dalam usaha memahami rahasia utama Ratu Saba. Sebagai seorang pengajar 
di bidang dokumentasi, Bennis dengan tekun pula melakukan penelitian 
perpustakaan guna memahami estetika reportase literer buah tangan Andre Malraux.



Reportase literer memang cukup banyak ditulis oleh Malraux sejajar dengan 
banyaknya negeri-negeri yang telah ia kelanai pada masa mudanya. Bentuk ini 
misalnya  bisa disimak pada karyanya "La Tentation de l'Occident" atau pada 
"Miroir des Limbes. La Corde et les souris" atau pada "Antimémoires"nya dan 
bukunya tentang Kamboja, serta yang lain-lain...lagi.



Kisah perjalanan yang ditulis secara literer di negeri Malraux ini agaknya 
telah merupakan genre sastra tersendiri.Aku tidak tahu dengan baik, sejauh mana 
genre reportase literer ini berkembang di Indonesia sekarang. Hanya jika 
mengamati tulisan-tulisan yang disiarkan di internet, aku dapatkan, sekali pun 
masih dalam bentuk awal sekali, Sigit Susanto mulai nampak memberikan perhatian 
ke genre sastra ini.Apalagi Sigit memang mempunyai syarat yang padan guna 
melakukan perjalanan demi perjalanan. Barang tentu agar reportase literer tidak 
berhenti di permukaan masalah seperti kesan seorang wisatawan, dari penulis 
dituntut pengenalan persiapan akan negeri atau tempat yang akan 
didatangi.Sehubungan dengan hal ini, aku terin

[nasional_list] [ppiindia] Surat Kembang Kemuning: Temu SastraTentang André Malraux dan Eddy du Perron Di Paris, 15 Nopember 2005 [1].

2005-10-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **



André Malraux et Edgar du Perron en Bretagne

(Archives Kees Snoek) 

 

 

Surat Kembang Kemuning:





TEMU SASTRA TENTANG ANDRE MALRAUX DAN EDGAR du PERRON DI SORBONNE,PARIS

1.

Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia [l'Association  Franco-Indonésienne 
--AFI ]"Pasar Malam", Paris yang diketuai oleh Mme. Johanna Lederer,  pada 
tanggal Rabu 15 Nopember 2005 mendatang kembali akan tampil dengan kegiatan 
kebudayaannya yang kreatif dan bermakna. Kali ini tema yang diangkat oleh 
"Pasar Malam" dalam membicarakan masalah Indonesia adalah "Gelitikan Timur 
Usikan Barat. André Malraux dan Edgar du Perron, Dua Sahabat, Dua Sastrawan Di 
antara Dua Perang" [ Tentation de l'Orient, Tentation de l'Occident. Malraux et 
du Perron, Deux Amis, Deux Auteurs Dans l'Entre-deux-guerres].



Istilah "tentation d'Occident" adalah istilah yang digunakan oleh André Malraux 
 untuk judul sebuah karyanya: "La Tentation l'Occident" [Grasset, Paris, 1926, 
terbit ulang 1984, 220 hlm.]. Oleh adanya "tentation" timbal-balik antara Barat 
dan Timur, menurut dugaanku, keadaan inilah yang dijadikan alasan memberi temu 
sastra kali ini dengan judul "Tentasi Timur, Tentasi Barat", apalagi baik 
Malraux atau pun E.du Perron keduanya telah melanglang buana negeri-negeri di 
Timur.-- istilah yang sangat Euro-sentris.



Direncanakan kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan oleh "Pasar Malam" 
bekerjasama dengan organisasi Perancis "les Amitiés Internationales André 
Malraux, lembaga Belanda di Paris "l'Institut Néerlandais" dan Université Paris 
IV, Sorbonne, dilangsungkan di ruang Amphiethéâtre Louis Liard, 7 rue de la 
Sorbonne, 75005 Paris, mulai dari jam 16.00 hingga jam 20.00 [Metro terdekat 
adalah Cluny atau RER Luxmbourg]. 



Sesuai dengan ketentuan pihak keamanan Universitas Sorbonne maka diharapkan 
para yang berminat  untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu pada:



Association Franco-indonésienne pasar malam [association Loi 1901 pour l'amitié 
entre les peuples Français et indonésien] Att.: Madame Johanna Lederer [EMAIL 
PROTECTED]  (site : http://pasarmalam.free.fr) 



Saat tulisan ini disiarkan, menurut keterangan dari pihak-pihak yang dekat 
dengan AFI sudah tercatat 200 orang yang menyatakan keinginan untuk 
turut-serta. Barangkali dari jumlah ini bisa dilihat tingkat perhatian terhadap 
kegiatan AFI yang dengan pendekatan kebudayaan memperkenalkan Indonesia kepada 
masyarakat Perancis. Sekitar dua tahun silam AFI juga telah menyelenggarakan 
"Hari Sastra Indonesia" di mana diungkapkan hubungan segi tiga [triangulaire] 
dalam sastra antara Perancis-Belanda dan Indonesia yang ternyata bukan dimulai 
sejak kemarin.



Seperti diketahui "Hari Sastra Indonesia" yang sukses ini mendapat dukungan 
kuat dari Kedubes Perancis di Jakarta, dari Kedubes Belanda di Paris dan 
berbagai kalangan lainnya. Untuk "Hari Sastra Indonesia" di Paris ini telah 
diundang Joesoef Isak dari Hasta Mitra dan Goenawan Mohamad [tapi berhalangan 
hadir]. 



"Hari Sastra Indonesia" di Paris telah menguak rahasia kisah hubungan panjang 
segi tiga dalam sastra sejak masa Diderot dan Victor Hugo serta menanti 
penanganan lebih lanjut. Ia juga telah membuka peluang bagi pengenalan lebih 
lanjut sastra Indonesia di Perancis. Pada hari inilah novel Pramoedya 
A.Toer,Gadis Pantai diterbitkan oleh Gallimard -- sebuah penerbit besar di 
ibukota Perancis. Penyelenggaraan seminar tentang André Malraux dan E du Perron 
pada Nopember mendatang ini bisa dipandang sebagai prakarsa guna 
mengkonsolidasi hasil capaian "Hari Sastra Indonesia" di Paris dua tahun silam. 
Mengangkat dua tokoh penulis besar ini dalam mengangkat masalah Indonesia,  
sungguh suatu kejelian pandangan yang patut diberi topi. Hal yang tidak terlalu 
mengherankan jika kita mengetahui bahwa Johanna Lederer adalah seorang lulusan 
Fakultas Sastra Sorbonne jurusan sastra-Amerika, seorang penulis dan juga 
penari. Kejelian pandang seorang cendikiawan dan artis terdapat pada Ketua  AFI 
kela
 hiran Malang Jawa Timur ini. Dengan kejelian inilah Johanna memimpin AFI 
melakukan rupa-rupa kegiatan budaya seperti pameran lukisan Salim dan 
lain-lain. Dalam kegiatan-kegiatan ini AFI pun sering bekerjasama dengan 
Koperasi Restoran Indonesia Paris yang sejak berdirinya hampir seperempat abad 
silam, juga berfungsi sebagai "pusat kebudayaan Indonesia".*** 





Paris, Oktober 2005.

---

JJ. Kusni  



[Bersambung.]





Logo organisator Temu Sastra Malraux-Perron di Sorbonne,Paris.

 

Amitiés Internationales André Malraux

Pierre Coureux [EMAIL PROTECTED] 

(site : www.andremalraux.com)   



 
  
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Association Franco-indonésienne pasar malam

association Loi 1901 pour l'amitié entre les peuples Français et indonésien
 

Johanna Lederer [EM

[ppiindia] SURAT KEMBANG KEMUNING: KETIKA SOROT SINARNYA MEMUDAR

2005-10-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Surat Kembang Kemuning:

KETIKA SOROT SINARNYA MEMUDAR

Mencatat Setiakawan Kepada Maroeli Simbolon


Kesulitan finansil sering memburu dan menghantui para seniman, lebih-lebih bagi 
mereka yang belum bernama atau sedang membangun nama. Hal ini bukan hanya 
terjadi di Indonesia, tetapi juga dialami  oleh para seniman di luar negeri. 
Kalau kita datang ke Montmartre, sebuah kampung seniman yang terletak di 
kawasan tertinggi Paris, kita akan mendapatkan sebuah rumah bernama Le Bateau 
Lavoir di mana Pablo Picasso melakukan kegiatan-kegiatan berkeseniannya bersama 
seniman-seniman lain yang kemudian tersohor. Di Le Bateau Lavoir ini tercatat 
kisah laparnya Picasso walau pun tidak sehebat derita Modigliani yang kemudian 
menghembuskan nafas penghabisan dalam keadaan serba kekurangan.

Sedangkan waktu di Yogya, ibu-ibu sederhana pemilik warung di sekitar ASRI 
Gampingan, jika mereka masih hidup, akan bisa bercerita bagaimana para pelukis 
muda dan mereka yang sedang membangun nama berhutang lebih dulu untuk bisa 
makan dan membayarnya ketika ada karya-karya mereka yang laku. Dan tentu saja 
saat pembayaran hutang dilakukan, jumlahnya jauh melampaui jumlah hutang, 
sehingga antara para seniman dan ibu-ibu sederhana pemilik warung, terjalin 
rasa saling mengerti dan saling tolong. Karena itu apakah terlalu salah 
mengatakan bahwa para ibu-ibu warung ini pun sebenarnya punya andil dalam 
kehidupan seni lukis di Yogya? Aku hanya mengenang jasa dan sikap mereka yang 
tak terlupakan di mana justru pada manusia-manusia sederhana begini kudapatkan 
rasa kemanusiaan dan pengertian yang besar.Sikap yang nyata tanpa diberi dasar 
teori apa pun tapi telah menghangati kehidupan sedangkan kelompok masyarakat 
yang lain dan merasa diri barangkali lebih elite atau tinggi, justru gampang 
menohok kawan sendiri didorong oleh individualisme yang mengangkangi jiwa 
mereka.

Contoh lain adalah apa yang dialami oleh Rendra ketika terpaksa makan nasi dan 
berlauk garam saja bersama Mbak Soenarti, istrinya. Melalui praktek Rendra, 
Teguh Karya, Arifin C. Noer dan entah berapa nama lagi kusimpulkan bahwa 
menjadi seniman akhirnya adalah suatu pilihan total yang benar-benar 
dikahayati. Seorang jurumasak ikan Jepang pun pernah mengatakan demikian di 
depan tivi Perancis. "Kau tak bisa mendapat kemajuan dan nilai jika kau tidak 
mencintai pekerjaanmu. Masak bagiku adalah suatu totalitas". Perancis 
menghargai jurumasak mereka dengan memberikan bintang jasa nasional yang 
disebut bintang "Legion d'Honneur". Sedangkan kita di Indonesia? Sering yang 
terdengar "sekolah tinggi-tinggi sampai jadi sarjana S1 khoq hanya jadi 
jurumasak".

Tentang kelaparan, kekurangan uang, sanggar-sanggar dan rumah yang didiami 
seniman, Yogya tidak kekurangan kisah. 

Kisah-kisah kekurangan uang, dikejar segala rupa kekurangan sampai sekarang 
agaknya masih saja belum berakhir. Di hadapan keadaan begini maka pertanyaan 
yang muncul adalah bagaimana mengatasinya? Yang jelas individualisme tidak akan 
kuasa menjawabnya secara tanggap. Individualisme dalam pemahamanku hanyalah 
meruntuhkan, memadamkan nilai manusiawi dan membuat kita kadang  menjadi sangat 
tidak perduli, pembohong bahkan sanggup kejam tanpa nurani. Karena itu bagiku, 
kasus Maroeli Simbolon yang sekarang masih terbaring di rumah sakit dan sikap 
para seniman menanggapi keadaan sastrawan ini menjadi cukup menarik. Pada saat 
"uang sebagai raja" merupakan nilai dominan dan meredupkan makna setiakawan, 
para seniman justru secara kongkrit ingin mengobarkannya.

Maroeli mendapat kesulitan menangani beaya rumahsakit dan pengobatannya. Pada 
saat begini, Manik Sinaga dari Komunitas budaya Matabambu mengambil prakarsa 
bersama teman-temannya menghimbau para seniman dari komunitas-komunitas lain 
seperti "mejabudaya, "TUK", "Forum Apresiasi Sastra", "Majalah Aksara", 
"Masyarakat Sastra Jakarta", "Komunitas Generasi Batak (GenB)", "Senat 
Mahasiswa FFTV IKJ", "Penerbit Jalasutra" untuk turun tangan secara kongkret. 
Untuk kepentingan ini pada 18 Nopember 2005 mendatang akan diselenggarakan 
pentas "Sepasang Luka Cinta" dan lelang buku karya Maroeli, lelang Lukisan, 
baca puisi, musikalisasi puisi, baca cerpen mini karya Maroeli,happening art, 
pemutaran film, baca puisi karya kawan-kawan untuk Maroeli, sambutan dari semua 
komunitas penyelenggara dan tarian (Tor-tor) Batak.

Berapa pun hasil yang diproleh dari kegiatan ini kelak, kukira ia tetap 
mempunyai nilai tinggi, lebih-lebih pada saat setiakawan memudar di negeri 
ini.Saat nilai manusiawi ini memudar para seniman justru mengangkat dan 
mengobarkan nyalanya. Apakah ini isyarat bahwa para seniman mulai mengambil 
tempatnya kembali "berada selangkah di depan" dari keadaan dan kenyataan? Tanda 
bahwa para seniman masih warga republik berdaulat sastra-seni dan pemimpi setia 
kemanusiaan?

Menangani kesulitan ekonomi seniman beginilah yang justru merupakan salah satu 
program Komunitas Matabambu yang masih sangat muda sehingga seniman tidak 
identik

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [30]: ke katingan!

2005-10-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [30]


KE KATINGAN!   
KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG  IBU KEPADA ANAKNYA.  

12



Sekali pun demikian ketergantungan masih saja berlangsung walau pun dengan 
kadar yang berbeda dari dahulu oleh adanya jalan darat. Klotok dan speed-boat 
masih memainkan peranan penting untuk menghubungi kampung satu dan  kampung 
lainnya. Air minum masih tergantung pada sungai. Sayang dan malangnya oleh 
pengusahaan liar emas, baik di darat atau di sungai, sungai jadi penuh dengan 
air raksa yang sangat berbahaya bagi kesehatan penduduk. Ikan pun tidak sedikit 
yang kehilangan sisik.

Pernah pada suatu ketika, aku mencoba terjun dan berenang kembali di sungai 
pengasuhku ini, seperti yang kulakukan di masa kanak dahulu. Tapi  baru 
beberapa menit aku masuk ke airnya, badanku segera merasa gatal-gatal dan 
merasa seperti disengat. Aku pun sadar akan kadar airraksa sungai sudah 
demikian tinggi seperti yang diberitakan oleh koran-koran Palangka Raya.

Kerusakan alam menyusul pengusahaan emas secara serampangan dan tidak 
bertanggungjawab ini nampak juga pada hutan seperti di Hampalit, tidak jauh 
dari Kasongan, yang berobah jadi padang pasir sejauh mata memandang.

Katingan memang daerah kaya akan bahan tambang, terutama yang sekarang 
dieksploatasi benar adalah emas. Boleh dikatakan orang Katingan hidup di atas 
tumpukan emas tapi sekarang ternyata emas ini pula yang menyebabkan petaka 
jangka panjang. 

Waktu kecil dahulu kalau ibu mau membuat gelang atau anting-anting untuk 
saudara-saudara perempuanku, ibu tinggal turun sebentar ke sungai terutama ke 
gugusan pasir yang disebut Baras Dirik di hulu kampung. Beberapa jam saja 
"mandulang" ibu sudah medapatkan bahan cukup untuk anting-anting atau gelang. 
Oleh keadaan ini waktu bocahku dahulu, aku sama sekali tidak mengerti arti 
emas. Emas baru kupahami artinya ketika aku sekolah di Yogyakarta. Waktu itu 
kami ingin menyelenggarakan festival drama selama seminggu. Sebagai modal awal 
kegiatan aku menggadaikan sepedaku, dan kawan lain menggadaikan cincinnya. Aku 
jadi kadet melihat perolehan dari cincin emas itu justru jauh lebih besar 
daripada perolehan sepedaku yang memang butut. Sejak itulah aku baru paham akan 
arti emas. Kenaifan anak alam! Barangkali. Anak alam yang tulus dan polos 
sering jadi "makanan empuk" orang kota.  Dan kenaifan ini agaknya belum hilang 
samasekali dari penduduk yang ternganga bingung oleh kerusakan alam mereka.

Berlangsungnya eksploatasi alam yang buas begini berdampak pula pada kehidupan 
kolektif orang kampung apalagi disertai oleh penghancuran sistematik tatanan 
masyarakat adat oleh Orba. Sekarang tidak kusaksikan lagi orang berbagai hasil 
kijang atau celeng perburuan di kalangan orang kampung. Tari manasai sebagai 
lambang kehidupan kolektif makin hari makin merosot kehidupan dan penggunaannya 
dalam masyarakat.  Aku melihat gejala ini erat hubungannya dengan kerusakan 
alam, eksploatasi buas dan tatanan masyarakat adat. Karena itu pekerjaan 
kebudayaan barangkali merupakan pekerjaan dari dasar dan mendasar. Lagi-lagi 
sayangnya, pekerjaan ini termasuk yang terbengkalai penanganannya di Kalteng. 
Terdapat kecenderungan bahwa sasatra-seni dijadikan sebagai barang dagangan 
turistik. 

Yang lebih berkembang adalah kebiasaan mabuk-mabuk dan dibela dengan 
mengatakannya sebagai "tradisi" sehingga ketika bekerja di Palangka Raya, 
terdengar oleh telingaku ucapan bahwa "orang Katingan itu jago mabuk-mabuk". 

Kukira minum baram [tuak] tidaklah dilakukan saban waktu. Apalagi sampai 
mabuk.Ia terutama dilakukan menyambut tamu atau handai-taulan dari jauh yang 
jarang jumpa. Menyatakan tradisi sebagai dalih untuk saban hari mabuk-mabuk 
adalah kekurangan paham akan sejarah. Ia timbul oleh berkembangnya frustrasi 
dan ingin melupakan atau lari dari kepahitan sehari-hari, bukan "lupa" atau 
melupakan sesuatu sebagai sikap moral mencari penyelesaian, jika menggunakan 
klasifikasi Paul Ricoeur, filosof Perancis yang baru meninggal bulan Mei lalu . 
Buntutnya ia membuka peluang bagi kekerasan dan perjudian. Sudah menjadi 
rahasia umum bahwa di Kasongan pun perjudian sudah cukup merajalela. 
Kanak-kanak pun sudah terlibat.

Inikah Dayak? Inikah Katingan sekarang? Aku kira, kurang-lebih demikian memang. 
Jika ada pendapat bahwa "orang Katingan jago mabuk-mabuk" tentu pendapat begini 
tidak turun dari langit tapi mempunyai dasar sosial atau dasar materinya, jika 
kita sepakat bahwa keadaan sosial atau  basis materi turut membentuk pendapat 
dan sikap seseorang. Debat apa pun kukira tidak bisa mengabaikan dasar sosial 
atau basis materi hal-ikhwal. 

Kukatakan hal-hal ini dengan rasa prihatin dan kasihsayang seorang anak 
Katingan, karena kukira kita perlu tahu di mana kita berada sebelum tahu mau ke 
mana dan bagaimana menuju ke mana. Katingan patut diberdayakan dan dibangun 
agar jadi tempat kehidupan manusiawi bagi anak manusia yang manusiawi pula. 
Dengan menuliskan baris-baris ini aku ingin meng

[ppiindia] stanza kelabu [76-80]

2005-10-02 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU


76. Genta Katdral Abbesses


menggaung genta katedral mencari lembah
ingatkan penduduk pada waktu akan malam  
gemanya hati menjelma rindu
kerna cintaku tak punya sudah

Oktober 2005.


76. Yang Sesungguhnya

sampai jam tujuh paris sepi matahari, musim gugur sudah
jalan pun sunyi semalam ada "malam putih"
sedang lusa akan sangat gemuruh oleh demo anti pemerintah
sunyi atau pun riuh yang sungguh masih saja kita bergandengan 

Oktober 2005.


77. Il n'y a pas l'amour heureux

il n'y a pas l'amour heureux, tak ada cinta bahagia
barangkali lebih kena langka benar cinta bahagia
kenyataan yang garang sangat tak punya belas
namun kita menjaganya tetap menanggap tanpa ratap 

Oktober 2005.


78. Padahal

kesungguhan sering menohok kita sangat dalam
lalu kalap terkapai hilang pegangan seakan perahu karam
segala tiba-tiba jadi suram
padahal siapa matahari cuma tenggelam atau dilindung awan

Oktober 2005.


79. Pahlawan

akupun sering berkata "biarkan aku sendiri"
kerna suara sering membisingkan menambah runyam
pemahaman sering hanya alasan sedangkan pahlawan esok jadi khianat
bukan sangat hakiki daripada ketetapan diri

Oktober 2005.


80.Racun

yang bisa kukatakan aku sudah sekian lama di montmartre
sudah sekian lama disambut seine dengan hangat ketika aku di kembara
jangankan seine dan montmartre puncak kota tak kuasa membuatku terikat
diriku pun belum benar kupahami -- gunjing jadinya keisengan beracun


Paris, Oktober 2005
--
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12].KE MELAK! MAHAKAM BICARA KEPADAKU

2005-10-02 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12].


  KE MELAK!MAHAKAM BICARA KEPADAKU

[2]


tak kukatakan  kau mahakam
sungai duka kerna kau pun sungai
mimpi, cinta, setia serta kepahlawan
 mahakam adalah pilihan  


***


Aku akhirnya masuk ke long boat bersama teman-teman. Aku sengaja mengambil 
tempat duduk dekat mesin diburitan agar leluasa bergerak. Bisa duduk, bisa 
berdiri. Berbeda dengan speed boat yang bermesin tempel dua sehingga ia 
meluncur bagai anak panah lepas dari busur, long boat hanya menggunakan satu 
mesin. Sejak masa kanak aku sangat biasa dengan mesin dan perahu-perahu tempel 
yang di daerah Sungai Katingan, Kalimantan Tengah, dinamakan "stempel". 


Pada masa kanakku dulu, "stempel" merupakan salah satu alat pengangkutan 
penting dan termasuk mewah untuk menghubungkan kampung satu dan kampung lain 
yang terletak di sepanjang sungai. Sebelum stempel hadir, penduduk, terutama 
yang berada di pedalaman melakukan saling kunjung dengan perahu buatan sendiri 
atau jalan kaki. Dengan cara inilah, menurut cerita mereka,  penduduk menempuh 
jalan berkilo-kilometer untuk pergi ke suatu tempat bahkan sampai ke kawasan 
Borneo [Sabah dan Sarawak]guna menjalin hubungan dengan handai-taulan di daerah 
tersebut. Tak ada perbatasan di hati penduduk pulau.  "Berapa sih jauhnya ke 
Sarawak dan Sabah? Ke hulu sedikit kita kan sudah sampai!" demikian ayah dan 
pamanku, Tjilik Riwut yang dikenal sebagai pejalan kaki ulung, menjawab dingin 
dan ringan pertanyaan bocahku penuh kekaguman sambil membayangkan perjalanan 
menebus belantara tak tertembus matahari. 


Ketika aku masih bekerja sebagai guru di sebuah universitas di Kalteng, dan 
diajak oleh sejumlah teman yang menjadi pejabat untuk turut menyertai mereka 
melakukan misi kunjungan ke perbatasan Kaltim, Kalbar, Sabah dan Sarawak. "Ke 
hulu sedikit saja kita sudah sampai", kembali kata-kata klasik itu diucapkan 
untuk membujukku. 


Melayangkan ingatan jauh ke belakang, pada  dua abad silam, aku sampai pada 
halaman-halaman kusamnya yang bertutur tentang Pertemuan Damai Tumbang Anoi di 
sungai Kahayan. Pertemuan Tumbang Anoi dihadiri oleh seluruh wakil komunitas 
Dayak dari seluruh bagian pulau tanpa kecuali guna melakukan perdamaian dan 
menyelesaikan segala persoalan di kalangan mereka secara adat. Tidak 
terbayangkan kesulitan yang telah mereka tempuh untuk sampai ke Tumbang Anoi. 
Riam yang ganas, jalan tikus di hutan tak tembus cahaya matahari, naik-turun 
gunung dan lembah tak menghalang niat datang ke Tumbang Anoi. Sementara tol dan 
jalan darat yang mulus tidak ada, kecuali jalan tikus. Betang atau rumah 
panjang Damang Batu yang memimpin pertemuan raya itu sampai sekarang masih 
terjaga di sungai Kahayan. 


Mengenang kembali Pertemuan Tumbang Anoi ini, aku melihat kebesaran jiwa dan 
kekuatan tekad manusia Dayak untuk menjadi tuan atas nasib diri mereka sesuai 
konsep hidup-mati mereka: nyanak jata rengan tingang [anak naga putra-putri 
enggang], konsep yang kuanggap masih tanggap sampai hari ini. Apakah konsep ini 
dipahami dan dikenal di Kaltim terutama di kota-kota utamanya apalagi dengan 
komposisi demografis yang didominasi oleh etnik dari luar Kalimantan? 


Melihat kepada diriku yang kadang tak kuasa mengendali diri dan perasaan, aku 
jadi malu. Betapa aku ini sebenarnya hanyalah seorang yang kerdil, gampang 
"keder" di hadapan duka dan kehilangan. "Kau sesungguhnya bukan Dayak, Kusni. 
Terlalu lemah untuk menjadi seorang Dayak, tidak layak jadi layak, menjadi 
turunan Tambun-Bungai, apalagi menjadi 'nyanak jata rengan tingang'"**], 
demikian aku berkata pada diriku. Jika terus lemah begini dan memelihara 
kelemahan ini,  maka kau hanya akan menjadi busa buritan perahu dan kapal, 
demikian aku menasehati diri.Bersamaan dengan ini mengiang suara lain, suara 
Stepanus Djuweng dari Kalbar, ketika aku secara khusus datang ke Kalbar dari 
Paris pada saat Konflik Sambas sedang berkecamuk. Mengetahui begitu banyaknya 
darah mengalir, dan aku memperlihatkan sikap tidak suka, Stepanus mengatakan 
bahwa "kita sedang melakukan perang bela diri". Pernyataan ini menyangkut 
masalah sebab-musabab konflik. Yang menyentuh diriku langsung adalah 
pertanyaannya: "Apakah aku seorang Dayak? Orang yang paham Dayak!?". Pertanyaan 
Stepanus membuatku merenung: Apakah sebenarnya seorang Dayak? Apa tautannya 
dengan Indonesia dan anak manusia serta uniseralisme? Adakah universamisme 
nilai pada Dayak sebagai tatanan nilai? 


Pertanyaan-pertanyaan ini mendorongku untuk membaca sejarah dan budaya Dayak, 
mengetahui benar kehidupan hari ini -- pertanyaan yang sekaligus membeberkan 
suatu program kerja mendesak untuk ditangani.Pelestarian [registrasi] dan 
revitalisasi jadinya merupakan keniscayaan tak lagi bisa ditunda. 


Ketika long boat-ku melaju, nasehat diri dan prtanyaan-pertanyaan di atas, di 
antara gemuruh mesin yang cuma sedepa berada dari tempat dudukku, kudengar 
seperti suara Mahakam menasehatiku dengan segala ketulusan dan kasihsayang

[ppiindia] stanza kelabu [67-70]

2005-10-01 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU


67. Ulangtahun

oktober bulan ini bertambah lagi setahun usiamu
tiap detik berdetak dan berlalu adalah suara langkah perjalanan
jam dinding tak peduli suka dan duka  pada gagah-lemahnya kita
tinggal, sanggupkah kita bertanya sebelum malam benar-benar tiba

Oktober 2005.

68. Sia-sia

pada tembok-tembok kota
pada angin dan hutan
pada semua suara tertera segala
lupa sia-sia menghalau ingatan

Oktober 2005.


69. Mawar Agustus

rinai di kotaku membasuh puncak hingga sungai
hanya debu-debu yang larut 
kenangan dan harapan masih kuat memagut
o, angin musim gugur menabur wangi mawar agustus tak pupus-pupus

Oktober 2005.


70. Nama Yang Diam-diam Kau Ucap Ulang

entah di lengang malam atau di bising siang 
juga saat perseneling motor kau pindahkan
sering kau seperti tercengang jauh memandang
ada sosok tak hilang-hilang selalu datang diam-diam namanya kau ucap ulang


Paris, Oktober 2005
--
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now.
http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] stanza kelabu [62-66]

2005-10-01 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU


62.Sejak September Tahun Itu


kutinggalkan dahulu katingan memburu matahari
september kutinggalkan yogya kota pengasuh
kembaraku sejak itu memanjang kian memanjang 
yang terbanting dan hilang tak terbilang tercatat di parit dahi 

Oktober 2005.


63.Lebih Dewasa

satu lagi rambutku memutih 
satu lagi parit dahi digali
sebenarnya ingin aku menangisi kehilangan
kuputuskan lebih dewasa tertawa dan mencandanya

Oktober 2005.


64. Pelayaran Yang Tertunda

tidakkah sudah kita tekuk jarak dan ruang
jadi selembar kertas A4 bahkan lebih kecil lagi
tidakkah sudah kita bangun kapal lengkap dengan petanya
melihat cuaca kita tangguhkan pelayaran  

Oktober 2005.


65. Di Terali Jembatan Sembilan

di terali jembatan sembilan 
musim gugur turun dari katedral notre dame
anginnya, ah, seperti kulihat benar di gelombang sunyi, anginnya 
mengusik rambut dan pipimu warna bulan --di seine membayang

Oktober 2005.


66.Di Pulau Hijau

di greenland, pulau hijau, orang eskimo masih bisa memancing
beku salju segunung disusun dijadikan rumah kediaman
kukira duka berdarah tahunan mungkin lebih lama lagi
bisa kita jadikan fondamen solid perkasa mimpi tertunda hari ini


Paris, Oktober 2005
--
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12].KE MELAK! MAHAKAM BICARA KEPADAKU

2005-10-01 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12].


  KE MELAK!MAHAKAM BICARA KEPADAKU

[1]



"ala ice, ala due,mahakam memercik dahi mukaku
kuraup wajah, wajah kuraup hingga rambut*] 
naga sungai menyambutku padanya aku  bersujud
mengucap cinta anak katingan tak kenal takluk
ala ice, ala due, anak sungai kembali ke sungai
meloncat pesut menyapa angkasa tanda aku dikenalnya 
ala due, ala telo, ala epat, kupercik kutabur janji ke mahakam
anak sungai kembali ke sungai"

  

***


Sungai adalah ibu pengasuh masa kanakku. Sungai seperti hutan dan gunung, juga 
laut turut membentuk diriku dengan arus, dengan ombak, kabut, ikan dan 
burung-burungnya. Alam beginilah yang mengajarku melesit dari satu dahan ke 
dahan lain menyaing tupai dan siamang. Mereka jugalah yang mengajarku bagaimana 
merenangi arus di antara kilap perut ikan berwarna putih.Masa kanakku adalah 
masa kehidupan Dayak yang menjadi putra-putri alam. Alam adalah kehidupanku. 
Karena itu, Celia, anakku kuajar menyatu dan mengenal alam sebelum kelak 
sendiri mengembarai hidup. Aku ingin Celia segagah alam dan seindah alam. Alam 
adalah kegagahan dan keindahan yang padu. Lelaki atau perempuan sama saja. 
Layak gagah dan indah terutama jiwanya seperti ditunjukkan oleh kisah Kayau 
Pulang dan Bawi Kayau [Puteri Kayau] di daerah Schwaner-Müller. Karena itu aku 
merasakan kebahagian besar ketika Celia menjadi hidup menyala matanya saat 
melihat siamang bergayutan dari pohon ke pohon dan terkekeh girang ketika speed 
boatnya di ayun gelombang seraya berteriak: "Aku ingin terjun ke sungai, aku 
ingin berenang, Ba", teriaknya. "Terjunlah dengan gagah, Sayang, sebagaimana 
kau kuharapkan kelak dalam merenangi sungai kehidupan.Jangan takut tenggelam", 
jawabku dalam hati, tapi hanya tertuang di senyum. 

Sekarang sungai itu ada di hadapanku. Sungai itu menungguku. Mahakam, sungai 
raya dan naganya seperti melambai-lambaiku seakan-akan bertanya menguji dan 
bercanda: "Masihkah kau putraku dulu kuasuh?", pertanyaan paralel yang pernah 
diucapkan oleh seseorang kepadaku di hadapan tragedi, dengan sejuta 
makna:"Masihkah kau bisa bersikap gagah?". Masihkah ada kegagahan di negeri 
ini? Masihkah kegagahan meresapi anak bangsa dan negeriku?

Menyambut lambaian itu aku segera turun meniti titian asal-asalan disebut 
tangga menuju long boat. Kebiasaan telah menumpulkan perhatian pada titian 
asal-asalan ini. Kebiasaan menumpulkan tanya dan sering dipandang sebagai 
keniscayaan yang benar padahal kebiasaan itu patut diberontaki. Pada tangga 
atau titian asal-asalan ini aku melihat fatalisme dan ketumpulan tanya 
sekaligus kekuatan dari kebiasaan. Dermaga berlabuh long boat pun juga 
asal-asalan padahal Kaltim adalah propinsi kaya. Kaya akan hutan, batu bara dan 
minyak bahkan emas. Kemana larinya kekayaan itu? Padahal pelabuhan dan 
transport merupakan soal vital dalam kehidupan penduduk. Pada titian dan 
dermaga asal-asalan serta rongsokan ini aku melihat wajah pulauku sesungguhnya 
di balik adanya parabola, tambang-tambang dan deru pesawat terbang serta 
gemuruh speed boat melaju membelah sungai. Titian dan dermaga asal-asalan serta 
rongsokan ini seakan mempertanyakan konsep pemberdayaan dan pembangunan yang 
dijadikan mata proyek dan pada suatu ketika diagamakan. Ya, negeri ini pernah 
menjadikan pembangunan sebagai agama dan hasilnya nampak pada titian dan 
dermaga asal-asalan serta kumuh bagi long boat Tenggarong. Wajah titian dan 
dermaga asal-asalan dan rongsokan yang kusaksikan sejak ketika sungai mengasuh 
masa kanakku dan hari ini masih kusaksikan di senja usia.

Sebagai ilustrasi dari soal ini, aku ingin mengutip sebuah diskusi yang 
berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED] , sebagai berikut:

- Original Message - 
From: andy adjeunk 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Saturday, October 01, 2005 7:55 AM
Subject: [dayak] Apa kabar mereka yang di Perbatasan?


Salam
Jika warga dayak di pinggiran saja banyak yang terabaikan, bagaimana dengan 
mereka yang ada di perbatasan?

Ini ada kiriman berita yang sudah terbit di Radar Tarakan 
(www.radartarakan.com) pertengahan bulan lalu. Menarik untuk dicermati.

Berbelanja Saja, Malinau Pilih Malaysia.Disertasi S3 Bupati Malinau di Unibraw 
Malang Jatim=sub 

MALANG-Bayangkan, untuk berbelanja saja masyarakat Kabupaten Malinau Kaltim 
lebih memilih ke Malaysia daripada Indonesia. Bukan hanya harga saja yang 
terpaut sampai 100 persen, tapi juga dekatnya jarak tempuh dan murahnya biaya 
angkut barang yang membuat mereka menjatuhkan pilihan. 

Setidaknya, itulah fenomena mengejutkan seputar kehidupan masyarakat perbatasan 
Indonesia-Malaysia yang dikupas habis oleh Bupati Malinau Drs Marthin Billa MM 
saat memaparkan disertasi program Doktor Ilmu Ekonomi Kekhususan Manajemen 
berjudul Peran Perdagangan Lintas Batas dalam Peningkatkan Kesejahteraan 
Masyarakat Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur di gedung PPS Unibraw. 
Sontak, paparan itu sempat membuat undangan yang hadir terpana. Bagaimana 
tidak, ma

[ppiindia] stanza kelabu [57-61]

2005-09-30 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU


57. Di Telaga Botani

di telaga botani 
sebuah kerikil kulemparkan, dirikulah itu terlempar
sepasang angsa anggun menyelam mengejar
alam bungkam membiarkan diriku tenggelam sendiri 

Oktober 2005.


