[ppiindia] Catatan Sastra Seorang Awam:MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA [14]
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 14. Kembali kepada masalah cara pengungkapan sastra lisan [oral]. Kalau pengamatanku benar, sastra lisan, terutama puisi , nampak bahwa puisi lisan seperti "Sansana Kayau" atau mantera-mantera di daerah Sungai Katingan, Kalimantan Tengah, selain bercirikan : [1]. pengungkapan yang langsung dari lubuk hati ; [2]. langsung menjawab keperluan kehidupan, dan [3]. walau pun sederhana tapi mempunyai puitisitas yang tinggi. Sederhana dan taraf puitisitas yang tinggi!. Dengan ciri-ciri ini, bisa kupastikan sastra oral tidak tergolong pada puisi-puisi gelap -- yang dipandang sebagai canggih atau modern. Puisi-puisi yang terkadang hanya penyairnya seorang yang paham akan maksudnya. Dalam kesederhanaannya, puisi oral memperlihatkan usaha menyelami hakekat, dan tidak berhenti pada gejala di permukaan. Sebagai contoh , barangkali hal yang hakiki nampak dari pantun berikut: "ke pulau sama ke pulau ke pulau menangguk udang merantau sama merantau kalau mati, mati seorang" Juga dari baris-baris alm.Cak Durasim pemain ludruk dari Jawa Timur yang dibunuh oleh pendudukan militeris Jepang: pagupun omahe doro melu nippon tambah sengsoro Terjemahan bebas dengan harapan dapatkan puitisitas: [pagupun rumah merpati ikut nippon membuat mati] Pada baris "kalau mati, mati seorang", aku memahaminya terdapat masalah hakiki yang dihadapi oleh anak manusia dalam hidup yaitu bahwa pada galibnya manusia itu adalah suatu individu dan individu ini menentukan sendiri jalan nasibnya, pada hakekatnya seorang anak manusia dalam menelusur jalan hidupnya tetap seorang diri juga. Orangtua, sanak-saudara, handai taulan, istri atau kekasih, keadaan sejarah atau lingkungan, betapa pun besar dan berartinya peranan mereka, tapi pada analisa terakhir, individu itu seorang dirilah yang menentukan. Misalnya para tapol yang disekap di penjara atau pulau pembuangan Orba , hakekat ini pun tercermin. Macam-macam sikap dan perangai disaksikan bagaimana para tapol itu menghadapi cobaan ajal di bayonet Orba. Ada yang tetap gagah sampai mati, ada yang belum apa-apa sudah menyerah dan sanggup jadi "tukang tunjuk" atau tak obah bagaikan "jago yang keok pagi-pagi". Hal ini pun terbayang pada berbagai sikap para mereka yang terpental di negeri orang. Sederhana dan kedalaman renungan agaknya tidak terpisahkan, juga tidak terpisahkan dari keindahan. Karena itu tidak gampang menjadi sederhana dan indah. Berindah-indah dengan kata-kata dan kalimat tapi hampa isi, kukira tidak bisa dimasukkan sebagai suatu kesederhanaan. Pengalaman dan kemampuan menyimpulkan pengalaman, kiranya, akan berperan besar untuk bisa sampai pada "sederhana dan indah". Contoh lain, adalah apa yang kualami ungkapan penduduk kampung di Sungai Kapuas, juga sebuah sungai yang terdapat di Kalimantan Tengah. Kejadiannya sebagai berikut: Setelah menyelesaikan SMA Santo Thomas di Yogyakarta, aku menggunakan waktu liburan untuk pulang ke Kalimantan Tengah dan sebelum sampai ke Katingan aku manfaatkan waktuku untuk ke Kapuas dari Barito. Tak ada satu alamat pun yang kupunyai di saku. Malam sudah tiba ketika aku tiba di Kuala Kapuas. Untuk mendapatkan tempat tidur, maka kuberanikan diri mengetok sebuah rumah yang lampunya masih nampak masih menyala. Ketika pintu dibuka oleh yang empunya rumah, kujelaskan maksudkan untuk mencari tempat menumpang tidur semalam. Juga kujelaskan apa-siapa diriku dan dari mana serta mengapa aku sampai ke Kuala Kapuas. Yang empunya rumah menyilahkan aku masuk dengan segala keramahan. Sebelum tidur, kami berbincang hulu-hilir dan kemudian yang empunya rumah menjelaskan tentang perpindahan penduduk Dayak dari satu sungai ke sungai lain dengan mengatakan: "Kita ini nak, seperti burung yang terbang dari dahan ke dahan mencari buah manis" Kata-kata ini sangat sederhana tapi kurasakan memiliki tingkat puitisitas yang tinggi. Di dalamnya terdapat sejarah manusia Dayak dan harapan-harapan mereka yaitu "mencari buah-manis" sehingga harus "seperti burung yang terbang dari dahan ke dahan". Kecuali mengandung unsur sejarah, dari kalimat di atas pun kudapatkan unsur mentalitas serta psikhologi manusia Dayak pada waktu itu. Sedangkan puitisitas, adalah masalah teknhik pengungkapan dalam bentuk puisi. Pengungkapan diri yang memperhitungkan unsur-unsur sebuah puisi, terutama irama, persamaan bunyi, perbandingan, pilihan dan jumlah kata serta plastisitas ungkapan. Kembali mengambil contoh pantun di atas: "ke pulau sama ke pulau ke pulau menangguk udang merantau sama merantau kalau mati, mati seorang" Pantun ini, kalau pengamatanku benar, sangat kaya akan persamaan bunyi atau persajakan, baik berupa sajak awal mau pun tengah, apalagi sajak akhir. Dengan jumlah kata yang terhitung sesuai tradisi pantun, bait di atas mengungkapkan ide filosofis sang penyair anonimnya -- ciri lain dari puisi lisan -- secara singkat
[ppiindia] Catatan Sastra Seorang Awam:MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA [13]
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 13. Ony Basalin adalah salah seorang budayawan Sabah yang menaruh banyak perhatian terhadap sastra lisan Dayak di negara bagian Sabah. Bahkan dalam pengungkapan dirinya, Ony banyak menggunakan bentuk-bentuk [genre] sastra lama seperti pantun, genre sastra klasik yang sangat hidup di Sabah dan secara sadar dibimbing perkembangan dan pengembangannya oleh pemerintah negara bagian Sabah, misalnya dengan penyelenggaraan pekan pantun seperti yang baru-baru ini dilangsungkan di kalangan siswa-siswa Sekolah Menengah. Salah satu ciri dari sastra lisan, selain pemeliharaan puitisitas, kukira, seperti yang terdapat pada pantun atau mantera, adalah pengungkapan yang langsung dan sederhana. Sastra lisan tidak pernah menjadi puisi-puisi gelap yang terdapat pada puisi-puisi yang disebut puisi modern. Ciri ini pun barangkali terdapat pada haiku atau puisi-puisi Tiongkok Klasik. Kesederhanaan dan ungkapan langsung sebagaimana yang terdapat di hati nurani. Dua ciri inilah yang kudapatkan telah menandai puisi-puisi Kathirina yang entah sadar atau tidak terpengaruh oleh konsep puisi-puisi sastra lisan Dayak. Berbeda dengan Ony Basalin, barangkali Kathirina kurang intensif mempelajari sastra lisan Dayak, tapi karena ia berasal dari etnik ini juga dan dibesarkan oleh lingkungan budaya etnik Dayak juga, secara tidak sadar Kathirina telah dipengaruhi olehnya dalam cara pengungkapan diri. Pada etnik Dayak kehidupan berpuisi jauh lebih kuat dibandingkan dengan kehidupan berprosa --salah satu ciri dari masyarakat yang tergantung banyak pada alam serta agraris . Ciri ini, kukira menunjukkan peranan bangunan dasar [basic structure] pada bangunan atas [super structure]. Ketika berbicara tentang kesederhanaan dan puitisitas, aku serta-merta teringat pada penyair kelahiran Aceh, alm. Agam Wispi, penyair yang hidup-mati dari puisi. Wispi mengatakan dalam filem dokumenter otobiografis yang dibuat oleh Yayasan Lontar pimpinan John McGlynn, Jakarta, bahwa puisi yang indah itu adalah puisi yang sederhana dan gampang dimengerti. Menjadi sederhana tidaklah gampang. Karena dalam sederhana terkandung keindahan dan dalam keindahan terkandung kebenaran. Untuk mencapai indah diperlukan kegiatan perenungan dan pencarian tak kepalang. Ini pun adalah salah satu ciri dari puisi-puisi Kathirina. Jika Kathirina menyadari ciri-ciri ini padanya, dan mengembangkannya secara sadar dengan mengkaji sastra lisan, sastra modern berbagai negeri, tidak hanya sebatas puisi-puisi Usman Awang alm, penyair terkemuka Malaysia, bisa diharapkan bahwa Kathirina bisa memadukan unsur lokal dan global dalam karya-karyanya. Puisi memang tidak mempunyai