58. Shinta

siapa bilang hidup amat sederhana? shinta diculik dari diriku
tapi boleh jadi oleh kemelut ia hanya menghilang
shinta, shinta, shintaku, kelak kembali takkan kau kupanggang
kemurnian hanyalah bualan legenda untuk celia anakku

Oktober 2005.


59. Di Long Boat Menuju Melak

di buritan long boat menuju melak 
kulihat gelora gelisah orang terbanting
di deretan penumpang yang berbaring
orang-orang lelah tak sempat menduga duka dan cintaku 

Oktober 2005.


60. Cerita Korrie

dinginn korrie bercerita tentang diri dan tragedi
cintanya dipalang agama -- long boatku menderu tak mau tahu
dukaku sendiri yang menikam kubalut dalam senyum
dik, kau lihat gimana aku belajar munafik  kerna mencintaimu?


61. Yang Tetap Utuh  Tanpa Cedra


kau menjadi sangat pendiam, aku pun sangat paham
tapi aku ingin kau bahagia maka aku siap luka
berdua kita memandang gimana matahari dan bulan pecah
remuk di gunung batu rimba duka --mimpi saja yang utuh tanpa cedra! 


Paris, Oktober 2005
--
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[nasional_list] [ppiindia] stanza kelabu [50-56]

2005-09-30 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
STANZA KELABU


50. Ketiba-tibaan

tersumbat kerongkongan
sepatah kata apalagi gumam sebaris lagu tak kuasa kuucap
sebuah tikungan tajam berembun tiba-tiba kulalui 
di lereng tebing lembahnya aku terbanting: ketiba-tibaan menyergap hitungan



51. September pun Berlalu

september pun berlalu tapi aku masih saja di pinggir sungai ini
masih saja di puncak montmartre musim silih berganti 
menambah kerut dahi seperti parit mengalirkan laksaan cerita
indonesia artinya masih saja seperti sediakala, seperti sediakala 

Oktober 2005.


52. Teka-teki

sampai pada oktober aku melihat waktu seperti riam deras mengalir
peristiwa demi peristiwa sangat luar biasa -- warna-warni terpaan
dugaan nalar dan ramalan tak sempat membaca jauh ketinggalan
kumengerti, betapa diri, hidup dan manusia tekateki tak usai dipahami  

Oktober 2005.


53. Belanga Pecah Di batu

kemarin, ya bahkan detik lalu, baru saja berdua kita ucapkan ketetapan 
seakan matahari dan bulan telah di tangan
hari ini segalanya seperti belanga jatuh di batu berantakan 
papasan kita di jalan tak lagi ada tutur-sapa

Oktober 2005.


54.Tiba-tiba Kurasakan Diri Bagai Batu


hitam mahakam di jaring malam 
kelam dari tebing ke tebing 
juga dari meja kursi di hadapanku pada restoran taman
tiba-tiba kurasakan diri bagai batu jatuh ke lubuknya tenggelam

Oktober 2005.


55. Dalam Sedan Ditahan

patutkah kita selalu baik, jujur, setia  dan sepenuh hati?
apakah bumi memerlukannya atau tidak lebih baik kita jadi bandit
pencopet dan penipu bahkan sanggup jadi pembunuh yang tenang?
dalam sedan ditahan aku masih berkeputusan jadi manusia hingga tumbang

Oktober 2005


56. "Kill of Hope"

"kill of hope", "kill of dream", pembunuhan harapan
harapan memang senantiasa diintai sergapan
jejaknya sering berlumur darah airmata
tanpa dia lama sudah aku binasa kernanya masih saja kau kucinta


Paris, Oktober 2005
--
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.org **
** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **


[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [11].DARI SAMARINDA KE TENGGARONG

2005-09-30 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [11].


  DARI SAMARINDA KE TENGGARONG





  "dari samarinda ke tenggarong jalan berliku 
  hutan lembah berjambul awan warna kelabu 
  siamang dan enggang tak lagi menyambutku
  kabut dukaku, adik, kabut rimba menaungi kalbu
  oleh kehilangan kabut dan tangisku di sini bertemu"





Hari itu dengan berkendaraan mobil Kijang, kami meluncur menuju Tenggarong. 
Jalan mendaki, menurun dan berliku sebagaimana biasanya jalan-jalan mana pun, 
apalagi di daerah yang berbukit-bukit. Terkadang awan kelabu nampak jauh di 
bawah kami di atas pepohonan hutan yang tidak lebat lagi sehingga sinar 
matahari leluasa menembus dedaunan bermain di tanah. Melihat awan yang 
bertengger di pucuk-pucuk pohon, ingatanku sejenak melayang ke Batu, Jawa 
Timur, yang kukunjungi beberapa tahun lalu.Larut malam bulan kaku di atas awan 
kelabu hutan cemara dan kota yang tidur. Aku dan teman-teman Komunitas  Batu 
menghangat tubuh melawan dingin gunung dengan jagung bakar dan kopi jahé. Ada 
kehangatan memancar dalam dingin dari tatap persahabatan pemimpi-pemimpi muda 
sederhana yang jatuh-bangun merambah jalan pencarian mereka. 


Melayangkan pandang ke pucuk-pucuk hutan, apakah hutan Kaltim masih hutan yang 
dahulu? Waktu banyak mengobah segala. Kita pun dalam sedetkik dua bisa berobah 
dan diobah oleh waktu di mana ketiba-tibaan bersarang. Ketiba-tibaan yang bebas 
dari kuasa nalar.Suara burung dan siamang tidak kudengar  menyambutku dari 
hutan lembah. Apalagi yang namanya enggang lambang dari konsep hidup mati 
manusia Dayak, bukan hanya tak lagi terdengar gaung gema suaranya di rimba, 
dari kota-kota seperti Balikpapan dan Samarinda bahkan di kota kabupaten Melak 
pun jarang kudapatkan. Sedangkan di Kuching, Sarawak, lambang-lambang budaya 
lokal ini masih nampak dengan jelas.Bandara Kuching kuat ditandai oleh 
hasil-hasil lokal. Kaltim, terutama kota-kota utamanya nampak asing dari 
tanda-tanda lokal.Kuching bahkan mempunyai dua buah museum tentang Dayak 
terbesar , paling tidak Di Borneo-Kalimantan. Quo Vadis Kaltim? Inilah 
pertanyaanku sambil melihat dari kaca jendela Nusa Dua cakrawala dan teluk yang 
menghamparkan ruang selaksa mungkin. Di ruang selaksa mungkin itu aku merasa 
akrab dengan maut, kekalahan, kejatuhan, khianat alami dan ilmiah, tekad yang 
lemah hingga tunduk pada ketakutan, tapi sekaligus aku juga melihat dengan 
keharuan keperkasaan mereka yang bertarung seperti kapiten para pinisi di 
tengah badai. Memandang para kapiten pinisi di laut, aku katakan bahwa ajal 
sebagai puncak tragedi telah disemukan maknanya. Di sini pun aku jadi melihat 
kekalahan dan kejatuhan memiliki wayuh makna. Lalu Sysiphus yang jatuh di kaki 
lereng pendakian,tampil sebagai tokoh kemanusiaan yang kusansanakan dengan 
iringan dawai kecapi anak Katingan, kecapi harapan dan pertarungan tak punya 
sampai warisan si "Kayau Pulang" *]. Balikpapan dan Samarinda jelas padaku 
merupakan kota-kota Kaltim yang asing dari tanda Dayak. Dayak di sini jadi 
asing  dan terpinggir, dipinggirkan proses sejarah. Dayak di sini sudah 
merupakan bagian dari eksotime dan obyek belas kasihan dan barang dagangan. Aku 
khawatir bahwa yang namanya Dayak di Kaltim akan jadi barang dagangan eksotik. 
Dan boleh jadi sebentar lagi akan muncul pakar dan sastrawan yang menteoritisir 
keterpurukan ini dan ikut menarik tali "lonceng kematian" seperti yang pernah 
dicanangkan oleh novelis Ray Rizal alm.


Keterasingan ini juga dinampakkan dan kurasakan sekali ketika Kijang kami 
melewati yang disebut "Bukit Soeharto". Apa gerangan jasa Soeharto, sang 
presiden Republik Indonesia yang melakukan kudeta merangkak untuk naik ke 
tampuk kekuasaan, pada pulau ini dan Kaltim?. Dari koran-koran kuketahui bahwa 
Bukit Soeharto adalah bukit kebakaran "abadi", bukit batubara yang terbakar 
belum terpadamkan. Secara tersirat kulihat Bukit tersebut sebagai lambang 
pembakaran Kalimantan oleh Orde Baru. Siapakah yang hirau? Berapa banyak yang 
hirau? Berapa banyak orang Dayak lokal juga hirau? Apakah Korrie Layun Rampan 
yang sastrawan Kaltim dan anggota DPRD itu akan hirau? Bagaimana bentuk nyata 
kehirauannya? Sastrawan dan kekuasaan, sungguh suatu kombinasi yang tidak 
sederhana! Mengapa Soeharto si penjagal bangsanya sendiri diabadikan namanya 
pada gunung ini padahal ia bahkan telah meremukkan pulau? Diktator adalah orang 
yang dengan kepala dingin sanggup memasakre bangsanya. Dan itu adalah Soeharto 
sang presiden! Bukit ini kukira tidak pada tempatnya diberikan nama bukit 
Soeharto. Bukit ini patut dikembalikan namanya pada nama semula, sebagaimana 
kita pada tempatnya,  kukira, mencoret nama Schwaner-Müller untuk menamai 
gugusan pegunungan melintasi Kalimantan dari barat ke timur. Ini adalah bentuk 
pelanggengan kekuasaan kolonialisme, penyingkiran identitas lokal sebagai awal 
dari peminggiran fisik. Kalau aku menyinggung soal identitas lokal, yang oleh 
Prof. Dr. Sajogyo dirumuskan sebagai "Jalan Kalimantan

[ppiindia] stanza kelabu [46-50]

2005-09-29 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU




46. Damak-damak Beripuh

pada laut dan gelombang 
lazuardi diarung awan
bungkam dan sunyi 
menabur damak-damak ipuhnya ke dada


September 2005


47.Di Dermaga Sungai Seine

kelam malam sudah jatuh di seine: dingin dan sunyi 
dari dermaganya aku memandang bulan tembaga 
mandi simbur-simburan; wajahmukah itu yang mengerling
diam menatapku menyimpan sejuta kata dikekang?

September 2005


48. Angin Musim Gugur Puncak Montmartre

musim gugur menurunkan anginnya dari puncak
dilintasinya lembah menuju sungai mencari camar 
di puncak katedral ada seekor burung mungil: sendiri 
barangkali ia sedang menyidik mencari sesuatu yang hilang dari diri

September 2005.


49. Larut

dari kursi meja restoran taman malam
aku memandang mahakam: sunyi dan kelam 
di arusnya sungai rakasasa ini tiba-tiba 
aku rasakan diri tenggelam entah larut ke mana 

September 2005.


50. Kita Jumpa Di Samudra

tersumbat kerongkongan
sepatah kata apalagi gumam sebaris lagu tak kuasa kuucap
sebuah tikungan tajam berembun tiba-tiba kulalui 
di lereng tebing lembahnya aku terbanting: ketiba-tibaan menyergap hitungan

September 2005
-
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Make a difference. Find and fund world-changing projects at GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/j2WM0C/PbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] stanza kelabu [46-50]

2005-09-29 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

STANZA KELABU




46. Damak-damak Beripuh

pada laut dan gelombang 
lazuardi diarung awan
bungkam dan sunyi 
menabur damak-damak ipuhnya ke dada


September 2005


47.Di Dermaga Sungai Seine

kelam malam sudah jatuh di seine: dingin dan sunyi 
dari dermaganya aku memandang bulan tembaga 
mandi simbur-simburan; wajahmukah itu yang mengerling
diam menatapku menyimpan sejuta kata dikekang?

September 2005


48. Angin Musim Gugur Puncak Montmartre

musim gugur menurunkan anginnya dari puncak
dilintasinya lembah menuju sungai mencari camar 
di puncak katedral ada seekor burung mungil: sendiri 
barangkali ia sedang menyidik mencari sesuatu yang hilang dari diri

September 2005.


49. Larut

dari kursi meja restoran taman malam
aku memandang mahakam: sunyi dan kelam 
di arusnya sungai rakasasa ini tiba-tiba 
aku rasakan diri tenggelam entah larut ke mana 

September 2005.


50. Kita Jumpa Di Samudra

tersumbat kerongkongan
sepatah kata apalagi gumam sebaris lagu tak kuasa kuucap
sebuah tikungan tajam berembun tiba-tiba kulalui 
di lereng tebing lembahnya aku terbanting: ketiba-tibaan menyergap hitungan

September 2005
-
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR:PESTA PANTUN SE NEGERI SABAH

2005-09-29 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [10].



"PESTA PANTUN" SE NEGERI SABAH



Hari ini, 29 September 2005 di negara bagian Sabah, Malaysia Timur mulai 
dilangsungkan kegiatan yang dijuluki "Pesta Pantun". Demikian Ony Basalin, 
penyair Sabah yang tinggal di Teluk Bayu berkabar kepadaku. "Kakakmu dan 
penyair Hasjuda akan menjadi hakim pada program Pesta Pantun" itu", tambah Ony 
Basalin yang sehari-hari kupanggil Kak Ony menuruti cara Ira, adikku 
memanggilnya. Kak Ony adalah seorang asal Dayak Dusun, turunan seorang kepala 
adat Sabah. Ira yang juga seorang penyair dan asal Sulu tapi tinggal di 
Sandakan lah yang memperkenalkan Kak Ony kepadaku. Rumah Kak Ony merupakan 
tempat berkumpul santai dan berbincang-bincang para sastrawan dan seniman Sabah 
dan melalui Kak Ony inilah aku mengenal nama-nama para sastrawan Sabah. 
Kehangatan para sastrawan-seniman Sabah menyambut kehadiranku ketika bergabung 
di Kemsas, milis Ikatan Penulis Sabah, membangkitkan hasratku untuk bisa segera 
berada di tengah-tengah mereka. Kesadaran dan tanggungjawab orang sepulau 
segera terasa padaku. "Apa yang Adik rasakan dan pikirkan sebenarnya adalah 
juga yang  menjadi perasaan umum anggota-anggota IPS", tulis Kak Ony."Jika Adik 
kemari tentu banyak yang bisa kita lakukan bersama untuk pulau ini", lanjut Kak 
Ony dengan penuh harap dan bayangan. O, betapa kata-kata yang menyulut impian 
dan rencana. Aku membayangkan Kalimantan-Borneo, pulau yang terbelah sekarang 
secara politik, hati penduduknya tidak terbagi.


Kembali ke soal Pesta Pantun. Apa arti Pesta Pantun ini bagi kehidupan 
sastra-seni kekinian? Dengan pertanyaan inilah aku melihat apa arti Pesta 
Pantun di neger Sabah sebagai sebuah kasus dan secara tidak langsung 
mengungkapkan suatu politik kebudayaan, khususnya sikap sastra yang patut 
dicamkan.


Pantun adalah genre klasik dalam sastra Melayu/Nusantara. Berbicara tentang 
genre klasik sastra sekaligus sebenarnya kita menyentuh masalah hubungan antara 
tradisi dan modernitas. Adanya Pesta Pantun Senegeri Sabah kali ini, kukira 
secara tersirat menunjukkan bahwa untuk menciptakan dan mengembangkan serta 
mencapai modernitas tanggap serta aspiratif dalam sastra, modernitas itu patut 
memperhitungkan khazanah budaya yang sudah dimiliki dari angkatan ke angkatan. 
Bahwa khazanah bangsa atau etnik merupakan modal untuk menciptakan sesuatu yang 
baru yang tanggap zaman dan aspiratif. Kekayaan lokal  memberikan kita 
kemungkinan lebih jauh dan lebih dalam berdialog dengan budaya lain. 
Pemberdayaan masyarakat lokal secara teoritis dirumuskan oleh Prof.Dr.Sajogyo 
sebagai "Jalan Kalimantan". Di sinilah arti penting tradisi dan merevitalisasi 
tradisi sehingga jadi modern serta tanggap zaman dan aspiratif.


Masalah revitalisasi adalah langkah lebih lanjut daripada pelestarian yang 
bersifat pendaftaran kekayaan. Revitalisasi akan menjadi mungkin jika kita 
mengenal keadaan kongkret dan tahu mau menuju ke mana. Di tingkat ini aku 
tengah berbicara  tentang pembangunan kebudayaan kekinian kita, tanpa lepas 
dari akar, tapi sekaligus menerima masukan-masukan positif dari luar. 
Kebudayaan nasional pada galibnya adalah kebudayaan campuran [le metissage]. 
Tidak pernah ada yang murni seperti yang disemaikan oleh sektarisme dalam 
berbagai bentuk. 


Penyelenggaraan Pesta Pantun senegeri Sabah hari ini kukira sejalan dengan arah 
demikian, menunjukkan kesadaran akan perlunya merevitalisasi khazanah sastra 
yang kita miliki dan hidup di kalangan masyarakat kita.


Ketika membayangkan Pesta Pantun senegeri Sabah hari ini,ingatanku melayang ke 
ibukota Kalimantan Tengah, di mana pada masa kekuasaan walikota Salundik Gohong 
bersama Ikatan Sastra Indonesia [ISASI], Kalimantan Tengah, kami mendorong 
pengembangan karungut dan deder, bentuk puisi populer di dalam masyarakat Dayak 
Kalteng, disamping mengembangkan puisi berbahasa Indonesia. Kegiatan-kegiatan 
begini kami lakukan dengan konsep sadar demikian. Apalkah karungut, sansana, 
deder, pantun bukannya bagian dari sastra Indonesia, Kalimantan dan Nusantara? 
Mengapa ia disisihkan dari perhatian dan pembicaraan?


Suatu saat aku membayangkan acara kesenian di Nusa Dua atau pun Café Bandar 
akan akan diberi varisan dengan bentuk-bentuk lokal. Mengapa tidak? Mengapa 
kita tidak mampu menghargai diri sendiri dan apa yang kita miliki? ***



Paris, September 2005.
-
JJ.KUSNI


 






Mimpi? Ya hari ini segalanya masih seperti mimpi, tapi justru kita kekurangan 
mimpi. Dunia, juga Borneo-Kalimantan tidak kelebihan mimpi. Pada mulanya segala 
berasal dari seperti mimpi dan mimpi. Mimpi pun memerlukan kemampuan, 
lebih-lebih kemampuan mewujudkannya. Mimpi tidak lagi jadi mimpi jika sudah 
jadi kenyataan, tapi setelah itu mimpi baru pun lahir dan terus lahir. Dalam 
perjalanan kembaraku, sering kurasakan bahwa untuk mempertahankan dan membela 
mimpi serta cinta pun tidak gampang.


JJ.Kusni

Perjalanan, September 2005.


- Original Message 

[ppiindia] stanza kelabu [41-45]

2005-09-29 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU




41. Yang Tak Mati


di makam ibu-bapak hari itu berdua kita berdiri
membersihkannya lalu menabur bunga-bunga
tanyamu: "mas, bicara pada mereka yang sudah tiada?"
mencari matamu aku mengangguk mengatakan:"ada yang tak mati-mati,dik". 

September 2005


42.Bukan Meteor Tumbang


dingin di daun-daun september  
di atap-atap kota bertengger 
tunggu! jangan katakan matahari meteor tumbang
di hatiku ia mengorbit menabur terang  

September 2005


43. Seperti Semua Orang

"bukan semata demi roti", "not for bread alone" 
tulis pengarang negeri utara 
dikawal rindu kau ke warnet hujan petir tak merintang
seperti semua orang kita hangatkan diri di mentari kasihsayang

September 2005.


44. "Not For Bread Alone"

tertinggal! di kulkasku tertinggal dua keju "president" untukmu
tertinggal saat rindu menggegasi pesawatku ke timur  hari itu 
memaling ke detik lalu dan kulkasku nampak betapa lupa hanya merusak  
tapi,dik,kau yakinkah pada ingat dan hati, namamu selamanya terpahat?

September 2005.


45. Kita Jumpa Di Samudra

tak cukup sudah jari tangan menghitung usia kita 
seniscayanya juga bukan, kita pun patut pandai menakar 
deras gelombang desau angin pada layar menuju muara
"jika arus mencari laut, adik, kita jumpa di samudra" 


September 2005
-
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [9] KONFERENSI ANTAR UNIVERSITAS BORNEO-KALIMANTAN DI KUCHING

2005-09-28 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [9].

KONFERENSI ANTAR UNIVERSITAS BORNEO-KALIMANTAN DI KUCHING



Debur ombak  dan deru angin teluk  datang dari jauh membentur  jendela lalu 
jatuh sendiri di pasir dan buih pantai. Pada suara itu kudengar dan seperti 
kudengar mereka membawa suaramu yang ketika itu menyanyikan "Teluk Bayur" 
bersamaku. Kau robah liriknya, ya kuingat kau telah merobahnya untuk 
mengungkapkan diri, dengan mengatakan   "kutunggu e-mailmu  tiap hari". 
Sedangkan  kaca jendela Nusa Dua kulihat seperti menampilkan wajah Celia 
anakku. Terbayang ia begitu girang main sepeda hadiah ulangtahunnya hingga 
larut malam sambil terkekeh, dan saban melirikku ia meledeg tanda sayang : 
"Papaku gembel, Papaku gembel, lihat aku dengan sepedaku. Terimakasih ya Pah!". 


Sekarang, dari kembaraku panjang segalanya saakan seperti sebuah fatamorgana, 
seperti cakrawala nampak di mata, tak terpegang tangan. Tapi segalanya nampak 
terang di halaman-halaman kenangan. Fatamorgana dan kenangan menyertai langkah 
kembaraku. Pada saat itu kubayangkan kita bertatapan diam. Berbicara dengan 
kediaman. Di saat sama aku pun teringat bagaimana kau meminta Pak Sopir untuk 
menghentikan pemutaran lagu disertai cliping anak perempuan kecil mengejar 
memeluk ayahnya yang baru datang:


"Tolong hentikan lagu dan cliping itu, Pak dan cari lagu serta tayangan lain. 
Ia membuat sedih Bapak karena menggiring ingatannya  akan anak yang jauh". 


Aku diam karena memahami berwayuh artinya permintaan itu, padahal aku sendiri 
tak lagi perduli dan lebih tertusuk oleh larik lagu yang didendangkan oleh Bob 
Totopoli: "rindu pun jadi terlarang". 


Untuk meluruhkan tusukan kenang dan bayang yang menggoncangkan perasaan, 
mencoba mengalihkan perhatian,   aku mengeluarkan dari kantong jaket hitamku, 
makalah DR. Mohamamed Saleh Lamry, mantan profesor madya Universitas Kebangsaan 
Malaysia [UKM|, berjudul "Dari Kalimantan Selatan Malaysia. Makalah  yang 
dikirimkan oleh DR. Lamry   kepadaku beberapa hari  lalu ini, telah 
disampaikannya di Konferensi Antar Universitas Borneo-Kalimantan yang 
berlangsung di Kuching, Sarawak pada 29-30 Agustus 2005 lalu. 


Berita dari DR. Lamry ini sungguh menggembirakan. Dari sini bisa kuketahui 
bahwa di samping Borneo-Kalimantan mempunyai Forum Penulis Borneo-Kalimantan, 
sekarang pulau raya ini mulai membuka forum baru yaitu pertemuan antar 
universitas yang ada di Borneo dan Kalimantan, pertemuan antar para 
akademisinya. Aku memandang pertemuan pertama yang akan disusul oleh 
pertemuan-pertemuan berikutnya di kalangan para akademisi Borneo-Kalimantan ini 
mempunyai arti penting dalam usaha mengembangkan kerjasama guna menjadikan 
Borneo-Kalimantan sebagai tempat hidup manusiawi penduduk pulau. Sebagai 
akademisi, tentunya dalam konferensi jenis ini mereka akan membahas 
masalah-masalah yang dihadapi oleh pulau dan penduduknya secara ilmiah. Melalui 
konferensi antar universitas ini bukan terlalu muluk mengharapkan adanya 
usulan-usulan terobosan berharga, baik yang bersifat mendesak mau pun yang 
berjangka jauh strategis. Oleh karena itu konferensi ini kulihat mempunyai 
nilai strategis dan praktis sekaligus, apalagi jika para akademisi yang bertemu 
bukanlah para akademisi menara gading yang asing dari kehidupan masyarakat dan 
permasalahan pulau. Sejauh ini aku memang belum mendapatkan hasil rincian 
konferensi, tapi diselenggarakannya pertemuan pertama antar akademisi 
Borneo-Kalimantan ini mengisyaratkan bahwa para akademisi pulau sudah 
menggarisbawahi peranan mereka baik sebagai pengamat maupun sebagai pemikir 
bagi usaha pemberdayaan manusiawi kawasan ini.Mereka sudah melihat arti penting 
kerjasama dan melihat jauh ke depan yang menunggu pulau. Cepat atau lambat, 
arti keberadaan mendiami satu pulau raya akan makin menjadi kenyataan, 
lebih-lebih bila hubungan darat kian lancar di mana orang-orang dari Kota 
Kinibalu, Sandakan, Brunei, Kuching ke berbagai tempat lain di Kalimantan dan  
atau sebaliknya makin lancar. Ini bukanlah fatamorgana tapi hari depan yang 
segera menjadi kenyataan.


Adanya kesadaran dan tanggungjawab serta perlu mutlaknya kerjasama begini 
antara lain dinyatakan oleh sastrawan Sabah Ony Basalin, yang sehari-hari 
kupanggil Kak Ony: "Patutnya kita maju bersama dan bekerjasama erat sudah 
merupakan semangat umum para penulis Sabah", tulis Kak Ony kepadaku semalam. 
"Pulau menjadi urusan kita bersama". Demikian Kak Ony. Semangat serupa pun 
kudapatkan dalam korespondensi dengan para budayawan Brunei yang berhimpun di 
sekitar Majalah Bahana. Bukanlah kebetulan jika pertemuan penulis 
Borneo-Kalimantan yang ke-IX akan dilangsungkan di Brunei. Adanya semangat 
begini di kalangan para budayawan, sastrawan dan akademisi agaknya mulai 
munculnya sikap yang menisbikan arti perbatasan. 


Dalam hubungan ini, barangkali pertanyaan-pertanyaan sentral yang bisa diajukan 
adalah "mau ke mana Borneo-Kalimantan" dan "bagaimana mencapai ke mana ini"? 
Pertanyaan lain: Apakah sesu

[ppiindia] stanza kelabu

2005-09-28 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU





31. Tapi Aku Masih Gagah, Mas! 


awan hitam di atas menara katedral taman abbesses
bergayutan di dahan dan dedaunan 
oi, kulirik di wajahmu kuning bulan sepanjang jalan
duka hitam  itu ada di dua mata: "tapi aku masih gagah, mas!"

September 2005


32. Dari Terali Jembatan Alexandre


dingin musim gugur mengganti camar seine pulang sarang
berseliweran mereka di antara kapal-kapal merapat dermaga
dari terali jembatan alexandre aku memandang gelombang
gampang diduga dalam lubuk tapi hatiku dan hatimu? kita saja yang tahu!

September 2005


33. Seting

menengahi gemuruh kapalku menuju samarinda
seorang perempuan muda menyapa tiba-tiba:"jj kah?"
"seting? kaukah?" tanpa ayal kami pelukan sepuluh tahun tak jumpa
waktu pun tak amat kuasa; persahabatan kami tak tergugat. lihatlah!

September 2005.


34."Boleh Istrimu, Kupeluk, Ibnu?"

ibnu suami seting asal jawa kepadanya kutanyakan:
"boleh istrimu kupeluk mengurai rindu?"ibnu ngakak  mengangguk
"boleh jj kupeluk, mas, tiada cemburu dan curiga bukan? kerling seting 
"alasan kalian lebih kuat dari cemburuku jika ada, sayang, sayangku"


35. Pemahaman Ibnu

"ya, ya kubaca di mata seting, kubaca di mata abang"
"kubaca di keengganan pisah dan rindu memprotes waktu dan ruang" 
"padahal  sungai, gunung ,langit dan waktu mencatat kisah kalian"
dik, di teluk di sungai juga di daun-daun gunung kisah kita terekam

September, 2005.


36. Di temaram Angin Sungai Mahakam


mahakam dan kelip lampu 
temaram angin menabur resahku
malam keberangkatan ini, adikku, tak ada kapal dan pesut meluncur
kecuali dukaku berpisah deras berdebur

September 2005.


37. Busa

melaju kapalku -- long boat orang bilang --  laju mengarung mahakam 
buih haluan di buritan dilupakan penumpang lenyap di malam 
cintaku,dik, bukanlah buih dan busa, tentu kau tahu
sampai di seine ini tak lain kerna cintaku menolak jiwa busa 

September 2005.


38.DI MELAK

jelas di ingatan hari itu di melak aku kau desak  bacakan sanjak 
lalu kubuka halaman "aku tetap memilih mati sebagai pemberontak"
kubaca untukmu mengatakan bahwa cinta dan pemberontakan 
cinta, keberanian dan kesetiaan padaku tak terceraikan

September 2005.


39. Yang Terus Menagihku 

"apakah aku benar mencintaimu?" kujawab, "ya tegas tanpa kepalang"
tidakkah ia kau lihat di warna fajar dan senja 
tidakkah ia kau saksikan pada bulan dan matahari pantai kencana
dan gimana ia mengalahkan dingin gunung --ia terus menagihku sekarang!

September 2005.


40. Gunjing Dungu

selembut merpati selicin ular
begitu hidup kukenal dan mengajar
sandiwara? baca cermat teksnya apakah anda paham nzngkap hakekat 
ah, anda terlalu gegabah berkesimpulan dan terjangkit gunjing dungu 

September 2005
-
JJ.KUSNI





[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] stanza kelabu

2005-09-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU




21. Tak Pernah Kuhitung

tak lagi kuhitung berapa kali musim menggugurkan dedaunan di kota ini
dan kakiku lalu lalang di atas daun berhamburan 
yang sering kurasakan getirnya di hati
bahwa diri dan hakku yang pengembara masih saja bolak-balik diinjak 


September 2005


22. Bagai Mata Ikan Parang Putih Menyilang


lama kulihat kau terdiam menahan himpitan
kendati perempuan, kau  menumpahkan airmata amat enggan
parang putih mengkilat bagai mata ikan menyilang mengancam
hidup menagih pilihan kendati hati sendiri mesti ditikam

September 2005


23. Sejarah Dan Korbannya

tak ada khianat ketika mesti memilih. tak ada! 
tak ada! kecuali tragedi kembali pongah menabur jaring jalanya 
dan kita bagai kijang menggelapar di dalamnya
sejarah masih saja terulang olehnya kali ini kita lagi-lagi tertikam

September 2005.


24. Kureguk Anggur Ini Seperti Menghirup Kenangan

malam ini satu botol anggur beaujolais village kubuka 
dan kuminum sendiri, dingin di luar 
kuhapal sekali suara langkahnya tahunan kukenal
gelas demi gelas kureguk bersama kenangan padamu

September 2005.


25. Yang Tak Pupus

barangkali dan tentu saja potret berdua dahulu sudah tiada
dari kamera sudah dihapus lama 
memandang lurus ke matamu kutahu dan kita sama-sama pasti
ada yang tak pupus dari hati sampai mati

September 2005.


26. Sebuah Syal

merasakan angin laut 
dingin malam 
pada leher kau lilit syal 
sejenak kau ditegunkan gelora rasa yang gaib


September 2005.
---
JJ.KUSNI


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery.
http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [8] KOMUNITAS DAN GERAKAN KEBUDAYAAN

2005-09-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [8].


KOMUNITAS KEBUDAYAAN DAN GERAKAN KEBUDAYAAN.


Adanya komunitas-komunitas sastra-seni di berbagai pulau dan daerah tanahair 
merupakan gejala yang muncul pada era kekuasaan Orde Baru Soharto dan paska 
Orba. Komunitas sebagai organisasi sastra-seni, barangkali merupakan kreasi 
unik para seniman angkatan sekarang, seniman yang tumbuh dan dewasa di bawah 
sistem otoriter dan militeristik. Bentuk komunitas merupakan jawaban dan jalan 
keluar mereka dari penindasan, guna  mempertahankan serta mengembangkan 
kesenian. Kebebasan dan independensi agaknya, kalau pengamatanku benar, 
merupakan salah ciri komunitas dan para warganya. Terkadang kebebasan ini 
diujudkan secara ekstrim dengan meniadakan sistem penanggungjawab utama. 
Masing-masing anggota komunitas mengajukan usul kegiatan dan usul itu kemudian 
dirundingkan. Apabila sepakat maka ia dilaksanakan bersama-sama.Hal ini 
misalnya diperlihatkan oleh Komunitas para pelukis muda Taring Padi yang 
bermarkas di dekat ISI daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta atau Komunitas 
Ladang di Samarinda yang mempunyai tempat berkumpul agak di luar kota. 


Bagiku yang terbiasa dengan berorganisasi  dengan sistem klasik, yaitu di bawah 
satu pimpinan kepengurusan, model Komunitas Taring Padi dan Komunitas Ladang 
merupakan hal baru dan memerlukan waktu untuk mencernakannya, untuk memahami 
dan meyakininya.  


Organisasi walau pun bernama komunitas, tanpa pengurus organisasi! Sungguh hal 
baru dan pengalaman baru, lebih-lebih jika ingin membayangkan lahirnya gerakan 
kebudayaan. Mungkinkah gerakan kebudayaan diciptakan tanpa organisasi yang 
berkepengurusan? Jumlah 40-50 orang sebagai anggota, pasti sudah merupakan 
angka yang sangat besar, apalagi dibandingkan dengan jumlah mereka yang 
terhimpun di dalam Jaring Penulis Kaltim yang hanya segelintir tak lebih dari 
jumlah jari kedua tangan. Katakanlah anggota suatu komunitas itu 50 atau 
seratus orang, tapi apakah jumlah ini sudah bisa dikatakan suatu gerakan? Ia 
bisa menjadi janin, embrio, dari suatu gerakan, tapi masih jauh dari lahirnya 
suatu gerakan. Gerakan kebudayaan muncul ke permukaan apabila kita 
menyangkutkan masalah kebudayaan dengan masalah nasion dan negeri, dan gerakan 
kebudayaan tidak akan ada jika berkesenian untuk mengejar nama serta 
popularitas individual. Berangkat dari titiktolak terakhir ini, masalah nasion 
dan negeri akan asing dari pemikiran dan sentuhan. Orang-orang sibuk serta 
asyik dengan keeksentrikan diri pribadi yang kadang-kadang nampak 
kontroversial. Kontroversial bukan dalam arti pemikiran tapi lebih dari segi 
perilaku prbadi atas nama yang disebut keeksentrikan seniman misalnya dengan 
kekumalan dan kehidupan tidak teratur serta "awut-awutan", bergalau dengan 
minuman keras atau hasis. Bukan dari segi konsepsional bahwa sastra-seni adalah 
sebuah republik berdaulat.


Aku melihat bahwa pendekatan kebudayaan dan gerakan kebudayaan untuk 
menyelamatkan nasion dan negeri, mencari jalan keluar dari krisis multi 
dimensional sekarang sangat diperlukan. Kebudayaan dan gerakan kebudayaan 
adalah kegiatan yang menyentuh hal terdalam yaitu hati, rasa dan pemikiran 
manusia, anak negeri dan bangsa. Manusia adalah penanggungjawab hidup, nasion 
dan negeri. Dalam soal ini orientasi manusiawi menjadi mendesak karena 
sektarisme dan elitisme tidak akan tanggap dan aspiratif. Betapa pun besarnya 
jumlah suatu komunitas tapi berorientasi pada pikiran tunggal alias sektaris, 
cepat atau lambat akan menabur benih pertikaian dan kekerasan. Gerakan sektaris 
tidak lain dari sebuah pohon besar tapi keropos. Lapuk dari dalam! Tidak punya 
harapan. Sehingga sungguh sulit kupahami jika ada pakar atau kritikus 
sastra-seni yang menolak perlunya wawasan bagi sastrawan-seniman. Agaknya 
penolakan atau penentangan terhadap perlunya wawasan begini dicampuradukkan 
dengan masalah keragaman bentuk atau cara berekspresi seniman.