batas negara, etnik dan agama. Mengurung diri pada batas-batas ini hanya membuat diri sebagai penyair yang ketinggalan zaman, tertinggal dan membuat diri tertinggal secara sukarela dan secara tidak sadar. Ketertinggalan karena kecupetan cakrawala pandang diri semata, penyair yang tak obah bagaikan "katak di bawah tempurung". Kalau ada penyair yang mengatakan secara otoproklamasi sebagai "presiden penyair" seperti yang terjadi di Indonesia, kukira, penyair model ini pun secara hakiki tidak lain dari penyair model "katak di bawah tempurung" juga adanya. "Katak di bawah tempurung" merasa dirinya besar alias ditandai oleh keangkuhan. Ciri keangkuhan ini tidak terdapat pada Kathirina bahkan ia merasa dirinya tetap dan masih sebagai pelajar awal dalam dunia sastra-seni, sikap rendah hati yang merupakan modal penting untuk maju sekalipun ia pernah meraih hadiah pengakuan dari dunia sastra Sabah. Berbeda dengan sikap yang merasa diri sudah jadi penulis handal dan dengan gampang melecehkan orang lain. Menjadi sastrawan handal dan diakui dunia -- yang semestinya dijadikan standar -- adalah suatu proses jatuh-bangun dan kerja keras. Aku sering geli sendiri menyaksikan ulah otoproklamasi sementara penyair tapi tanpa disertai dengan produktivitas dan kualitas yang tak lepas dari studi, perbandingan dan percobaan. Dalam hal ini bakat menjadi faktor pelengkap dari usaha kerja keras yang menegasi segala keangkuhan jika ia dijadikan dasar mencari pengakuan dunia. Ya, standar dunialah yang kukira paling layak dijadikan patokan dalam bekerja, termasuk di dunia sastra. Dunia dalam arti standar tinggi, bukan standar "ecek-ecek". Standar yang dikenakan pada diri sendiri akan melahirkan karya yang sesuai dengan standar tuntutan diri itu juga seperti kata pepatah tetua kita bahwa "buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya". Karya adalah buah dari sastrawan, si pohon. Dengan standar dunia ini , sastrawan menjadi manusia yang terbuka bagi segala masukan. Bukan hanya melihat ke Barat atau ke Timur tapi ke segala penjuru untuk bisa menakar kadar diri . Juga melihat di mana ia dilahirkan. Ada kecenderungan kita hanya melihat ke Barat tapi sedikitpun tidak tahu kamp
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [12]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 12. Sejauh ini, aku masih berbicara tentang masalah pandangan dan sikap Kathirina sebagai anak manusia dan penyair, dua hal yang kukira tidak terpisahkan. Apalagi setelah mencermati "puisi-puisi November"nya, barangkali, berangkat dari pengalaman pribadinya yang pahit-getir Kathirina banyak merenungi masalah manusia dan kemanusiaan , berusaha memahami arti hidup dan manusia secara umum. Biasanya dalam keadaan begini tidak sedikit orang yang dengan semena-mena memanfaatkan kepahit-geritan orang lain untuk kepentingan diri sendiri dan yang bersangkutan bisa dieksploatasi saat yang terkait menempuh jalan eskapisme atau jalan pintas. Membandingkan puisi-puisi Kathirina sebelum "sanjak-sanjak November" dan sanjak-"sanjak November"-nya, ada kudapatkan usaha penyair sekali pun tertatih-tatih untuk menyimpulkan pengalamannya. Keadaan ini memberikan kepadaku tambahan bukti bahwa melakukan kesalahan adalah suatu hak asal ketika menyadari adanya kekeliruan, yang bersangkutan sanggup mengkoreksinya. Pengalaman-pengalaman hidup baik yang manis dan getir jika bisa bisa disimpulkan akan membuat seorang anak manusia dewasa dan menemukan jalan baru yang mantap atau lebih mantap. Inilah yang kunamakan sebagai proses perjalanan pencarian nilai seorang penyair dan langsung mempengaruhi karya-karyanya. Dalam perjalanan pencarian nilai ini seorang penyair akan sangat banyak terbantu oleh jenis karya-karya sastrawan lain yang juga jatuh-bangun menemukan dirinya.Karya-karya para sastrawan lain adalah proses penncarian diri dan nilai. Dari karya-karya tersebut, pembaca selain menemukan peliknya suatu perjalanan nilai, pembaca juga akan mendapatkan acuan nilai sehingga hidup tidak sebatas "for bread only", atau hidup asal hidup. Di samping itu, pembaca akan mendapatkan pelajaran secara langsung tentang tekhnik pengungkapan diri. Membaca adalah membanding. Dengan membanding penulis bisa meningkatkan dirinya. Jika kita berbicara tentang kepenyairan maka di sini kita memasuki tekhnik kepenyairan. Tekhnik pengungkapan diri, jika dilihat dari segi ilmu komunikasi, maka ia tidak lain bagaimana pengungkapan diri itu bisa komunikatif. Dan karena ia seorang penyair, maka masalah yang muncul adalah bagaimana tekhnik pengungkapan diri itu bisa puitis, yang jika menggunakan istilah pelukis Amrus Natalsja, memperhatikan unsur-unsur keindahan -- ciri dari kesenian!. Kuantitas dan kualitas bacaan tanpa batas, dalam hal ini akan banyak membantu sang penyair baik dari segi pemikiran maupun dari segi tekhnis. Apalagi aku tidak percaya penyair bisa lahir dan berkembang secara instingtif dengan mengabaikan belajar di mana membanding merupakan bagian dari pemelajaran. Aku tentu saja bukan penganut pandangan bahwa bakat menentukan kelangsungan berkembangnya seseorang sebagai penyair. Yang banyak menentukan adalah bagaimana penyair menjawab apa-siapakah menjadi penyair itu. Di Indonesia, juga di dunia kepenyairan Eropa Barat, ada sejenis puisi yang disebut "puisi gelap" artinya makin ia tidak dipahami pembaca, makin puisi itu dipandang sebagai bermutu tinggi. Tidak komunikatif pun dipandang tidak menjadi soal sekali pun sejarah hubungan puisi dengan kehidupan manusia, sejak awal lahirnya puisi tidak memperkuat alasan ini. Puisi gelap dan tidak komunikatif begini oleh penyair terkemuka Perancis abad ke-20, Paul Elouard, dinamakan sebagai "puisi para pangeran" atau "puisi anak raja", yang merasa diri mereka sebagai lapisan istimewa masyarakat [nomenklatura], lapisan yang merasa tidak perlu mengerti mayoritas masyarakat tapi menuntut untuk dipahami. Lapisan "anak raja" atau "para pangeran" ini, umumnya tidak mengenal kehidupan nyata serta permasalahan-permasalahannya karena mereka hidup di dunia tersendiri yang disebut "menara gading" [ivory tower]. Kathirinia yang berasal dari lapisan masyarakat bawah dan tidak lupa pada asalnya, bukanlah penyair "anak raja" atau yang merasa diri sebagai para "pangeran", hal ini terbukti dari cara pengungkapan diri penyair yang langsung dan gampang dimengerti. Kathirina bukanlah pengikut aliran puisi-puisi gelap. Jika mencermati puisi-puisinya Kathirina baik yang terdapat di website "kathytati.tripod.com/bungakasih dan puisicintaku serta "puisi-puisi November"nya, ia bukanlah termasuk pengikut aliran "puisi-gelap" .Kathirina berbicara langsung dan sederhana seperti apa yang ada di hatinya sehingga sangat komunikatif. Misal, dalam puisinya berikut: BERAPA BANYAK LAGI. Aku benci peperangan! Aku sudah tidak tahan melihat darah bertumpahan Tubuh jatuh bergelimpangan angkara peluru kejam Aku sudah puas melihat kemusnahan Aku benci kekejaman ini! Aku sudah tidak tega lagi. Melihat anak anak muda keperbatasan Kekasih kekasih hatiku ini Harus di hantar ke barisan hadapan Bertarung hidup bergadai nyawa Antara pulang
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [11]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 11. Milis mata-bambu dan watan_sabah, 22 Nopember kembali menyiarkan sebuah puisi Kathirina yang paling akhir. Dalam puisi terbaru ini, penyair berbicara tentgang masalah alam lingkungan. Lengkapnya puisi tersebut sebagai berikut: AKU SAYANG PADA MEREKA Seperti hari-hari berlalu kususuri lagi jalan ini Ada kesedihan bertapak di hati Ada sesal tertakhta di jiwa Ada kekecewaan bermain di perasaan Aku bukan benci pembangunan Apa lagi untuk kemajuan Ini rezeki kotaku Mewarnai darjat negariku. Mengangkat martabat negaraku. Aku bukan anti kemajuan Bangunan pencakar langit itu Jalan jalan lelangit itu Adalah kebanggaan kita Maruah Negara kita.. Namun aku sayang padanya Mereka di sana subur sebelum aku dilahirkan Mungkin ditanam oleh generasi selepas perang Atau mungkin sudah berada di situ sebelum perang Tapi mereka membesar bersamaku Masihku ingat di atas tubuhnya yang berkulit keras. Aku mengukir janji cinta pertamaku. Aku bukan benci pembangunan Jauh sekali menjadi anti kemajuaan Namun aku sayang padanya Pepohon hijau dan rendang memayungi setiap mahluk bernyawa Berkorban saban hari demi kita semua Mempastikan pencemaran bukan santapan kita. Hancur luluh jiwaku Melihat satu demi satu mereka dibunuh Rebah menyembah bumi Aku nampak tangisan mereka Aku terasa rintihan mereka Aku dengar keluhan mereka Ketika jatuh rebah menyembah bumi Pembangunan memutuskan mereka harus pergi dari bumi ini. Aku bukan benci pembangunan Bukan juga anti kemajuan Tapi cuma melepaskan kekecewaan Kerana kita telah korbankan keindahan alam Kita musnahkan struktur alam sekitar Bila taufan datang mengamuk Bila banjir kilat datang melanda Apa pun bentuk mala petaka datang mendadak Dia tidak berada disana lagi Menjadi penyelamat kita Dan... Aku takut Bandaraya Hutan tropika impian kita Bertukar menjadi Bandaraya Hutan Batu Belantara Yang bahangnya panas membakar Membunuh penghuninya secara diam diam. Aku bukan benci pembangunan Apa lagi untuk kemajuan Tapi pemusnahan alam sekitar Harus kita bendung bersama. Kerana mereka juga punya nyawa Punya rasa, punya simpati Seperti kita yang bergelar manusia. Kathirina Susanna Tati Kota Kinibalu, November 2005 Dalam puisi ini kudapatkan protes, sinisme atau sindiran tajam tetapi juga harapan yang tidak hilang pada diri penyair. Protes atas kerusakan alam lingkungan ini, antara lain nampak dari baris-baris : Aku bukan benci pembangunan Apa lagi untuk kemajuan Tapi pemusnahan alam sekitar Harus kita bendung bersama. Sedangkan sinisme atau sindiran tajamnya, kurasakan pada pernyataan: Kerana mereka juga punya nyawa Punya rasa, punya simpati Seperti kita yang bergelar manusia. Entah, aku yang terlalu perasa sehingga memahami kata-kata "Seperti kita yang bergelar manusia" sebagai sinisme atau sindirian tajam, ataukah juga pada kenyataannya penyair Kota Kinibalu ini pun berpandangan serupa. Yang jelas, berdasarkan materi yang kukumpulkan dari berbagai sumber, tidak banyak sastra-seniman yang hirau akan masalah lingkungan yang rusak, sekalipun kerusakan lingkungan, sebenarnya langsung menyentuh diri pribadi siaapapun. Orang lebih asyik meratapi cinta yang patah dan kepatuhan pada dewa dan dewi di langit ketujuh dan di antah berantah dengan melupakan persoalan kongkret dunia nyata. Tidakkah pola pikir dan mentalitas begini lebih banyak merupakan ujud nyata dari eskapisme ketika kehidupan makin menekan dan menghimpit?! Dalam menghadapi kesulitan, sikap orang memang bisa bermacam-macam. Menghadapinya dengan gagah atau lari. Bentuk pelarian sangat beragam. Hanya saja pelarian tidak pernah memecahkan masalah. Sejauh bahan yang kumiliki, sastrawan Sabah yang banyak membicarakan soal kenyataan kongkret dan tidak memasang rambu-rambu di jalan kesastrawanannya yang pasti adalah Kathirina, Ismaily Bungsu, Sitti Azizah, Rem, Hasyuda Abadi dan mungkin ada nama-nama lain tapi luput dari amatan dan data-dataku. Yang menarik dari sanjak Kathirina di atas bahwa penyair ini memperhatikan dan mengungkapkan antara lain tentang kerusakan lingkungan yang menandai keadaan pulau Kalimantan/Borneo sekarang.Tidak banyak sastrawan yang mengindahkannya karena mungkin dianggap tidak jadi urusan sastrawan-seniman. Perhatian yang menunjukkan bahwa penyair tidak lupa asalnya, tidak lupa pulaunya, dekat pada masalah riil kehidupan sehingga karya-karya penyair mencerminkan kehidupan masyarakat dan bukan hanya melolong-lolong tentang kehilangan atau putusnya cinta. Hal ini nampak dari luasnya lingkup perhatian penyair. Dengan varian tema yang diolahnya, aku melihat bahwa bagi penyair Kota Kinibalu yang disebut "kota di bawah bayu", tidak mentabukan apa pun. Tidak juga mentabukan politik [masalah lingkungan adalah masalah politik], sementara sastrawan lain membatasi masalah kebudayaan, sastra-seni hanya hanya pada soal sastra-seni seakan-akan sastra-seni i
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [10]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 10. Hal lain yang menarik perhatianku pada puisi-puisi Kathirina, terutama puisi-puisinya yang kusebut "Puisi-puisi Nopember", terletak pada usaha penyair merenung dan menukik permasalahan yang dia angkat.Penyair tidak berhenti pada gejala dan permukaan permasalahan tapi ia mencoba menyelami lubuk hakekat permasalahan yang dalam. Misalnya pada puisi berikut: UNIKNYA CINTA INI Cinta ini terlalu unik Terlalu sakral Andai diri dibaluti namanya cinta Tidak mengira usia Tidak mengira darjat. Cinta membuatkan manusia Hilang perhitungan Sanggup berkorban Biar nyawa tergadai! Membuatkan manusia menjadi buta Tapi cinta itu bukan buta! Cinta terlalu unik dan sakral Sanggup melepaskan mahkota Nekad meninggalkan taktha Mengejar kebahagian atas dasar cinta Kebahagian yang samar Satu perjudian Antara bahagia atau derita! Dalam puisi ini,Kathirina sedang berbicara tentang cinta. Barangkali ada yang berpendapat bahwa tema ini tema usang dan tiada guna bagi kehidupan sehingga ada yang memandangnya jika berbicara tentang cinta, lalu sementara orang ini menganggapnya sebagai "memuakkan". Sayangnya, si pengkritik tidak mengajukan sedikit pun argumen nalar untuk menopang pendapatnya sehingga kita tidak bisa memandangnya serius, kecuali sebatas suatu umpatan emosional yang sulit dipandang sebagai kritik sehat dan membangun.Sekali lagi kukatakan bahwa bagiku tidak ada tema tabu untuk diolah oleh penulis. Masalahnya terletak pada bagaimana si penulis menggarap tema tersebut, dan hal ini banyak tergantung pada kadar si penulis.Juga cinta dan menggarap tema cinta, sama sekali tidak tabu. Apalagi cinta memang bisa dikatakan menjadi bagian nyata dari kehidupan anak manusia, bahkan jika diperhatikan, dalam kehidupan hewan pun, cinta juga terdapat. Kathirina ketika mengolah tema cinta ini, ia mencoba merenungi dan menyelami lubuk hakekatnya -- yang tentu saja bisa dipandang dari berbagai segi.Karena seperti halnya dengan semua hal-ikhwal, cinta pun bersegi banyak dan samasekali tidak bersegi tunggal.Dibantu oleh pengalaman hidupnya, kegagalan dan kejatuhannya [Lihat: biodata singkat penyair di bagian terdahulu!], Kathirina sudah tidak lagi meratap dan merengek bagai remaja yang patah cinta pertamanya. Pengalamannya membawa Kathirina sampai pada kesimpulan bahwa di satu segi: Cinta ini terlalu unik Terlalu sakral Andai diri dibaluti namanya cinta Tidak mengira usia Tidak mengira darjat. Cinta membuatkan manusia Hilang perhitungan Sanggup berkorban Biar nyawa tergadai! Membuatkan manusia menjadi buta Tapi di pihak lain, penyair juga melihatnya:"...cinta itu bukan buta!". Penyair malah melihatnya sebagai "terlalu sakral", pandangan atau kesimpulan yang sama dengan pandangan dan kesimpulan pemikir Perancis, Pascal Bruckner. Sebagai suatu hal-ikhwal, cinta, demikian, Kathirina, mengandung berbagai kemungkinan bagaikan permainan di meja perjudian di mana para pemain berhadapan dengan menang, kalah, tetap tegak kokoh atau terbanting jatuh. Tulis penyair: Cinta terlalu unik dan sakral Sanggup melepaskan mahkota Nekad meninggalkan takhta Mengejar kebahagiaan atas dasar cinta Kebahagiaan yang samar Satu perjudian Antara bahagia atau derita! Cinta sebagai meja judi tidak menjanjikan kebahagiaan dan juga tidak memastikan akan hanya dapatkan derita kepada para aktornya. Kedua-duanya sama "samar"nya.Saling melaga.Barangkali penyair secara tersirat