Apabila kita bicara tentang kemajemukan kiranya tak terelakkan kita memikirkan 
warna lokal baik dalam ide mau pun dalam bentuk. Sangatlah sulit dipahami jika 
kelokalan diidentikkan dengan paternalisme dan feodalisme. Aku khawatir alur 
pikiran begini, dengan jubah universalisme, kebebasan mencipta justru berdiri 
hadap-hadapan dengan dalil yang nampaknya sedang dibela. Jika ia diucapkan di 
daerah di mana terjadi penduduk lokal tersingkir dan terpingir, maka boleh jadi 
bisa dikembangkan sebagai dasar teori pembenaran penyingkiran dan peminggiran 
lebih lanjut. Apa yang kuajukan ini tidaklah sama dengan bahwa aku sedang 
mendorong ethnosentrisme, tapi lebih sejajar dengan pendapat "sastra-seni 
kepulauan", konsep "bhinneka tunggal ika", konsep Indonesia dan republik. Kalau 
dilihat adanya penolakan maka ia ada pada penolakanku pada konsep globalisasi 
kapitalistik yang menghancurkan keragaman dan menjadikan segala-galanya sebagai 
barang dagangan mulai dari sastra-seni sampai pada manusia. Dengan perspektif 
inilah, aku melihat ar

[ppiindia] stanza kelabu

2005-09-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
STANZA KELABU



12. SEBUNGKUS ROTI DARI SEORANG PEREMPUAN

memahami dukaku menggelora 
kenal makan pagiku lama di eropa
perempuan itu meletakkan sebungkus roti di meja
o, manis pemahamanmu memberiku sudah tenaga dan berkas cahaya

September 2005


13. Di luka Kembaraku Panjang

dari samarinda ke balikpapan 
liku jalan mengantarku ke bandara pulang
broeri berlagu menoreh luka di dada enggang
di mana tersimpan kembaraku panjang

September 2005


14. Duka Mahakam

malam menjala mahakam
lampu tebingapal mengerdipku 
menyusur sungai dari melak ke samarinda 
kisah mahakam berbisik ke telinga

September 2005.


15. Dari Puncak Paris

"menyerah untuk menang"
seorang perempuan mengucapkan kalimat itu kepadaku
kupahami sekarang dari puncak paris
bahwa aku patut bertarung tanpa tangis

September 2005.


16. Di Lirik Lagu-lagu Jamal dan Henny


mengucap kasih  selamat jalan  manisnya ketulusan
jamal dan henny menyanyikan "teluk bayur" bergitarkan jiwa
di saban kata dan nada kudapatkan lika-liku diri 
jalan panjang tak punya sampai di mana mimpi patut kujaga

September 2005.


17. Tas Celia

hijau daun warna tas di punggungmu, anakku 
hijau ranum musim bunga warna kasih kepadamu 
kelak kau besar jika hutan gunung masih ada 
bacalah padanya kau tahu kasih ayah tak tergantang, hijau dan hijau..

September 2005.


18. Seperti Teluk Seperti Mahakam

tak ada yang kuminta ketika mencintaimu
angka-angka pun tak pernah ada 
ketulusan seperti teluk seperti mahakam
merentangkan airnya agar kapal mencari dermaga

September 2005.


19. Jembatan Rambut Terbelah Tujuh

masih kucatat pesan manis puitis dikirimkan kepadaku
bahwa nama masing-masing membuat darah kita sama merah
mengeraskan tulang menarung coba meniti jembatan rambut tujuh terbelah
kalah kita tolak kerna tak lain dari ampas mimpi 

September 2005.  


20. Perempuan Itu Perkasa


sejak katingan sampai ke seine melintasi yang tse
dari donau melintasi missisipi hingga ke rhin
sampai aku ke mahakam kukenal kemudian perempuan itu perkasa 
dan aku hanyalah kepongahan yang peka tapi mencintaimu


September 2005.
---
JJ.KUSNI


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [7] MELIHAT WAKTU DAN SEKITAR DARI CAFE BANDAR

2005-09-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [7].


MELIHAT WAKTU DAN SEKITAR DARI CAFE BANDAR


Hari itu, di antara bayangan gedung-gedung yang berdiri di pantai Teluk 
Balikpapan, aku mengayunkan langkah santai sambil mengamat sekeliling menuju 
Café Bandar.  Sejak dari  Paris, aku memang sangat ingin ke mari. Apalagi 
Koperasi Restoran Indonesia, yang turut kubangun di pusat ibukota Perancis, 
sangat sering menerima pegawai-pegawai Total, perusahaan minyak Perancis yang 
beroperasi di Kalimantan Timur, dari Balikpapan . Kubayangkan, Café Bandar 
adalah sebuah café artistik penuh daya pukau, bayangan yang terbentuk oleh 
café-café pantai di Perancis dan Eropa umumnya. Apalagi ia terletak di pinggir 
teluk, dan teluk bagian dari laut. Laut yang bagiku adalah lambang hidup itu 
sendiri. Garang dan menantang. Sedangkan tantangan itu  romantis dan penuh 
romantika. 


Tadinya aku ingin sendiri datang ke mari. Lebih bebas dan tidak merepotkan 
orang lain. Aku memang tidak suka merepotkan orang, apalagi menyita waktu 
mereka. Waktu, dalam benakku seelalu merupakan sesuatu yang bisa ditakar dengan 
uang sama halnya dengan perhatian. Sikap terhadap waktu bagiku kujadikan salah 
satu petunjuk dalam mengukur tingkat perkembangan suatu bangsa dan negeri. Etos 
kerja dan bagaimana seseorang memaknai hidup, juga bisa dilihat dari sikap 
terhadap waktu. Dengan demikian jika seseorang sukarela meluangkan waktunya 
untuk orang lain, maka adanya perhatian begini sangat layak diberi penghargaaan 
tinggi dan orang tersebut sebenarnya telah memberikan tempat khusus kepada yang 
diberikannya waktu. 


Gerak-gerik, cara jalan timat-timit barangkali ada kaitannya dengan sikap 
terhadap waktu dan konsep hidup. Dengan dasar pikiran ini maka aku tidak suka 
orang lain memberikan waktunya untukku dan aku suka sendiri, karenanya aku 
sangat menghargai tinggi pemberian waktu yang diberikan orang lain kepadaku. 
Inti persoalanku di sini adalah bagaimana kita memperlakukan waktu? Apa arti 
memperlakukan waktu sementara hidup kita sangat singkat? Secara singkat, 
katakanlah bahwa aku sedang berbicara tentang waktu sebagai suatu filsafat atau 
ujud dari suatu filsafat.


Kalau di berbagai benua, aku bisa mencapai alamat yang kuinginkan tanpa 
kesulitan, mengapa mencari Café Bandar di sebuah kota sebesar Balikpapan saja, 
alamat itu tidak bisa kutemui?Demikian pikirku dan tekadku.


"Inilah Café Bandar itu," ujar teman yang mengantarku. Terasa ia menahan diri 
untuk memberi keterangan lebih jauh sehingga kalimatnya terasa menggantung. 
Barangkali ia membiarkan aku melanjutkan sendiri kalimatnya. Kesibukan membawa 
temanku itu segera berlalu sehingga tidak bisa menerima ajakku untuk minum 
bersama walaupun cuma secangkir kopi atau segelas coca atau pun bir. Tak lupa 
aku mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatinya yang telah memberikan waktu 
untukku.


Aku mengambil tempat duduk, memesan kopi tubruk panas. Melayangkan pandang ke 
langit teluk dan gelombang laut yang sedang tohor sehingga memperlihatkan 
pantai becek, barangkali sama beceknya dengan hidupku sehingga oleh sementara 
orang dipandang menjijikkan.  Tapi coba tanya diri masing-masing agar bisa 
sedikit berlaku adil dalam menilai orang dan tidak begitu gampang menjijikkan 
hidup orang lain. Hidup mana dan hidup siapa  gerangan yang mulus selalu bagai 
pasir kencana? Hidup mana dan hidup siapa yang tidak mengenal kebecekan? 
Kebecekan adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan. Masalahnya bagaimana 
kita keluar dari kebecekan dan membuatnya sebagai sangu menatah hidup. Tapi 
tentu saja bagi kepongahan, sikap ini barangkali sangat asing. Di pantai becek 
di bawah tiang-tiang Café Bandar, aku pun melihat kehidupanku yang kadang 
pasang dan kadang tohor. Juga kehidupan siapa pun. Tak terkecuali kehidupanmu, 
Dik. 


Pasang dan surut, keduanya membawa hikmah dan menanya. Menanyai, karena pasang 
dan surat sekaligus membawa corak petaka yang menagih tanggapan. Pasang surut 
adalah bagian dari waktu, sementara ajal berkeliaran bebas di dalam ruang dan 
waktu pandak kita. Memandang ombak dan cakrawala, keduanya membangkitkan hasrat 
padaku untuk memberi wangi pada ruang dan waktu pandakku dengan cinta yang 
tangguh. 


Pandang kualih dari laut dan cakrawala yang di mana pun selalu mengasikkan dan 
mengundang rindu karena seperti hutan, gunung dan sungai, laut pun dahulu 
pernah turut mengasuh masa bocahku. Laut selain seperti hidup, kian hari kian 
kurasakan seperti cinta. Adakah cinta yang tenang tanpa gelombang dan prahara? 
Tapi tidakkah kadar cinta itu ditanyai oleh gelombang dan prahara? Merenungi 
laut, aku sampai pada hipotesa bahwa cinta itu memang soal perasaan tapi 
kemudian usia membawaku untuk mengatakan bahwa dalam cinta, perasaan itu patut 
ditingkatkan kadarnya dengan makna. Makna inilah kemudian yang membuat cinta 
sanggup tangguh menanggap gelombang prahara. Dengan pemahaman inilah maka aku 
mengertikan ungkapan Tiongkok klasik bahwa: "with the one you love, even to 

[nasional_list] [ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [6] "NUSA DUA" DAN "CAFE BANDAR" SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN BALIKPAPAN.

2005-09-26 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [6].


"NUSA DUA" DAN "CAFE BANDAR" SEBAGAI PUSAT KEGIATAN SASTRA-SENI BALIKPAPAN



Kehangatan sambutan Pak Warno sekeluarga sejak detik pertama aku menginjakkan 
kaki, membuatku sejak itu merasa bagian dari keluarga ini dan Nusa Dua 
kurasakan seperti rumah keluarga. Di sini aku merasa bebas melalukan waktu 
melayangkan imajinasi terbang di antara camar-camar teluk di angkasa tak 
bertepi. Untuk ini ingin kusampaikan rasa terimakasih yang dalam tak berhingga 
kepada penyair dan penulis cerpen Kaltim, Shantined, kelahiran Yogyakarta dan 
sekarang berdiam di Balikpapan, yang telah membawa dan memperkenalkan aku pada 
keluarga ini dan Nusa Dua.


Shantined adalah nama tokoh, Pak Besut, cerpenis Yogyakarta yang pada suatu 
periode jadi kesukaan para pendengar R.R.I, Yogya dan senantiasa ditunggu 
siaran  malamnya. Kesukaan akan "Obrolan" Pak Besut, jika kukenang dan 
kurenungkan sekarang, ia memperlihatkan kembali arti sastra bagi kehidupan, dan 
hubungan sastra dengan kehidupan. Masyarakat memerlukan sastra dengan 
pesan-pesan yang disampaikan secara sastra. Kasus Pak Besut selain 
memperlihatkan peran dan hubungan sastra dalam kehidupan, ia pun memperlihatkan 
pengaruhnya dalam masyarakat. 


Masihkah tradisi ini, masihkah fungsi dan hubungan ini, dimainkan oleh sastra 
kita hari ini? Mengapa ada keluhan tentang "sastra yang terpencil"? Mengapa ada 
kritik tentang "puisi gelap" dan kesibukan apa erotisme? Penggunaan nama 
Shantined oleh Shanti kukira memperlihatkan pengaruh sastra dalam kehidupan di 
ruang dan waktu juga adanya.


Di samping berterimakasih besar pada Shanti, aku pun sangat berterimakasih pada 
Mas Bimo yang kehangatannya pun tak terlupakan sampai-sampai mengundur 
kepulangannya ke Jakarta agar bisa menemuiku.Komitmen, rasa persaudaraan, 
keindonesiaan dan semangat republiken sangat kurasakan pada Mas Bimo, yang 
diangkat sebagai anak oleh seorang ibu Dayak di hulu Mahakam. 


Kasus Mas Bimo memberiku bukti tambahan bahwa "etnik dan bangsa hanyalah 
perbatasan semu bagi kemanusiaan" seperti yang dikatakan juga oleh filosof 
Perancis, Paul Ricoeur, bahwa "kebudayaan itu majemuk tapi kemanusiaan itu 
tunggal". Perlakuan dan sambutan Nusa Dua kepadaku menambah deretan bukti ini. 
Hubunganku dengan keluarga Nusa Dua berkembang dari "dudu sanak dudu kadang" 
menjadi "ya sanak yo kadang", perkembangan dari tingkat kuantitas mencapai 
taraf kualitas. 


Pada saat ini juga, terngiang kembali di telingaku kata-kata Bung Jamal, sang 
penyanyi syahdu romantik tapi sanggup mengambil keputusan yang tanggap, 
menjelang keberangkatanku dari Balikpapan: "Kita jadikan Nusa Dua semacam salah 
satu pusat kegiatan sastra-seni". Ide Bung Jamal ini mengingatkan aku akan arti 
penting sebuah tempat yang bisa menjadi pusat kebudayaan hari-hari, pusat yang 
memungkinkan kita senantiasa dekat dengan publik. Salah satu tempat demikian 
adalah restoran. Dengan ide inilah maka di kilometer nol Paris kami bangun 
Koperasi Restoran Indonesia sejak hampir 25 tahun lalu dan berkembang hingga 
sekarang. Koperasi Restoran Indonesia Paris, sekaligus berfungsi sebagai pusat 
kebudayaan dan oleh KBRI disebut sebagai "duta bangsa". Fungsi begini pun juga 
diperlihatkan oleh café dan restoran yang tersebar di jalan-jalan kota. Café 
dan restoran di ibukota Perancis ini sekaligus menjadi arena pertunjukan dan 
pementasan rupa-rupa bentuk kesenian. Dengan fungsi demikian
 , kita kenal yang disebut café theatre atau  café filsafat. Eksistensialisme 
justru diawali dari diskusi-diskusi di café. Sartre, Simone de Beauvoir, 
Hemingway dan The Lost Generation-nya sering nongkrong di café sambil menulis. 
Peluncuran-peluncuran buku umumnya dilakukan di café-café. Dengan fungsi ganda 
begini, maka café-café dan rstoran sekaligus memberi sumber finansil bagi para 
seniman sekali menjawab keluhan tentang ketiadaan ruang pentas. Keluhan yang 
kurang masuk nalar di hadapan tersedianya ruang di mana-mana. Paris memperlihat 
padaku bahwa jalan, lapangan dan sudut-sudut terbuka dijadikan oleh para 
seniman sebagai arena berkarya dan pentas dari berbagai skala. Pentas terbuka 
begini justru menyeramaki kota dan memberi hiburan bagi penduduk. Di 
Montmartre, kampung di puncak gunung yang memang kampung seniman, di mana aku 
tinggal sejak bertahun-tahun, saban akhir pekan, jalan, lapangan selalu 
dihidupi oleh rupa-rupa kegiatan kesenian.Place du Tertre atau lapangan di 
 depan gereja putih raksasa di puncak bukit dari mana kita bisa melihat seluruh 
Paris,boleh dikatakan menjadi ruang pertunjukkan dan kegiatan seni lukis 
permanen.


Tanpa menghiraukan kelelahan aktivitas berhari-hari, Shanti dan teman-teman 
menyempatkan diri mengantarku dari Nusa Dua ke Café Bandar yang terletak tidak 
berjauhan. Beda denga

[nasional_list] [ppiindia] soliko

2005-09-25 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
SOLIKO




putih wajahmu, soliko
wajahmu putih
putih warna salju
russia di lagu-lagumu
di lapangan montmartre
menggetarkan langit dan kampung
sadarkan aku akan ulangtahun
mengurai rentang kisah enggang
disumpit damak cobaan 
stop! jangan menangis bocah lanang!


sendu lagumu 
dan dukaku 
duka perempuan russia terbuang
mengandeng hatiku
anak tercampak 
kenang tinggal lembaran-lembaran koyak


-- kasih, kau yang kukasih selamanya kukasih
o, perempuan yang jadi bayang dan selalu membayang
di teluk aku jadi pinisi karam 
buih hilang di buritan
di gelombang pun tak tertinggal tanda
pada pantai satu kata  tak tertera
kecuali hamparan merah kalbu yang luka



soliko dan kematian
soliko dan cinta
soliko dan kesetiaan
prajurit datang kembali mencari makammu
tunaikan janji pernah diucap 
soliko,kataku jadi epitaf martabat kubela
tapi pertarungan belum juga usai-usai mengusik usia


di sini, di montmartre
di lembah seine aku bermukim
soliko dan cinta
soliko dan kesetiaan
kutahu tak kenal silam 
jangankan selamat jalan



Paris, September 2005.
-
JJ.Kusni






[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery.
http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.org **
** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **


[nasional_list] [ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [5]."SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL"

2005-09-25 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [5].


"SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL"


2.


Apa yang dimaksudkan dengan ,"Sastra Kaltim? Aku sangat diprovokasi untuk 
mencari keterangan dan penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan "Sastra 
Kaltim" yang dijadikan tema sentral diskusi Samarinda JPK ini [25 September 
2005] dan mungkin memang sengaja dibuat provokatif sebagai iklan untuk menarik 
perhatian dan minat  pembaca untuk turut hadir di seminar yang dipungut bayaran 
"tiket Rp..15.000,00 [Umum], Rp..10.000,00 [pelajar/mahasiswa]."  seperti yang 
disyiratkan oleh Mas Amin dalam  pengumumannya: "Berminat"kah? 


Dari segi geografis, Kaltim adalah salah satu propinsi di Indonesia. Jika 
dihubungkan dengan kata "sastra", maka "sastra Kaltim" berarti sastra yang ada 
di daerah geografis itu. Bisa berarti demikian. Jika demikian, pertanyaan 
selanjutnya menjadi apakah benar JPK menangani dan menaruh perhatian pada 
seluruh kehidupan sastra di daerah geografis yang diklaimnya? 



Pertanyaan ini bisa dilihat dengan jelas dari apa yang dilakukannya selama ini 
sejak lahir sebagai kaca melihat diri. "Sastra Kaltim" dari segi geografis 
sesungguhnya juga merupakan suatu program baik pendek, menengah atau pun jangka 
panjang. Program yang berangkat dari wawasan bahwa "Sastra Kaltim" mencakup 
segala kehidupan sastra di wilayah Kaltim. Tapi apa yang terjadi? Dari kucerpen 
"Bingkisan Petir",sebuah cerpen dalam bahasa Indonesia, yang dicoba dijajakan 
di mana-mana, kita lihat bahwa ia didominasi oleh cerpen berbahasa Indonesia 
ditulis oleh mayoritas penulis asal dari luar Kaltim yang tinggal di Kaltim dan 
kurang berbicara tentang masalah Kaltim. Beberapa cerita pendek di dalam 
kucerpen ini malah bercerita tentang kehidupan di Jawa dan mengambil setting di 
Jawa. Nama Kaltim hanya dipinjam untuk promosi eksotisme dan turisme atau 
tangga mengangkat diri. Padahal bagi orang lokal sebenarnya apa yang dituturkan 
itu lebih eksotis lagi, dalam pengertian asing.Sama asingn
 ya dengan sebagian penulis di kucerpen itu dengan kehidupan dan permasalahan 
lokal, misalnya tercermin dari sikap terhadap orang Dayak yang dipandang dengan 
ketidakpengertian dan dijadikan obyek eksotisme turistik oleh salah satu cerita 
dalam kucerpen yang dijajakan dalam "Bingkisan Petir". "Bingkai Petir" -- 
sesungguhnya tidak terlalu istimewa, dan bukan suatu masterpeace lokal. 


Jika demikian, bagaimana kita bisa berbicara tentang muatan lokal melalui 
sastra di bidang pendidikan? Bandingkan dengan kegiatan Institut Dayakologi di 
Pontianak, Lembaga Studi Dayak21, di Palangka Raya. Mereka menjawab masalah ini 
secara kongkret dan bisa menyodorkan usul nyata.  Aku mempertanyakan orang yang 
berbicara tentang masalah "Studi Kebudayaan dan Perubahan Sosial" tapi 
menyepelekan budaya lokal.Perobahan apa dan ke mana yang ia atau mereka 
inginkan? Perobahan erat hubungannya dengan wawasan. Bagaimana mungkin 
perobahan dilakukan tanpa wawasan? Sedang sementara itu ada orang yang bicara 
tentang studi kebudayaan dan perobahan sosial  memandang bahwa wawasan  sebagai 
batasan, belenggu dan penjara. Mau ke mana perobahan di bawa? 


Istilah "Sastra Kaltim" yang dijadikan tema sentral seminar sehari JPK juga 
terasa padaku mengandung pengertian dan menunjukkan bahwa di Kaltim telah 
muncul suatu kuantitas dan kualitas sastra -- sekali pun terbatas pada sastra 
berbahasa Indonesia -- mencapai tingkat tertentu melebihi daerah-daerah lain 
sehingga patut dibicarakan. Aku sangat meragukan hal ini baik dari statistik 
kualitas maupun kuantitas.Barangkali yang latah mengatakan hal begini karena 
keterbatasan informasi belaka sehingga nekad. Hitung, berapa judul buku sastra 
yang diterbitkan di Kaltim oleh JPK? Barangkali akan lebih baik seandainya 
"Sastra Kaltim" itu diganti dengan "sastra lokal" dalam konteks sastra-seni 
kepulauan.  Dengan penamaan "Sastra Kaltim" terkesan bahwa Kaltim sudah 
mempunyai ciri, kualitas dan kuantitas tersendiri. Otoproklamasi yang terlalu 
percaya diri dan berkelebihan tapi sari semangatnya perlu dikembangkan dan 
didorong agar sastra-seni kepulauan itu berkembang, di mana hanya satu titik
  dari sebuah peta. .



Barangkali teman-teman JPK mempunyai keterangan  dan wawasan lain tentang yang 
disebut "Sastra Kaltim" dan apa yang disebut "sastra nasional". Dengan semangat 
dan keinginan mendorong ini pulalah maka aku banyak bicara tentang dan 
menyokong kegiatan JPK dengan harapan kata "Kaltim" benar-benar dikhayati dan 
bukan dijadikan dagangan turistik dan eksotik atau tangga ke suara jenjang 
dengan mengabaikan lingkungan. Apakah terlalu berkelebihan mengharap agar "di 
mana bumi dipijak di situ langit dijunjung", dekat dan paham lingkungan serta 
agar sastrawan seperti kata Ramadhan KH:


"Penyair palin

[nasional_list] [ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [4]."SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL"

2005-09-24 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [4].


"SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL"

1.

Musim rontok sudah. Jalan-jalan  mulai digelimpangi oleh dedaunan yang 
gugur.Petang kemarin, aku memasuki sebuah café  yang terletak di puncak gunung 
Montmartre, hanya 200 meter dari apartemenku.  Dari puncak ini aku bisa 
memandang dengan sepuas hati  lembah Seine dan kota Paris yang merentang 
leluasa  dan manja di bawahnya -- lembah, sungai dan kota yang bermurah hati 
selama bertahun-tahun menyediakan diri bagai dermaga sementara bagi pinisi 
kembaraku. Aku menduduki sebuah meja di sebuah pojok dekat tembok menghadap ke 
lapangan Place du Tertre, di mana para wisatawan asyik dengan para pelukis yang 
bekerja di segala musim di ruang terbuka. Setengah pichet 50 sentiliter anggur 
merah [le vin rouge] kupesan menemani kue coklat di bawah alunan denting piano 
di antara patung pasangan sedang berpelukan dan lukisan ruangan. Anggur merah 
ini pun kureguk seteguk demi seteguk seperti menghirup selaksa kenang sekian 
bayang.  

Pada saat ini pikiranku jauh melayang ke arah timur, ke Teluk Balikpapan 
membawaku kembali ke Restoran Nusa Dua dan Café Bandar. Denting piano yang 
mengisi ruang kubayangkan bagai suara gitar dan suara lembut Bung Jamal dan 
kawan-kawan. Lihat, Dik! Kau bisa saksikan betapa bayangan telah meniadakan 
batas ruang dan waktu, merentangkan langit kemerdekaan bagi imajinasi 
berterbangan dan tumbuh.Saat ini, imajinasiku menjadi seekor rajawali merah 
melayang di angkasa menarung  angin  adu kuat di teluk di luar Nusa Dua dan 
Café Bandar.

Dari kantong celana kukeluarkan cetakan kabar yang dikirimkan beberapa hari 
lalu oleh Mas Aminudin Rifai Wangsitalaja dari Jaring Penulis Kaltim [JPK],  
menggunakan fasilitas internet dilanjutkan sejenak dengan chatting di Yahoo 
Messenger [YM]. Dengan fasilitas tekhnologi ini jugalah aku dan teman-teman di 
tahahair mengorganisasi dan mengembangkan macam-macam kegiatan. Tekhnologi 
menjadi bagian dari usaha manusia menjadi tuan di bumi dan menjadikan bumi 
sebagai tempat hidup manusiawi. Di hadapan kemajuan tekhnologi juga kusaksikan 
ruang dan waktu makin bersimpuh. 

Nah, Adikku, tidakkah kehidupan sebenarnya mempunyai harapan dan manusia tak 
gampang dikalahkan -- walau pun sekarang di detik ini aku sedang mencoba 
mengalahkan kekalahan seperti yang diharapkan oleh Guntur anakku lanang yang 
berdarah Madura agar "enggang tak jatuh" dan "pinisi tak karam, tidak remuk di  
samudera berprahara". Hidup selalu berbadai garang, senantiasa menagih jawab 
serta menguji kadar. Lagi-lagi aku teringat akan sebuah suara lirih mengharap 
dalam bentuk tanya: "Kau gagah dan tetap bisa gagah, bukan?". 

Menjadi gagah sampai akhir bukanlah masalah sederhana. Lebih tidak sederhana 
lagi adalah untuk gagah bangkit dari kejatuhan, gagah di hadapan kekalahan. 
Tapi gagah itu terutama ada dan ditanya  justru di tengah prahara duka dan 
derita, walau pun kejatuhan dan kekalahan bisa terjadi oleh lena kemewahan dan 
kegirangan. Lena  membuat lupa. Ingat jadi terlempar seperti yang kita saksikan 
sekarang di kehidupan bangsa dan negeri kita.

Lembaran pesan Mas Amin kembali kubaca kalimat demi kalimat:


"Seminar Sastra:"SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL" dan  
PELUNCURAN BUKU "BINGKISAN PETIR" [Cerpen-cerpen Kaltim].

Menampilkan pembicara:

* DR. Faruk [kritikus sastra, kepala  Pusat Studi Kebudayaan dan Perubahan 
Sosial UGM, Yogyakarta];

* Korrie Layun Rampan [Sastrawan Kaltim];

* Syafril Teha Noor  [Pemred Harian KALTIM POST, Samarinda];

* Drs. Nanang Rijono, M.PD. [Dosen  Univ. Mulawarman].

Dimeriahkan dengan pembacaan cerpen.

Minggu,  25 September 2005
09.30 WITA-Selesai
Ruang KERSIK LUWEY Gedung Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim, Lantai 4, 
Jln.Basuki Rahmat 5, Samarinda.

Tiket Rp..15.000,00 [Umum], Rp..10.000,00 [Pelajar/Mahasiswa].
Berminat? Hubungi  Jaring Penulis Kaltim (08164282866)".


***


JPK sejak berdirinya, setelah kembali kampungnya Korrie, memang nampak 
memperlihatkan intensitas kegiatan yang barangkali menarik diikuti oleh 
daerah-daerah Kalimantan lainnya -- terutama dari segi penyiaran kegiatan. 
Dengan mengatakan hal ini, aku maksudkan bahwa kegiatan-kegiatan kebudayaan di 
daerah Kalimantan lainnya memang ada, hanya saja kegiatan-kegiatan di Kalsel, 
Kalteng, dan Kalbar barangkali kurang pemberitaan di skala lebih luas dari 
skala lokal sehingga tidak menjadi pengetahuan umum dan sering dianggap "sepi 
kegiatan" sehingga pertemuan penting seperti Pertemuan Penulis 
Se-Borneo/Kalimantan terakhir di Sandakan luput memantau dan mencatat mereka 
yang menjadi basis riil kegiatan sastra-seni di daerah-daerah tersebut.

Sebagai contoh bisa kuambil Pekan Sastra-Seni dan Bahasa yang pernah 
diselenggarakan oleh Ikatan Sastrawan Indone

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua & café bandar [3]: anug erah sastra borneo-kalimantan

2005-09-22 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [3].
ANUGERAH SASTRA  BORNEO-KALIMANTAN



Masalah pokok yang diajukan oleh Ailin Nor melalui tulisan di atas adalah 
bagaimana diadakannya suatu award untuk karya-karya sastra yang dihasilkan oleh 
para sastrawan Borneo-Kalimantan dan Brunei.Menurut Ailin Nor , ide Award ini 
mula pertama dilontarkan oleh Jasni Matlani. Ailin melalui artikelnya di atas 
dengan demikian lebih banyak menggarisbawahi usulan Jasni yang telah 
dikemukakannya dalam berbagai artikel.

Alasan Ailin menggarisbawahi usulan Jasni dikatakannya bahwa:

"Memang perlu Anugerah Sastera Borneo (ASB) diwujudkan dengan tujuan memberi 
pengiktirafan kepada golongan sasterawan di Borneo. Sama ada anugerah itu 
setaraf dengan anugerah S.E.A Write Award ataupun sebaliknya, setidak-tidaknya 
ASB berupaya memberi dorongan atau pengiktirafan kepada golongan sasterawan 
dari Sabah serta Labuan, Brunei, Sarawak dan juga Kalimantan. Hakikatnya ASB 
merupakan satu anugerah yang amat penting untuk dibanggakan".



Kecuali itu, menurut penglihatan Ailin, layaknya Award tersebut disediakan 
karena secara kuantitas dan kualitas, penulis-penulis  di pulau raya 
Kalimantan/Borneo ini menelurkan karya-karya.Kualitas dan kwantitas patut 
diberi penghargaan dan didorong.

Ketika berbicara soal Award ini, Ailin juga mengusulkan agar dari Kalimantan 
[Indonesia] diikutsertakan dalam sekretariat bersama penilaian di mana 
ditetapkan patokan pemberian Award.

Di samping itu hal penting lain yang diingatkan oleh Ailini adalah masalah 
karya sastra sebagai suatu komoditi. Ailin melihat bahwa kita tidak perlu cemas 
akan pemasaran komiditi karya sastra ini, karena seluruh pulau merupakan pasar 
yang menjanjikan.

Soal ketiga yang diingatkan oleh Ailin bagaimana dalam pemberian Award sastra 
ini, bagaimana ia tidak didominasi oleh angkatan tua yang diistilahkannya 
sebagai "veteran" sastra. Ailin mengharap agar angkatan muda pun patut mendapat 
tempat dan perhatian. Ailin mengusulkan  agar:  

"apa yang harus diutamakan ialah penerima ASB nanti adalah seorang penulis yang 
menghasilkan karya terbaik dalam wilayah Borneo" dan Kalimantan. Standar tidak 
ditempatkan pada veteranisme tetapi pada "mutu" karya.

Lebih tandas Ailin berkata:

"Tentunya kita mengharapkan penulis veteran yang dicalonkan adalah penulis yang 
berupaya menghasilkan karya kreatif yang bermutu, jadi sebutan dan seterusnya 
diangkat sebagai karya terbaik. Kita tidak mahu penulis veteran itu hanya 
dinilai dari segi penglibatannya dalam dunia sastera dan mengetepikan pula 
keupayaan menghasilkan karya".

 

"Pada saya syarat harus diutamakan ialah penghasilan karya yang benar-benar 
bermutu dan karya yang berupaya untuk menghangatkan sastera di Borneo. Karya 
yang mendapat tempat di Borneo, sehingga mendorong ianya diperbicarakan. Kita 
tidak mahu karya itu hanya hangat diperbicarakan di tempat sendiri atau usaha 
pihak tertentu untuk menjadikan karya itu diperbicarakan. Kita tidak mahu 
adanya paksaan seumpama itu dan syarat inilah pula harus diberikan keutamaan 
dan bersikap terbuka".

Ketika Ailin mengatakan bahwa "kita tidak mahu karya itu hanya hangat 
diperbicarakan di tempat sendiri atau usaha usaha pihak tertentu untuk 
menjadikan karya itu diperbicarakan", aku melihat bahwa standar yang diusulkan 
oleh Ailin adalah patokan sastra internasional, patokan setinggi mungkin. Aku 
kira tuntutan begini sudah pada tempatnya jika kita memang benar ingin 
mendorong pengembangan sastra-seni pulau raya Borneo-Kalimantan. Jika kita 
menetapkan standar rendah maka hasil yang kita capai pun akan rendah pula. Mutu 
dan bukan veteranisme serta kongkalingkong atau kasak-kusuk atau "usaha pihak 
tertentu untuk menjadikan karua itu diperbicarakan", diharapkan menjadi patokan 
dalam pemberian Award sastra di pulau bersama ini. 

Dalam hal ini, kembali aku melihat arti penting strategis dari pertemuan 
periodik para penulis se Borneo-Kalimantan, baik dalam menetapkan standar 
maupun dalam menyusun panitya atau sekretariat penilai. Di sinilah lagi-lagi 
aku melihat perlunya pertemuan periodik mengikutsertakan semua potensi sastra 
yang ada dalam masyarakat di pulau dan keluar dari lingkup kecil para mereka 
yang kebetulan menangani secara formal masalah kebudayaan sehingga pertemuan 
penulis se Borneo-Kalimantan sungguh-sungguh representatif dan mampu 
membicarakan soal kebudayaan, khususnya sastra di kawasan ini. Dengan cara ini, 
maka pertemuan bisa luput dari jeratan elitisme dan lepas dari soal-soal nyata. 

Masalah pasar untuk karya-karya sastra sebagai suatu komiditi, aku kira memang 
layak dipertimbangkan karena dengan terjualnya karya-karya itu maka secara 
finansil, para penulis akan terbantu. Masalah ekonomi para sastrawan sudah pada 
tempatnya dipermasalahkan dan dipecahkan. Terpecahkannya masalah ekonomi 
penulis akan membantu pengembangan produksi karya-karya. Dengan menggunakan 
komunitas-komunitas sastra-seni yang tersebar di pulau raya kita ini saja, aku 
ki

[ppiindia] catatan dari meja nusa dua & café bandar [2]: sosok nusa dua

2005-09-22 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [2].


SOSOK NUSA DUA


Angin teluk dan terik katulistiwa Balikpapan tertahan di kaca jendela, jatuh di 
luar, di pantai yang sedang surut. Kusaksikan keduanya  dalam diam dengan 
lirikan  dari ruang Nusa Dua di mana suara Jamal dan teman-teman mengalun merdu 
menyanyikan lagu "Teluk Bayur" dan "My Way" [Comme d'Habitude] yang kuminta. 
Kuminta atau tidak, dua lagu ini memang sering dinyanyikan oleh teman-temanku 
saban aku tiba di berbagai tempat dan pulau, bahkan di saat-saat aku dalam 
pelayaran kapal. Dan aku tidak pernah berhasil sampai selesai ikut mereka 
menyanyikan kedua lagu tersebut karena emosi ketika  sampai di tengah-tengah 
lagu jadi pasang meluap lalu membungkamkan mulutku. Di  Balikpapan aku datang 
dan berangkat secara kebetulan atau tidak, sadar atau tidak, ternyata menjadi 
kenyataan menyambut dan mengantarku. Pada dua lagu tersebut ditambah dengan 
"River of No Return" memang kudapatkan kisah perjalanan diri yang tak punya 
usai. Dahulu, teman-teman dari Institut Dayakologi, Pontianak,  sangat paham 
dan senantiasa menyanyikannya saban kami bertemu.Agaknya Jamal yang berwajah 
lembut selalu dihiasi senyum dan memimpin musik menyambutku di Nusa Dua cepat 
menangkap hal ini dan pemahaman ini ia nyatakan dalam pesan sms menjelang aku 
meninggalkan Kaltim:

"Kehangatan dan kemesraan dengan sederhana, apa adanya akan abadi dan 
mengandung selaksa makna".