ingin berkata bahwa jika takut resiko janganlah mencintai. Dengan kesimpulan ini, nampaknya penyair, sanggup menghadapi apa pun yang terjadi tanpa meraung-raung jika kemudian mesti terbanting sebagaimana yang dikatakan oleh penyair Amerika, Longfellow bahwa "life is not easy".Sadar akan resiko ini maka penyair menajamkan pandang ketika berhadapan dengan soal cinta. Dari kesimpulan dan sikap begini, aku melihat Kathirina sebagai anak manusia yang sudah mencapai taraf kematangan tertentu. Dengan contoh puisi di atas, yang sebenarnya ingin kukatakan bahwa seniman itu, sesungguhnya tidaklain dari seorang pemikir, seorang perenung dan pada usaha besar pemikiran inilah ia bisa memberikan sumbangan bagi pemanusiawian manusia, di samping sumbangannya pada bidang pembinaan bahasa -- sarana ekspresinya.Melalui pemikirannya ia menawarkan tentang manusia yang diandalkannya.Tentu saja,hasil pemikiran dan renungannya merupakan pintu lebar terbuka bagi suatu debat, tidak merupakan suatu kebenaran, tapi sebatas suatu acuan dan gelitikan pada renungan pembaca yang juga punya kedaulatan sebagai pembaca. Jika hipotesa ini mendekati kebenaran, maka barangkali kadar sastra pun tidak terelakkan dari buah renungan dan pemikiran juga adanya.Artinya, tidak ada sastra yang disebut bermutu atau berbobot, tapi hampa wawasan pemanusiawian. Untuk mencapai taraf ini,aku jadi teringat akan sebuah wawasan yang terdapat di Indonesia pada tahun-tahun 1960-an yang mengharap
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [9]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 9. "Namun kita harus bersyukur Kerana dulu-dulu dan sekarang Mengajar kita Dan Mmimpin kita ke jalan yang benar Namun kita harus bersyukur ke arah cinta sejati" [Kathirina Susanna] Bait ini aku kutip dari puisi Kathirina Susanna yang disiarkan oleh milis-milis "mata-bambu" dan "watan_sabah" 20 Nopember 2005. Lengkapnya puisi tersebut adalah sebagai berikut: INDAHNYA BUDAYA KITA Pejamkan matamu. Buka mindamu Dengar Dengar Dan hayatilah Merdu sungguh irama mendayu-dayu Mengamit rindu yang panjang Irama rindu seorang kekasih Rindu pada kehijauan sawah terbentang Pada kekunaingan padi Bak hamparan permaidani emas Pada keaslian desa dengan kicauan burung pagi Pada irama asli menawan kalbu Pada lembutnya lengok tari si anak desa Pejamkan matamu Dengar Dan hayatilah Indahnya jiwa irama ini Terasa ada ketenangan disini Ada harmoni membaluti jiwa Indahnya simponi lagu dalam budaya kita Menyatukan silatulrahim Membibitkan benih benih perpaduan Inilah warisan tingallan nenek moyang. Malukah kamu dengan keaslian budaya ini? Dengan kesucian dan lembutnya bahasa kita ini? Kita di sini Biar berbagai etnik, berbagai kaum, tetap bersatu Memelihara kesucian dan keaslian budaya kita. Atau Berbanggakah kamu dengan budaya asing itu? Terlalak terlolong dengan irama membinggungkan Meloncat menari dengan langkah-langkah sumbang! Bukan! Bukan itu budaya kita Bukan itu ajaran nenek moyang kita Bukan itu kebangaaan kita! Pejamkan matamu Hayatilah. Dengarilah. Asli dan sucinya budaya kita Biar berbagai bangsa, berbagai kaum, berbagai bahasa Tetap bersatu mencipta keamanan Dan mereka itu Biar serumpun sebangsa Namun berpecah, saling benci membenci! Mencipta peperangan. Dan Bukalah matamu sekarang Bangunlah dari mimpi siangmu Dengari dan hayatilah Tidakkah kamu rindu. Pada sentuhan keaslian budaya kita Pada murninya adat resam kita Pada keasyiknya tari warisan kita. Irama lagu rindu seruling bambu Pada keunikan bunyi perpaduan Kulintagan Pada rancaknya paluan Gong Warisan Pada megahnya rentak Gendang bila di palu Pada asyiknya petikan irama Gambus. Tidakkah kamu rindu Pada keaslian irama lagu warisan kita ini Yang bersama bersatu menuju satu jalan Yang tidak bersimpang-siur Bersatu berpadu Hormat menghormati Kearah perpaduan kaum Mencipta keamanan dunia! Tidakkah kamu rindu semua ini. Bangun dan melangkahlah Jangan biarkan budaya dan adat kita Lesap ditelan zaman Dihapus dek budaya asing Berbanggalah dengan warisan budaya kita. Jangan biarkan warisan mati tanpa dibela. Dalam puisi ini, Kathirina kembali memperkokoh keunikannya dengan membicarakan masalah masalah masa silam, hari ini dan esok di mana ia memperlihatkan sikap sejarah yang tandas dalam melihat permasalahan Sabah. Berdasarkan teks-teks yang aku miliki, tidak ada seorang pun penulis Sabah yang melihat masalah dengan sikap sejarah yang tegas begini. Bagaimana sikap sejarah Kathirina yang kumaksudkan? Hal ini antara lain bisa kita lihat dari puisi di atas, terutama pada bait berikut: "Namun kita harus bersyukur Kerana dulu-dulu dan sekarang Mengajar kita Dan Mmimpin kita ke jalan yang benar Namun kita harus bersyukur ke arah cinta sejati" Dari bait ini, aku melihat bahwa Kathirina, seperti halnya dengan kelompok sejarawan Annales Paris, memandang masa silam, hari ini dan haridepan atau esok, mempunyai saling hubungan pengaruh-mempengaruhi. Hari ini tidak akan ada tanpa masa silam, dan hari esok dibangun atas dasar hari ini. Dengan pandangan ini, Kathirina mengajak orang Sabah untuk tidak melupakan sejarah dan merenungkan makna tradisi serta modernitas. "dulu dan sekarang/mengajar kita/dan/ memimpin kita ke jalan yang benar", tulisnya. Apakah jalan benar itu? Jalan benar ini menurut Kathirina bahwa Sabah milik semua rakyat Sabah, Sabah yang : "Biar berbagai bangsa, berbagai kaum, berbagai bahasa Tetap bersatu mencipta keamanan" Dengan sikap sejarah ini kemudian Kathirina mengambil sikap budaya dan sikap sastra membumi yaitu agar membangun budaya dan sastra atas dasar keadaan budaya dan sastra lokal yang sungguh-sungguh nyata. Dalam hal ini agaknya Kathirina bertemu dengan pandangan dan sikap filosof Perancis yang meninggal Mei 2005 lalu, Paul Ricoeur atau Prof. Dr. Sajogyo dari Insitut Pertanian Bogor [IPB]. Paul Ricoeur melihat bahwa "kebudayaan lokal memungkinkan orang bisa berdialog dengan kebudayaan lain", dan Paul menegaskan bahwa "kebudayaan itu majemuk sedangkan kemanusiaan itu tunggal". Kemajemukan adalah berbagai jalan mencapai tujuan yaitu kemanusiaan, memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, sesuai juga dengan konsep budaya Dayak, "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang, putera-puteri naga] . Pandangan dan sikap begini dirumuskan oleh Prof.Dr. Sajogyo sebagai "Jalan Kalimantan" dalam perberdayaan diri [Lihat: Sahewan Panarung, Palangka Raya , 2000]. Denga
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [8]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 8. Apa bagaimana posisi unik Kathirina dalam dunia kepenyairan khususnya dan sastra umumnya di Sabah? Tentu saja pertanyaan ini, tidak lebih dari pertanyaan hipotetis yang mengharapkan komentar dari teman-teman penulis Sabah, apalagi aku tahu benar bahwa pengetahuanku tentang Sabah masih sangat di bawah minim.Tapi perlu kugarisbawahi bahwa teks dan teks merupakan materi sendiri yang tak bisa diabaikan begitu saja oleh siapa pun.Teks mempunyai suara sendiri bebas dari kemauan subyektif siapapun, juga bebas dari kemauan si penulis teks ketika itu dilepaskan ke publik. Secara agama, Kathirina Susanna, kalau tak keliru, dan dari namanya saja bisa dipastikan ia bukanlah seorang yang menganut agama Islam. Tidak ada orang Islam bernama Kathirina Susanna. Kathirina adalah adalah seorang Dayak Kadazan yang menganut agama Katolik. Dibandingkan dengan agama Islam, di Sabah, agama Katolik tidak merupakan agama dominan atau mayoritas. Sekalipun ia beragama Katolik,tapi nafas kekatolikan tidak pernah menonjol dalam karya-karya Kathirina [lihat sanjak-sanjak Nopember dan website-nya].Sekali lagi apa yang kukatakan ini hanya berdasarkan teks-teks yang ada di tanganku. Beda halnya dengan karya-karya para penyair dan sastrawan Sabah