SMS  "selamat jalan dan jumpa kembali" memang banyak kuterima menjelang hari 
kepergianku. Pesan-pesan yang kupahami sebagai rasa persahabatan "mengandung 
selaksa makna" sekaligus harapan tulus agar aku "selalu gagah" dalam perjalanan 
tak punya usai ini. "Kau bisa selalu gagah, bukan?", demikian suara halus tulus 
disampaikan secara sederhana kepadaku di bandara kembali mengiang. Pertanyaan 
ini sama sekali tidak bisa kujawab sebagaimana dahulu pada saat kanak, aku 
tidak bisa menjawab tantangan ayah dan para paman: "Jangan kembali kampung jika 
tak bisa mengganti cawat dengan dasi".

Ketika duduk di kursi pesawat yang membawaku ke arah barat, aku buka kembali 
semua sms-sms itu. Merenungkannya dalam kesendirian dan kediaman.Dalam renungan 
ini aku melihat betapa hidup sangat warna-warni bagai sebuah lukisan mengandung 
segala warna. Warna hitam hanyalah salah satu warna saja. Pada saat ini aku 
teringat akan apa yang pernah dituliskan oleh seorang penyair Tiongkok abad 
ke-20, yang menganjurkan supaya kita selalu "mencari secercah cahaya di 
kepekatan sekalipun ujung jari tangan tak nampak. 

"Cahaya"! Tidakkah "cahaya" yang dimaksudkan penyair ini adalah identik dengan 
harapan. Dan penyair menganjurkan agar kita tidak pernah hilang harapan dan 
selalu menggenggam harapan. Tanpa harapan kita akan jadi fatalis dan sudah 
kalah. Bahkan sudah mati. Semangat serupa juga diungkapkan oleh sobatku 
almarhum , Agam Wispi, putera Aceh yang penyair:


"gugur bunga dari tampuknya
di musim nanti
berkembang lagi"


Inilah pesan dan makna utama yang kudapatkan dari Balikpapan,  khususnya dari 
Restoran Nusa Dua dan menjadi sebuah sosok hidup lembut, indah dan gagah 
menyertai serta selalu mengingatkan aku yang terkadang goyah saat mengarungi 
perjalanan anak kembara. 


Sekarang aku kembali ke Paris dan esok atau lusa entah di mana, tapi sosok ini, 
ya sosok makna ini, selalu seperti bayang diri turut serta di tiap tapak 
diayun. Sosok yang kunamakan juga sebagai sosok Nusa Dua. Sosok ini jugalah 
yang kurasakan bersamaku membaca tulisan berikut, tulisan yang kurasakan sedang 
 kubaca di Nusa Dua dari meja-mejanya. Aku sedang membayangkan sedang 
memperbincangkan soal di bawah ini dengan sosok tersebut:



Isu Sastera

 

Berpeluangkah Penulis Muda Raih ASB?

 

Oleh: Ailin Nor

 

 

KETIKA Jasni Matlani melontarkan cadangan tentang perlunya diwujudkan satu 
anugerah untuk golongan sasterawan di Borneo pada Dialog Borneo/Kalimantan di 
Sandakan, ianya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sebenarnya ia bukan sesuatu 
yang baru kerana Jasni sebelum ini pun telah menyuarakan cadangan itu dalam 
beberapa artikelnya.

 

Memang perlu Anugerah Sastera Borneo (ASB) diwujudkan dengan tujuan memberi 
pengiktirafan kepada golongan sasterawan di Borneo. Sama ada anugerah itu 
setaraf dengan anugerah S.E.A Write Award ataupun sebaliknya, setidak-tidaknya 
ASB berupaya memberi dorongan atau pengiktirafan kepada golongan sasterawan 
dari Sabah serta Labuan, Brunei, Sarawak dan juga Kalimantan. Hakikatnya ASB 
merupakan satu anugerah yang amat penting untuk dibanggakan.

 

Kita mempunyai ramai penulis yang layak untuk menerima anugerah itu. Jika ASB 
diperkenalkan sejak dulu, mungkin sudah ramai penulis yang telah menerima 
anugerah tersebut. Bukan hanya di Sabah tetapi juga di Labuan, Sarawak, Brunei 
dan Kalimantan sendiri memiliki golongan penulis yang layak untuk menerima 
anugerah tersebut. Kemampuan dan keupayaan menghasilkan karya yang bermutu, 
mungkin menjadi penyebab mengapa Jasni Matlani melontarkan cadangan

[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA DAN CAFE BANDAR: TEMPAT YANG MENINGGALKAN TANDA DAN SUATU PERSPEKTIF [1]tempat

2005-09-21 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [1]

TEMPAT YANG MENINGGALKAN TANDA DAN SUATU PERSPEKTKIF.



Nusa Dua dan Café Bandar adalah nama dua buah tempat makan dan minum sambil 
bersantai-santai serta diskusi yang terletak di pinggir Teluk Balikpapan. Dari 
kursi-kursi tempat ini kita bisa memandang ombak bermain mencari pantai tanpa 
jemu sebagai lambang keuletan mengejar ingin mewujudkan mimpi dan angin 
bermain-main di bawah sayap camar. Sedangkan cakarawala yang jauh, seakan 
selalu mengingatkan kita akan perlunya kebesaran jiwa serta keluasan pandang 
yang sanggup memberikan tempat pada kebenaran orang lain -- gerbang tanpa 
palang bagi hidup bersama antar anak manusia dari etnik dan bangsa mana pun ia 
berasal, membisikkan bahwa betapa layaknya jika kita ketika "berdiri di kampung 
halaman kita memandang tanahair tapi sekaligus merangkul bumi". 

Laut, teluk, barangkali itulah makna yang diisyaratinya sedangkan kita adalah 
camar yang bermain bersama dan dicoba angin yang terkadang menjelma jadi topan. 
Café Bandar dan Restoran Nusa Dua terletak tidak berjauhan. Café Bandar secara 
usia jauh lebih tua. Terbuka. Sedangkan Nusa Dua tertutup, berjendela kaca 
sehingga orang-orang di dalamnya terlindung dari dingin dan derasaan angin. 
Nusa Dua lebih punya warna Indonesia daripada Café Bandar yang terkesan 
sepintas menyontek Barat sehingga lbih mendekati  kitchs atau epigonis. 

Ketika berada di Balikpapan, kedua tempat ini kusempatkan mengunjunginya. 
Bahkan Nusa Dua merupakan tempat di mana aku disambut hangat luar biasa oleh 
teman-teman dan pemiliknya yang kemudian menjadi sahabatku. 

Mengenang para sahabat dan rasa persahabatan mereka dengan terimakasih yang 
dalam, maka kubayangkan catatan-catatan ini kutulis di meja-meja kedua tempat 
itu, yaitu Restoran Nusa Dua dan Café Bandar, terutama meja-meja Nusa Dua yang 
tak terlupakan hingga detik terakhir sebelum aku terbang  melanjutkan 
perjalanan. Karena itu, catatan-catatan ini kunamai "Catatan Dari Meja Nusa Dua 
& Café Bandar".  

***



Pada saat berada di Balikpapan dan Samarinda, andaikan aku punya cukup waktu, 
sebenarnya aku ingin melanjutkan penerbangan ke Sandakan untuk mengunjungi Ira, 
adikku, yang tinggal di sana, juga seorang penulis, serta bertemu dengan 
teman-teman dari Ikatan Penulis Sabah [IPS]. Sebagai orang Kalimantan, aku 
sangat tertarik guna melihat dari dekat perkembangan kehidupan sastra-seni di 
Sabah, apalagi tak lama berselang di Sandakan telah dilangsungkan Pertemuan 
Para Penulis Borneo-Kalimantan yang ke-VIII. Adanya pertemuan ini seperti 
mengisyaratkan bahwa para penulis merasa ada kesinambungan perasaan serta 
tanggungjawab. Dan ini kukira suatu sikap sangat realistis sebagai orang-orang 
yang tinggal di satu pulau. Cepat atau lambat penduduk pulau raya ini akan 
menyaksikan bahwa garis sempadan akan menjadi minim makna dan perspektif inilah 
yang kiranya sangat layak diprediski dan disongsong sejak sekarang agar tidak 
gagap dihadapan perkembangan.

Ketika berbincang-bincang dengan berbagai kalangan di Kalimantan Tengah, 
terutama dengan angkatan mudanya, soal ini pun sudah kusentuh. Juga ketika 
berjumpa dengan Teras Narang, gubernur Kalteng yang baru, yang khusus 
memanggilku sejak aku berada di Balikpapan. Teras Narang, menanggapi hangat apa 
yang kuketengahkan. Tinggal sekarang kami menagih apa yang sudah diucapkan agar 
kata jadi berarti dan tidak jadi belati.Kenyataan menunjukkan yang paling tidak 
setia kata adalah para politisi. Ingkar kata tak jauh jaraknya dari sikap 
mengingkari dan mengkhianatik diri sendiri. 

Dalam pembicaraan dengan para seniman dan cendekiawan muda Kalteng baik di 
Yogyakarta atau pun di Kalteng sendiri, mereka sangat antusias untuk menjadi 
partisipan aktif pertemuan penulis se Borneo-Kalimantan yang ke-IX di Brunei 
kelak dan mereka pun menyatakan kesanggupan serta bersiap-siap sejak sekarang 
menjadi penyelenggara pertemuan yang ke-X. Masalah ini pun sudah kami ajukan ke 
Gubernur Teras Narang.

***



Dalam perspektif ini maka Nusa Dua dan Café Bandar merupakan tempat 
meninggalkan tanda khusus pada diriku, di mana, di atas mejanya kutulis 
catatan-catatan berikut. Dari mejanya juga kubaca dan kulukis peta rancangan 
serta kuberikan tanda tempat-tempat utama disinggahi dan dicapai tak boleh 
luput.



JJ.KUSNI

Perjalanan, Agustus 2005. 




















[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now.
http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***

[ppiindia] SURAT SANDAKAN

2005-09-21 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
SURAT SANDAKAN 


Adikku sayang,

Yang sejak lama kuperhatikan bahwa sebelum sampai pasar, angkot-angkot 
dihentikan sejenak oleh para sopir di suatu tempat dan selalu di tempat sama. 
Dari jendela kendaraan Pak Sopir mengulurkan genggaman kepada seseorang yang 
berjaga di sebuah pos.Melirik genggaman sopir itu, nampak padaku beberapa 
lembar rupiah. Apa gerangan maksud rupiah yang diserahkan kepada penjaga pos 
itu? Pajak resmi ataukah bentuk pungutan liar alias pungli? Ketika kepada Pak 
Sopir kutanyakan, ia hanya diam saja dan tak pernah ada mereka yang mau 
menjawabku.Aku menduga keras bahwa ini memang adalah pungli yang dilakukan 
"penguasa liar"atau "penguasa bayangan" kawasan!.tanda bahwa Indonesia dikuasai 
oleh kekuasaan ganda: yang formal-legal dan yang riil illegal. Adanya kekuasaan 
ganda ini turut andil dalam menterpurukkan bangsa dan negeri. Dugaan ini 
didasarkan pada cara memberikan rupiah itu dan bentuk pos tersebut yang tak 
memperlihatkan tanda-tanda legalitas. Ditambah lagi oleh pengalamanku ketika 
mencari taksi saat turun dari bus DAMRI yang membawaku dari bandara 
Soekarno-Hatta ke pusat kota. Sebelum naik taksi yang membawaku ke alamat 
tujuan, Pak Sopir taksi memintaku membayar Rp.5000,- untuk yang disebutnya 
"petugas keamanan" parkir. Tentu saja aku merasa heran dan memandang mata Pak 
Sopir sambil bertanya setengah protes: 

"Belum-belum khoq harus membayar untuk hal yang tak ada sangkut-pautnya dengan 
urusanku sebagai penumpang". 

Pak Sopir memandangkulurus ke mata seperti memberikan isyarat. Isyarat yang 
segera kupahami. Tidakkah hal-hal begini merupakan salah satu bentuk kekerasan, 
ujud dari meratanya kekerasan dalam masyarakat, lukisan nyata dari keras 
garangnya kehidupan? Kekerasan dan kegarangan mengepung dan mencegat kita di 
setiap tapak. Kekerasan yang melembaga menggerogoti nurani kita dari detik ke 
detik sehingga diam-diam dipandang sebagai kewajaran, lalu orang-orang pun 
tidak enggan menohok teman dekat. Menyakiti hati orang pun dipandang sebagai 
wajar dalam masyarakat yang menterapkan "hukum rimba" dan "ketidakpedulian". 
Oleh karenanya sering Jakarta kurasakan sebagai "belantara" penuh binatang buas 
yang lapar mangsa. Ganas! Manusia negeri ini pun sering kudapatkan sangat 
ganas. Tidak jarang, orang-orang menjadi manusia tanpa nurani sehingga sanggup 
membunuh dan menyiksa sesamanya dengan mata dan hati dingin.Manusia terasa 
langka di Indonesia dan tidak gampang jadi manusia.Kata dan bahasa lebih 
berfungsi sebagai badik tajam. 


Seperti para penumpang lainnya, beberapa ratus meter dari pasar,aku pun turun, 
lalu berjalan kaki mencari bus tumpangan meneruskan perjalanan ke kota. 
  

Di Pasar Ciputat yang sangat macet, bahkan pejalan kaki pun mengalami kesulitan 
untuk melangkah secara tenang dan aman.Angkot,sepeda motor, pejalan kaki, 
pedagang-pedagang sayur yang menggeletakkan dagangannya di tanah, mobil, bus 
dan segala macam rebut jalan lewat di bawah langit bau segala macam. Segala dan 
semua minta tempat, berebut ruang di bawah dikte kekerasan serta keangkuhan 
sektarisme. Terhadap hal ini  Chairil Anwar pernah menulis bahwa:

"Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat" 

tapi bagaimana sikap kita terhadap masalah ini, terutama terhadap lapisan 
bawah, dasar piramida masyarakat yang merupakan mayoritas penduduk? Sudahkah 
kita "mencatet" dan memberikan mereka "tempat"? Ataukah tempat mereka itu 
digarong?

Di Pasar Ciputat, pada kekerasan, pada hilangnya nurani, di jalan-jalan kota 
aku menyaksikan dampak dari penggarongan tempat mereka ini dari kehidupan 
manusiawi.Cinta, l'amour,love yang hakiki menjadi olok-olok,kelereng mainan 
kanak, kehidupan pun menjadi padang gersang,savana di mana berkeliaran macan 
lapar.Aku mendapatkan lukisan keadaan ini pada sanjak Chairil Anwar , Nocturno, 
yang antara lain berkata:


"
Aku menyeru -- tapi tidak satu suara
membalas, hanya mati dibeku udara
Dalam hatiku terbujur keinginan, juga tidak bernyawa.
Mimpi yang penghabisan minta tenaga,
Patah kapak, sia-sia berdaya
Dalam cekikan hatiku

Terdampar ...Menginyuam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu" 


Ya, Dik, "mimpi yang penghabisan minta tenaga" dan banyak keinginan "juga tidak 
bernyawa" hari ini. Tapi di hadapan keadaan demikian Chairil Anwar juga 
berpesan:

"..pelarian akan terus tinggal terpencil"  

Semestinya kita tidak boleh melakukan pelarian. Tapi apakah aku masih punya 
"tenaga" untuk mewujudkan "mimpi yang penghabisan" ketika aku harus mencoba 
menarungi putusasa di depan krisis kesadaran sebagai Sysiphus dan keterasingan 
serta pembuangan? Aku menyadari benar adanya absurditas sedang menakaliku. Juga 
kurasakan ketika aku sedang berpegang di pegangan pintu bus menuju ke kota 
untuk mencari tempat duduk. Sendiri.Kesendirian yang kemudian kurasakan sebagai 
hakiki sebagaimana ditunjukkan oleh pantun berikut:

"ke pulau sama ke pulau
ke pulau menangguk udang
merantau sama merantau
kalau mati, mati seorang"


Su

[ppiindia] SURAT SANDAKAN

2005-09-20 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
SURAT SANDAKAN 





Setelah sejenak berdiri memandang gedung Eyang Agung, kulihat sebuah angkot 
warna putih menungguku  dengan sabar di ujung jalan. Penungguan ekonomis, 
cerminan orang bawah di Indonesia. Aku pun berlari-lari kecil menuju angkot 
tersebut karena tidak ingin menyusahkan orang lain dengan kepanasan menungguku 
apalagi kutahu bahwa para penumpang lainnya akan pasrah pada keputusan Pak 
Sopir -- ujud dari hubungan paternalistik tanpa hukum, kecuali hukum 
konvensional, yang masih sangat dominan di negeri ini.Aku membaca banyak soal 
dari hubungan penumpang dan sopir, dari keadaan transpor di Indonesia.


Dengan berjongkok, minta permisi pada para penumpang lainnya yang berasal dari 
pinggiran Jakarta aku mengambil tempat duduk.Panas mengigit langsung terasa. 
Tubuhku yang terkuras menumpahkan keringat membasahi T-shirt dan masuk menyusup 
ke mata. Gigitan terik ini berkurang oleh angin menyusup dari jendela ketika 
angkot dilarikan oleh Pak Sopir. Di tengah terik kota yang sebagaimana pun 
juga, tak pernah aku mengeluh, membuat sementara teman bertanya:


-"Apa kau tak merasa panas?".

+"Tentu saja panas. Tapi apakah keluhan akan memberikan penyelesaian. 
Satu-satunya cara adalah menghadapi keadaan ini sebagaimana adanya". 


Sikap ini pun kali ini kuambil ketika berada di angkot, bajai, becak atau bus 
tanpa AC.Hanya saja dalam diriku aku jadi malu sendiri, karena aku tahu benar 
aku tidak bisa mengambil sikap begini dalam menghadapi segala keadaan, terutama 
yang bersifat emosional.Keadaan emosional atau psikhologis terasa jauh lebih 
menggigit, menikam dan menekan. Daya tahan psikhologis ini justru sangat 
menentukan perkembangan dan keputusan seseorang. Sering menimbulkan keadaan tak 
terduga pada saat kestabilannya oleng.Kedewasaan barangkali ditakar antara lain 
dengan kemampuan menjaga kestabilan psikhologis dan emosional dalam keadaan 
yang paling gawat. Kukira sastrawan dalam tokoh-tokohnya barangkali patut 
mengeksplorasi dan mendalami sungguh masalah psikhologis ini sehingga 
tokoh-tokohnya menjadi hidup dan manusiawi.Memahami manusia, kukira, 
pertama-tama memahami masalah psikhologinya. Dengan pendekatan ini kita tidak 
akan gampang main pasang topi kepada seseorang, tapi justru  memberikan ruang 
lapang untuk seseorang melakukan kesalahan, kejatuhan yang mengeneskan dan 
sekaligus memberikan kemungkinan dan harapan bangkit. Terhadap masalah ini 
Boris Vian, sastrawan Perancis mengatakan:


"Le plus clair de mon temps, je le passe à l'obscurcir" [waktuku yang  paling 
bercahaya justru yang telah kulewati melalui kegelapan].


Tidak semua orang bisa melalui kegelapan dengan berhasil. Tidak semua orang 
berdaya bangkit dari kejatuhan dan kekalahan.Tidak semua pinisi bisa mencapai 
pantai, banyak yang remuk di laut. Tidak sedikit enggang jantan atau betina 
jatuh di penerbangan pada saat sayap-sayapnya patah dan luka.Karena itu dalam 
perang dan pertempuran faktor psikhologis ini sangat mendapat perhatian. 


Barangkali kehidupan merupakan salah satu bentuk perang juga yang terdiri dari 
serangkaian pertempuran. Kekalahan di satu pertempuran bukanlah sama dengan 
kekalahan perang. Tapi ada memang pertempuran yang menentukan. Kurasakan 
sekarang, aku sedang berada di pertempuran sangat desisif.Kata-kata: "daya 
tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" kembali deras mengiang di 
telingaku ketika meluncur dalam angkot yang melaju ke Pasar Ciputat yang macet. 
Berbarengan dengan kata-kata tersebut kembali kudengar suara lembut penuh 
harapan sekaligus kecemasan: "Kau bisa tetap bersikap gagah, bukan?!". O, 
kegagahan, kegagahan! Bisakah aku selalu gagah? Bisakah kita selalu gagah? 
Akukah kuda yang teruji perjalanan jauh? Pada saat ini terbayang wajah Kartjono 
alm. sahabatku yang sempat meringkuk dalam tahanan Orde Baru karena ia seorang 
pengikut Soekarno. Ketika bertemu di Paris, ia mengatakan: "Kalau kau mundur, 
Bung, kau akan memulai segalanya dari nol dan itu berarti kau kehilangan waktu 
dan segala makna yang selama ini kau bela". Kata-kata ini Kartjono ucapkan 
ketika aku berada dalam suatu kegalauan di luar dugaan. Kartjono menyelamatkan 
aku, dan aku kian paham arti sahabat.


Memandang kepada Pak Sopir dan kehidupannya yang keras, mendengar dialognya 
tentang keadaan politik serta ekonomi yang melingkungi hidupnya, dengan 
pnumpang duduk di kursi di sebelahnya, aku melihat jelas keras garangnya 
kehidupan dan Pak Sopir. Pak Sopir dipaksa bertarung. Dalam pertarungan merebut 
seribu dua ribu rupiah, tulangnya dikeraskan,darahnya dimerahkan, dan benar, 
pada dahinya kulihat parit-parit duka sekaligus parit-parit perlawanan. Hal 
yang sama kusaksikan di wajah dan di keadaan kebanyakan penumpang. "Kita adalah 
sama-sama penumpang kendaraan hidup", ujarku dalam hati sambil diam-diam 
memandang wajah para penumpang itu satu per satu. Bedanya dengan diriku, mereka 
kusaksikan memang gagah menarung duka dan kesulitan.Kesulitan dan kegarangan 
yang rutin membuat orang pun bia

[ppiindia] SURAT SANDAKAN

2005-09-18 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
SURAT SANDAKAN 




Setelah menempuh jalan memutar guna luput dari kemacetan lalulintas,akhirnya 
aku sampai juga ke kampung Sarua Indah, Ciputat. Deddy dan Guntur membantuku 
menurunkan koper-koper bawaan.Kami berdialog dalam diam dan dengan kediaman di 
antara bayangan dan kenangan masing-masing.Kutahu Deddy menyayangiku dan sangat 
memahamiku serta ingin mengungkapkan banyak soal,juga perasaannya. Antara kami 
berdua terdapat tautan khusus tak pernah saling kami ucapkan.


Bertahun-tahun tempat ini tidak kusinggahi lagi. Terlalu melelahkan dan 
menguras tenaga, perasaan serta waktu untuk ke mari.Rumah dengan halaman besar 
dikitari pagar yang kukenal dan mengenalku sudah banyak sekali berobah. Berobah 
seperti kampung Sarua Indah, seperti diriku dan apa-siapa saja! 


Sering aku berpikir tidakkah perobahan alias gerak ini memang suatu hakekat dan 
barangkali dia sendirilah yang langgeng? Di ujung gerak kulihat ajal menungguku 
setelah terbontang-banting oleh pergulatan memberi makna di ruang dan waktu 
tersedia.


Diam-diam kupandang rerumputan hijau halaman yang dulu saban pagi dan petang 
kuurus.Diam-diam kupegang pokok rambutan dan kelapa yang masih berdiri dan 
nampak tua.Kurenungi dedaunannya. Kurasakan kami saling tatapan dalam kediaman, 
menahan hasrat tukar cerita dan tanya.Pepohonan dan rerumputan hijau ini pernah 
memberiku kenyamanan dan ketenangan karena kecil dahulu aku memang diasuh oleh 
alam dan warna hijau. Hijau hutan, hijau sungai dan biru gunung.Memandang  
pokok rambutan dan kelapa halaman rumah ini, aku melihat mereka sebagai sisa 
dari masa lalu dan bahwa masa lalu, entah pahit atau manis rasanya senantiasa 
memunculkan diri ke hari ini, seperti sahabat lama senantiasa berkunjung ke 
nurani dan kehidupan kita. Maka akan omong-kosong dan pura-pura lupa saja jika 
kita mengatakan "tak perduli" pada masa silam walau pun benar pula bahwa kita 
takkan juga bisa mengembalikan air hujan ke langit. Bahkan sering masa silam 
itu menguntit, terutama menguntitku  bagai bayang. Di saban sapaannya saat 
datang tiba-tiba aku sering terperanjat memandang perkembangan yang 
kuhadapi.Demikian pulalah halaman rumah Sarua Indah dengan rerumputan dan 
pepohonannya yang kudatangi sekarang menyapaku. 


Melihat masa silam ini aku seperti masa kanak dahulu kembali merasa kesendirian 
mutlak di tengah alam raya bagaikan anak kijang liar di tengah padang.Jeritku 
ke langit memantulkan gaung sipongang bagai bumerang jatuh kembali ke 
hadapanku.Aku asyik bercakap dan bercanda dengan diri sendiri serta waktu 
sambil menghitung kehilangan, perolehan, kekalahan, kejatuhan dan berapa jauh 
tapak menggirangkan sudah kuayun.Dalam berhitung ini, kupastikan aku masih 
belum memahami hidup dan manusia, masih saja kanak yang patut belajar keras 
mengenalnya.Masih patut belajar berbahasa agar cermat berkata dan bisa 
menghormati kata.Aku ingin kata-kataku menjadi terjemahan tepat dari hidupku, 
menjadi peta jalan dan rencana sebagaimana, pada suatu periode fungsi kata di 
kalangan masyarakat Dayak Katingan, Kalimantan Tengah, sehingga kata menjadi 
mantra.Tapi dengan keinginan ini, aku sering dalam ditusuk oleh kata yang tidak 
lagi dihormati pengucapnya.Kata di hari ini sudah demikian merosot dan tidak 
diindahkan.Karena itulah barangkali kata "terimakasih" dan "maaf" sangat langka 
di Indonesia. Langkanya kata-kata ini menyangkal pemeo bahwa bangsa ini adalah 
bangsa peramah, lemah-lembut dan berkebudayaan tinggi. Melihat berbagai gejala 
aku mempertanyaakan: Tidakkah bangsa ini sedang terancam banditisme  baik yang 
terbuka atau terselebung.   Dari dihormati tidaknya kata,barangkali kita bisa 
mengusut pola pikir, mentalitas, keadaan sosial, politik, sosiologis serta 
psikhologi seseorang atau suatu bangsa.


Rumah di Sarua Indah sudah penuh dengan orang-orang yang datang khusus untuk 
menyambut kedatangan kami baik dari sanak-saudara maupun teman-teman termasuk 
teman dekat seperti Sini Cedercreutz dari Finlandia secara khusus menyisihkan 
waktunya menunggu kedatangan kami. Hanya saja aku tidak bisa berlama-lama di 
Sarua Indah karena sejak dari Paris seluruh acara sebulan sudah kurancangkan 
dengan menggunakan fasilitas internet.Internet memungkinkan kita mengatasi 
kendala waktu dan ruang dalam mengorganisasi kegiatan. Barangkali melihat 
sikapku, dalam hati mereka, orang-orang mengatakan aku terlalu dingin dan 
"Barat". Tapi apakah mereka tahu -- dan tentu tidak tahu apalagi gubris -- 
bahwa aku melomba waktu memacu matahari.Perasaan yang menggejolak kupendam 
dalam katupan bibir yang mengeras. Ini pun kusadari sebagai bagian dari tragedi 
dan kehidupan sampai sekarang kurasakan lebih merupakan suatu tragedi. Aku 
hanyalah seorang Sysiphus yang mendaki gunung dan sia-sia melaga tragedi.Aku 
pun hanyalah pinisi tanpa dermaga dan akan binasa di pelayaran tanpa limitnya.


Mengamati jarum jam yang terus bergerak, dengan mengendalikan perasaan aku 
minta diri meninggalkan rumah Sarua Indah mengawali program kerja y

[ppiindia] SURAT SANDAKAN

2005-09-18 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
SURAT SANDAKAN 

Adikku,




Koper kecil kabin kugeret dengan langkah gontai digandeng oleh sekian bayangan 
serta kesiapan disergap segala kemungkinan tak terduga menuju ke loket 
pemberian "visa on arrival", visa yang diberikan pada saat kedatangan oleh 
pihak imigrasi. Pada saat yang sama, di telingaku mengiang sebuah suara lembut 
yang sangat kukenal: "Kau tetap gagah dan sanggup tetap gagah bukan?", suara 
gaib dan ajaib yang memberikan kekuatan khusus tak bertara. Kukira siapa pun 
tanpa kecuali, memerlukan sumber kekuatan gaib ajaib begini.Pengalaman demi 
pengalaman melalui imigrasi tanahair pada saat aku melangkah menuju loket visa, 
kembali mendekatiku dan kusambut dengan senyum. Aku selalu mencoba menyenyumi 
duka yang menghampir bagai kawan lama walau pun aku tak bisa mengendalikan diri 
dan mengucurkan airmata di hadapannya.  Aku menganggap tangis demikian sebagai 
suatu hal alami dan kejujuran pada diri, bukan tanda menyerah.Tangis demikian 
merupakan tangis yang membebaskan.


Petugas imigrasi memeriksa lembar demi lembar pasporku kemudian menatap wajahku 
lurus seakan ragu apakah benar aku pemegang kitab kecil warna coklat 
bertuliskan "Komunitas Eropa", "European Community",   lalu mencapnya. Lembaran 
yang dicap itu kuamati. Aku hanya mendapatkan izin tinggal di Indonesia bulan 
dan berakhir pada 10 September 2005.


"Tidak bisakah aku mendapatkan visa lebih panjang dari sebulan?", tanyaku.  


"Tidak! Kalau Bapak mau memperpanjang waktu tinggal di Indonesia, Bapak harus 
keluar dulu", jawab petugas imigrasi itu. Mendengar jawaban ini, dan juga 
ketika kemestian mendapatkan visa, ironisme menikam hulu hatiku dengan ganas. 
Apalagi ketika petugas imigrasi menanyaiku "Bapak kelahiran Kalimantan?". Rasa 
sakit menjalar ke seluruh tubuh, mulai dari dalam hati. Apakah ironisme itu? Ia 
adalah keadaan menjadi asing di negeri sendiri, dan asing di negeri orang 
sekalipun secara legalitas, aku adalah warga negeri tersebut.Tapi antara 
legalitas dan kenyataan tidak pula aneh jika terdapat jarak. Legalitas 
bertautan dengan nilai dan mimpi, sedangkan kenyataan bersentuhan dengan 
sejarah serta budaya.Karena itu dalam masalah budaya lokal aku menggarisbawahi 
arti penting revitalisasi. Pelestarian dilakukan untuk kepentingan 
revitalisasi. Jawaban petugas dan pertanyaan petugas imigrasi itu pun kembali 
menguak luka sejarah yang kuidap. Mata luka ini menjadi terbuka lebih besar dan 
meneteskan darah kembali ketika ada pihak yang mengatakan bahwa termasuk aku 
harus dimaafkan. Apakah gerangan salahku dengan memimpikan Indonesia yang 
manusiawi? Ataukah yang ideal adalah Indonesia yang anti kemanusiaan dan tak 
berkeadilan? Berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hari-hari begini, aku makin 
memastikan betapa kita patut berlaga di tiap tapak diayun. Keadilan dan 
kemanusiaan bukanlah sebuah durian runtuh. Dan pengalaman selama ini 
menunjukkan bahwa manusia tidak gampang-gampang juga untuk 
dikalahkan.Perkembangan yang kita temui sekarang justru buah laga manusia, 
karena manusia tidak gampang dikalahkan. Kembali suara lembut mesra ajaib dan 
gaib mengiang ke telingaku: "Kau bisa tetap gagah, bukan?". Gagah artinya kita 
harus menghalau takut. "N'ayez pas peur!", "Jangan takut!", Paus Yohannes II 
alm. Apakah ketakutan ini sudah lenyap dari jiwa kita, dari jiwa anak-anak 
bangsa dan negeri ini? Ketakutan yang ditemani oleh dendam ini sangat 
berkembang subur pada masa Orde Baru sebagai konsekwensi dari pendekatan 
"keamanan dan stabilitas nasional" yang diterapkan demi melaksanakan "agama 
pembangunan". Malangnya, justru agama pembangunan,  kesaktian-pemutlakan azas 
tunggal  Pancasila dan NKRI sentralistik inilah yang telah menjelmakan 
hutan-hutan tak tertembus matahari di Kalimantan menjadi padang pasir seperti 
daerah Hampalit di Kalteng misalnya, membuat sungai-sungai penuh dengan 
airraksa. 


Ketika aku keluar dengan gerobak bandara berisi koperku, Deddy -- anak lanangku 
yang pernah bersekolah di Paris dan sangat paham akan keadaanku, dengan senyum 
maklum bertanya: "Ada apa lagi yang membuatmu lambat keluar?". 


"Tidak ada hal istimewa. Petugas pember visa hanya salah memberiku formulir dan 
aku harus mengisi ulang semuanya dari awal. Agaknya petugas rancu. Kerancuan 
sering mengacau dan mengganggu kita". Deddy suka mengenang kembali 
pengalamannya hidup bersamaku di Paris. Paris telah membentuknya sehingga 
sering ia merasa asing di Indonesia. Ia ikut aku di Paris begitu ia lulus SMA. 


Yang menjemputku bersama Deddy adalah M.G. Romli, biasa kupanggil dengan 
Guntur, mahasiswa filsafat Universitas Al Azhar, Kairo. Guntur memandangku 
sebagai ayahnya. Bahkan jika menurut istilahnya "lebih dari ayah". Guntur 
adalah seorang dari etnik Madura sedangkan aku asal etnik Dayak. Aku melihat 
keakraban hubungan kami merupakan jawaban nyata baru lagi atas masalah konflik 
antara kedua etnik itu yang pernah menyiram Kalteng dengan darah. Sampai 
sekarang aku memandang konflik berdarah tersebut, tidak l

[ppiindia] SURAT SANDAKAN

2005-09-17 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
SURAT SANDAKAN 

Ira Adikku,



Dari layar televisi pesawat, kuketahui aku sedang berada di langit negeri mana 
sehingga bisa memperkirakan masih berapa  jauh  Indonesia yang kutuju. Kau yang 
kucari. Mengetahui di mana dan bagaimana keadaan kita, kukira merupakan suatu 
pertanyaan penting dalam suatu perjalanan, entah itu perjalanan nyata ataupun 
suatu analogi atau metafora. Dengan pertanyaan-pertanyaan  ini kita bisa 
menetapkan kita mau ke mana dan bagaimana menuju ke mana itu? Serta-merta suatu 
bandingan muncul di kepalaku ..  Aku jadi membandingkan  pesawat Singapore 
Airline yang kutumpangi dengan diriku yang  "klayaban". Pesawat ini jelas 
arahnya, di mana dan kapan ia akan mendarat,  kapan pula ia akan pergi serta 
menuju ke mana.  Sedangkan aku? Aku yang juga sedang dalam perjalanan bahkan 
suatu kembara, terasa dan jelas benar bahwa perjalanan dan kembaraku tidak 
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lebih-lebih secara pengembaraan 
pencarian batiniah dan pemikiran. Perjalanan dan pencarianku adalah perjalanan 
serta kembara yang tak punya sudah dan tak punya sampai. Kalau "sudah" dan 
"sampai" itu ada, maka titik demikian adalah titik yang bernama ajal  yaitu 
malam dari kehidupanku. Matahari hidupku yang jatuh di hulu. 
Pertanyaan-pertanyaan selalu menggelisahkan dan membuatku seperti pinisi yang  
terus melaut lalu secara pasti  pinisi itu, aku akan remuk dan tenggelam di 
laut. Aku memang bukan Boeing Singapore Airline sekalipun sama-sama sering 
mengalami goncangan demi goncangan hebat saat mengarungi angkasa berawan. 
Apalagi yang sampai sekarang kuharungi dan menggoncangkan dengan dahsyat tidak 
lain dari barisan awan kehidupan garang tak punya kasihan serta tak punya 
peduli. Tai aku  makin sama tak pedulinya. Romantisme? Idealismekah ini? 
Dukaisme seorang masocis atau narsisiskah ini? Entahlah, tapi aku memburu yang 
kuburu selalu yaitu makna alias arti. Arti inilah barangkali pelampung karet 
yang melekat di tubuhku. Dalam goncangan demi goncangan begini, aku rasakan 
diriku sebagai sasaran tembak kehidupan garang dari waktu ke waktu.  Sejarah 
pun turut menembakku. Pada keadaan psikhologis begini, di tengah perjalanan 
tanpa usai begini maka aku dapatkan diriku pada kata-kata Chairil Anwar:


"tembus jelajah dunia ini dan balikkan
...
pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
jangan tambatkan pada siangdan malam
.
hilang sonder pusaka, sonder kerabat
tidak minta ampun atas segala dosa,
tidak memberi pamit pada siapa saja"

hingga pada saat demikian tiba:

"ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa sepi" 


Merenungi keadaanku senyatanya yang demikian,melihat muka dan tubuh jiwaku di 
kaca waktu dan kaca pesawat, penuh luka, aku tertawa sendiri, menertawai diri 
dalam pesawat yang sedang melaju ke timur.