lainnya yang memeluk agama Islam. Pada kelompok para sastrawan terakhir ini nafas keislaman sangat menonjol, yang juga tercermin pada komentar atas serie tulisan ini.Misalnya komentar di bawah ini: - Original Message - From: salbiah Sirat To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, November 19, 2005 2:02 PM Subject: [Watan_Sabah] Fwd: Re: catatan sastra seorang awam [7]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah "Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn majah, Rasulullaah menyatakan jika cinta disandarkan kepada harta boleh menyebabkan sombong diri, jika disebabkan kedudukan ataupun kemuliaan yang sementara, Allah akan memberikan kehinaan di pertengahan dan jika cantik yang menjadi sandaran boleh mendatangkan kecelakaan". NursaraSarqina (salbiah sirat) Lebih jelas lagi dari posting berikut: Original Message - From: othman abdul malek To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, November 19, 2005 2:14 PM Subject: Re: [Watan_Sabah] sebuah situs dari yogya Saya baca sikit2 artikel ini, tapi sebagai seorang muslim banyak perkara yang saya tidak setuju. Bagi kami agama Islam merupakan penyelesaian segala masalah. Dalil2 yang dikemukakan juga lemah cuma berdasarkan pemikiran penulis sahaja. Saya berpendapat artikel2 ini bukan pandangan dari seorang Muslim. Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Notify Blogger about objectionable content. What does this mean? BlogThis! DISKUSI & PEMBELAJARAN KEBUDAYAAN . [dipotong] Dan masih banyak teks-teks lainnya yang kiranya tak perlu aku beberkan di sini agar tidak memenuhi kolom, termasuk yang terdapat di milis [EMAIL PROTECTED], milis milik Ikatan Penulis Sabah [IPS]. Membandingkan teks-teks ini, aku melihat bahwa di Sabah jelas terdapat macam-macam agama dan aliran pikiran sebagaimana dicerminkan antara lain dalam artikel-artikel Rem yang dikirimnya dari Norwich. Belum lagi dihitung orang-orang Dayak dari berbagai sub-etnik yang ada Sabah yang tentunya ada yang masih berpegang teguh pada kepercayaan mereka.Pertanyaan sentral di sini, menjadi: Di mana letak kemajemukan jika ada pihak yang mendesakkan hegemoni atau dominasinya? Aku tahu, apakah memang Sabah menjurus ke pelenyapan atau penyingkiran aliran dan pandangan-pandangan lainnya dan menjadikan Sabah sebagai negara bagian beraliran atau berasas tunggal [la pensée unique] yang sebenarnya kadaluwarsa?. Pertanyaan ini kuajukan sebagai prinsip umum bertolak dari kenyataan bahwa dalam suatu negara atau propinsi, kabupaten, kecamatan bahkan kelurahan, secara demografis senantiasa dihuni oleh penduduk yang sangat beragam, tanpa niat mencampuri urusan Sabah -- walau pun sejak kanak, Sabah dan Sarawak bahkan Brunei tidak pernah asing di hatiku karena berada di satu pulau.Apalagi jika melihat ke depan, ke hari-hari yang sedang dijelang oleh penduduk penghuni pulau Kalimantan/Borneo ini. Sepengetahuanku,terutama di kalangan orang Dayak, perbatasan negara Malaysia dan Indonesia bukanlah menjadi perbatasan di hati.Mengatakan ini jauh dari niat mengobah perbatasan legal, tapi sekedar berpikir tentang bagaimana kerjasama saling menguntungkan bisa digalang, tanpa dominasi tapi dengan semangat repuliken: kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan [liberté, egalité, fraternité] agar masing-masing "dapat tempat dan dicatat" jika menggunakan kata-kata penyair Chairil Anwar. Dalam perbandingan teks, aku melihat karya-karya Kathirina, ja
[ppiindia] Surat Kembang Kemuning: E.DU PERRON [1899-1940] TELADAN KEJUJURAN DAN PEMBERONTAKAN SASTRAWAN
André Malraux et Edgar du Perron en Bretagne (Archives Kees Snoek) Surat Kembang Kemuning: E.DU PERRON [1899-1940] TELADAN KEJUJURAN DAN PEMBERONTAKAN SASTRAWAN Amphie théâtre Universitas Sorbonne, 15 Agustus diisi oleh pengunjung seminar tentang André Malraux dan Eddy du Perron dalam konteks Indonsia yang diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan Franco-Indonesia "Pasar Malam", Universitas Sorbonne, Sahabat Internasional André Malraux, dan Institut Néerlandais Paris. Kegiatan terencana begini diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan Franco-Indonesia "Pasar Malam" secara terprogram dalam dalam rangka memperkenalkan dan mempromosi Indonesia melalui pendekatan kebudayaan. Sayangnya pihak resmi perwakilan Indonesia yang terkait di Paris, pada kesempatan ini tidak nampak hadir padahal dari segi politik atau pun dari segi tugas diplomatik, menghadiri kegiatan begini yang hanya menguntungkan Indonesia, sama sekali tidak ada kerugiannya, juga tidak menimbulkan masalah protokoler diplomatik.Aku tidak tahu apa yang menjadi alasan pihak resmi perwakilan Republik Indonesia memilih tidak hadir.Apakah karena tidak tahu adanya kegiatan ini, ataukah karena André Malraux seorang sastrawan kiri [tapi mendapat penghormatan tertinggi dari pemerintah Prancis nampak dari tempat pemakamannya yaitu di Pantheon,makam putera-puteri terbaik Perancis]. Dari segi kepentingan Indonesia, kegiatan tipe ini samasekali menguntungkan Indonesia. Bahwa André Malraux seorang budayawan kiri seperti juga akhirnya Eddy du Perron akhirnya berkembang menjadi seorang humanis anti kolonialis, kukira secara konsepsional yaitu dari segi nilai-nilai republik dan keindonesiaan, sama sekali tidak ada pertentangannya. Hanya pandangan yang tidak memahami atau menolak bahwa makna Republik dan Indonesia saja yang akan mempertentangkan secara konsepsional republik dan keindonesiaan dengan konsep kiri karena konsep memanusiawikan manusia adalah suatu pandangan kiri juga adanya.Kiri tidaklah monopoli kaum Marxis tapi adalah sebutan bagi semua pihak yang mau memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat serta orang-orang jujur dan berhati nurani. Republik dan Indonesia adalah konsep kiri. Hal ini dibuktikan oleh proses perkembangan Eduard du Perron. Dari anak seorang kaya pemilik tanah besar yang lahir dan hidup di Indonesia tanpa kesulitan ekonomi dan politik apapun, akhirnya Eddy memihak rakyat Indonesia dan menentang kolonialisme Belanda setelah ia mempelajari dan melihat dengan mata kepala sendiri-sendiri praktek-praktek tidak manusiawi dari pemerintah kolonialis Belanda sehingga membangkitkan pemberontakan jiwa pada E.du Perron. Keberpihakan Eddy pada rakyat Indonesia, kupandang sebagai ujud dari sikap jujur seorang anak manusia yang punya hatinurani dan sikap teladan bagi sastrawan sebagai warga repulik berdaulat sastra-seni yang menjunjung kebebasan berpikir dan bertindak. Kebebasan berpikir dan mencari memberikan kepada para sastrawan-seniman untuk menemukan. Sedangkan pembudakan jiwa dan pikiran, baik secara sukarela atau terpaksa, membuat manusia kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Keberpihakan Eddy adalah hasil pencarian dan pengamatannya yang berarti bahwa keberpihakan merupakan buah pengamatan dan perenungan manusia bernurani atas kehidupan dan lingkungannya terutama sehingga keberpihakan tidak lain dari suatu proses pilihan sadar atas dasar pengetahuan atas kehidupan riil. Dekatnya Eddy dengan kehidupan riil telah mengantarnya pada suatu taraf baru pemikirannya yaitu memiliki kesadaran politik, tanpa usah menjadi partisan suatu kekuatan atau partai politik apapun. Menjelang akhir khayatnya, menjadi seorang sastrawan yang sadar politik -- kesadaran yang di negeri ini sekarang di negeri ini, di Indonesia, sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak diperlukan sastrawan. Padahal dari kehidupan E. du Perron, ternyata kesadaran politik membuat pandangan sastrawan-seniman kian tajam dan sangat membantunya dalam berkesenian dan menjalankan hak-wajibnya sebagai warga republik berdaulat sastra-seni yang bercirikan kebebasan berpikir dan bertindak alias sebagai free thinker dan bukan beo atau semata menyuarakan "his master's voice". Menjadi sastrawan-seniman, dari pengalaman E.du Perron, nampak padaku menyangkut kemampuan kita menjadi anak manusia berharkat dan bermartabat yang bukan hidup asal hidup dan mengutamakan pemburuan nama. Akhirnya riwayat E.du Perron memperlihatkan bahwa yang utama bagi seorang anak manusia yang benar manusiawi bukanlah nama, bukanlah kelimpahan harta, tapi nilai manusiawi dan kemampuannya mewujudkan nilai-nilai manusiawi itu. Dari segi material, E. du Perron samasekali tidak terusik. Tapi ia akhirnya tidak melihat kelimpahan materi ini yang menentukan kadar kemanusiaan dirinya dan kesastrawanannya. Eddy, jadinya, selain salah satu lambang hati nurani dan kejujuran mencari serta kesetiaan pada temuan pencariannya, ia juga kulihat
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [7]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 7. Tema dan permasalahan yang diangkat oleh Kathirina sangat beragam, misalnya dalam sanjak di bawah ini ia berbicara tentang perbandingan kehidupan di kota dan di desa: ANTARA DESAKU DAN KOTAMU Di desa aku melihat kedamaian Kehijauan sawah luas terbentang mengamit rinduku Keharmonian mewarnai benakku Jernihnya air yang mengalir di celah batu batu Membayangkan ada kedamaian di sini. Ada keamanan yang menyejuk rasa. Namun di kotamu Ketika mendongak melihat indahnya kondo kondo Aku merasai ada keegoan di sini Debu dan kesesakan seluruh kota membayangkan kematian bakal menjemput Setingan yang tumbuh bagai kulat di pinggir kota Kulihat satu pencerobohan! Arggghh! Terlalu jauh bedanya Antara kedamaian, keharmonian dan ketenangan dan Keangkuhan, keegoan dan pencerobohan! Arrrh Terlalu jauh! Terlalu jauh! Seperti langit dan bumi! Antara desaku dan kotamu antara kekolotan dan kemajuan antara adat dan kebebasan antara keindahan dan kejahilan antara kedamaian dan pencerobohan Terlalu jauh Sedangkan dalam puisi; "Jangan Tuan, Jangan!", Kathirina berbicara tentang perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang terhadap kaum buruh atau mungkin juga terhadap para TKW [Tenaga Kerja Wanita], tentang penjual ganja yang tertangkap polisi, tradisi dan modernitas, masalah jender dan berbagai aspek kehidupan. Dan dalam dalam menghadapi masalah apa pun, Kathirina mengambil posisi yang tidak banci atau oprtunis tapi berpihak pada yang dianggapnya benar dan adil tanpa menghiraukan segala resiko. Barangkali keberpihakan yang tegas ini berawal dari latarbelakang hidup Kathirina semasa remaja yang penuh kesulitan sehingga ia merasakan benar apa arti kepahitan hidup dan perlakuan yang tidak adil. Pada saat ia mncapai hasil-hasil tertentu dalam pekerjaan, dan menduduki posisi yang tidak jelek, ia tidak melupakan nasib para bawahannya, atau buruh-buruh perusahaan yang berada langsung menjadi tanggungjawabnya. Ia dengan tegas membela dan memperjuangkan nasib mereka tanpa menghiraukan segala resiko yang mungkin tiba. Jika menurut pelukis-pematung Indonesia, Amrus Natalsja, unsur keberpihakan merupakan salah satu unsur penting dalam berkesenian disamping unsur ilmiah atau benar dan indah. Unsur keberpihakan ini sudah dimiliki oleh Kathirina, sampai-sampai ia sanggup menderita demi orang lain. Semangat inilah yang melatarbelakangi puisi Kathirina "Jangan, Tuan, Jangan!": JANGAN,TUAN!JANGAN! Jangan lihat mereka seperti anjing, Tuan Mereka juga manusia seperti kau dan aku Ada perasaan. Tahu rasa sakit. Tahu rasa lapar dahaga Menerti apa itu penghinaan Dan punya maruah diri. Jangan layan mereka seperti anjing, Tuan Kita ada undang undang Kita kaya budi bicara Kita masyarakat yang penyayang Adili mereka seperti mengikut perlembagaan Bukan mengikut perasaa kita. Jangan kasari mereka, Tuan Mereka itu seperti abang daan adik kita Seperti ayah dan ibu kita Seperti saudara mara kita Tidakkah simpati melihat darah daging kita dibuat begitu? Jangan Tuan... Mereka datang kerana nama mencari rezeki Meninggalkan kampung halaman Mengharungi berbagai derita Coba membina hidup baru Segala karena keterpaksaan Karena mau mencari arti kehidupan Arti kebahagian Sehingga lupa kita ada undang undang. Tapi Tuan.. Jangan layan mereka seperti anjing Mereka punya rasa malu dan sesal Punya rasa marah dan terhina Jangan biarkan mereka terbakar begini Kita tunjukkan pada mereka Negara kita berdaulat Punya perlembagaan yang adil Maukan rakyat yang berwawasan Inginkan keamanan dan sepakatan Bukan inginkan persengkataan Bukan mencari permusuhan Adili mereka dengan saksama, Tuan. Membaca puisi di atas ini, pada dasarnya Kathirina adalah seorang humanis dan keberpihakannya dalam berkesenian serta hidup sehari-hari juga berangkat dari sikap seorang humanis.Pemberontakannya pun pemberontakan penyair humanis. Luas lingkup jamahan perhatian penyair Kota Kinibalu ini, memungkinkan ia memberikan sumbangan besar dan lebih besar lagi kepada duniaa sastra dan masyakarat Sabah jika ia rajin mengamati, mengasah pisau analisa dan tingkat tekhnik penulisan melalui kerja keras dengan latihan demi latihan sadar terancang. Dari segi kebenaran data,jika menggunakan ukuran Amrus Natalsja tentang sastra-seni, kukira, berkat pengamatan dan pengalaman serta kedekatannya dengan kehidupan, data-data yang diungkapkan oleh Kathirina,tidak terlalu jauh dari kenyataan dan kebenaran. Artinya dari tiga unsur sastra-seni yang diajukan oleh Amsrus Natalsja, telah dipenuhi oleh Kathirina. Dibandingkan dengan puisi-puisinya yang terdapat di website, puisi-puisi Nopember 2005 Kathirina nampak lebih luas cakupan temanya. Masalah cinta dalam pengertian sempit tidak lagi menjadi pusat kegalauan perhatiannya. Kalau pun ia berbicara tentang cinta demikian, ia melihat masalahnya dari sudut pandang lebih luas yaitu keadaan sosial dan ni
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [6]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 6. Dari puisi "Kau Pernah Berkata" ini pun, aku melihat hal lain. Apakah hal lain itu? Di samping aku melihat pergulatan pikiran dan perasaan yang menggejolak di kepala dan batin Kathirina, dari empat puisi Kathirina yang ditulis pada bulan Nopember 2005, dan disiarkan oleh milis matabambu 16 Nopember 2005, aku juga membaca samar-samar perkembangan yang terjadi di masyarakat Sabah.Terutama perkembangan nilai dan khususnya tentang nilai dominan dalam masyarakat Sabah. Sebelum menulis "Catatan Sastra Seorang Awam" tentang Kathirina ini, aku pernah menanyakan kepada Kak Ony Basalin, seorang penyair dan anggota Ikatan Penulis Sabah [IPS] mengenai komposisi demokrafis [kependudukan] di Sabah. Aku pastikan seperti daerah dan negeri manapun, Sabah tentu dihuni oleh berbagai etnik dan agama, aliran pikiran serta kepercayaan. Ketika berkunjung ke Sarawak, dengan maksud khusus mengenai negara bagian Malaysia ini,aku menyaksikan keragaman etnis dan peranan masing-masing serta hubungan antar mereka yang meninggalkan kesan manis padaku.Terkesan padaku hubungan antar etnis di Sarawak cukup serasi dan menjanjikan.Berdasarkan penglihatan kunjungan singkat itu maka kepada Kak Ony Basalin kutanyakan bagaimana komposisi kependudukan [demografis] di Sabah, khususnya bagaimana posisi etnik Dayak? Pertanyaan ini muncul di benakku karena teringat bahwa Kitingan yang seorang Dayak pernah menjadi Perdana Menteri Sabah, kemudian tergusur. Tidaklah mungkin Kitingan yang Dayak jika komunitas Dayak tidak mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Kak Ony dan Kithirina sendiri adalah orang-orang Dayak juga adanya. Kak Ony bahkan puteri seorang kepala adat Sabah. Menjawab pertanyaanku Kak Ony menjelaskan bahwa komunitas Dayak memang secara jumlah bisa dikatakan dominan, hanya kemudian mereka banyak beralih agama dengan menganut Islam.Keluarga Anggota keluarga Kak Ony sendiri menganut berbagai macam