Aku mendapatkan diriku seperti yang dilukiskan oleh  Chairil Anwar dalam 
sanjaknya "Lagu Siul" [I]:


"laron pada mati
terbakar di sumbu lampu
aku juga menemu
ajal dicerlang caya matamu
heran! ini badan yang selama berjaga
habis hangus di api matamu"


Aku sungguh-sungguh merasa diri "dikutuk-sumpahi eros" yang "merangkaki dinding 
buta" "mengembara serupa ahasveros".


Pernahkah kekuasaan politik negeri ini perduli pada "Ahasveros" yang 
"dikutuk-sumpahi eros"?.


"Aku menyeru -- tiada satu suara
mmbalas, hanya mati beku di udara
Dalam hatiku terbujur keinginan, juga tidak bernyawa".


Kekuasaan politik dan banyak orang juga diam seperti "tidak bernyawa". Apakah 
negeri, bangsa dan anak bangsa ini memang "tidak bernyawa" lagi? Aku terus 
mencari manusia, aku mencarimu karena menganggap kau seorang manusia, karena 
yakin nuranimu masih nurani manusia yang manusiawi.Ketika di tengah kegalauan 
dahsyat kau katakan "aku tak hirau" , "I don't care", kupahami kata-kata ini 
menunjukkan bahwa kau masih sangat manusiawi yang kenal gundah, bingung, takut 
dan resah, ujud dari palsunya kesaktian dan kemutlakan, sementara nurani masih 
saja bertahan dalam ujud air mata.Tapi politik sering tanpa nurani, sangat 
menghitung macam-macam kepentingan. Jika mengambil jalan pintas barangkali 
kuanjurkan orang "bunuh diri" atau jadi "penjahat-penjahat besar".
  

Relatif tepat pada waktunya, pesawat Singapore Airline- ku mendarat di bandara 
Soekarno-Hatta yang sangat kukenal. "Tuan-tuan dan puan-puan, sebentar lagi 
kita akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta", suara pramugari yang lelah tapi 
tetap senyum -- senyum kemestian melaga --  menggema dalam ruangan di antara 
kursi-kursi penumpang sampai ke hatiku menggugah kenangan ketika negeri ini 
dahulu kutinggalkan dan setelah puluhan tahun kembali kukunjungi. Kutemui 
sebagai orang asing, diasingkan oleh kesalahpahaman sejarah."Tanahair", bisikku 
pada alam yang hijau di luar ketika roda pesawat menyentuh landasan, "kita 
kembali berjumpa. Aku tidak berobah dengan cintaku! Apakah kau berobah? Jika 
kau benar beroba

[ppiindia] SURAT SANDAKAN

2005-09-15 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI

- Original Message - 
From: Budhisatwati KUSNI 
To: KEMSAS 
Sent: Friday, September 16, 2005 5:54 AM
Subject: SURAT SANDAKAN


SURAT SANDAKAN 

Ira adikku,


Ketika pesawat Singapore Airline tinggal landas, Paris, kota yang membukakan 
pintu hatinya selama puluhan tahun untukku, nampak di bawah. Rumah-rumah, 
bangunan-bangunan, sungai Seine yang membelah kota, juga Montmartre, kampung 
seniman, di mana aku tinggal hampir sejak berada di ibukota Perancis, makin 
lama makin mengecil. Samar dan hilang, kecuali terhampar di kenangan dan 
bayangan. Hidup pun demikian, proses pun demikian. Lahir, tumbuh dan mati, 
merupakan proses singkat yang mengisi waktu tak terelakkan. Tinggal masalahnya 
bagaimana kita dalam waktu yang singkat tersedia itu memberinya makna maksimal, 
bagaimana kita mengalahkan suka dan  duka di sepanjang tanjung rantau 
perjalanan. Penyair Chairil Anwar mnjawabnya dengan "sekali berarti sudah itu 
mati" sedangkan  aku, Dik, ingin suatu hidup tanpa mati sekali pun aku sadar 
jasadku akan sirna. Aku yakin kita bisa membuat hidup tanpa mati. Cinta tanpa 
mati.


Memandang Paris yang kian mengabur dari udara,  bersama lajunya pesawat ke 
timur, sejenak terbayang ulang kisah kedatanganku kemari dan pengalaman  
jatuh-bangun di kota ini sebagai seorang eksil politik yang datang dan menarung 
hidup hanya bermodalkan dua kaki dan tangan. Pertarungan inilah yang membuat 
tulangku mengeras dan darahku kian memerah oleh kucuran luka dan dukanya tapi 
masih kuragukan seberapa lama aku bisa tetap gagah sebagaimana yang ditanyakan 
oleh seorang teman dekatku: "Kau bisa tetap gagah, bukan?!". Di hadapan 
pertanyaan ini, aku teringat akan pepatah Tiongkok Kuno bahwa "daya tahan 
seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" -- ungkapan yang mempertanyakan 
sekaligus ketahanan dan kadar cintaku serta diriku secara utuh.  Aku sadar 
benar, perbedaan antara kesementaraan dan ketahanan, bukan kelanggengan mutlak! 
-- seperti halnya aku pun sadar lebih gampang menjadi lemah daripada menjadi 
tetap gagah, lebih gampang menyerah dari pada melanjutkan laga hingga akhir. 
Kesadaran begini mengingatkan aku akan nasehat sastrawan Perancis, Victor Hugo 
agar kita tidak menertawakan orang yang kalah dan seorang yang sedang menangis. 
Hidup bukanlah sesuatu yang ramahtamah tapi sangat garang. Karena itu hidup 
lebih sulit daripada mati. Paris dan sejarahnya menyediakan berlumbung-lumbung 
contoh jika kita mau belajar sejarah.  Belajar sejarah kukira hakekatnya 
memelihara ingatan, karena manusia sangat gampang dan suka pada lupa sehingga 
membuat kita suka pada kemunafikan dan tidak menghargai kata, getol pada 
isntanisasi dan jalan pintas yang merendahkan prinsip serta nilai.


Makin meninggi pesawatku, aku berada dalam kepungan awan kelabu yang nampak di 
luar jendela bagaikan ribuan kuda putih berderap berpacu melomba pesawatku ke 
timur."Go to east,  men!"! demikianlah suara yang menggema di telingaku di 
tengah derap ribuan kuda-kuda putih itu. Karena di kampunghalamanku di  
timurlah kurasakan aku mempunyai hutang moral besar belum tunai. Awan-awan 
putih kelabu itu juga nampak padaku bagaikan lembaran-lembaran buku kenangan 
kembara lima benuaku. Entah berapa kali sudah bolak-balik lautan awan ini 
kulalui di segala penjuru benua dan aku masih saja tetap sebagai "kalayaban". 
Tiba-tiba kurasakan benar diriku ketika membaca halaman-halaman kitab kenangan 
berwarna putih kelabu ini, tak lain dari seekor enggang hilang rimba, bagai 
pinisi tanpa dermaga. Aku merasa benar sebagai   anak manusia yang jadi korban 
sejarah dan putusan poilitik. Sayangnya, kesadaran dan sadar politik ini pun di 
Indonesia masih tidak dipandang penting, lebih-lebih di kalangan 
sastrawan-seniman angkatan baru. Orang lebih menyanjung yang disebut "sastra 
murni", tanpa kejelasan apa yang dimaksudkan dengan "sastra murni" itu secara 
sejarah dan konsepsional. Kesadaran politik di Indonesia barangkali masih 
berada di titik nol atau tingkat awal. Sadar politik tidak berarti sama dengan 
partisan tapi lebih berupa taraf seorang anak manusia yang ingin hidup 
manusiawi. Aku sendiri, dalam hal ini, lebih cenderung pada posisi "free 
thinker" daripada menjadi partisan.  Mungkinkah menjadi "free thinker" tanpa 
sadar politik. 


Berada di tengah-tengah kesunyian angkasa yang hanya diusik oleh gemuruh mesin 
pesawat melau ke timur,   aku sangat merasa diri   hanya sebagai sebutir debu 
dan noktah minim arti, makin merasakan betapa mendesaknya memburu dan memberi 
arti di ruang waktu yang singkat. Benar yang dikatakan penyair Tiongkok bahwa 
kita perlu:

"rebut waktu pagi-senja
seribu tahun terlalu lama"


 
Dalam usaha "merebut waktu pagi-senja" ini  maka aku membuka tas tangan 
mengeluarkan buku-buku yang ke mana saja selalu menyertaiku. Buku adalah 
kekasihku.  Buku memberiku acuan, membukakan pintu demi pintu dalam pencaria

[ppiindia] Susunan Acara Peluncuran Buku JJ.Kusni dan Peresmian Komunitas Matabambu 13 Agustus di PDS TIM JakartaBaoipenyebaran undangan

2005-08-08 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Susunan Acara Peluncuran Buku JJ KUSNI
Oleh komunitas matabambu
Pukul 14.30 s/d 15.00 WIB (Efektif: 2 jam)
Penanggung jawab: Imam Maarif dan Faiz Manshur
Tempat: PDS TIM Jakarta.

1.  Pembukaan oleh MC - Silvi - membacakan susunan
acara (2')
2.  Sambutan Ketua Panitia - Arie MP Tamba (3') 
3.  Sambutan Sekretaris komunitas matabambu - Manaek
Sinaga (10')
4.  Peluncuran buku JJ Kusni (10')
a.  Sambutan Penerbit Ombak
b.  Penyerahan buku dari Penerbit Ombak ke Penulis
c.  Penyerahan buku dari Penerbit Ombak ke komunitas
matabambu
d.  Penyerahan buku dari Penerbit Ombak ke PDS HB
Jassin
5.  Sambutan dan pembacaan puisi oleh JJ Kusni (10')
6.  Orasi 'sastra dan kekuasaan' oleh Pramudya Ananta
Toer (10')
7.  Diskusi buku dipandu oleh Henny PS dengan pembicara
Sides Sudyarto dan F Rahardi ( 60')
8.  Pemutaran film JJ Kusni karya Dhani Agustin (15')

   


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hoiom8g/M=320369.6903865.7846595.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123510705/A=2896110/R=0/SIG=1107idj9u/*http://www.thanksandgiving.com
">Help save the life of a child. Support St. Jude Children¿s Research 
Hospital.
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Matabambu Press Release: Sastra & Kekuasaan

2005-08-03 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
- Original Message - 
From: [EMAIL PROTECTED] 


PRESS RELEASE:

SASTRA DAN KEKUASAAN


Jakarta, 3 Agustus 2005.

Reformasi membuka pilihan terhadap bermacam-macam kebebasan. 
Setelah dikungkung oleh kekuatan militer selama 32 tahun pintu kebebasan 
berekspresi dan berbicara terbuka lebar. Masyarakat perbukuan nasional termasuk 
sastra dan seni budaya menjadi lebih dinamis sejak tahun 1998, ketika era 
demokrasi, penghormatan HAM, dan keadilan sosial menandai lembaran baru sejarah 
kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia dengan aparat negaranya yang masih 
korup. Salah seorang rekan perjalanan budaya reformasi ini adalah JJ. Kusni, 
budayawan Indonesia yang kini bermukim di Perancis. 

JJ. Kusni adalah satu dari pengarang Indonesia yang tinggal dan berkarya di 
luar negeri seperti Sobron Aidit dan Sitor Situmorang, sastrawan Angkatan'45 
yang hampir separuh perjalanan kreatifnya dihabiskan di negeri Perancis. Lahir 
di Kasongan, di pinggiran sungai Katingan, Kalimantan Tengah, 25 September 
1940, sejak tragedi nasional September 1965 ia sudah melanglang buana ke negeri 
orang. Karier kepenulisannya sudah dimulai jauh hari sebelum masa Manifes 
Kebudayaan yang berlanjut dengan kegiatannya sebagai anggota Lekra. Pada akhir 
tahun 1965 ia diundang Himpunan Pengarang Tiongkok sebagai anggota Lekra untuk 
mengunjungi negeri tirai bambu itu.

Pada tanggal 13 Agustus 2005, pukul 14.30, ia akan meluncurkan antologi puisi 
bertajuk "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan" di PDS (Pusat 
Dokumentasi Sastra) HB. Jassin, TIM, Jakarta. Buku yang diterbitkan Penerbit 
Ombak Yogyakarta ini menghimpun 33 puisinya yang semula pernah diterbitkan 
Stichting di Belanda tahun 1990. 

Akan hadir pula dalam acara ini, sastrawan Pramoedya Ananta Toer dengan orasi 
budaya bertema "Sastra dan Kekuasaan", didampingi penyair Sides Sudyarto DS dan 
F.Rahardi selaku pembahas puisi JJ. Kusni. 

Partisipasi Pramoedya Ananta Toer dalam acara ini, juga JJ. Kusni lewat 
penerbitan kembali bukunya menandai kembalinya mereka setelah hutang sejarah 
bangsa ini yang mengalpakan masalah dikucilkannya mereka dalam lembaran karya 
sastra dan seni Indonesia.   
   
Acara yang terselenggara oleh Komunitas Matabambu ini sekaligus sebagai 
momentum peringatan bangsa Indonesia sampai saat ini yang masih diliputi 
masalah besar bernama kekerasan dengan terkekangnya kebebasan kreatif dari 
sikap represif dan diskriminatif pemerintahan di masa Orba yang ironisnya masih 
dilupakan oleh pemerintah zaman kini. (dna) 

   ***  

Untuk informasi lebih lanjut hubungi penyelenggara acara: 
Komunitas Matabambu (KMB) 
Sekretariat: Gedung Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin, 
Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya No.73, Jakarta Pusat, 
Indonesia. Telp: (021) 31936641, E-mail: [EMAIL PROTECTED], 
[EMAIL PROTECTED] 

0o0- 



[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
http://us.ard.yahoo.com/SIG=12htq53jh/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123072231/A=2896125/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail";>Take
 a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who 
cares about public education!
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] WARSIYAH

2005-08-01 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
WARSIYAH


terbilang seorang perempuan bernama warsiyah
dari banyumas jawa tengah
memburuh di tanah rantau menolak kalah
-- garang hidup kian ganas di indonesia terpuruk


memilih hidup perempuan-perempuan tak menyerah 
mari kita berkaca siapa sebenarnya yang perkasa dan gagah
serta mati-matian membela harkat?! 
mari kita berkaca apakah kita memang manusia


sering kusaksikan
dasi 
jas 
wangi parfum 
tak lebih dari bau comberan elitisme
selubung laksaan kemunafikan dan khianat
tajam, tajamkan mata serta telinga
memandang mendengar hakekat


terbilang seorang perempuan bernama wasiyah
dari banyumas memburuh di tanah rantau
memilih hidup menolak kalah 
sang majikan malaysia menyiksa memperkosanya
indonesia diam 
republik pun diam
yang papa di mata penjabat tak punya martabat di sini
tanahair tinggal nama  masih saja dicintai
republik mencampakkan warganya
jabatan jadi pasar jual-beli
peluang menjelajah penjuru 
berbelanja ke seantero bumi


warsiyah
republik yang merosot
indonesia yang terpuruk 
panggilan bertalu
seruan membela martabat
warsiyah 
adalah diri kita yang dinista
dicuekkan 


Paris, Agustus 2005.
---
JJ.KUSNI









[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hqgcqff/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1122904624/A=2896129/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail";>DonorsChoose.
 A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in 
public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] KATA PENGHABISAN TELAH KAU UCAP

2005-07-28 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
KATA PENGHABISAN TELAH KAU UCAP

[Kepada DR.Sophian Waluyo]



kita memang tak punya pretensi bisa luput dari jaring jala maut
seperti kesia-siaan menjerat matahari, jatuhnya senja di hulu barat
hasrat hanya bisa melomba mencoba berpacu sempat
mencatat cinta yang menolak batas merebut inci demi inci bagi geliat


kau pun tidak
aku pun tidak
siapa pun tidak 
sejak yogya kau selalu ulang ingatkan di tepukan bahuku masih remaja


masih kusimpan dan kupajang kartu mawar merah 
kartu-kartu busur kembaramu menyusur penjuru
kita bisa mati, bisa kalah, jatuh, cinta patut tetap terjaga 
dialah yang kan terus seperti phoenix bangkit lagi dari abu


hari ini kau telah tiada, sophian
kata penghabisan telah kau ucapkan 
segalanya sesuai janji
aku masih saja ke barat timur seperti dahulu 


sejenak dari rantau kembara 
sejenak aku di kejauhan 
langkah kuhentikan tundukkan kepala
mengeja ulang namamu 


kita adalah pencinta menolak menyerah
di kubangan duka sejarah bersimbah darah
kita bukan munafik dan pengkhianat 
indonesia tahu, bumi pun tahu yang hakekat


Paris, Juli 2005.
-
JJ.KUSNI

[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] SENANDUNG ABANG UNTUK ADIKNYA [3]

2005-07-28 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
SENANDUNG ABANG UNTUK ADIKNYA

[Kepada Sitti Azizah]





3. LEWO LEBA


jagung panggang jagung rebus
berlauk kerang pulau siput
di sini untukmu terhidang, adikku
lewo leba menyambutmu
mengelu si manis dari seberang


jagung rebus
ikan panggang
untukmu terhidang, adikku
di halaman kenang
tak terhapus waktu 
wanginya tinggal di ruang kalbu 


adakah negeri
adakah suku
adakah bangsa 
di hati penduduk lewo leba?
hari itu kau tiba di lewo leba
manusia jadi tuan
langit dan bumi 
air dan gunung harmoni
bagai nyanyi kecapi 


lewo leba, adik
lewo anak bumi
kasih rentangan pelangi
seluas galaksi
di lewo leba semerbak cinta mengisi penjuru


angin pun wangi di lewo leba
mewangi hutan alun gelombang 
wangi riap rimbun daun 
malam dan siang di lewo leba 
lewo leba, adik 
lewo leba itulah kepolosan orang-orang sederhana
hari ini dilecehkan


hari itu di lewo leba
munafik telanjang
di pasir kencana
dulu kau tiba
manis, manis 
munafik terpuruk di dasar jurang


di lewo leba 
kau tahu, adik
wanginya kasih
hati penduduk
hari ini dalam ditohok


Paris,Juli 2005.
---
JJ.KUSNI 






[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] SENANDUNG ABANG UNTUK ADIKNYA [2]

2005-07-28 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
SENANDUNG ABANG UNTUK ADIKNYA

[Kepada Sitti Azizah]


 
2. ADAT ORANG KAMPUNG


lewat remaja putri 
putri kampung hari itu
fajar bangkit dari timur 
dari larantuka ke maumere 
kau berjalan 
hitam rambutmu tergerai mayang terurai 
gelang  gading sampai ke siku
daun kelapa padang ilalang mengenal langkahmu
kembang tanjung wangi rambutmu -- wanginya, wanginya 
penduduk kampung mengenalnya 
terpana para dewata


berjalan remaja putri 
putri kampung hari itu
fajar bangkit dari timur
penjaga padang 
penjaga laut dan gunung
menurunkan angin menjagamu 
ke maumere 
mencapai penjuru


dari larantuka ke maumere
gadis dan perempuan berjalan sendiri
pagi petang 
malam dan siang
angin begitu
santun dan galan 
berjaga mengawal mereka
diadatkan sudah 
turun-temurun  


semalam dahulu 
pembangunan tiba 
penduduk dibungkam
di angin bertabur racun ipuh petaka
ajal menyergap di saban tikungan
dari larantuka hingga maumere


larantuka
maumeremu adik, adikku
bukan lagi yang dahulu
bukan lagi yang dahulu
kekerasan dan duka diadatkan
lapar menggelinding di atap-atap
menggantung di pohon-pohon siang dan malam
kosong lumbung kampung
maut berjaga di kepala tangga
penduduk memburu esok 
mencari lusa


Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI



[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] DARI ELI API, ELI BOLING KE DANAU KELIMUTU

2005-07-27 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
DARI ELI API, ELI BOLING KE DANAU KELIMUTU

[Kepada Sitti Azizah]



1.

biru laut 
gunung biru 
warna-warni kelimutu
danau tersanjung
masih saja, adik
masih saja bagai dahulu
mereka menunggu 
mengenangmu
menyambut siapa yang tiba


kelak datang
laut menggelombang  
daun kelapa bergoyang
tanda kau dikenal mereka
lapar dan duka mengokohkan ingatan 
mempertajam pemahaman
dahulu ke sini kau pernah tiba
lapar dan duka 
menyaring sahabat 
menapis setia
mengasah ingatan


2.

dari eli api 
eli boling 
eli mandiri
tiba kita ke kelimutu 
danau warna-warni 
adik, adikku wahai adikku  
jalan masih saja berliku seperti dahulu
masih  mendaki dan menurun 
daun-daun tetap rimbun 
tapi indonesia memang jalan sedang menurun 
indonesia negeri selaksa bencana sejuta ancaman
penduduk di luar hitungan republik
tiga juta nyawa dimasakre sama dengan nol
apalagi ratusan busung lapar nusatenggara
penguasa membiarkan  dungu  menerpa penduduk
jakarta melanggengkan bangga kembara dan dukaku


dari eli api
eli boling
eli mandiri
hingga kelimutu
jalan mendaki dan menurun
indonesia jalan licin dan menurun 
jurang menganga di ujungnya


3.

indonesia adalah kengerian
adalah kemerosotan 
manusia sedang ditantang 
mati hidupnya
penyair terpinggir 
tak terbilang
ditagih jawabnya


eli biru 
laut biru
kelimutu warna-warni
jauh dari esok
tangan menggapai  
tangan-tangan menunggu harapan
indonesia tangan terkapai
tangan yang karam 
terkapai-kapai


Paris, Juli 2005.

JJ. KUSNI



[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] IN MEMORIAM DR.SOPHIAN WALUYO

2005-07-26 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
IN MEMORIAM SPOHIAN WALUYO



di namamu tercatat arti martabat harga diri
keindonesiaan dan kembara cinta serta mimpi
pada jejakmu tertera tanda gimana patut bertarung
gimana ajal ditampik dan melecehkan tirani


di namamu jelas kubaca 
tak ada yang patut diaib-malukan
menjadi manusia dan indonesia
keduanya patut dibela dan dimenangkan


di namamu tercantum harga kemerdekaan
hari ini mahatari buram di tanah kelahiran
dan kita masih saja tak bergeming memilihnya
ketika kita menolak kecupetan hanya merendahkan diri


ajal akhirnya memang  pengucap kata penghabisan
tapi mimpi akan terus seperti angin tak pernah ditundukkan
bermain di pucuk daun, di gunung dan laut 
menyongsong angkatan demi angkatan hadir tak surut-surut


sunyi? barangkali sunyi hatimu sebagai anak kembara
tak sunyi derap  langkahmu di lima benua
jas demi jas, paspor demi paspor bercap sekian negara
di lembaran-lembarannya kubaca keperkasaan pemimpi yogya


hari ini kau  meninggal di rantau dalam sunyi 
sekian kembara dilupakan tak masuk hitungan negeri 
tanda kegalauan dan  kelam tirani masih saja melanda  
sampai malam pemimpi masih saja tak bergeming: kau di antaranya!


Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI

[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [4-- SELESAI]

2005-07-23 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB].

[2] BEBERAPA GARISBAWAH:  


5. MENGEMBANGKAN SISTEM JARINGAN:
Melalui kerangka pikiran yang mendasari kelahiran KMB yang disiarkan oleh Manik 
Praba, nampak bahwa KMB memperhatikan masalah pengembangan sastra-seni dengan 
sistem jaringan kemitraan baik lokal, nasional, rejional dan internasional.  
Sistem ini jika diterapkan dengan baik, saya kira akan mampu mengerahkan semua 
potensi yang terdapat di negeri kita dan unsur-unsur solidaritas manusiawi dari 
luar. Langsung tidak langsung dengan sistem ini kita melepaskan diri dari 
jaring jalan kesempitan dan kepongahan sektarisme, serta menempatkan standar 
tinggi dalam pekerjaan berkesenian. Sistem jaringan juga berarti menggalang 
kerjasama saling bantu dan mendorong maju seluruh jaringan yang bekerjasama. 
Sistem ini pun akan berdampak pada usaha penghancuran monopoli nilai dan 
sentralisme yang kiranya bukan padanan atau tidak compatiblee dengan bhinneka 
tunggal ika. Saya kira, kalau pemahaman saya benar, titik-titik inilah yang 
tersirat dalam kata-kata Manik Praba ketika menjelaskan kelahiran KMB:



"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antar pekerja seni 
dan pemerhati kebudayaan umumnya; 
-Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat 
Indonesia". 



Barangkali perumusan dasar pemikiran demikian merupakan hasil kesimpulan KMB 
atas pengalaman berkomunitas selama ini.Perumusan demikian sekaligus 
menggambarkan suatu program sadar KMB di hari ini, esok dan esoknya 
lagi...seperti halnya Pernyataan Gelanggang atau Mukaddimah Lekra tidak lain 
adalah suatu program budaya juga yang dirumuskan secara teoritis. Karena itu 
barangkali jika prinsip-prinsip umum yang mendasari kegiatan KMB seyogyanya 
dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang matang rapi.  



6. Menjaga Mutu: 

Hal lain yang ingin saya garisbawahi adalah bagaimana dalam 
kegiatan-kegiatannya, KMB bisa selalu menjaga mutu baik mutu diskusi, mutu 
pembicara, mutu topik bahasan, mutu organisasi. Mutu, saya kira, akan 
berhubungan dengan wibawa, martabat dan pengaruh serta akan bergaung jauh. 
Ecek-ecek memang satu mutu juga tapi hasilnya pun akan ecek-ecek juga. Dilihat 
dari komposisi pengurus KMB, pengalaman dan daya kreativitas, kemampuan kerja 
mereka, saya kira saya tidak akan terlalu salah mengungkapkan kepercayaan.



7. Soal Dana:

Dalam berkesenian sering dan sangat sering kita berhadapan dengan kesulitan 
dana. Dalam soal ini, atas dasar pengalaman pribadi yang sangat sedikit dan 
sederhana, saya tetap bertolak tidak dari dana melimpah. Dana melimpah kalau 
tidak dikelola dengan baik akan sirna dalam sekejap mata. Mengelola adalah 
menyangkut masalah kemampuan dan mutu manusia. Manusia bermutu, berwawasan dan 
bertanggungjawab inilah yang menjadi huruftebal saya dalam soal ini. Apabila 
sekarang kita tidak punya dana, tapi punya barisan manusia demikian, kiranya 
dana bisa dicari oleh manusia bermutu, berwawasan dan bertanggungjawab itu. 
Barangkali pengalaman saya keliru dan atau saya keliru menyimpulkannya.



Dengan tulisan ini saya sekaligus menyambut kelahiran KMB yang sejak tangis 
pertamanya sudah mengemban beban besar negeri dan bangsa serta kemanusiaan yang 
menagih jawab.Hormat!***

Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI

[SELESAI]




[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [3]

2005-07-23 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB].



[2] BEBERAPA GARISBAWAH:  

4. PRINSIP KETERBUKAAN DAN KEMAJEMUKAN:

Yang saya maksudkan dengan keterbukaan adalah pertama-tama tidak menjadikan 
pandangan agama atau ideologi tertentu sebagai dasar komunitas sehingga 
komunitas terbuka bagi siapa saja dari aliran, pandangan dan kepercayaan 
apapun. Prinsip ini, saya kira sesuai dengan prinsip-prinsip republiken dan 
keindonesiaan: bhinneka tunggal ika. Kalau ditanya lalu, mau ke mana, prinsip 
apa yang mendasari komunitas maka saya kira jawabannya adalah prinsip-prinsip 
republiken dan keindonesia sebagai bimbingan dalam memanusiawikan manusia, 
masyarakat dan kehidupan, prinsip yang saya kira mendasari lahirnya sastra-seni 
itu sendiri. Sesuai dengan prinsip-prinsip ini maka konsep sastra-seni 
kepualauan terdapat di dalamnya. Atas dasar ini maka sentralisme atau monopoli 
standar akan berada pada kutub lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip 
republiken dan keindonesia, sebagai bagian dari prinsip-prinsip manusiawi. Saya 
mengkhawatirkan apabila melepaskan prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan 
yang berhakekatkan menntang pikiran tunggal [la pensée unique], kita akan 
terjerat oleh sektarisme dan fanatisme yang anti kemajuan bahkan anti 
sejarah.Ketepatan memilih prinsip banyak menentukan perkembangan suatu 
komunitas. Yang sektaris tidak bakal berkembang sekali pun nampaknya pada suatu 
saat berkembang maju dan didukung oleh dana kuat, tapi karena ia tidak tanggap 
zaman dan tidak aspiratif ia lambat-laun akan jenuh sendiri dan terkubur oleh 
kecupetannnya.Kecupetan dan sektarisme pada galibnya tidak lain dari liang 
kuburan. Masalah prinsip ini saya ajukan agar bisa dipertimbangkan secara 
sungguh-sungguh oleh pengurus KMB sambil menarik pelajaran dari 
komunitas-komunitas terkemuka sekarang seperti TUK dan FLP misalnya. Jika ada 
di antara para anggota KMB yang berbicara tentang kemasyhuran, saya kira, 
kemasyhuran bukanlah tujuan. Kemasyhuran erat hubungannya dengan kerja dan 
penerimaan masyarakat serta haridepan yang diawali oleh pilihan prinsip yang 
tanggap dan aspiratif. Dalam hal ini saya tidak menganggap TUK dan FLP sangat 
tanggap dan aspiratif sekali pun nampak bernama. Tapi kedua lembaga itu 
menyediakan pengalaman berharga bagi KMB. Apakah yang ditawarkan oleh TUK dan 
FLP untuk negeri dan republik ini dalam pengertian tanggap dan aspiratif 
dilihat dari segi nasion? Dengan segala keterbatasan dana, barangkali apa yang 
dilakukan oleh Halim HD dan kawan-kawannya di berbagai daerah, saya jauh lebih 
tanggap dan aspiratif bagi bangsa, negeri dan republik ini karena itu ia terus 
berkembang. Saya harap, pendapat ini tidak dianggap sebagai suatu serangan tapi 
lebih menyangkut pertanyaan prinsip dalam membangun sastra-seni di negeri kita. 
Pertanyaan prinsip akan bisa terangkat jika kita bisa membaca keadaan negeri 
dan bangsa secara nyata dengan tujuan tunggal memanusiawikan manusia, kehidupan 
dan masyarakat, karena bagi saya sastra seni tidak lepas dari tujuan ini.



Sekali pun KMB belum merincikan prinsip dan programnya atas prinsip pilihannya, 
tapi melalui pengenalan pribadi demi pribadi di dalam kepengurusannya dan juga 
dari  kerangka pemikiran yang mendasari didirikannya KMB seperti yang 
dibeberkan oleh Manik Praba  dalam tulisannya di berbagai milis tentang KMB, 
saya menaruh harapan besar bahwa KMB bisa menempuh jalan alternatif dengan 
menimba pengalaman dari praktek komunitas-komunitas yang ada sekarang. Kalau 
KMB hanya mengikuti mentah-mentah apa yang sudah ada, saya tidak yakin KMB akan 
membesar dan berkembang di seluruh negeri seperti berkembangnya "mata bambu". 
Tidak juga bakal bisa menjadi katalisator komunitas-komunitas.Keunggulan dan 
kekurangan komunitas-komunitas yang ada sekarang tentunya merupakan lumbung 
pelajaran yang berharga.Kemampuan menimba pelaran dari lumbung pengalaman ini 
berarti KMB melangkah setindak di depan.

Kerangka pikiran yang mendasari lahirnya KMB, 15 Juli 2005 adalah:



-"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antarpekerja seni 
dan pemerhati kebudayaan umumnya; 
-Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat 
Indonesia. 
-Perlu ditingkatkan terus pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat umum 
terhadap kesenian dan kebudayaan; 
-Perlu dikembangkan situasi  kehidupan yang kondusif dan layak bagi para 
pekerja seni dan pemerhati kebudayaan pada umumnya. 
-Perlu ditumbuhkan terus harga diri dan kepercayaan diri para pekerja seni dan 
kebudayaan agar tidak kehilangan gairah terhadap dunia seni dan kebudayaan yang 
digelutinya. 
-Perlu diberi kesempatan dan peluang yang memadai kepada para pekerja seni dan 
kebudayaan yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terabaikan karena sulitnya 
kondisi kehidupan mereka" [Manik Praba, 21 Juli 2005]. 



Apabila mengamati kerangka pikiran di atas barangkali yang kurang digarisbawahi 
adalah sikap keterbukaa

[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [4-- SELESAI ]

2005-07-22 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


KRONIK ANGSA LIAR:


SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [4]





Bentuk sastra-seni yang ada di kalangan buruh migran, terutama di Hong Kong 
adalah puisi, cerpen, seni drama/teater, baca sanjak, tari dan lukisan. Tapi 
yang paling banyak digunakan adalah puisi dan cerpen. Dalam perbandingan yang 
paling banyak dimanfaatkan sebagai sarana pengungkap diri tetap genre puisi 
juga. 



Saya sendiri sudah mengumpulkan dari berbagai sumber puisi-puisi buruh migran 
dari berbagai negeri seperti Hong Kong, Malaysia, Taiwan, dan lain-lain... 
Demikian juga saya pun mulai mengumpulkan cerpen-cerpen tentang buruh migran 
baik yang ditulis oleh buruh migran sendiri atau mereka yang menaruh perhatian 
pada soal buruh migran. Dari kalangan yang terakhir terdapat nama-nama antara 
lain Fia Rossa, Rida Fatria, Ida ... dan lain-lain nama lagi. Sedangkan dari 
kalangan buruh migran terdapat nama-nama seperti Wina Kami, Ifah Rosian, H. 
Nurjariah, Imes Hisa, Aishara Putry, Endang Partiwi, dan lain 



Fia Rossa yang hidup di Hong Kong dan mengenal masalah-masalah buruh migran 
melalui cerpen-cerpennya mengangkat persoalan-persoalan nyata dan mengeneskan 
hati. Fia Rossa sekarang masih terus menulis dan melanjutkan penulisannya 
dengan tema buruh migran.  Sedangkan Rida Fatria menulis novel tentang buruh 
migran, atas dasar negara. 



Di sini saya hanya ingin menarik perhatian berbagai pihak terutama dunia 
penerbitan dan kalangan sastrawan terhadap karya-karya begini, bukan untuk 
membahas karya-karya tersebut.



Di dalam genre puisi, terdapat kegiatan yang lebih menonjol lagi. Sampai sampai 
dilakukan perlombaan puisi di kalangan buruh migran yang disokong oleh 
Departemen Tenaga Kerja RI dan Pemberdayaan Perempuan [?!] hanya memberi 
sertifikat pada para pemenang, tapi tidak menindak lanjutkannya ke tingkat 
menerbitkan karya-karya itu. Puisi-puisi yang dilombakan ini bisa diperoleh di 
website [EMAIL PROTECTED] Hampir tidak ada kegiatan buruh migran terutama di 
Hong Kong yang tidak disertai oleh puisi. Dalam genre ini terdapat nama-nama 
seperti Vivian Wahab, Atik, Surati, Danink Kurniaty, Ernanda Fikri, Fia Rossa, 
kemudian yang paling paling menonjol dan terpnting di antara mereka di dunia 
kepenyairan adalah Mega Vristian -- moderator milis [EMAIL PROTECTED]  



Terhadap khazanah sastra yang terdapat di kalangan buruh migran ini belum 
banyak penerbit yang menaruh perhatian. Mungkin karena menganggap buruh migran 
, khususnya TKW/TKI adalah lapisan masyarakat yang berkualitas rendah sehingga 
memandang mereka diawali dengan pandangan melecehkan para babu dan pekerja 
badan. Padahal seperti yang diperlihatkan oleh karya-karya Fia Rossa, 
karya-karya ini merupakan mutiara berkilau jika diasah, dan ini adalah 
pekerjaan penyuntingan.



Di tengah kelangkaan perhatian terhadap karya-karya sastra buruh migran ini, 
terdapat nama Penerbit Ombak Yogyakarta, pimpinan Nursam, yang menyatakan 
ketertarikan dan keinginannya menerbitkan karya-karya tersebut. Ketertarikan 
dan keinginan Penerbit Ombak terhadap karya-karya buruh migran ini, kembali 
memperlihatkan sifat pelopor dari badan penerbit yang dipimpin oleh angkatan 
muda bangsa dan negeri ini. Penerbit Ombak lagi-lagi mencoba memberikan 
terobosan bagi pengembangan sastra di negeri ini. Adalah Penerbit Ombak jugalah 
yang memberi perhatian kepada karya-karya kaum tani Kerawang. 



Melihat langkatnya penerbit seperti Ombak yang menaruh perhatian secara nyata 
pada lapisan bawah, mengapa tidak dari pihak buruh migran dan 
organisasi-organisasinya mengimbangi usaha Penerbit Ombak Yogyakarta ini dengan 
perhatian nyata pula. Solidaritas akan lebih kokoh jika ia  seperti gayung 
bersambut***.  

Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI



[Selesai]



[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [2]

2005-07-21 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB].



[2] BEBERAPA GARISBAWAH:  



1.Kerjasama Majalah Sastra-Budaya "Aksara" dan KMB.

Sejauh yang saya amati, hubungan antara Majalah Aksara dan KMB, kalau amatan 
ini benar, lebih bersifat kerjasama kemitraan erat saling menguntungkan dan 
saling tunjang. Artinya dua lembaga ini masing-masing berdiri independen. 
Sejauh ini belum ada pernyataan bahwa Majalah Aksara merupakan organ dari KMB. 
Adanya kerjasama begini secara tersirat memperlihatkan bahwa antara keduanya 
terdapat kesejajaran orientasi. Kalau tidak mana mungkin akan terjalin suatu 
kerjasama. 



Melalui kerjasama demikian, kegiatan-kegiatan KMB bisa disebarluaskan. Untuk 
sebuah organisasi, organisasi apa dan bagaimana pun, adanya sebuah media 
senantiasa mempunyai arti penting. Sebaliknya Majalah Aksara dengan kerjasama 
ini mendapatkan tempat leluasa di TIM oleh berpangkalnya KMB di TIM sebagai 
salah satu pusat kegiatan sastra-seni tak terabaikan di Jakarta. Dengan 
demikian maka Majalah Aksara pun mendapatkan serta telah mengambil tempatnya di 
kalangan dunia sastra-seni ibukota.



Melalui kerjasama kemitraan dengan Majalah Aksara, KMB pun di lain sisi bisa 
memanfaatkan pelaksanaan program-programnya antara lain dengan menggunakan 
jaringan kerja yang ada pada Majalah Aksara yang nampaknya terus berkembang. 
Dilihat dari segi organisasi, adanya jaringan-jaringan kerja di berbagai tempat 
yang dikembangkan dan terus dikembangkan oleh Majalah Aksara, saya kira 
mempunyai arti penting. Dengan cara ini, Majalah Aksara dan KMB bisa 
menumbuhkan janin gerakan kebudayaan -- mungkin alternatif -- bagi bangsa dan 
negeri yang sedang ditimpa oleh krisis multi dimensional sekarang ini. 
Tumbuhnya gerakan kebudayaan dari bawah berbasiskan komunitas-komunitas 
sastra-seni di berbagai daerah dan pulau, secara pandangan optimistik, bisa 
diharapkan memobilisasi seluruh kearifan dari bawah yang barangkali mampu 
menawarkan alternatif budaya bagi negeri dan bangsa. Kerjasama Majalah 
Aksara-KMB dengan demikian membuat para pendukungnya keluar dari langit 
kecupetan bersifat setempat. Jika orientasi ini dilaksanakan dengan konsekwen, 
bukan tidak mungkin keduanya bisa memainkan peran katalisator bagi 
komunitas-komunitas yang ada dan akan ada. Mendorong dan mengembangkan lebih 
lanjut baik dari segi kualitas mau pun kuantitas komunitas-komunitas yang 
ada.Lahirnya komunitas-komunitas sastra-seni ini merupakan kreativitas dari 
angkatan sekarang dalam berkesenian, cara mengorganisasi diri yang berbeda 
cara-cara pada masa pemerintahan Soekarno.



2. PROGRAM:

Hal lain yang menarik perhatian saya pada KMB adalah adanya program jelas yang 
menyertai kelahirannya. Adanya program ini memperlihatkan bahwa komunitas baru 
ini bekerja secara terancang dan bukan insidentil. Terancang dengan tujuan 
serta orientasi yang jelas. Dan program ini, jika disimak benar mencakup 
program mendesak, program jangan pendek dan jangka panjang. Program-program ini 
didukung oleh sebuah struktur organisasi yang padan untuk melaksanakannya. Dari 
adanya sturuktur organisasi dan program serta komposisi para 
penanggungjawabnya, saya melihat samar-samar adanya gambaran tentang pola 
gerakan kebudayaan yang diimpikan oleh KMB-AKSARA. Ciri-ciri ini memperlihatkan 
bahwa kegiatan KMB-AKSARA bukanlah kegiatan spontan. Betapa pun kecil 
kegiatannya pada suatu ketika, tapi yang kecil itu merupakan ujud dari suatu 
mimpi besar dan bukan suatu kegiatan spontan, melainkan suatu aktivitas budaya 
sadar guna mencapai tujuan.



3. ALIANSI BERBAGAI ANGKATAN:

Apabila mengamati susunan pengurus KMB, nampak pada saya bahwa komunitas baru 
ini mencoba menyatukan potensi dan kearifan serta pengalaman berbagai angkatan 
sastrawan-seniman. Di dalam kepengurusannya ada nama-nama Sides Sudyarto yang 
berbeda dari angkatan Manaek Sinaga. Sedangkan angkatan Manaek berbeda pula 
dari angkatan Dody Iskandar, Donny Anggoro atau Henny Purnama atau pun Faiz 
Manshur. Potensi, kemampuan, kearifan dan kemungkinan-kemungkinan berbagai 
angkatan ini agaknya ingin dihimpun oleh KMB sebagai satu kekuatan.Dari susunan 
kepengurusannya, tertangkap oleh saya, kesadaran para anggota komunitas bahwa 
masing-masing angkatan punya tempat dan guna. Tidak terlihat pandangan saling 
hujat dan meremehkan seperti "Ah kau angkatan tua bangka" atau "Huh, bacot 
gede, padahal baru anak kemarin sore!". Latar pengalaman para anggota dan 
pengurus pun sangat beraneka. Pengalaman Manik Praba berbeda dengan Sides, 
dengan Donny Anggoro, Moyak, Faiz Manshur, Arie MP Tamba  dan lain-lain.. 
Pengalaman perbedaan yang juga mau diorganisasi menjadi suatu kekuatan oleh KMB 
atas dasar "asas kebersamaan dan kekeluargaan".



Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI

[Bersambung]


[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabat

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI [1]MATA BAMBU DI JAKARTA

2005-07-21 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB].

[1]

Pada tanggal 15 Juli 2005 sejumlah sastrawan-seniman dan budayawan dari 
berbagai generasi, termasuk yang berhimpun di sekitar Majalah Sastra-Budaya 
Akasara , Jakarta telah mendirikan sebuah komunitas baru menambah jumlah 
komunitas yang sudah ada. Komunitas baru ini dinamai Komunitas Mata Bambu 
[|KMB] yang bersekretariat di: Gedung PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB. Jassin 
Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat [Telp: (021) 
31936641; E-mail: [EMAIL PROTECTED] ].

Adapun susunan pengurusnya tersusun sebagai berikut:

Dewan Pengurus Komunitas matabambu adalah: 
1. Manaek Sinaga (Manik Praba)  9. Dody Iskandar (Moyank) 
2. Arie MP Tamba   10. Henny Purnama Sari 
3. Maroeli Simbolon11. Faiz Manshur 
4. Endo Senggono   12. Akhmad Sekhu 
5. Sides Sudyarto  13. Mahanani Burhan (Nani) 
6. Imam Maarif 14. Farah Farida 
7. Nuruddin Asyhadi15. Harna Silwati Silvi 
8. Ahmad Nurullah  16. Donny Anggoro 

dengan penanggung jawab harian: 

-Ketua Komunitas: Sides Sudyarto 
-Sekretaris Komunitas: Manaek Sinaga 
-Humas Komunitas: Arie MP Tamba 
-Bendahara dan Sponsorship: Henny Purnama Sari 
-Divisi Penerbitan: Nuruddin Asyhadi 

KMB ini didirikan atas dasar pertimbangan "bertitiktolak pada pemikiran bahwa" 
bahwa di negeri ini:

-"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antarpekerja seni 
dan pemerhati kebudayaan umumnya; 
-Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat 
Indonesia. 
-Perlu ditingkatkan terus pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat umum 
terhadap kesenian dan kebudayaan; 
-Perlu dikembangkan situasi  kehidupan yang kondusif dan layak bagi para 
pekerja seni dan pemerhati kebudayaan pada umumnya. 
-Perlu ditumbuhkan terus harga diri dan kepercayaan diri para pekerja seni dan 
kebudayaan agar tidak kehilangan gairah terhadap dunia seni dan kebudayaan yang 
digelutinya. 
-Perlu diberi kesempatan dan peluang yang memadai kepada para pekerja seni dan 
kebudayaan yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terabaikan karena sulitnya 
kondisi kehidupan mereka". 

Pada tanggal 13 Agustus 2005, pukul 15.00, di PDS HB. Jassin-TIM, Jakarta, KMB 
akan mengumumkan secara resmi eksistensinya sekaligus meluncurkan antologi 
puisi JJ. Kusni berjudul "Sansana Anak Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan" yang 
diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta [Agustus 2005]. "Sansana" adalah 
salah satu bentuk puisi rakyat Dayak daerah Katingan, Kalimantan Tengah yang 
masih sangat hidup sampai sekarang.

Menurut keterangan bocoran yang saya peroleh, kegiatan pertama ini akan segera 
disusul oleh kegiatan-kegiatan terencana lainnya seperti: Diskusi Iwan 
Simatupang (September 2005),  Heroisme (Oktober 2005),  Diskusi Maskulinisme vs 
Feminisme (November 2005). 

Di samping kegiatan-kegiatan berupa peluncuran buku dan diskusi seperti di 
atas, KMB juga mempunyai program pendidikan, pengkajian, penerbitan dan 
memperkokoh sistem kerja jaringan baik di tingkat lokal, nasional dan 
internasional. Dalam melaksanakan program-programnya, sejak berdiri, nampaknya, 
KMB menjalinkan kerjsama erat dengan Majalah Sastra-budaya Aksara, Jakarta yang 
dipimpin oleh Manaek Sinaga.   Kerjasama yang didasarkan pada "asas kebersamaan 
dan kekeluargaan" yang dipilih oleh KMB sebagai prinsip kerjanya.

Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI

[Bersambung]


[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] LAPAR! LAPAR DI NEGERI KITA!

2005-07-18 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
LAPAR! LAPAR DI NEGERI KITA!



lapar!lapar!
lapar jiwa
lapar raga
lapar negeriku
kita orang-orang lapar
ikan-ikan menggelepar
didampar ombak pantai kencana
lapar mengerdilkan raga
mengerdilkan manusia
mengerdilkan penduduk
petinggi duduk di bangkai kita
darah kita di cangkir kopinya


lapar dari kupang ke sumba timur
lapar mengamuk  rote ndao
dari belu hingga alor  
ajal menyergap penduduk
ajal turun dari segala penjuru
lapar, lapar ini bukan intermezo, bung 
lapar di pulau-pulau begini kaya
maut yang lapar 
kita jadi mangsa 


lapar ini lapar kita
lapar orang-orang terpinggir
lapar orang-orang pulau 
kampung dan desa
bukan lapar presiden
atau anggota parlemen
yang lapar uang 
lapar kuasa 


lapar ini lapar kita
lapar yang memerosotkan republik
menjatuhkan martabat negeri dan diri 
sedang anggota parlemen minta 51 juta gaji
ketika kita dibinasakan lapar
bencana turun dari 16 penjuru
ini tentu bukan intermezo, bung, yang kau "prekkan!" 
ini benar satu petaka menagih tindakan tak kepalang
menagih sikap putera-puteri beradat


lapar! lapar 
lapar jiwa
lapar raga
lapar negeri
lapar mengerdilkan kita
lapar merabunkan mata


anakku,di hadapan petaka
jangan kau jadi peratap
lebih baik mati berdiri
daripada menjadi budak tanpa martabat
negeri ini
pulau ini
negeri dan pulaumu
hidup adalah hak!



Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI




[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [3]

2005-07-17 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
KRONIK ANGSA LIAR:


SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [3]





Yang menarik perhatian saya dan menimbulkan pertanyaan: Mengapa kegiatan 
sastra-seni buruh migran ini lebih mencuat di Hong Kong dibandingkan dengan di 
negeri-negeri lain?

Saya memang tidak punya angka persis tentang berapa jumlah buruh migran 
Indonesia di Hong Kong, juga dengan sendirinya saya tidak mempunyai data 
statistik tentang klasifikasi mereka, baik mengenai daerah asal, tingkat 
pendidikan atau pendidikan formal  mereka dan sebagainya. Tidak juga tentang 
jenis pekerjaan mereka. Sebab pengertian BMI tidak sebatas pada pekerjaan 
"pramuwisma" -- istilah lain yang bersifat pelembut bagi pekerjaan pembantu 
rumah tangga, tapi juga mencakup bidang-bidang pekerjaan lain seperti 
jururawat, buruh pabrik, bekerja di radio, atau tenaga ahli, dan lain-lain 
Apa yang saya dapatkan adalah evaluasi garis besar dari berita-berita mengenai 
BMI dan sumber-sumber langsung lainnya.

Kalau sumber saya benar, maka sekarang jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh 
buruh migran Indonesia, terutama adalah sebagai pembantu rumah tangga, dan 
umumnya mereka adalah buruh migran perempuan. Jumlah mereka sekarang, agaknya 
sudah menyaingi jumlah buruh migran dari Philipina yang di sekitar tahun 1991 
merupakan jumlah terbesar di bidang pekerjaan sektor ini.

Di sini saya tidak mencampuradukkan antara orang-orang asal Indonesia yang 
sudah menjadi warganegara Hong Kong yang jumlahnya, terutama setelah Tragedi 
Nasional September 1965, juga tidak sedikit. Kelompok ini tidak termasuk dalam 
kategori BMI. 

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah daerah asal para pramuwisma 
Indonesia di Hong Kong yang banyak sekali berasal dari Jawa Timur. Agaknya  
agen-agen penyalur pramuwisma ini banyak beroperasi di daerah Jawa Timur dan 
kemudian Jawa Tengah. Barangkali ada hubungannya dengan tingkat pengangguran 
dan keadaan sosial lainnya di kedua propinsi yang terpadat secara demografis di 
Indonesia. 

Adanya BMI saya kira tidak terlepas dari kondisi sosial-politik-ekonomi, 
terutama sejak Orde Baru. Sebab, pada masa pemerintahan Soekarno, BMI tidak 
dikenal. Karena itu saya katakan bahwa gejala BMI, tidak terlepas dari hasil 
dan akibat politik "pembangunan" Orba juga yang menciptakan kesenjangan luar 
biasa  antara kaya dan miskin di negeri kita. Ataukah barangkali gejala BMI ini 
suatu gejala kemajuan dan keberhasilan mewujudkan kemerdekaan nasional?!

Kembali pada masalah sentral: Mengapa justru di Hong Kong, terdapat kegiatan 
berkesenian yang berarti di kalangan BWI? Menjawab pertanyaan ini, barangkalik 
penjelasan Fia Rosa, seorang cerpenis yang banyak menggarap tema-tema BMI bisa 
memberi guna. Tulis Fia Rosa dalam cerpennya "Lukamu Adalah Dukaku"

"The Pearl of the Oriental [Mutiara Dari Timur], sebuah julukan untuk Hong Kong 
-- yang merupakan  salah-satu wilayah Republik Rakyat Tiongkok [RRT] yang 
sangat berkembang. Sistem pemerintahannya sangat bagus dan mendukung 
pertumbuhan ekomoni yang sangat pesat. 

Salah satu bentuk dari tatanan kehidupan bermasayrakat dan bernegara  yang 
sangat bagus ini, tercermin pada adanya peraturan hukum yang mengatur tentang 
pekerja migran" [Dari: Arsif Pribadi JJK]. 





Oleh adanya perlindungan hukum ini,  yang  merupakan peninggalan kolonialis 
Inggris, memungkinkan para BMI melakukan berbagai macam kegiatan,termasuk di 
antaranya kegiatan berkesenian, sebagaimana digambarkan oleh Fia Rosa di bawah 
ini:



"Banyak sekali aktifitas yang dijadwalkan setelah seminggu keletihan memandang 
muka-muka masam para majikan. Ada yang bersiap-siap melakukan pertemuan untuk 
organisasi. Ada yang janjian bertemu di Taman Victoria [Victoria Garden], ada 
yang pergi mengikuti kursus-kursus, ada yang melakukan kebaktian, bergabung 
dengan masyarakat lokal di gereja-gereja yang megah. Ada yang terburu-buru 
menuju ke mesjid untuk menghadiri pengajian. Ada yang menghabiskan waktunya 
untuk shopping. Ada juga yang pergi kencan dengan pacar-pacar mereka dari 
berbagai macam bangsa, seperti buruh mogran dari India , Pakistan, Nepal, atau 
pun orang-orang kulit putih. Tapi ada juga yang hanya bisa "bengong" 
lontang-lantung sendirian tak tahu apa yang mereka lakukan. 

Demikianlah suasana kehidupan para pekerja migran di hari-hari libur mereka". 
Sehingga tak heran jika para pekerja migran di Hong Kong tak seperti layaknya 
pekerja migran lainnya, keren-keren dan otak mereka encer,  tak kalah dari 
mereka yang jebolan sekolah tinggi di Indonesia meski sebenarnya mereka mungkin 
hanya lulusan sekolah dasar , SMP, maupun SMA walau ada juga yang jebolan dari 
sekolah tinggi". 

Adanya komunitas besar BMI, oleh Fia Rosa dijelaskan sebagai berikut:

"Menjadi pekerja migran bukanlah pilihan mereka. Pekerjaan ini mereka pilih 
dengan berat hati. Karena  Pemerintah Indonesia tak lagi peduli akan  nasib 
rakyat kecil, sudah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka 
sedangkan tuntutan kehidupan membuat mereka har

[ppiindia] PEMBERONTAKAN YANG PINTAR PATUT DILANCARKAN

2005-07-16 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
PEMBERONTAKAN YANG PINTAR PATUT DILANCARKAN



ketika kepapaan 
ketika kelaparan
ketika ancaman 
kehancuran dan kematian 
menabur jaringjalanya
dari pagi hingga senja
tanahair dan penduduk pulau dilecehkan


di rak-rak dokumen parlemen
di deretkan di laci kadaluwarsa
"declassified categories documents"
republik dan indonesia 
puntung rokok tercampak di tumit sepatu uang sang raja
anggota parlemen sudah bukan penyandang mimpi 
hanya tahu menuntut gaji tinggi jutaan 
parlemen sudah demikian merosot 
sanggup jadi budak dan pembunuh bayaran para pemilih sogokan
hingga undang-undang dan peraturan amis darah penindasan tak kepalang


kukira sudah saatnya memang kita patut habis-habisan bertarung
kalau republik, indonesia dan manusia masih dijunjung
kukira sudah saatnya memang  kita patut berlawan dengan nyata
pelecehan dan perbudakan begini tak layak dibiarkan bersimaharajalela 
kernanya aku menghargai pemberontakan tapi pemberontakan yang pintar 
parlemen sudah jadi komplotan bandit dalam cerita koboi far-western
republik dan indonesia satu titik geografis planet ini
di mana kemanusiaan sudah demikian gawat hilang harkat dan martabat
pemberontakan yang pintar patut kita lancarkobarkan
maka kata kujadikan damak-damak beripuh
damak dari otak dan hatiku yang membidik



Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI



[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING:SEKALI LAGI TENTANG PERTEMUAN SASTRAWAN BORNEO-KALIMANTAN KE-VIII DI SANDAKAN, SABAH [2]

2005-07-15 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
aitu Malaysia, Brunei 
Darussalam, dan Indonesia.

Bertempat di Hotel Sabah, pertemuan ini mengambil tema 'Persuratan Melayu 
Menjana Pembinaan Bangsa'. Dari Indonesia diwakili lima delegasi. Diantaranya 
Yudhiswara (Kalbar), Aminudin Rifai yang lebih dikenal dengan Amien 
Wangsitalaja (Kaltim), Drs Muhammad Mugeni (Kalsel), Drs Rusman Namsurie 
(Kalteng), dan Safrulah Sanre (Sulawesi). Adanya delegasi dari Sulawesi ini, 
menurut Aminudin karena forum ini ke
depan akan memperluas cakupannya hingga ke Mindanau Filipina dan bagian timur 
Indonesia. "Hal ini juga dilatarbelakangi bahawa sastra di daerah tersebut 
masih lemah. Sehingga perlu untuk dibangkitkan. Lagi pula daerah Mindanau juga 
menggunakan bahasa Melayu.

Selain itu juga untuk meramaikan forum kajian sastra dan budaya tersebut," kata 
Aminudin kepada Kaltim Post. Lebih lanjut pria yang akrab disapa Amin ini 
menuturkan, ketika membicarakan perkembangan sastra di daerah masing-masing, 
banyak peserta mengaku merasa termarjinalkan. Seperti delegasi dari Sabah dan 
Sarawak yang mengeluhkan perkembangan sastra di daerah mereka yang tidak semaju 
daerah Semenanjung (Malaysia wilayah barat). Hal itu diperparah orang-orang 
Semenanjung yang menganggap remeh karya sastra dari kawasan Sarawak dan Sabah. 

"Kalau di Kalimantan, perbandingannya dengan Jawa dan Sumatra. Memang sastra di 
Kalimantan terpinggirkan atau belum semaju Jawa atau Sumatra. Walapun untuk 
wilayah Kalimantan, Kalsel bisa dibilang paling maju perkembangan sastranya. 
Oleh karena itu, pada dialog tersebut diusulkan adanya penghargaan sastra 
khusus untuk sastrawan Borneo - Kalimantan," tuturnya.

Selain berencana memberikan penghargaan bagi sastrawan Borneo - Kalimantan, 
forum ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi. Diantaranya adalah memperluas 
cakupan keanggotaannya dengan mengajak sastrawan Filipina bagian selatan dan 
Indonesia bagian timur yang nantinya dinamakan Dialog Timur. Mengadakan seminar 
tentang Syair Melayu dalam ruang lingkup Borneo - Kalimantan. Membuat website 
tentang sejarah perkembangan sastra melayu, baik dalam bahasa melayu maupun 
dalam bahasa asing. Mengadakan pertukaran penulis di wilayah Borneo - 
Kalimantan dengan harapan dapat meningkatkan mutu karya masing-masing daerah.

Sementara itu Ketua Menteri Sabah, Datuk Musa Haji Aman seperti yang dikutip 
Amin, mengucapkan pertemuan antarbangsa serumpun ini merupakan wadah untuk 
membahas perkembangan bahasa, sastra, dan budaya di wilayah kepulauan Borneo. 
Selain itu juga sebagai ajang bertukar pikiran dan pengalaman dengan harapan 
mampu menyejajar diri dengan bangsa-bangsa lain yang sudah maju.

"Harapan saya agar Dialog Borneo - Kalimantan ke-VIII ini dapat membuka dimensi 
baru dalam pengekalan budaya bangsa serantau. Di samping mengeratkan lagi 
kerjasama yang sekian lama terjalin. Sebelum ini pun pelbagai bentuk kerjasama 
dalam bidang-bidang yang lain telah berhasil dan mencapai matlamatnya (tujuan) 
seperti kerjasama perdagangan, persempadan, dan lain-lain. Sekali lagi saya 
mengucapkan setinggi-tinggi penghargaan kepada semua yang terlibat dalam 
menjayakan kegiatan yang amat berharga ini," tutur Datuk Musa Haji Aman. (cono 
rispambudi utomo) ***

[Sumber:Saaludin Marif, [EMAIL PROTECTED] 
Thursday, July 14, 2005 12:47 PM].


2.

BACA CATATAN DALAM RENCANA KOMENTAR

nadin <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
   -Original Message-
  From: Budhisatwati KUSNI [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Sunday, July 10, 2005 10:35 AM
  To: dayak; [EMAIL PROTECTED]; aliemha aliemha; kOMUNITAS TERAPUNG; LEMBAGA 
STUDI DAYAK21; [EMAIL PROTECTED]; Ka Ida --BPost; budi banjar; ronny teguh; 
nadin; JPK; jaringan penulis kaltim; Ken Zuraida Hamid
  Subject: JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE 
BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN 
ASPIRATIF?

   

  JURNAL KEMBANG KEMUNING:

   

  AKANKAH  PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI 
ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF?

   

  Pertemuan sastrawan Borneo-Kalimantan ke-VIII yang berlangsung pada 2-5 Juli 
lalu di Sandakan, Sabah,  Malaysia, mestinya sekarang sudah berakhir.  
Sayangnya informasi lebih jauh tentang hasil-hasil dan keputusan-keputusan yang 
ditelorkan oleh Pertemuan itu sampai sekarang masih saja tidak didapatkan, juga 
oleh publik di lingkungan sastrawan di Kalimantan. Apakah ini suatu 
kekurangpahaman pihak penyelenggara akan makna sosialisasi hasil-hasil 
pertemuan yang menggunakan label "sastrawan  Borneo-Kalimantan" Bang Maily 
bersetuju pandangan sobat/sepatutnya sudah ada keputusan/resolusi di akhir 
dialog/tapi kalau adapun resolusi itu merupakan satu hal yang kita tunggu, 
tetapi akankah resolusi itu bakal dibincang dan dijadikan kenyataan atau 
resolusi kok tinggal resolusi melulu kerana kita kita ini suka ngomong2 aja dan 
kurang bertindak untuk maksud merealisasikan apa yang diputuskan"ataukah 
kembali

[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [2]

2005-07-15 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


KRONIK ANGSA LIAR:


SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [2]



Tidak kurang pentingnya dalam kegiatan berkesenian dan dalam bidang-bidang 
kehidupan lainnya adalah dampingan solidaritas dari para akademisi, organisasi 
buruh Hong Kong, dan para profesional sehingga kegiatan, termasuk dalam 
kehidupan sastra-seni kian terarah dan sistematik. Penyelenggaraan workshop 
penulisan yang sekarang sedang berlangsung [Minggu, 10 Juli ini, di Hongkong 
University, Kowloon, dua cerpenis Jawa Timur, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto, 
diundang menjadi pembicara pada acara workshop penulisan bagi buruh migran 
Indonesia (BMI) di Hongkong. Workshop yang diadakan komunitas sastra BMI Caf? 
br> de Kosta itu diikuti lebih dari 200 pekerja di Tiongkok itu] adalah sekedar 
salah satu contoh saja dari ujud kongkret dampingan para profesionalis di 
kalangan buruh migran.



Keterlibatan para profesionalis dalam kegiatan tulus-menulis di kalangan buruh 
migran, saya kira akan sangat berarti guna meningkatkan wawasan, teknhis 
know-how [keterampilan] para mereka yang tertarik menggunakan sarana 
tulis-menulis dalam mengungkapkan diri. Seperti dikatakan oleh Harian Jawa Pos 
[Minggu, 10,Juli 2005]:

"Banyak mutiara terpendam di sana. Jika saja kita tekun dan sedikit sabar 
memolesnya, pastilah mutiara-mutiara itu bakal berkilauan, menyemarakkan Taman 
Sastra Indonesia". 



Membantu membuat "mutiara-mutiara itu ..berkilauan" guna "menyemarakkan Taman 
Sastra Indonesia" adalah fungsi dari keterlibatan para profsiona!is dan 
cendekiawan. Membantu artinya memberikan syarat luar yang menguntungkan, sebab 
akhirnya apakah "mutiara-mutiara" ini akan berkilau atau tidak, ditentukan oleh 
masing-masing individu itu sendiri, antara lain kesungguhan dan kesadaran 
bersastra mereka. 



Dilihat dari segi para cendekiawan dan profesionalis itu, maka dampingan atau 
keterlibatan mereka, barangkali bisa dipahami sebagai ujud dari komitmen sosial 
yang kongkret. Penyatuan diri kaum cendekiawan dengan masyarakat, terutama 
lapisan masyarakat yang luas, akan mempunyai peranan penting bagi perobahan 
progresif, di samping sekaligus mengobah mendidik para cendekiawan itu sendiri 
yang biasanya pongah, karena mula-mula menduga ijazah dan gelar adalah sama 
dengan ijazah dan gelar kehidupan.



Yang menarik perhatian saya dan menimbulkan pertanyaan: Mengapa kegiatan 
sastra-seni buruh migran ini lebih mencuat di Hong Kong dibandingkan dengan di 
negeri-negeri lain?

Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI



Lampiran:

Ketika Para Buruh Menulis Sastra


Minggu, 10 Juli ini, di Hongkong University, Kowloon, dua cerpenis Jawa Timur, 
Bonari Nabonenar dan Kuswinarto, diundang menjadi pembicara pada acara workshop 
penulisan bagi buruh migran Indonesia (BMI) di Hongkong. Workshop yang diadakan 
komunitas sastra BMI Caf? br> de Kosta itu diikuti lebih dari 200 pekerja di 
Tiongkok itu. 




***



Belakangan ini dalam dunia sastra Indonesia muncul istilah yang tampaknya akan 
semakin sering disebut-sebut: sastra buruh migran (Indonesia). Fenomena itu 
ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra dari "rahim" para pekerja wanita 
kita di luar negeri, yang diam-diam sudah lama "mengandung" benih-benih potensi 
yang luar biasa.

Terus terang, saya sempat dikagetkan oleh kehadiran Rini Widyawati, yang tahun 
lalu baru pulang dari Hongkong. Selama dua tahun Rini memang bertaruh jiwa dan 
raga menjadi domestic helper (pembantu rumah tangga) di negara bagian Tiongkok 
itu. Nah, ketika pulang ke kampung halaman itulah, Rini membawa oleh-oleh 
sebuah catatan harian yang, oleh beberapa kalangan, dinilai sangat nyastra. Tak 
lama kemudian, oleh-oleh itu telah terbit menjadi buku dengan judul: Catatan 
Harian Seorang Pramuwisma (JP-Books, Mei 2005). Rini boleh jadi termasuk salah 
satu TKW kita yang istimewa. Secara akademis, dia hanya sempat mengenyam 
pendidikan formal di sekolah dasar. Karena setelah itu, dia harus mencari 
penghidupan sendiri keluar dari kemiskinan keluarganya di desa. Untungnya, 
begitu sampai di kota (Malang), dia bertemu dengan seorang pengarang wanita 
hebat:Ratna Indraswari Ibrahim. Maka, sambil membantu membereskan pekerjaan 
rumah, Rini mendapat "pelajaran" secara khusus bagaimana "menulis sastra" dari 
Mbak Ratna. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hingga Rini 
menginjak dewasa. Hingga Rini kemudian memutuskan untuk pergi menjadi TKW di 
Hongkong.. 

Saya benar-benar terperanjat ketika menerima naskah Rini (saat itu saya menjadi 
editor di JP-Books) yang menurut saya benar-benar luar biasa. Dari pengalaman 
menyunting buku Rini itulah saya lalu berkenalan (atas bantuan cerpenis Lan 
Fang) dengan wartawati Berita Indonesia (salah satu koran berbahasa Indonesia 
yang beredar di Hongkong). Dia bernama Ida Permatasari yang lebih senang 
memakai nama Arsusi Ahmad Sama'in dalam tulisan-tulisannya (kebanyakan berupa 
cerpen). Perempuan asal Blitar itu yang sangat bersemangat memprovokasi 
perempuan buruh migran asal Indonesia di

[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [1]

2005-07-14 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI


Pengantar:



Saya kirim ulang tulisan ini untuk mengkoreksi kesalahan nama "KIMWU" yang 
semestinya adalah IMWU. Karena kesalahan ini, melalui kontak japri, tulisan ini 
sempat dikatakan "penuh kesalahan", sedangkan ketika saya tagih untuk 
ditunjukkan secara rinci kesalahan-kesalahan lain yang dikatakan "penuh" 
itu,permintaan saya tidak dipenuhi. Barangkali yang terjadi hanyalah kelalaian 
berbahasa cermat saja atau bukti dari keadaan tidak buta aksara tapi tidak bisa 
membaca.  

Titik utama yang ingin saya angkat di sini, adalah menunjukkan bahwa di 
kalangan buruh migran terdapat, kegiatan sastra-seni dan saya kira ini patut 
didorong serta dikembangkan. Kepada para pengkritik, saya ingin bertanya: 
Patutkah kegiatan ini dikembangkan dan digalakkan secara sistematik? Adanya 
Buruh Migran Indonesia [BMI] merupakan gejala baru dalam masyarakat, dan sangat 
wajar jika ia mencerminkan diri dan tercermin dalam sastra-seni. Berkembangnya 
sastra buruh migran, baik yang ditulis oleh buruh migran itu sendiri atau pun 
yang menaruh perhatian terhadap BMI, kiranya akan menambah warna pada sastra 
Indonesia kekinian yang terus berkembang. Saya sangat menggarisbawahi 
pentingnya buruh migran menulis langsung tentang diri mereka sendiri 
sebagaimana dahulu, saya pernah ikut mendorong pengembangan kegiatan kaum tani 
menulis langsung tentang kehidupan diri mereka. Munculnya karya-karya sastra 
yang ditulis oleh buruh migran sendiri, membuktikan bahwa mereka adalah 
kekuatan pontensial dan sekaligus menjawab pelecehan terhadap mereka. 

Membabu adalah salahatu bentuk kerja badan, dan kerja badan mempunyai peranan 
sebagaimana halnya kerja otak dalam perkembangan masyarakat. Tak ada kebudayaan 
dan kehidupan tanpa kerja badan dan kerja otak. Penyempitan jarak antara 
keduanya, diperlukan.Menghina kerja badan hanya mempertontonkan kecupetan 
pikiran. Lahirnya karya sastra-seni di kalangan buruh migran hanya membuktikan 
kecupetan pelecehan ini.

Penerbit Ombak Yogyakarta di bawah pimpinan Nursam, agaknya sudah menaruh 
perhatian pada jenis sastra ini.

Dengan semangat inilah Kronik ini saya tulis dan tentu saja terbuka terhadap 
segala kritik nalar berbukti.

JJ.KUSNI







KRONIK ANGSA LIAR: 

SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [1].



SEJAK beberapa hari bulan Juli ini di Hong Kong, sedang diselenggarakan 
lokakarya penulisan di kalangan buruh-buru migran yang tinggal di kota-negara 
tersebut. Untuk keperluan lokakarya ini, dari Indonesia telah didatangkan dua 
orang wartawan/sastrawan. Dalam skala lebih besar,yaitu skala internasinonal, 
dari pihaknya Universitas Hong Kong, telah pula melangsungkan kegiatan 
pelatihan menulis. 