agama. Dari kasus ini, aku melihat bahwa Sabah, seperti bagian planet kecil kita ini di mana pun pada dasarnya, adalah suatu masyarakat majemuk.Hanya saja jika mengamati karya-karya sastra Sabah terakhir terasa bahwa nilai dominan sangat terasa nilai-nilai ke-islaman, yang mungkin merupakan agama terbesar di negara bagian Malaysia itu.Aku tidak tahu apakah perkembangan ini, ada kaitannya dengan perkembangan, terutama perkembangan politik, yang terjadi di Malaysia atau Semenanjung Malaya di mana Kuala Lumpur sebagai ibukota terdapat dan ingin mendominasi negara-negara bagian secara terbuka atau tertutup.Tapi kukira, tentu bukanlah kebetulan. Perkembangan nilai, terutama nilai dominan ini tercermin dari puisi Kathirina: KAU PERNAH BERKATA Mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan!!! Jangan singkirkan angan yang indah itu Tanpanya kau tidak punya harapan Jangan Putus harapan sebelum bertarung bermatian Jangan murahkan harga diri Karena kau wanita istimewa. Mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan malu mengaku alpamu Kita kuat dari pengalaman itu Dan mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan sesalkan kekurangan ini Karena kemampuanmu hanya sampai disini. Mamaku sayang Ulang tahun ketiga belas kepergianmu Aku masih disini Masih alpa dan sesal Kenapa aku tidak setabah itu. Dari puisi ini, terbaca padaku perbedaan nilai antara alm.ibu Kathirina dan Kathirina sendiri yang dalam enam puisinya terdahulu menyerah pada "takdir", sedangkan sang ibu berpesan kepada puterinya untuk "bertarung bermatian" dahulu demi membela dan memenangkan "harapan". Bagi alm. ibu Kathirina, perempuan adalah seorang manusia dengan harga diri dan martabat yang setara dengan lelaki, sebagaimana terdapat pada konsep Dayak "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang dan putera-puteri naga]. Sedangkan Kathirina sendiri mengakui dalam puisinya di atas "masih alpa" pada nilai "rengan tingang nyanak jata" ini yang menimbulkan "sesal" padanya. Masalah nilai dominan ini juga telah disentah oleh Rem, penulis Dayak Sabah lainnya yang sekarang sedang menyelesaikan program Ph.D-nya di Norwich dalam bidang sain, ketika ia membaca puisi-puisi Sabah sekarang.Nilai dominan, kukira, mempunayi arti menentukan bagi perkembangan masyarakat selanjutnya dan keadaan masyarakat pada suatu periode. Dan sanjak-sanjak Kathirina mencerminkan dengan hal ini demikian.Melalui sanjak-sanjak Kathirina, aku melihat pola pikir dan mentalitas dua generasi, yaitu generasi sang ibu dan generasi si anak yang hidup di Sabah hari ini, masyarakat yang nampaknya tidak lain dari masyarakat maskulin dengan maskulinisme.Maskulinisme bukanlah konsep "rengan tingang nyanak jata" manusia Dayak. Agaknya nilai-nilai kedayakan yang tanggap zaman, jika mencermati karya-karya Kathirina sudah memudar .Benarkah demikian? Tentu kawan-kawan sastrawan Sabah yang bisa menjawabnya sebagaimana bagaimana mereka menjawab soal kemajemukan dan menilai budaya Dayak di Sabah, maskulinisme a
[ppiindia] surat kembang kemuning: menyambut lahirnya komunitas matabambu cabang tasikmalaya
Surat Kembang Kemuning: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS MATABAMBU CABANG TASIKMALAYA Sejak lahirnya pada 13 Agustus 2005 yang lalu, saban bulan Komunitas Matabambu melakukan kegiatan demi kegiatan secara teratur dibimbing oleh program dan prinsip yang mendasari kelahirannya.Bulan pertama, yaitu bulan Agustus lalu, Komunitas Matabambu mengawali kegiatannya dengan peluncuran antologi puisi JJ. Kusni yang disertai dengan orasi budaya Pramoedya A. Toer. Menurut keterangan, apakah benar atau tidak, kegiatan Matabambu ini merupakan yang terbesar dalam sejarah PDS H.B. Jassin. Kegiatan pertama yang bisa dikatakan berhasil ini disusul dengan peluncuran buku Aguk Irawan Ms pada bulan September. Walau pun tidak semeriah kegiatan pertama, tapi kegiatan kedua ini pun tidak bisa dikatakan tidak berhasil. Ia dihadiri oleh sekitar 70 orang walaupun Jakarta dikucuri hujan deras. Sebagai kegiatan ketiga, pertengah bulan Nopember ini, Matabambu mengambil prakarsa untuk mengumpulkan dana solidaritas buat Maruli Simbolon -- salah seorang pemrakarsa Matabambu juga -- yang sekarang terbaring di rumah sakit. Dalam usaha ini, Matambambu berhasil mengajak banyak komunitas sastra-seni di Jakarta -- hal sangat penting dan barangkali bisa dibilang membidas jalan bagi solidaritas antar seniman. Tergalangnya solidaritas antar seniman dari berbagai komunitas, berbagai alur pikiran,kukira sangat penting bagi pembinaan sastra-seni negeri ini secara sehat sesuai dengan yang dikatakan oleh Paul Ricoeur, filosof Perancis bahwa "kebudayaan itu majemuk tapi kemanusiaan itu tunggal". Solidaritas tidak menghilangkan perbedaan pendapat. Solidaritas juga tidak meniadakan kritik dan otokritik.Tapi kritik dalam alur solidaritas yang artinya didasarkan pada prinsip saling asih, saling asuh dan saling asah untuk tiba di capaian lebih tinggi dan kian tinggi sehingga sastra-seni mungkin secara nyata memberikan sumbangan dalam usaha memanusiawikan manusia, penegakan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan serta menjadi bagian dari social control power secara independent tanpa kangkangan partai politik. Keadaan sastra-seni beginilah yang kusebut sebagai republik berdaulat sastra-seni, pandangan yang pernah dilecehkan sementara orang. Pagi ini, dari posting Manik Sinaga, pimpinan redaksi majalah sastra-budaha Aksara dan salah seorang pimpinan Komunitas Matabambu, bahwa sejumlah seniman di Tasikmalaya berkeputusan untuk mendirikan Matabambu Cabang Tasikmalaya. Artinya dalam waktu tiga bulan sejak berdirinya, Matabambu sudah punya cabang.Sudah bisa mengembangkan diri. Berdirinya Matabambu cabang Tasikmalaya, kupahami sebagai perkembangan dan perluasan ide dasar alias konsep budaya Matabambu.Organisasi tanpa konsep, kukira tidak punya makna dan lebih bersifat amatiran. Adanya konsep budaya akan membuat organisasi menjadi wadah dan pengelola kegiatan sadar dan terancang dan bukan spontan. Aku membayangkan bahwa jika Matabambu mempunyai cabang di berbagai daerah serta pulau di tanahair bahkan di mancanegara, maka ia akan merupakan kekuatan budaya yang bisa memberi sumbangan bagi pembangunan budaya manusiawi, yang republiken dan berkeindonesiaan tanpa tergantung dan tidak terganggu oleh masalah finansil [sesuai dengan konsep budaya atau visi-misi dan tujuan umum Matabambu -- Lihat Siaran Matabambu, 13 Agustus 2005]. Kemungkinan berdirinya cabang-cabang Matabambu di seluruh Indonesia dan mancanegara, kiranya bukanlah hal yang muluk dan ilusioner, karena anggota-anggota Matabambu sekarang sudah tersebar di tempat-tempat tersebut. Jaringan kerjanya pun sudah sudah tersebar walau pun betul belum maksimal dan masih bisa berkembang. Yang menarik dari lahirnya Matabambu Cabang Tasikmalaya bahwa ia lahir atas prakarsa lokal, prakarsa dari seniman-seniman setempat, artinya berdasarkan kesepakatan sadar atas visi-misi, tujuan dan program Matabambu. Hal adanya prakarsa dari "bawah" ini kukira sangat penting apalagi Matabambu sejauh pengetahuanku, bukanlah suatu organisasi budaya sentralistik. Matabambu hanyalah suatu "brand" umum untuk suatu kegiatan atas dasar kesepakatan sadar pada visi-misi dan tujuan serta program. Cabang bebas mempunyai program sendiri dan mengembangkan segala bentuk prakarsa mereka. Barangkali lahirnya Matabambu Cabang Tasikmalaya merupakan awal dan dorongan bagi muncul dan lahirnya cabang-cabang di tempat lain.Jawabannya terletak pada anggota-anggota Matabambu yang terdapat di berbagai tempat. Terbentuk dan lahirnya Matabambu Cabang Tasikmalaya adalah hasil renungan dan diskusi matang dan persiapan yang padan. Ia bukan kelahiran tak dimaui atau yang disebut kelahiran dari "hamil kecelakaan" atau hasil spontanitas. Kukira model kelahiran begini patut dipertimbangkan karena hanya dengan begini, suatu cabang bisa mempunyai dasar solid karena tidak diada-adakan, tidak dipaksakan tapi memang dimaui. Kukira ini bisa dipandang suatu sikap acuan kalau bukan teladan. Baris-baris s