Sepanjang yang saya ketahui, buruh migran asal berbagai negeri di Hong Kong 
dibandingkan dengan buruh-buruh migran di tempat-tempat lain seperti Taiwan, 
Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang apalagi di negeri-negeri Timur 
Tengah, jauh lebih aktif dalam berkesenian. Berkesenian mereka rasakan sebagai 
bagian dari keperluan mereka. Mereka memiliki grup teater dengan kegiatan 
periodik, beranggotakan buruh-buruh migran dari berbagai negeri, termasuk buruh 
migran asal Indonesia.Yang paling aktif di dalam grup teater ini adalah Mega 
Vristian, yang juga penyair dan pelukis asal Malang, Jawa Timur.Teater oleh 
buruh-buruh migran di Hong Kong selain menjadi sarana pengungkap diri, agaknya 
juga berfungsi sebagai alat untuk membela hak serta pengucap tuntutan dan 
harapan mereka. Teater dan berbagai bentuk sastra-seni lainnya, selalu 
menyertai kegiatan-kegiatan terorganisasi buruh-buruh migran di Hong Kong, di 
mana buruh migran asal Indonesia turut serta di dalamnya.Teater akhirnya, 
langsung tidak langsung merupakan suatu proses penyadaran dan sekolah 
politik-kebudayaan  bagi buruh-buruh migran Hong Kong ini. 



Aktivitas berkesenian begini, mungkin dilakukan oleh para buruh migran Hong 
Kong, karena mereka mempunyai hak cuti akhir pekan yang dilindungi hukum. Cuti 
akhir pekan inilah kemudian yang  oleh buruh-buruh migran ini sebagai peluang 
berkesenian -- kesempatan meningkatkan dan memanusiawikan diri.Di samping 
adanya perlindungan legal ini, kegiatan berkesenian mungkin berkembang oleh 
adanya majikan-majikan yang manusiawi, memberikan kesempatan kepada 
buruh-buruhnya setelah usai pekerjaan pokok melakukan hal-hal lain di luar 
tugasnya. Bahkan terdapat pula, para majikan yang membiarkan komputernya 
dipakai oleh buruhnya. Adanya majikan-majikan begini, saya kira tidak bisa 
dinegasi dengan membuat citra bahwa semua majikan itu jahat. Membuat citra 
majikan dan buruh migran sewarna, saya kira adalah cara pandang hitam-putih dan 
sangat simplistis, cara pandang yang tidak bakal mungkin memahami dan 
melukiskan kenyataan. Buruh dan majikan adalah dua sisi dari satu mata uang 
dengan lukisan berbeda di atasnya.



Taman Victoria [Victoria Garden] akhir pekan merupakan tempat berkumpul dan 
sering menjadi pentas terbuka bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan buruh migr

[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [1]

2005-07-11 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
KRONIK ANGSA LIAR: 

SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [1].



SEJAK beberapa hari bulan Juli ini di Hong Kong, sedang diselenggarakan 
lokakarya penulisan di kalangan buruh-buru migran yang tinggal di kota-negara 
tersebut. Untuk keperluan lokakarya ini, dari Indonesia telah didatangkan dua 
orang wartawan/sastrawan. Dalam skala lebih besar,yaitu skala internasinonal, 
dari pihaknya Universitas Hong Kong, telah pula melangsungkan kegiatan 
pelatihan menulis. 



Sepanjang yang saya ketahui, buruh migran asal berbagai negeri di Hong Kong 
dibandingkan dengan buruh-buruh migran di tempat-tempat lain seperti Taiwan, 
Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang apalagi di negeri-negeri Timur 
Tengah, jauh lebih aktif dalam berkesenian. Berkesenian mereka rasakan sebagai 
bagian dari keperluan mereka. Mereka memiliki grup teater dengan kegiatan 
periodik, beranggotakan buruh-buruh migran dari berbagai negeri, termasuk buruh 
migran asal Indonesia.Yang paling aktif di dalam grup teater ini adalah Mega 
Vristian, yang juga penyair dan pelukis asal Malang, Jawa Timur.Teater oleh 
buruh-buruh migran di Hong Kong selain menjadi sarana pengungkap diri, agaknya 
juga berfungsi sebagai alat untuk membela hak serta pengucap tuntutan dan 
harapan mereka. Teater dan berbagai bentuk sastra-seni lainnya, selalu 
menyertai kegiatan-kegiatan terorganisasi buruh-buruh migran di Hong Kong, di 
mana buruh migran asal Indonesia turut serta di dalamnya.Teater akhirnya, 
langsung tidak langsung merupakan suatu proses penyadaran dan sekolah 
politik-kebudayaan  bagi buruh-buruh migran Hong Kong ini. 



Aktivitas berkesenian begini mungkin dilakukan oleh para buruh migran Hong 
Kong, karena mereka mempunyai hak cuti akhir pekan yang dilindungi hukum. Cuti 
akhir pekan inilah kemudian yang  oleh buruh-buruh migran ini sebagai peluang 
berkesenian -- kesempatan meningkatkan dan memanusiawikan diri.Di samping 
adanya perlindungan legal ini, kegiatan berkesenian mungkin berkembang oleh 
adanya majikan-majikan yang manusiawi, memberikan kesempatan kepada 
buruh-buruhnya setelah usai pekerjaan pokok melakukan hal-hal lain di luar 
tugasnya. Bahkan terdapat pula, para majikan yang membiarkan komputernya 
dipakai oleh buruhnya. Adanya majikan-majikan begini, saya kira tidak bisa 
dinegasi dengan membuat citra bahwa semua majikan itu jahat. Membuat citra 
majikan dan buruh migran sewarna, saya kira adalah cara pandang hitam-putih dan 
sangat simplistis, cara pandang yang tidak bakal mungkin memahami dan 
melukiskan kenyataan. Buruh dan majikan adalah dua sisi dari satu mata uang 
dengan lukisan berbeda di atasnya.



Taman Victoria [Victoria Garden] akhir pekan merupakan tempat berkumpul dan 
sering menjadi pentas terbuka bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan buruh migran di 
samping yang diselenggarakan di ruang-ruang tertutup.



Faktor lain yang membantu kegiatan berkesenian ini adalah terdapatnya 
organisasi buruh migran di Hong Kong, dan mempunyai jaringan kontak dengan 
Sarikat Buruh Hong Kong dan organisasi-organisasi buruh di negeri-negeri lain. 
Buruh-buruh migran Indonesia pun mempunyai organisasi mereka sendiri, seperti 
KIMWU dan mempunyai penerbitan-penerbitan mereka. Melalui organ-organ 
organisasi buruh migran ini disalurkan karya-karya sastra yang ditulis oleh 
para buruh migran tentang kehidupan mereka.



Selain media cetak, buruh migran Indonesia ini pun mempunyai milis mereka 
sendiri. Dua yang paling menonjol adalah [EMAIL PROTECTED] dan sastra_tki@ 
yahoogroups.com 



Melalui media cetak dan elektronik ini, menyalurkan karya-karya buruh migran, 
menyuarakan ke seantero  dunia permasalahan mereka, mengembangkan jaringan di 
kalangan mereka di berbagai negeri dan menggalang solidaritas lokal, nasional 
dan internasional.Pers cetak dan elektronik buruh migran jadinya berfungsi 
sebagai pendidik dan organisator sekaligus.



Tidak kurang pentingnya dalam kegiatan berkesenian dan dalam bidang-bidang 
kehidupan lainnya adalah dampingan solidaritas dari para akademisi, organisasi 
buruh Hong Kong, dan para profesional sehingga kegiatan, termasuk dalam 
kehidupan sastra-seni kian tearah dan sistmatik. Penyelenggaraan workshop 
penulisan yang sekarang sedang berlangsung adalah sekedar salah satu contoh 
saja dari ujud kongkret dampingan para profesionalis di kalangan buruh migran.



Paris, Juli 2005

JJ. KUSNI



[Bersambung]





















  










[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, k

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF?

2005-07-09 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:

AKANKAH  PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI 
ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF?



Pertemuan sastrawan Borneo-Kalimantan ke-VIII yang berlangsung pada 2-5 Juli 
lalu di Sandakan, Sabah,  Malaysia, mestinya sekarang sudah berakhir.  
Sayangnya informasi lebih jauh tentang hasil-hasil dan keputusan-keputusan yang 
ditelorkan oleh Pertemuan itu sampai sekarang masih saja tidak didapatkan, juga 
oleh publik di lingkungan sastrawan di Kalimantan. Apakah ini suatu 
kekurangpahaman pihak penyelenggara akan makna sosialisasi hasil-hasil 
pertemuan yang menggunakan label "sastrawan  Borneo-Kalimantan" ataukah kembali 
membuktikan sikap elitis pertemuan yang tidak menyandarkan diri pada 
sastrawan-seniman dan komunitas-komunitas sastra-seni  daerah-daerah  yang di 
atasnamainya? Ataukah kedua-duanya? Apa pun alasan sebenarnya,  kukira, 
pertemuan Sandakan itu dalam kenyataannya merupakan pertemuan para pejabat 
pemerintah di bidang kebudayaan dengan mengatasnamai sastrawan-seniman dan 
Borneo-Kalimantan.  Apa pun juga alasan sebenarnya, dan pilihan yang diajak 
serta oleh panitya, kukira tetap menunjukkan suatu orientasi atau politik 
kebudayaan elitis dan ekslusif serta mengawang tidak membumi dari Pertemuan 
Sandakan. Terkesan padaku, dengan orientasi begini,  penanggungjawab Pertemuan 
Sandakan merasa diri sebagai baron-baron kebudayaan, sebagai 
"pangkalima-pangkalima " jika menggunakan istilah orang Dayak Katingan, 
Kalteng. Pangkalima tanpa bala. Apakah "pangkalima-pangkalima"  sastra tanpa 
bala ini, kecuali bersandar pada kemampuan uang, mempunyai keperkasaan 
"memungkas gunung", "menimba tasik atau laut" seperti yang dilukiskan oleh 
legenda Oloh Dayak Katingan? Jawabannya sudah dijawab dengan orientasi dan 
sunyinya gema Pertemuan Sandakan di Kalimantan kecuali di segelintir hadirin 
yang adalah pejabat  budaya yang  jauh dari bumi nyata.   Barangkali pertemuan 
begini kelak selanjutnya tidak lagi menggunakan label "sastrawan 
Borneo-Kalimantan" tapi "pertemuan antar pejabat" budaya karena aktor nyata dan 
berjasa sudah diabaikan. Kalau evaluasiku keliru, aku menagih  panitya 
menyebarluaskan hasil pertemuan, paling tidak ke seluruh  Borneo dan 
Kalimantan.  Rahasia negarakah? Amboi, amboi tuan-tuan yang terhormat. Mana 
pula ada hubungan kerja sastrawan dengan rahasia negara?  Apakah aku berhak 
menagihnya? Ya! Karena aku termasuk orang Kalimantan dan tidak seorang pun bisa 
menegasi asal kelahiranku yang telah digunakan oleh Pertemuan Sandakan.

Dari informasi-informasi yang kemudian kudapatkan ternyata yang hadir dari 
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat adalah pejabat-pejabat juga, dan dari 
Kalimantan Tengah atau Selatan tidak kudapatkan berita bahwa  
komunitas-komunitas sastra-seni , aktor-aktor sastra-seni daerah-daerah trebut 
telah turut  menyemaraki Pertemuan Sandakan.  Institut Dayakologi Pontianak 
[ID], sebuah lembaga berwibawa dalam masalah kebudayaan di Kalbar yang 
berkegiatan sudah berdasawarsa dan sudah melakukan usaha-usaha pemberdayaan 
serta sumbangan nyata dalam bidang kebudayaan, sama sekali tidak diundang.  
Karena merasa mempunyai tanggungjawab atas kehidupan kebudayaan di pulau raya 
Kalimantan/Borneo, majalah Kalimantan Review, organ ID, secara berprakarsa 
mengirimkan wartawannya.  ID sendiri sebagai sebuah lembaga sama sekali tidak 
digubris, demikian juga Komunitas Terapung, Lembaga Penelitian  Dayak21 di 
Palangka Raya, Kalteng, apalagi Komunitas Meratus di Kalsel. 

Aku menaruh perhatian pada pertemuan antar Borneo-Kalimantan karena inti 
prakarsa demikian kukira penting , lebih-lebih jika dilihat dari perspektif  
pulau. Melalui pertemuan-pertemuan demikian sebenarnya kita bisa sejak dini, 
sejak hari ini merancangkan dasar kerjasama antar negara yang terdapat di pulau 
, dasar dari suatu haridepan yang bukan hanya menjadi urusan pejabat yang 
sering buta aksara dalam bidang budaya. Dari segi ini, kukira sifat eksklusif 
baronisme dan "anak raja"isme jika menggunakan istilah penyair Perancis, Paul 
Elouard,  tidak akan pernah tanggap dan aspiratif.  Yang kuharapkan dalam 
pertemuan berikut, penyelenggara mempertimbangkan aktor-aktor budaya di 
lapangan.  Mengangkat dan membahas masalah nyata kehidupan sastra-seni di bumi 
nyata pulau, bukan rekaan akademik dan imajiner atau bahkan sama sekali 
menjauhkan atau membiarkannya bagai sabut hanyut di sungai.

Tidak memperhatikan aktor sastra-seni  berwibawa di lapangan dan menjadikan 
permasalahan nyata sebagai sabut atau busa [buré-- bahasa Dayak Katingan] ,  
hanya menjadikan pertemuan sebagai tempat  "berbual-bual kosong", bertamasya 
dengan beaya negara yang dipungut dari pajak atas rakyat. Kalau ulah begini 
dipandang sebagai kesalahan,  tentu saja kesalahan yang dilakukan sampai 
delapan kali pertemuan, masih bisa dikoreksi pada pertemuan-pertemuan 
berikutnya. Tapi terjadi memang bahwa keledai  tersandung di batu yang sama.  
Apakah manusia sejenis keledai? Ba

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM [2-- SELESAI]

2005-07-08 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 




ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM.

2.


Pernyataan ini pun barangkali memperlihatkan suatu proses perkembangan tertentu 
di kalangan komunitas Dayak.


Apa dan bagaimanakah proses perkembangan tertentu itu? 


Diumumkannya Pernyataan ini berguna, karena jika terjadi apa-apa yang berbentuk 
lain jika pernyataan ini tidak diindahkan khayalak ramai tidak akan heran dan 
tahu jalan perkembangannya serta asal muasal kejadian, tidak secara gegabah 
menuding komunitas Dayak sebagai komunitas yang suka perang dan kekerasan. 
Pernyataan ini juga merupakan usaha membentuk dan menyiapkan pendapat umum baik 
di tingkat lokal, nasional mau pun iternasional. Aku tidak tahu, apakah ketika 
mengumumkan pernyataan ini, pihak Komunitas Punan Hulu Kelay sudah menyiapkan 
langkah-langkah berikutnya yang kongkret, sehingga pernyataan tidak tinggal di 
pernyataan atau kata-kata di atas kertas tanpa wibawa.


Untuk suatu komunitas yang tinggal di pedalaman dan bahkan dikelompokkan pada 
"suku terasing", penggunaan pernyataan sebagai sarana membela dan 
memperjuangkan hak asasinya bukanlah hal yang umum, apalagi menggunakan media 
massa elektronik dan disebarkan melalui milis yang sepadan dengan permasalahan.


Memperhatikan gejala ini, besar dugaanku bahwa penggunaan metode perjuangan 
begini,  kiranya tidak lepas dari peranan para cendekiawan komunitas Dayak 
Punan Hulu Kelay yang sudah balik kampung. Dugaan ini diperkuat oleh 
pengorganisasian orang-orang Dayak Punan Hulu Kelay dalam bentuk Komunitas yang 
sangat lazim sekarang ini. Dari komposisi penandatangan Pernyataan, dugaan ini 
memperoleh penguatan baru lagi di mana bentuk organisasi "modern" dan 
"tradisional" dipadukan sehingga antara keduanya ada sambungan. Modern dan 
tradisi bergabung jadi satu kekuatan, yang modern mendasarkan diri pada budaya 
lokal yang sudah ada [baca:tradisional]. Jika dugaan ini  benar maka di sini 
aku melihat betapa kearifan dan kebudayaan lokal dijadikan dasar untuk 
pemberdayaan dan pembangunan bersolidaritas memanusiawikan manusia, kehidupan 
dan masyarakat, jalan yang dirumuskan oleh Prof.Dr.Sayogjo sebagai "Jalan 
Kalimantan". Masalah ini adalah masalah konsepsional, masalah urgen patut 
dipecahkan sebelum kita bertindak dan mengorganisasi diri untuk menjadi tuan 
atas nasib diri dan di kampung kelahiran sendiri. Untuk mewujudkan "Jalan 
Kalimantan" ini, penyatuan diri para pemuda-pemudi Dayak yang terdidik dengan 
mayoritas warga komunitas di daerah-daerah terpencil baik di hulu atau di 
hilir, akan mempunyai arti sangat strategis. Barangkali keluarnya pernyataan 
Komunitas Dayak Punan Hulu Kelay ini hanya menegaskan kembali kepentingan ini. 
Untuk sanggup menyusup hingga ke hulu-hulu yang jauh dari segala fasilitas 
memang diperlukan keteguhan komitmen dan meresapnya suatu wawasan kemanusiaan 
di dalam diri orang-seorang. Keteguhan ini pun akhirnya seperti ujar orang 
Tiongkok Kuno bahwa "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" juga 
adanya.


Jika dugaan di atas benar, maka ia menggarisbawahi arti pentingnya agar para 
mahasiswa-mahasiswa Dayak yang sedang belajar di mana pun di luar Kalimantan 
sekarang untuk pulang kampung begitu mereka selesai dengan studi mereka dan 
bukan keasyikan di rantau yang memberi kenyamanan dan fasilitas lebih dari di 
kampung. Jika mau berbicara terus-terang, tanpa menyimpan pengertian sukuisme 
sempit atau ethnosentrisme apalagi tutuppintuisme, tapi secara kenyataan dan 
pengalaman sejarah,  aku sama sekali belum percaya pemberdayaan dan pembangunan 
daerah bisa ditangani secara tanggap dan aspiratif oleh etnik-etnik lain. Tidak 
pernah ada buktinya etnik lain membawa perobahan maju untuk komunitas Dayak. 
Yang banyak buktinya adalah penggarongan dan pengurasan kekayaan daerah. 
Kalimantan Tengah lahir dan berkembang adalah karena bersandar pada usaha dan 
kegiatan, dengan darah dan keringat serta pengorbanan putera-puteri daerah 
Kalteng sendiri. Jika putra-puteri daerah tidak mau kembali sesudah studi 
mereka selesai, maka bukanlah salah langit dan bumi, apalagi kesalahan pihak 
etnik pendatang baru jika komunitas Dayak terpinggirkan. Untuk keluar dari 
keadaan terpinggir dan terpuruk, kukira Dayak patut jadi etnik yang bermutu dan 
bukan jadi etnik budak kekinian yang loyo tidak punya harga diri, jati diri dan 
merelakan diri kehilangan martabat lalu menempatkan  uang sebagai raja, memburu 
dengan segala cara tanpa malu-malu  gelar-gelar semu hasil pembelian. Yang 
diperlukan komunitas Dayak dan negeri ini, kukira, pertama-tama dan di atas 
segalanya adalah manusia yang bermutu, berwatak dan berkomitmen republiken dan 
berkeindonesiaan. Gelar bukanlah jaminan menjadi manusia demikian. Untuk Tanah 
Dayak barangkali pertama-tama yang diperlukan adalah manusia  pemimpi dan 
pejuang dan pejuang-pemimpi bermutu daripada orang-orang bergelar semu dan 
tanpa nyawa.


Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI



[Selesai]

[Non-text portions

[ppiindia] HALIM HD, "NETWORKER" KEBUDAYAAN

2005-07-08 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Sumber Kompas, Jakarta, 15 September 1999.


HALIM HD, "NETWORKER" KEBUDAYAAN 




MAKASSAR Arts Forum (MAF) '99 yang digelar di Ujungpandang,5-12 September 
1999 telah usai. Event kesenian besar dan terbilang sukses meski masih banyak 
kekurangan di sana-sini, tentulah tak lepas dari peranan pekerja seni, Halim 
HD. 

Dengan totalitas luar biasa, Halim mengerjakan apa saja. Dari kurator 
sampai pembantu umum. Menempel poster, membagi-bagi undangan diskusi usai acara 
di panggung terbuka Benteng Fort Rotterdam, mencuci piring, sampai membersihkan 
kamar mandi di sekretariat panitia. 

Di luar itu, ia juga sejak lama telah membangun relasi-relasi sosial-ia 
menyebutnya sebagai fasilitator/networker kebudayaan. Halim menjalin hubungan 
dengan ratusan orang di puluhan kota, di Indonesia maupun luar negeri. Semua 
bisa dihubungi lewat telepon, e-mail, faksimile, atau surat. 

Hasilnya mulus? Tidak juga. Tetap ada konflik antara panitia dan lembaga 
kesenian. 

"Sebetulnya, apa yang terjadi di sini sama dengan yang terjadi di Surabaya 
atau Semarang. Penyebab utamanya: ada sesuatu yang tampaknya seolah-olah dunia 
kesenian hanya bisa dipecahkan oleh lembaga itu," kata Halim. Dan Halim merasa 
sedih, karena sebagai partisipan, ia ternyata harus terlibat dalam konflik itu. 

Institusionalisasi atau pelembagaan kegiatan-kegiatan kesenian di negeri 
ini dalam 20 tahun terakhir memang sangat kuat sekali. Mulai dari Dewan 
Kesenian Jakarta, lalu muncul dewan serupa di kota-kota lain, sehingga 
menimbulkan kesan dunia kesenian hanya bisa dikelola oleh lembaga. Berikutnya, 
selalu ada upaya saling jegal lewat lembaga-lembaga itu, yang kemudian menjadi 
konflik yang melebar ke wilayah-wilayah lain. 

"Ini yang saya sedihkan. Kita harus kembali kepada fitrah kesenian itu 
sebagai kebersamaan," kata mantan "guru gadungan" yang mengajar Bahasa 
Indonesia di Department of Asian Language and Culture di University of Michigan 
(1989-1992). 
  *** 

HALIM HD lahir 25 Juni 1952 dari keluarga pedagang-petani di Serang, 
Karesidenan Banten (Jawa Barat). Menamatkan SD dan SMP di Serang, dan 
melanjutkan SMA di Yogyakarta. Ia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas 
Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1972-1977, tetapi tidak sampai 
selesai. 

Ketika menjalani masa-masa kuliah itulah, ia ikut mengelola majalah 
mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, Universum, di samping sebagai penanggung jawab 
dan koordinator "Forum Dialog" mahasiswa Fakultas Filsafat. Forum ini berusaha 
untuk mengembangkan diskusi dan dialog tentang filsafat, agama, kebudayaan, dan 
masalah-masalah aktual kemasyarakatan dengan perspektif filsafat. 

Halim pun terlibat pada kegiatan sastra pada tahun 1972-1976, menulis puisi 
namun kemudian berhenti, dan lebih mengkonsentrasikan diri untuk membuat 
artikel/esai tentang kesenian, kebudayaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. 
Tulisannya dimuat di berbagai terbitan kampus maupun koran lokal di Yogyakarta, 
Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, Padang, Ujungpandang, Bali, di samping juga 
menulis untuk koran, majalah, serta jurnal di Jakarta. 

Di antara pekerjaan itu, bersama seniman dan pekerja kesenian di Solo, ia 
mendirikan "Kelompok Kerja Kamandungan" yang menampung berbagai kegiatan seni. 
Awal 1980-an di Solo, Halim mengkoordinir pementasan dan kegiatan kesenian dari 
berbagai daerah yang datang ke Solo, misalnya kegiatan yang melahirkan "Sastra 
Kontekstual" yang dilontarkan Ariel Heryanto dan Arief Budiman. 

Setiap tahun sejak tahun 1982, ia mengadakan kegiatan yang bersifat forum 
dengan skala yang jaringannya luas dan dalam berbagai disiplin, seperti 
pertemuan perupa dan kalangan pendidikan alternatif, serta kalangan NGO 
(non-government organization). Bersama kalangan NGO inilah ia ikut mengadakan 
workshop teater untuk pedesaan dan masyarakat di kampung-kampung di Solo, 
Jateng, Jatim, dan beberapa daerah lain. 

   *** 

APA sebenarnya yang ingin digapai Halim dengan memilih sebagai networker 
kebudayaan? Menurut dia, sesungguhnya setiap orang adalah makhluk yang 
mengelola kebudayaannya bersama lingkungannya. Networker bagi Halim-yang pernah 
bekerja sebagai asisten riset Dr Takashi Siraishi dan Dr Ben Anderson pada 
Cornell Modern Indonesia Project (CMIP)-artinya bagaikan simpul jaring nelayan 
yang satu dengan lainnya saling terkait dan selalu tergetar, jika ada sesuatu 
benda yang jatuh di dalam jaring itu. Jaringan itu juga mengartikan  bahwa 
simpul dari jaring itu sebagai suatu kesederajatan, sesuatu yang setara, yang 
satu dengan yang lainnya saling mengait dan terkait oleh suatu peristiwa. 
Konsep jaringan ini sebetulnya menuju masyarakat madani dalam perspektif 
kebudayaan. 

"Kesenian dan kebudayaan jelas dan pasti tidak bisa terlepas dan melepaskan 
diri dari kondisi dan situasi politik, ekonomi, dan masalah-masalah lainnya, 
termasuk soal hankam yang memang sangat men

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM [1]

2005-07-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 




ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM.

1.


Komunitas Masyarakat Punan Kelay, salah satu sub-etnik masyarakat Dayak yang 
hidup di pedalaman Kalimantan Timur, dan kalau tidak salah ingat, oleh Orde 
Baru dipandang sebagai salah satu suku terasing yang patut diberadabkan 
sehingga patut dipindahkan dari kampung-halaman mereka ke daerah perkotaan 
untuk mendapat bias yang disebut peradaban, pada tanggal 30 Juni 2005 telah 
mengeluarkan pernyataan tertulis terhadap apa yang sedang menimpa mereka sejak 
berdasarwarsa hingga sekarang. Pernyataan tertulis ini disiarkan pada 07 Juli 
2005 melalui berbagai milis antara lain [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] ; 
[EMAIL PROTECTED]


Lengkapnya pernyataan Komunitas Masyarakat Punan Kelay itu berbunyi sebagai 
berikut:



Teman-teman yang baik,
salam kenal, kami dari komunitas masyarakat Punan Kelay, dengan ini 
menyampaikan beberapa pernyataan kami tentang pengelolaan dan pemanfaatan SDA 
daerah kami, semoga berkenan.

salam lestari,
Zenas Daring



Pernyataan Long Suluy

Forum Kampung (Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay)

(Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan 
Kampung Long Beliu) Kabupaten Berau

Untuk Pelestarian Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hulu Sungai Kelay.


Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat, binatang 
buruan, rotan, emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan 
sumber kehidupan kami masyarakat Punan Hulu Sungai Kelay, Kabupaten Berau. 
Untuk itu kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber alam tersebut, 
akan terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan 
kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, 
dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak:



1. Menolak penambangan sumberdaya alam, terutama tambang emas dengan 
menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat yang membahayakan, kecuali dilakukan 
secara tradisional (dulang) seperti yang diajarkan oleh orang tua kami secara 
turun-temurun

2.   Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan 
secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami 
menggantungkan hidup dan kehidupan 

3.   Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh 
siapapun dan dalam bentuk apapun

4.   Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang 
dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan 
bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas 

5.   Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak 
masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam

6.   Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu 
sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh 
sumber-sumber kehidupan kita.


Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan 
alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, 
binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu 
berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan 
alam lainnya yang akan menjadi bencana bagi kehidupan kami dan generasi kami ke 
depan. Jika kami tidak bertindak dari sekarang. 


Long Suluy, 30 Juni 2005


Kami yang membuat pernyataan:

Ditandatangani oleh:

* Forum Kampung Ketua Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay

* Para kepala kampung, ketua BPK dan kepala adat: Kampung Long Suluy, Long 
Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu, Kabupaten 
Berau***


[Sumber:Punan Hulu Kelay;[EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] com ;[EMAIL 
PROTECTED];Thursday, July 07, 2005 4:54 PM].


***


APA ARTI PERNYATAAN INI?


Pernyataan ini pertama-tama kubaca terutama sebagai munculnya isyarat baru di 
kalangan masyarakat Dayak yang hidup jauh di pedalaman, pesan serius dari 
kalangan komunitas Dayak Punan Hulu Kelay. Isyarat tentang adanya suatu 
kebangkitan baru di kalangan orang-orang yang dipandang rendah, hina, 
dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai "suku terasing" atau "primitif" sehingga 
seperti halnya dengan semua Dayak dipandang sebagai lambang dari segala 
keburukan, kejahatan dan yang negatif:
"Dajakkers". 

Jika menggunakan lambang-lambang budaya Dayak, maka kebangkitan ini bisa 
digambarkan bahwa naga yang tinggal di lubuk sungai telah muncul ke permukaan 
dan menghempas-hempaskan ekor raksasa perkasanya sebagai peringatan serius 
diucapkan dengan tenang secara Dayak, di alamatkan kepada siapa saja:


"Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan 
alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, 
binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu 
berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan 
alam lainnya yang akan menjadi bencana

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ESTETIKA KEPRIHATINAN

2005-07-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:


"ESTETIKA KEPRIHATINAN"


Ungkapan ini adalah ungkapan yang kuambil dari tulisan Halim HD, budayawan Solo 
asal Banten dalam salah satu komentarnya ketika menyertai diskusi tentang 
Manikebu versus Lekra di milis [EMAIL PROTECTED] . Sayangnya Halim HD tidak 
menjelaskan lebih rinci lagi konsep "estetika keprihatinan", konsep yang ia 
anggap layak dimiliki oleh para sastrawan-seniman. Tapi sekali pun demikian, 
kita !mengenal Halim HD dari dekat, maka kita, kuranglebih, kita tidak akan 
memperoleh kesulitan memahami apa yang ia maksudkan dengan "estetika 
keprihatinan" itu.

Selain banyak bepergian ke berbagai daerah dan pulau dalam rangka mewujudkan 
konsep "sastra kepulauan", di Solo, Halim HD sangat akrab dengan kehidupan 
masyarakat lapisan bawah yang merupakan dasar dari suatu piramida masyarakat. 
Munculnya penyair Wiji Thukul yang berasal dari lapisan masyarakat dan tetap 
akrab dengan kehidupan lapisan bawah sampai ia "hilang" tak tentu rimba dan 
lautnya, jika mau jujur, kiranya tidak lepas dari jasa budayawan Solo ini juga. 
Halim dan seorang temannya jugalah yang mengajukan nama Wiji Thukul agar 
mendapatkan Wertheim Award. Dan usul ini berakhir dengan diberikannya Wertheim 
Award pertama kepada Wiji Thukul, bersama-sama dengan Pramoedya A.Toer dan 
Rendra. Ketika mengajukan nama Thukul ke Yayasan Wertheim, tidak ada sebuah pun 
antologi puisi Wiji Thukul yang diterbitkan. Yang dijadikan bahan adalah 
karya-karya berupa fotokopie yang dilakukan oleh Halim HD sendiri dan fotokopie 
ini diberikan oleh Halim HD kepada teman-teman dekatnya.

Halim HD memang banyak menulis dan bekerja di lapangan tapi sejauh 
pengetahuanku belum ada satu buku pun yang telah ia terbitkan. Ia sibuk dengan 
kepentingan orang banyak dan kepentingan umum, ciri umum dari seorang networker 
kebudayaan yang mempunyai rasa solidaritas tinggi tapi karenanya juga menjadi 
peka pada ketidakadilan. Dalam pengembangan kebudayaan negeri ini, kukira, 
peran networker tidak bisa diremehkan. Sastra-seni memang pekerjaan kreatif 
yang umumnya bersifat individual, tapi pekerjaan kreatif individual ini bisa 
mencapai skala lebih jauh lagi berkat jasa networker yang pada tahun 1960an 
disebut sebagai pekerjaan organisatoris. Tidak semua orang mampu 
mengerjakannya. Seorang networker atau organisator kebudayaan, selain 
memerlukan kemampuan mengorganisasi, ia pun diminta memiliki wawasan, 
pengetahuan dalam serta bisa menciptakan karya-karya sastra-seni juga. Tidak 
jarang organisator kebudayaan menjadi tidak produktif berkarya. Karyanya ia 
alihkan ke dunia pengorganisaian kegiatan berkesenian.


Berdasarkan pengenalan ini, maka ketika ia mengentengahkan konsep "estetika 
keprihatinan", kukira "keprihatinan" yang ia maksudkan tidak jauh, kalau bukan 
yang utama dan terutama, adalah keprihatinan kepada kehidupan masyarakat luas, 
terutama lapisan bawah yang merupakan mayoritas penduduk dan dasar dari 
piramida masyarakat. Sehingga ketika Halim HD mengetengahkan konsep "estetika 
keprihatinan" kukira dengan pengajuan ini, Halim HD sedang menawarkan usulan 
agar para sastrawan-senima menaruh perhatian kepada masyarakat, terutama yang 
menjadi dasar piramida masyarakat. Dengan mengatakan bahwa "keprihatinan" ini 
sebagai suatu "estetika", kukira Halim HD sedang menghimbau agar para 
sastrawan-seniman mempunyai "keprihatinan" kemasyarakatan dan keprihatinan 
kemasyarakatan ini ia bukan lagi suatu "keprihatinan" biasa tapi sudah 
merupakan suatu estetika. Dengan mengangkat masalah "keprihatinan" ke tingkat 
"estetika" maka dengan ini sebenarnya Halim HD sudah menjadikan "keprihatinan" 
ini sebagai standar atau patokan atau tolakukur karya dan kegiatan berkesenian. 
Dengan mengangkat "keprihatinan" ke tingkat "estetika", kukira Halim HD 
sekaligus secara tidak langsung mengkritik sikap pamer dan iklan diri tanpa 
malu-malu seorang seniman. Pamer dan iklan belum jaminan  mutu tinggi. Tanpa 
usah dipamer dan diiklankan seorang sastrawan dan seniman menjadi sastrawan dan 
seniman karena berkarya dan karyanya. Jika ia berhenti berkarya maka ia pun 
berhenti menjadi seniman. Tanpa karya dan berkarya, seorang sastrawan-seniman 
hanyalah sudah mati, dan hanya berbaring di "kasur lama", jika menggunakan 
ungkapan Tiongkok klasik, dan mengaku-ngaku sastrawan-seniman, ujud dari 
masturbasi jiwa. Tidak ada yang aneh dan istimewa hingga patut diiklankan dan 
di pamer-pamerkan jika seorang seniman berkarya. Sekali pun ia tetap berkarya, 
misalnya, maka dengan mengangkat "keprihatinan" sebagai "estetika", karya-karya 
itu pun patut ditakar dengan standar "keprihatinan" ini.

Dengan mengangkat "keprihatinan" pada tingkat "estetika", agaknya Halim HD pun 
mengkritik sikap elitis dan menyerukan para sastrawan-seniman agar tidak 
bersidekap di menara gading memandang kehidupan dari jauh sehingga hanya 
menduga-duga persoalan nyata kehidupan tapi tidak mengetahui keadaan 
sesungguhnya apalagi merasakan pahit-manisnya hidup yang nyata. Jik

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: GELEMBUNG SABUN

2005-07-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING: 

GELEMBUNG SABUN 



Di bawah ini adalah sanjak-sanjak Ikranegara [selanjutnya aku singkat dengan 
Ikra] yang ia siarkan di milis [EMAIL PROTECTED] [5 Juli 2005].

PATH (2)

many paths end in dead-end walls


DEAD-END WALL

this is it
a slab of concrete
from a fallen dead-end wall
which used to be so powerful & frightening
which blocked our sight & our free steps
which shed the victims' blood and tears
now lying low meaningless
only scattered smelly garbage where flies
feel at home



PATH (3)

those who depend on their beliefs
when facing a dead-end wall
keep moving
continue the journey

   but
go nowhere




SO STRANGE!

so strange! those who depended on their beliefs
facing a dead-end wall in the last century
are still walking in the same place even in this new century

  forever?
going nowhere?


[Sumber: Ikranagara," [EMAIL PROTECTED] , Tuesday, July 05, 2005:2:39 AM; 
Subject: [koran-sastra] Four more tiny poems from Ikranagara, Four Tiny Poems 
from "Under the fullmoon Light" selected poems By: Ikranagara].



Ikra bukanlah orang baru di dunia perpuisian Indonesia walau pun tentu berada 
di bawah angkatan Goenawan Mohamad atau Rendra. Usianya pun sudah mencapai 60 
tahun. Pencantuman usia ini kumaksudkan bahwa Ikra bukan anak kemarin sore di 
dunia puisi. Ia berpuisi sejak masih remaja SMA dan bahkan sejak usia remaja 
itu, ia sudah menjadi salaah seorang penandatangani Manikebu yang merupakan 
peristiwa budaya penting dalam dunia kebudayaan Indonesia. Artinya sejak remaja 
SMA, Ikra mempunyai wawasan dan pengetahuan politik yang dalam dan matang 
karena turut menandatangani sebuah pernyataan penting demikian [lepas dari kita 
setuju atau tidak] hanya mungkin jika kita sadar akan isinya dan atau 
ikut-ikutan.


Oleh lamanya Ikra berkecimpung di dunia perpuisian, tidaklah heran jika secara 
tekhnis nampak ada penemuan diri pada sanjak-sanjaknya di atas.Karena itu di 
sini aku tidak akan menyentuh masalah tekhnis, tapi membatasi diri tentang 
pendapat yang Ikra ungkapkan dalam sanjak-sanjak di atas terutama dalam "Path 
[3]" dan "So Strange". 


Dalam dua puisi tersebut berpendapat bahwa:


PATH (3)

those who depend on their beliefs
when facing a dead-end wall
keep moving
continue the journey

   but
go nowhere




SO STRANGE!

so strange! those who depended on their beliefs
facing a dead-end wall in the last century
are still walking in the same place even in this new century

  forever?
going nowhere?


Isi kedua puisi di atas, kalau pemahamanku benar, tidak jauh berbeda, tapi 
saling melengkapi, yang satu menggarisbawahi yang lain, di mana Ikra mengatakan 
"so strange" terhadap orang ".who depended on their beliefs". Orang-orang ini 
menurut Ikra akan berakhir pada "go nowhere"



Membaca deklarasi ini, pertanyaan yang muncul pada diriku: "Lalu apa yang Ikra 
maui? Apakah Ikra menginginkan orang-orang hidup tanpa pegangan dan menjadi 
"bendera di atas bukit" yang berkibar menurut arah angin? Bendera di atas bukit 
dengan kata lain adalah manusia bunglon, manusia angin-anginan yang  
berprinsipkan individualisme dan bila perlu tak segan menohok kawan seiring, 
dan jadi penjilat. Nilai atau prinsip menjadi tidak perlu dan tidak penting. 
Yang penting aku bisa selamat dan terangkat sehingga sang aku bisa ke mana saja 
dan bisa hidup dalam situasi apa saja. Bisa "going everywhere" or anywhere. 
Prinsip dan membela nilai manusiawi dipandang oleh Ikra sebagai "dead-end 
wall". Berpendapat begini tentu saja adalah hak Ikra sepenuhnya dan pilihan 
demikian sekaligus menentukan kadar kita sebagai anak manusia. Barangkali Ikra 
menganggap menjadi bendera di atas bukit, menjadi manusia angin-anginan, 
menohok kawan seiring, memang jauh lebih luhur dari prinsip-prinsip republiken 
dan keindonesiaan jika kita menterapkannya pada Indonesia dan Republik 
Indonesia  sehingga dengan demikian kita bisa jadi "pahlawan" di segala zaman 
tanpa menantang resiko dan bebas dari ancaman bayonet ajal, tapi JIKA, memang 
pendapat Ikra, tentu aku tidak akan sependapat. Menghalau kolonialisme Belanda 
dan menjadi bangsa merdeka, bagiku adalah suatu prinsip yang patut dibela 
dengan segala konsekwensinya sebagaimana yang ditulis di tembok-tembok kata 
Yogayakarta --ibukota Rvolusi Agustus 1945 --: "Merdeka atau Mati" atau seperti 
yang diungkapkan oleh poster Affandi: "Ajo Bung!" atau sanjak-sanjak Chairil 
Anwar seperti "Aku", "Diponegoro" atau "Kerawang-Bekasi" juga yang ditunjukkan 
oleh Rendra dalam sanjak-sanjak, Riantiarno di masa Soeharto berkuasa, atau 
oleh Ramadhan KH dalam "Priangan Si Jelita".  Bagiku hidup tanpa prinsip dan 
tidak berani membela prinsip adalah suatu kekerdilan dan Indonesia serta 
Republik Indonesia yang kita impikan terwujudnya tidak memerlukan penjilat, 
orang angin-anginan dan mentalitas bendera di atas bukit sekalipun manusia 
begini tetap dan akan selalu ada. Adanya manusia jenis ini pun tidak membuatku 
berkata "so strange!", atau mengatakan yang ber

[ppiindia] Fw: [Lingk] Peryataan Long Suluy

2005-07-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
- Original Message - 
From: Punan Hulu Kelay 
To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, July 07, 2005 4:54 PM
Subject: [Lingk] Peryataan Long Suluy



Teman-teman yang baik,
salam kenal, kami dari komunitas masyarakat Punan Kelay, dengan ini 
menyampaikan beberapa pernyataan kami tentang pengelolaan dan pemanfaatan SDA 
daerah kami, semoga berkenan.

salam lestari,
Zenas Daring





Pernyataan Long Suluy

Forum Kampung (Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay)

(Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan 
Kampung Long Beliu) Kabupaten Berau

Untuk Pelestarian Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hulu Sungai Kelay.







Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat, binatang 
buruan, rotan, emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan 
sumber kehidupan kami masyarakat Punan Hulu Sungai Kelay, Kabupaten Berau. 
Untuk itu kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber alam tersebut, 
akan terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan 
kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, 
dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak:



1. Menolak penambangan sumberdaya alam, terutama tambang emas dengan 
menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat yang membahayakan, kecuali dilakukan 
secara tradisional (dulang) seperti yang diajarkan oleh orang tua kami secara 
turun-temurun

2.   Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan 
secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami 
menggantungkan hidup dan kehidupan 

3.   Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh 
siapapun dan dalam bentuk apapun

4.   Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang 
dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan 
bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas 

5.   Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak 
masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam

6.   Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu 
sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh 
sumber-sumber kehidupan kita.



Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan 
alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, 
binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu 
berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan 
alam lainnya yang akan menjadi bencana bagi kehidupan kami dan generasi kami 
kedepan. Jika kami tidak bertindak dari sekarang. 





Long Suluy, 30 Juni 2005



Kami yang membuat pernyataan:



Ditandatangani oleh:

Forum Kampung Ketua Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay

Para kepala kampung, ketua BPK dan kepala adat: Kampung Long Suluy, Long 
Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu, Kabupaten 
Berau








-
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam? Surat Yahoo! mempunyai perlindungan terbaik terhadap spam. 
http://id.mail.yahoo.com/

[Non-text portions of this message have been removed]



= Petunjuk Milis Lingkungan ===

Gunakan bahasa yang sopan dan bersikap dewasa
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Berhenti: [EMAIL PROTECTED]
Milis Lingkungan tidak menerima segala bentuk ATTACHMENT, bila ada
yang akan kirim ATTACH harap di-COPY & PASTE di BADAN EMAIL.

= Motto:Lestari dan berseri Indonesiaku ==

Arsip berita-berita lingkungan di Indonesia :
http://groups.yahoo.com/group/berita-lingkungan/
Berlangganan : [EMAIL PROTECTED] 




YAHOO! GROUPS LINKS 

  a..  Visit your group "lingkungan" on the web.

  b..  To unsubscribe from this group, send an email to:
   [EMAIL PROTECTED]

  c..  Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 






[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group o

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING:APRIORISME KETIDAK TAHUAN YANG DIYAKINI DAN NAMA

2005-07-07 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:
APRIORISME KETIDAK-TAHUAN DAN NAMA

Dari diskusi tentang Manikebu versus Lekra versus Lekra yang sekarang sedang 
berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED] lamat-lamat tertangkap oleh mataku yang 
membaca dan telingaku yang mendengar, sekali pun terkadang disuarakan dengan 
malu-malu ada pendapat yang menyetarakan Lekra sebagai sesuatu keaiban dan 
kenistaan sekali pun suara itu tidak menyertakan bukti-bukti. Kalau pun yang 
diannggap sebagai bukti itu adalah kesaksian maka kesaksian itu masih pantas 
dipertanyakan apakah bukti kenistaan membakar buku itu adalah memang tindakan 
yang dilakukan oleh anggota-anggota Lekra. Jangan-jangan ada suatu prasangka 
penyamarataan. Karena itu Desha menanyakan melalui contoh Yogya yang dikenalnya 
sebagai perbandingan. Dan Desha oleh penuding dijawab bahwa si penuduh bukan 
ahli Lekra tapi tidak menjawab dan menghindar dari inti persoalan tuduhan yang 
sudah dilempar ke depan umum. Pertanyaan tagihan Desha, kukira adalah suatu 
pertanyaan wajar. Dan aku sebagai penanggungjawab Lekra di Kota  Yogyakarta 
pada tahun-tahun 60-an pada kesempatan ini ingin menggarisbawahi pertanyaan 
Desha meminta pertanggunganjawaban dan bukti bahwa yang membakar buku itu 
adalah Lekra. Aku turut menagih bukti bahwa pembakaran buku itu, benar 
dilakukan oleh anggota-anggota Lekra seperti yang dituduhkan. Kalau tidak  bisa 
membuktikannya, aku minta sipenuduh menarik kembali tuduhannya di depan umum 
dan tidak melalui japri. Mengapa tuntutan ini aku ajukan karena sepengetahuanku 
anggota-anggota Lekra mencintai buku dan tidak ada petunjuk organisasi secara 
nasional untuk melakukannya. Kalau penuduh masih memahami arti kata, harga diri 
dan martabat diri sebagai manusia yang menolak fitnah, aku kira sipenuduh tidak 
menolak membuktikan pernyataannya. Dari pernyataan inilah aku melihat bahwa 
Lekra dijadikan kambinghitam dan orang merasa leluasa berkata apa saja serta 
merasa sah tentang Lekra. Sementara yang jelas sampai sekarang karya-karya 
anggota Lekra masih dinyatakan terlarang oleh pemerintah dan belum dicabut. 
Perpustakaan Pramoedya A. Toer dan dokumen-dokumennya dibakar -- hal yang 
sampai sekarang tetap digugat oleh Pram. Sementara itu juga, siapa yang bisa 
menyangkal bahwa berapa banyak anggota Lekra yang dibunuh, dipenjara, disiksa 
dan dibuang ke pulau pembuangan? Bahwa Lekra sebagai organisasi kebudayaan 
menentang prinsip-prinsip Manikebu, tidak disanggah dan benar, tapi Lekra dalam 
konfrensi nasional di Palembang, menolak dan mengkritik pembubaran Manikebu.  
Joebaar Ajoeb sebagain sekretaris jenderal [sekjen], orang pertama Lekra dalam 
percakapannya denganku di rumahnya di Jalan Pemuda Jakarta menyatakan dengan 
jelas bahwa dalam hal pembubaran Manibu, Lekra "telah kecolongan". Menurut 
Ajoeb, pembubaran Manikebu adalah atas usul Menteri Prof.Dr.Prijono kepada 
Soekarno demi menyelamatkan Partai Murba yang sedang menghadapi ancaman 
pembubaran.

Dari sini nampak betapa pada tahun-tahun itu, kehidupan kebudayaan, pada semua 
pihak, tanpa terkecuali, sangat terkait dengan perkembangan pertarungan politik 
pada periode itu.

Tentu saja aku tidak menuntut orang-orang menyetujui ide-ide Lekra. Hak 
masing-masing untuk setuju dan menentang. Tapi jelaskan apa yang tidak 
disetujui dan ditentang dari Mukadimmah Lekra dan ide-ide yang dikembangkannya 
melalui Kongres dan konfrensi-konfrensi nasional guna membangun dan 
mengembangkan gerakan kebudayaan rakyat di negeri ini? Aku sendiri, sebagai 
salah seorang penanggungjawab Lekra sederhana tingkat Yogya telah mencoba 
menuliskan dan secara terbuka mencoba menarik pelajaran dari praktek 
berkesenian Lekra dan menuturkan betapa sengitnya pertarungan di dalam Lekra 
sendiri dalam membangkitkan gerakan kebudayaan rakyat di Indonesia.

Barangkali ada yang beranggapan bahwa masalah Lekra dan Manikebu sudah menjadi 
masalah masalah silam dan  tidak relevan dengan tuntutan kekinian. Masalah 
Lekra dan Manikebu hanyalah rincian dari sejarah kebudayaan Indonesia. Benarkah 
anggapan begini? Apakah inti debat ide tersebut?

Kalau pengamatanku benar, sejak 17 Agustus 1950, hari berdirinya Lekra pertama 
di seluruh Indonesia di Jakarta, di jalan Madura, masalah sentral yang 
diketengahkan adalah masalah orientasi kebudayaan untuk Indonesia sebagaimana 
juga -- dalam konteks syarat sejarah berbeda -- masalah sentral yang 
dimunculkan dalam polemik kebudayaan di kalangan sastrawan-seniman-budayawan 
angkatan Poedjangga Baroe. Apakah masalah orientasi ini sekarang merupakan 
masalah yang tidak tanggap zaman lagi? Jika demikian, katakan kepadaku, mau ke 
mana sastra-seni dan kebudayaan Indonesia sekarang? Apakah debat orientasi ide 
ini menimpakan malapetaka saja kepada angkatan sekarang, seperti yang pernah 
kudengar di TIM Jakarta dan di milis-milis? Ataukah pernyataan dan tudingan 
demikian bukannya petunjuk dari kebingungan dan kehampaan ide dari si penuding. 
Hendaknya angkatan sekarang dan yang di atas angin tidak berke

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: PEMBEBASAN DAN PEMANUSIAWIAN MANUSIA SEBAGAI STANDAR

2005-07-04 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:

PEMBEBASAN DAN PEMANUSIAWIAN MANUSIA SEBAGAI STANDAR


Karya-karya  sastra Indonesia berbahasa Indonesia, tidak sedikit yang sudah 
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan dikomentari oleh pakar-pakar 
asing dan para Indonesianis berbagai negeri.Apakah komentar dan dimasukkannya 
karya-karya terpilih untuk suatu antologi terjemahan demikian menunjukkan 
karya-karya tersebut mencapai taraf lebih tinggi dari karya-karya lainnya dan 
komentar serta keterpilihannya merupakan suatu standar nilai?


Dipilihnya suatu karya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan dimasukkan 
ke dalam sebuah  bunga rampai, tentu saja dilakukan atas dasar suatu patokan 
atau standar tertentu. Standar siapa? Tentu saja standar sang atau tim pemilih 
kalau ia merupakan suatu tim. Standar tim barangkali sedikit lebih bersegi 
banyak dibandingkan dengan hanya dipilih oleh satu orang saja. Pertanyaan 
berikutnya:Apakah pakar dan Indonesianis merupakan standar kebenaran dan 
obyektivitas? Tentu saja tidak, banyak contoh menunjukkan bahwa yang disebut 
pakar dan Indonesianis ini pun penuh dengan subyektivitas bahkan kecerobohan. 
Salah satu misal adalah buku tentang masalah keagamaan di Tanah Dayak yang 
diterbitkan oleh LIPI Jakarta sehingga membangkitkan gelombang protes dari 
kalangan cendekiawan Dayak, sampai-sampai tokoh Kaharingan Kalimantan Tengah 
mengancam menjatuhkan hukuman adat pada LIPI. Contoh lain adalah sejarah 
Indonesia yang ditulis dibawah pimpinan Brigjen DR.Noegroho Notosusanto dengan 
data yang tidak sedikit diputarbalik bahkan pemalsuan. 


Berbicara tentang standar, sering standar itu bercampurbaur dengan berbagai 
macam pertimbangan, terutama pertimbangan politik. Contoh: Ketika LIPI 
menerbitkan terjemahan buku pemikiran-pemikiran politik di Indonesia, dalam 
buku tersebut pikiran-pikiran dari D.N.Aidit sama sekali dihapus alias 
disingkirkan. Padahal dalam edisi aslinya tertera pikiran-pikiran D.N. Aidit 
yang mewakili PKI. Contoh lain buku H.B.Jassin tentang Angkatan '66. Dalam 
tulisan ini H.B.Jassin memuji setinggi langit dan mengkategorikan sanjak-sanjak 
Taufiq Ismail dan lain-lain sebagai suatu angkatan, sedangkan sanjak-sanjak 
para anggota Lekra yang tidak kurang politis dan cara pengungkapannya tidak 
kurang baik dari sanjak-sanjak Angkatan '66 dikatakan sebagai sanjak-sanjak 
sloganis. Bukan karya sastra. Dengan contoh-contoh ini aku ingin menunjukkan 
bahwa dalam menilai dan memilih terdapat unsur subyektivisme. Juga dalam 
memilih apa yang diterjemahkan pertimbangan subyektif dan pertimbangan politik 
pun sulit dihindari.


Karena itu bagiku, penterjemahan karya-karya ke dalam bahasa asing dan 
pemuatannya ke dalam yang disebut majalah terkemuka atau penerbitan yang 
ditopang oleh pakar atau Indonesianis tidak mempunyai arti menentukan dan tidak 
bisa dijadikan patokan atau standar bermutu tidaknya seorang penulis sedangkan 
yang tidak dipilih menjadi ntidak bermutu.


Dalam konteks ini, aku  jadi lebih menghargai Cak Durasim dan atau Wiji Thukul 
sekali pun karya-karya mereka tidak dipilih oleh majalah terkemuka luar negeri, 
tapi dengan nyawa mereka telah membela nilai-nilai yang diungkapkannya dalam 
karya. Apa yang dibela Wiji dan Cak Durasim lebih kongkret artinya bagi usaha 
memanusiawikan manusia di tanahair daripada suatu terjemahan dan popularitas 
individual,  pamer atau iklan diri yang jika dilihat secara hakiki sangat 
menjijikkan karena orang begini biasanya tidak enggan menjual diri, jadi 
pengkhianat dan mencla-mencle, tanpa kepribadian yang tegas. Kebesaran Cak 
Durasim dan Wiji Thukul tidak pertama-tama terletak pada kemampuan tekhnis 
berkesenian tapi terdapat pada satunya kata dan perbuatan mereka. Kata adalah 
terjemahan ide dan hidup mereka. 


Dengan ini yang ingin kukatakan bahwa patokan tertinggi bagi seorang sastrawan 
masih saja terdapat pada kesanggupan atau kemampuannya dalam memanusiawikan 
manusia, masyarakat dan kehidupan di negerinya sendiri sebagai bagian dari 
kemanusiaan seplanet, bukan terletak pada apakah ia diterjemahkan dan 
diterbitkan oleh majalah terkemuka suatu negeri mancanegara atau disangga oleh 
pakar serta Indonesianis yang sering tanggung pengetahuannya tentang Indonesia 
tapi mencari hidup dari menjual nama Indonesia. Pada masa jayanya Orde Baru 
Soeharto sementara Indonesianis Perancis pernah berterus-terang kepadaku bahwa 
Indonesia adalah periuk nasi mereka dan mereka tidak mau periuk nasi ini hancur 
berantakan karena menyokong kegiatan anti Orbaku. Aku tentu saja menghargai 
keterus-terangan ini, tapi dari sini kulihat jelas bahwa nilai dan harkat diri, 
mutu kita, termasuk sastra kita, tidak ditentukan oleh para pakar dan 
Indonesianis. Dari pengalaman langsung dan bacaan kuketahui bahwa yang disebut 
pakar dan Indonesianis itu tidak bisa atau sulit membebaskan diri dari status 
pelayan politik pemerintah negerinya. Yang bisa membebaskan diri dari kaitan 
ini, bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Kary

Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH

2005-07-04 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
Boni Triyana yang baik,
Terimakasih atas komentar dan tambahan data yang sangat berharga.
Salam hangat,

JJK

- Original Message - 
  From: Boni Triyana 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Sunday, July 03, 2005 5:58 PM
  Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN 
SEJARAH


  Bung Kusni yang baik,

  Saya sangat setuju dengan pendapat yang bung kemukakan. Saya adalah salah 
seorang anak muda yang lahir dan besar di zaman Orba. Semester pertama kuliah 
langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa Soeharto adalah seorang penguasa 
otoriter yang harus ditumbangkan. Jelas saya terkaget-kaget.

  Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya, ketika itu masih SD, 
terkagum-kagum pada figur Soeharto dalam film "Serangan Oemoem 1 Maret" dan 
juga pada film "Pengkhianatan G.30.S/PKI."  Dalam benak saya, dia jagoan titik. 
Hebat.

  Lalu memasuki 1997-1998, ketika baru kuliah, mata saya melek. Terbuka lebar. 
Betapa di balik kehebatan pembangunan ekonomi yang dilakukannya, tersimpan 
buruk wajah Orde Baru. Artinya, bagaimanpun juga, saya adalah bagian dari 
korban brain washing Orba.

  Saya tentu setuju apabila keburukan PKI ketika masih berjaya pun ditulis 
dengan gamblang. Tanpa ba bi bu lagi. Dan tentu dengan serangkaian fakta yang 
kuat pula. 

  Sekarang ada kesan "wajar" apabila orang-orang kiri dibantai habis. Karena 
pada periode sebelumnya PKI begitu garang menyerang kelompok politik 
lawan-lawannya. Inilah yang tidak beres. Bagaimana kesombongan PKI pada waktu 
itu dibalas dengan membantai massal kepada 3 juta massanya.

  Mengenai pelurusan sejarah. Menurut hemat saya, ini perlu diperjelas lagi. Di 
kalangan sejarawan di Indonesia, saat ini sedang terjadi "tarung" antara mereka 
yang menggunakan istilah "penulisan ulang sejarah" (Prof Taufik Abdullah) 
dengan yang menggunakan istilah "Pelurusan Sejarah" (Asvi Warman Adam).

  Penulisan ulang sejarah adalah sebuah usaha untuk menuliskan kembali sebuah 
peristiwa sejarah yang sebelumnya telah ditulis, dengan menggunakan fakta yang 
baru atau fakta yang sama dengan penulisan sebelumnya namun dengan intepretasi 
yang baru. Penulisan ulang sejarah yang baru tidak menggantikan versi sejarah 
yang sebelumnya. Ini didasarkan atas adanya adagium: bahwa setiap 
orang/kelompok memiliki hak untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat 
berhak menentukan karya sejarah mana yang mereka baca.

  Sedangkan "Pelurusan Sejarah" adalah sebuah upaya untuk mengoreksi penulisan 
sejarah yang terdahulu, yang telah terbukti memutarbalikan fakta. Versi sejarah 
yang diluruskan dapat menggantikan versi sejarah sebelumnya, ketika fakta yang 
digunakan dalam penyusunannya terbukti lebih sahih daripada versi sebelumnya.

  Terkhusus untuk kasus 65, mari kita tengok buku "Kesaktian Pancasila di Bumi 
Pertiwi." Buku ini diterbitkan oleh BP. Almanak Republik Indonesia. Diberi kata 
pengantar oleh Nugroho Notosusanto. Kalau tidak salah ingat Pada hal. 51 
terdapat sebuah foto yang memuat gambar beberapa mayat bergelimpangan dalam 
keadaan tangan terikat di tepian Bengawan Solo. Dalam caption disebutkan 
"Inilah korban keganasan PKI." Padahal fakta yang sesungguhnya mayat-mayat 
tersebut adalah anggota dan simpatisan PKI yang dibantai oleh militer atau 
milisi pendukungnya. Ini kan jelas pemutarbalikan fakta, sehingga perlu 
diluruskan, bukan ditulis ulang. Karen kalau ditulis ulang, lalu membiarkan 
versi yang sebelumnya, tentu akan membiarkan masyarakat awam bingung, bahkan 
tersesat dalam prasangkanya.

  Contoh berikutnya juga bisa dilihat dalam buku Alex Dinuth "Kewaspasdaan 
Nasional: Kumpulan Dokumen Terpilih Peristiwa G.30.S/PKI" terbitan Intermasa 
tahun 1997. Pada hal 510-511 juga terdapat foto seperti di atas dan juga dengan 
caption yang menyesatkan. 

  Tentang pembantaian di tepian kali Bengawan Solo dan Brantas sudah ditulis 
dengan bernas oleh Hermawan Sulistyo, "Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah 
Pembantaian Massal yang Terlupakan di Jombang-Kediri 1965-1966."

  So, menurut hemat saya, yang perlu dilakukan dalam penulisan sejarah 
wabilkhusus tahun 1965 adalah "Pelurusan Sejarah" bukan "Penulisan Ulang 
Sejarah."

  Sekian dari saya.

  Bonnie Triyana

  Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  JURNAL KEMBANG KEMUNING:


  MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH


  Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang 
Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada 
ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya 
ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, 
termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung 
Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah 
Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer 

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: REKONSTRUKSI DATA

2005-07-03 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:


REKONSTRUKSI DATA OBYEKTIF


Dalam diskusi tentang "Lekra versus Manikebu" yang sekarang sedang terus 
berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED], ada sementara pihak yang menampakkan 
kebenciannya pada Lekra dan atas dasar pengalaman pribadi sekali pun masih muda 
remaja mengatakan tanpa ragu bahwa Lekra  pada tahun-tahun 60-an telah 
melakukan tindak-tindak antgi kebudayaan seperti membakar buku tanpa 
menunjukkan bukti bahwa jika pembakaran buku itu benar terjadi apa bukti-bukti 
bahwa yang membakarnya adalah anggota-anggota Lekra. Berbicara tanpa bukti dan 
rincian sama dengan fitnah tidak tahu malu dan tanpa harga diri sehitam kuku 
pun sambil mengagungkan diri sebagai seorang sastrawan dengan segala perangkat 
nilai kesastrawanannya, sementara itu yang jelas berapa banyak anggota Lekra 
yang disiksa , dibuang, dipenjara, dibunuh, karya-karya mereka dinyatakan 
terlarang [juga pada masa pemerintahan Soekarno], perpustakaan pribadi 
Pramoedya A. Toer di Jakarta dihancurkan tidak terbantah, merupakan kenyataan 
diketahui dunia. 


Fitnah dan kebohongan yang umum dilakukan pada masa Orde Baru, agaknya masih 
membekas dalam kehidupan hari ini. Aku katakan fitnah jika tuduhan demikian 
tidak disertai bukti dan rincian data. Fitnah memang sering dialami oleh 
orang-orang yang sedang berada di bawah angin dan kesewenang-wenangan biasa 
dilakukan oleh mereka yang berada di atas angin. 


Tidak setuju dan bahkan anti Lekra adalah hak mutlak seseorang. Tapi fitnah 
adalah soal lain yang melampaui batas nalar. Aku menghormati hak orang lain 
tidak setuju bahkan anti Lekra. Tentu saja aku menghormati hak ini. Hanya saja 
jika anti dan tidak setuju: apanya yang tidak disetujui dan diantikan?! 
Bagaimana penjelasannya?  Akan mustahil rasanya jika apa yang tidak disetujui 
dan diantikan ini pun diserahkan kepada para pakar sastra, padahal pakar sastra 
dan Indonesianis pun tidak kurang ada yang pengetahuannya tentang Indonesia pun 
pas-pasan dan mereka bukan jaminan kebenaran. Ambil contoh Keith Foulcher  atau 
Stephen Miller yang menulis tentang Lekra dengan kesimpulan yang menguntungkan 
Lekra, apakah mereka bicara tentang debat ide di intern Lekra dan rincian 
permasalahan Lekra? Bicara tentang Lekra tanpa menyentuh masalah ini kukira 
hanyalah petunjuk ketidaklengkapan pengetahuan dan data tentang Lekra.Lekra 
adalah suatu lembaga kebudayaan, dan kebudayaan bersentuhan dengan ide, pola 
pikir dan mentalitas. Apakah Keith dan Miller menyinggung pergulatan Lekra di 
bidang ini? Lagi pula mengapa sarjana asing yang dijadikan standar, padahal 
orang-orang ini menulis dengan motif tersendiri? Berbicara tentang pembakaran 
buku tanpa bukti dab rician selain fitnah, juga akan menunjukkan terbatasnya 
pengetahuan tentang konsep dan praktek kebudayaan Lekra.


Menyerahkan masalah Indonesia, dalam hal ini masalah "Lekra versus Manikebu" 
bisa merupakan cara lari menghindari tanggungjawab tapi sekaligus sikap begini 
juga adalah ujud dari mental budakisme dan pengecut yang tidak diperlukan 
Indonesia yang republiken.


Pernyataan-pernyataan bertendensi fitnah begini kukira menyentuh masalah sikap 
sejarah yang selama Orba data-datanya dijungkirbalikkan bahkan dipalsukan, 
sesuai strategi pimpinan teras CIA yang ditetapkan dalam pertemuan di Philipina 
sebelum Tragedi September 1965 meletus [lihat: Otobiografi Letkol Penerbang 
Heru Atmodjo, dalam wawancaranya dengan JJ. Kusni -- direncanakan akan 
diterbitkan oleh Ombak Press Yogyakarta tahun ini. Lihat pula Boni Triayana, 
dalam milis ppiindia@yahoogroups.com 03 Juli 2005].


Yang kumaksudkan dengan sikap sejarah adalah usaha bersikap semaksimal mungkin 
setia pada data. Artinya obyektivitas. Obyektivitas, terutama dalam ilmu 
sosial, termasuk ilmu sejarah, memang seperti yang dikatakan oleh Jan Myrdal  
mempunyai batas, karena akhirnya data itu ditafsirkan dan tafsiran akan 
mempunyai ciri subyektif. Sedangkan subyektivisme dipengaruhi oleh kondisi 
sosial-politik-ekonomi dan lingkungan pada waktu tertentu. Hanya saja jika kita 
berpegang teguh pada obyektivitas, kukira, kita akan berusaha maksimal 
mengurangi tingkat subyektvisme dalam menafsirkan data. Sejarah obyektif kukira 
merupakan keperluan mendesak negeri dan bangsa hari ini dan selanjutnya.


Kalau pun ilmu sejarah tidak bisa melepaskan diri dari tafsiran atau 
subyektivisme, tapi minimal data-data jangan dipalsukan, jangan 
diputarbalikkan. Pengetangahan data sebagaimana adanya, kukira adalah suatu 
kemutlakan. Jika hal ini terpenuhi barangkali obyektivitas itu relatif 
tercapai. Apabila ada sejarawan yang mengatakan sejarah merupakan suatu 
rekonstruksi data maka kukira data yang dimaksudkan di sini akan  masih sama 
yaitu data sebagaimana adanya. Pengebiran data, pemutarbalikan data, pemalsuan 
data, akan menimbulkan krisis pada ilmu sejarah, kalau tidak ia hanya bisa 
disebut sejarah palsu. Fitnah sebagai bagian dari subyektivisme, tak ada 
sangkut-pautnya dengan data sebagaimana adan

[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH

2005-07-03 Terurut Topik Budhisatwati KUSNI
JURNAL KEMBANG KEMUNING:


MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH


Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang 
Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada 
ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya 
ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, 
termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung 
Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah 
Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer di Lentera, ruang 
kebudayaan harian Bintang Timur yang ia asuh. Manikebu adalah kata lain  dari 
"mani kerbau". 

Oleh adanya keadaan ketidaksinambungan sejarah ini maka sejak beberapa tahun di 
negeri ini ada usaha "meluruskan sejarah" -- istilah yang tidak semua orang 
setuju dengan alasan sejarah adalah sejarah. Ia, sejarah itu ada, dan 
memperlihatkan dirinya secara nyata. Lukisan sejarawan tidak lebih dari suatu 
tafsiran. Tafsiran sejarah sering sangat subyektif. Karena itu Prof. Arkoun 
dari Univ. Sorbonne [Paris III] dalam sebuah ceramahnya membedakan dua macam 
sejarah, yaitu sejarah tafsiran alias sejarah politis dan sejarah obyektif. 
Sejarah tafsiran atau politis adalah sejarah yang ditulis demi kepentingan 
politik tertentu dari suatu rezim tertentu. Oleh keberpihakan membuta begini 
maka si penulis tidak segan memutarbalikkan kenyataan dan menciptakan 
kebohongan yang oleh Goebel, menteri penerangan Hitler diberi dasar teori 
"kebohongan akan jadi kebenaran jika dipropagandakan terus-menerus". Tiga puluh 
tahun rezim Orde agaknya merupakan periode "penyebaran kebohongan" sehingga 
"kebohongan itu menjadi "kebenaran", kebenaran pihak pemegang kekuasaan, dan 
penyebaran kebohongan ini dikawal oleh Orde Baru Soeharto dengan pendekatan 
"keamanan dan kestabilan nasional" yang melahirkan ketakutan dan membunuh 
pertanyaan. Pertanyaan menjadi suatu tindak subversif.

Pemutarbalikan data sejarah dan penyebaran luas kebohongan oleh pemegang 
kekuasaan politik akan langsung mempunyai dampak pada masyarakat luas, 
lebih-lebih jika ia dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah si seluruh 
tingkat. Kebohongan dan pemutarbalikan ini diperkokoh oleh media massa yang 
hadir di rumah-rumah keluarga, menyusup hingga bilik-bilik pribadi saban hari 
sehingga anak-anak yang lahir dan diasuh pada zaman Orba boleh dikatakan tumbuh 
mendewasa dengan ide-ide kebohongan. Kalau kebohongan dan pemutarbalikan ini 
adalah daki-daki dan debu, maka daki dan debu-debu inilah yang menutup jiwa dan 
pikiran satu angkatan paling tidak, sama dekilnya dengan jiwa kaum sektarian. 
Membuang daki-daki dan debu ini bukanlah pekerjaan sederhana seperti membalik 
telapak tangan. Tidakkah masalah ini menjadi bidang garapan para sastrawan?!

Terbitnya berbagai Memoire para saksi sejarah yang masih tersisa dan lepas dari 
pembinasaan fisik, pada masa yang digelapkan sesudah turun panggungnya 
Soeharto, kukira termasuk acuan berguna bagi angkatan muda. Daya kritik tetap 
diperlukan dalam membaca Memoire itu, sebab sering dalam menulis tentang diri 
sendiri, orang gampang terpeleset ke lobang-lobang egosentrik.

Jadi kalau dikatakan di negeri ini ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah 
maka penanggungjawab utamanya adalah pemegang kekuasaan politik. Sejarah 
dijadikan alat penopang kekuasaan. Tapi sejarah itu sendiri tetap ada 
sebagaimana adanya kejadian-kejadian itu sendiri. Ia ada sebagaimana dirinya, 
entah disukai atau tidak, menyenangkan atau tidak tapi sebagai data dan 
kejadian ia akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Jika dikatakan 
ketidaksinambungan maka ketidaksinambungan itu sendiri, kukira adalah ujud dari 
suatu sejarah tertentu pada periode tertentu. Dari segi ini, aku kira, 
sesungguhnya tidak ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah. Yang disebut 
ketidaksinambungan sejarah di atas, kukira, adalah praktek politik terhadap 
sejarah, dan praktek ini ujud dari sebuah sejarah juga. Sejarah sebagaimana 
adanya sejarah. Misalnya: Manikebu atau Lekra, suka atau tidak suka orang 
padanya, keduanya ada dan nyata ada dalam catatan sejarah. Masalahnya: 
Bagaimana kita memahami hakekat peristiwa dan menempatkannya dalam suatu 
rangkaian sari sejarah yang utuh.

Untuk memahami sari ide dan musabab atau roh yang melatari kejadian-kejadian 
ini untuk kepentingan-baik hari ini dan masa depan, kukira menjadi inti dari 
suatu pengkajian dan diskusi. Pengkajian masalah atau renungan, bukanlah 
mengembangkan saling hujat yang tak akan punya ujung, juga bukan pamer jasa dan 
kepahlawanan atau keluarbiasaan diri. Mengabaikan sari ide, mengenyampingkan 
roh, dan pertanyaan-pertanyaan hakiki, hanya akan membawa kita ke jalan buntu 
ketidaktahuan. Hal ini pun kukira berlaku pada saat kita memperbincangkan 
masalah Lekra versus Manikebu. Agar perbincangan jadi efektif, mengena pada 
sasaran barangkali, yang kita perlukan adalah merumuskan pertanyaan-perta

  1   2   3   4   5   6   7   >