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [5]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 5. Pada tanggal 16 Nopember milis [EMAIL PROTECTED] , milis milik Komunitas Matabambu, kembali menyiarkan puisi-puisi terbaru Kathirina Susanna seperti di bawah ini: KAU PERNAH BERKATA Mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan!!! Jangan singkirkan angan yang indah itu Tanpanya kau tidak punya harapan Jangan Putus harapan sebelum bertarung bermatian Jangan murahkan harga diri Karena kau wanita istimewa. Mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan malu mengaku alpamu Kita kuat dari pengalaman itu Dan mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan sesalkan kekurangan ini Karena kemampuanmu hanya sampai disini. Mamaku sayang Ulang tahun ketiga belas kepergianmu Aku masih disini Masih alpa dan sesal Kenapa aku tidak setabah itu. TINGGALKAN TEMPURUNGMU Jangan mengeluh sayangku Jangan sesalkan suratan hidupmu Jangan salahkan takdir Bangun dan celikkan mata butamu Keluarlah dari tempurungmu Jangan merintih sayangku Lihat dunia luarmu Membidang dada Menyambut kedatanganmu Tinggalkan sejarahmu di belakang Ayo! Terbang bersamaku Menuju puncak gemerlapan itu. DUKAMU ABADI Dukamu adalah dukaku Airmatamu adalah airmataku Kesedihan abadimu Membuat bahagiamu sirna Hingga keakhir tirai hidupmu Dukamu tetap abadi. Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini Berbekalkan sejuta dukamu Mengiringi setiap langkahku Menguja semangat jituku Karena dukamu adalah dukaku Abadi dalam duniaku! Namun dia datang Meruntuhkan segala penjara rasa Membebaskan aku dari derita ini Dukamu menjadi sejarah silam Dasarnya ku jadikan asas Membangunkan semangat baru Biar dukamu itu adalah dukaku Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku! MAAFKAN AKU KEKASIHKU Cintamu sesegar daun bermandikan embun pagi Kasihmu seromantis bayu malam membelai rasa Sayangmu setinggi gunung tidak tercapai tangan Rindumu sedalam perut bumi tidak bisa diselami Namun terlalu kejam aku persiakan. Lalu kau pergi jauh dariku Membawa semua kebahagiaan itu bersamamu Meninggalkan aku sendirian Tanpa menoleh ke belakang Tanpa bicara Maafkan aku kekasihku Aku kehilangan segalanya Dan sesalku tiada noktahnya Karena menanam duka di jiwamu Membuatkan lukamu terus berdarah. Kathirina Susanna Kota Kinabalu, November 2005 *** Membandingkan empat puisi terbaru yang disiarkan oleh milis matabambu [16 Nopember 2005] dengan sanjak-sanjak Kathirina Susanna dalam websitenya atau enam puisi terdahulu, aku membaca adanya perkembangan baru pada pikiran pada pikiran dan perasaan Kathirina yang menunjukkan bahwa penyair Kota Kinibalu ini tidak berhenti mencari dan mencari dalam usaha agar tidak mengoyak-ngoyak nilai-nilai manusiawi seperti yang diharapkan oleh Paul Valery di atas. Dari empat puisi di atas ini nampak bahwa Kathirina mulai meninjau kembali pandangannya tentang "takdir". Usaha memikir ulang masalah "takdir" ini nampak misalnya pada sanjak "Kau Pernah Berkata": KAU PERNAH BERKATA Mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan!!! Jangan singkirkan angan yang indah itu Tanpanya kau tidak punya harapan Jangan Putus harapan sebelum bertarung bermatian Jangan murahkan harga diri Karena kau wanita istimewa. Mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan malu mengaku alpamu Kita kuat dari pengalaman itu Dan mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan sesalkan kekurangan ini Karena kemampuanmu hanya sampai disini. Mamaku sayang Ulang tahun ketiga belas kepergianmu Aku masih disini Masih alpa dan sesal Kenapa aku tidak setabah itu. Pada puisi ini, kita lihat bahwa Kathirina sudah mulai berbicara tentang "jangan putus harapan/sebelum bertarung bermatian", sikap yang sangat berbeda dengan menyerah pada "takdir".Bertarung demi "harga diri" seorang perempuan. Dan kemudian Kathirina secara jelas menyesali sikap "menyerah" atau "pasrah"nya pada "takdir", dalam kata-kata: Mamaku sayang Ulang tahun ketiga belas kepergianmu Aku masih disini Masih alpa dan sesal Kenapa aku tidak setabah itu. Kathirina menyatakan "sesal" atas sikap "masih alpa"nya, karena melakukan kekeliruan ini itu karena tidak menunaikan pesan sang ibunda yang meninggal 13 tahun silam, sehingga jatuh pada konsep "takdir" atau bahkan melakukan macam-macam bentuk pelarian [eskapisme] ujud dari "putus harapan" sebagai jalan keluar memintas dan gampang "sebelum bertarung bermatian". Biasanya sikap mengambil jalan pintas dan gampang-gampangan ini dilakukan oleh generasi baru yang belum tertempa oleh bantingan-bantingan keras kehidupan tapi mengira diri sudah matang.Aku tak tahu apakah premis ini berlaku juga bagi masyarakat Sabah, ataukah Sabah merupakan suatu kekecualian yang dihuni oleh manusia-manusia supra seperti yang dilukiskan atau dibayangkan oleh Nietzche atau seperti manusia Rambo atau super women beberan filem-filem Amerika Serikat karena dominasi nilai maskulinisme?. Dari puisi "Kau Pernah Berkata" ini pun, aku melihat Tapi Tapi dari empat puisi Kathirina yang ditulis pada bulan Nopember 2005, dan di
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [48]:" menyongsong esok"
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [48] "MENYONGSONG ESOK" Azan subuh yang bertalu-talu di angkasa Serua Indah, bermain di pucuk-pucuk pepohonan rimbun, membangunkan aku agak awal. Aku memeriksa ulang semua barang-barang yang akan kubawa ke Paris, agar tidak satu pun yang ketinggalan. Memeriksa ulang segala hal-ikhwal ini adalah suatu kebiasan yang diniscayakan dan dilatih pada diriku sejak bertahun-tahun hidup di lingkungan kemiliteran.Cermat, jangan meninggalkan tanda yang bisa membuat petaka dan meninggalkan sesal, memperhitungkan segala kemungkinan,termasuk yang paling buruk dan pahit, kukira itulah pesan inti dari pekerjaan memeriksa ulang persiapan segala sesuatu yang akan dilakukan.Dengan demikian kita meminimkan kekalahan dan kejatuhan walau pun kekalahan dan kejatuhan tetap saja bisa menyusup masuk bersama barisan komandonya yang terlatih. Bawaanku kembali ke Paris kali ini terutama terdiri dari koper-koper buku. Buku-bukuku yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta pesanan Koperasi Restoran Indonesia Paris, ditambah dengan sedikit buku yang kubeli di berbagai tokobuku dan yang dihadiahkan oleh teman-teman dari berbagai daerah.Pakaian tinggal beberapa perangkat saja. Semuanya kutinggalkan. Bagiku buku jauh lebih utama dan kuutamakan dari pakaian. Buku sejak kecil, sejak aku meninggalkan rumah orangtua pada usia 11 tahun, menjadi sahabat dan pengganti ibuku.Pada buku-bukulah aku mencari pegangan dan arahan, mendapatkan pelampung guna melampaui masa pancaroba, periode "sturm und drang" yang kuanggap periode gawat dalam kehidupan. Selesai mememeriksa semua persaiapan keberangkatanku malam ini, aku turun ke halaman. Seluruh kampung, atap, daun-daun dan dahan-dahan nampak bersih, dibasuh hujan semalam. Memandang langit timur, cahaya merah fajar sudah nampak memerahi angkasa dan dedaunan.Burung-burung nampak turut girang menikmati pagi.Memandang sosok pagi begini, aku melihat harapan dan mendapatkan suasana baru yang menggugah semangat dan menjanjikan. Tidak heran jika pagi sering dilambangkan sebagai harapan.Kahayalan membisikkan ke telinga judul buku R.A. Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang", pada novel Mochtar Loebis "Masih Ada Hari Esok" dan beberapa syair klasik Tiongkok zaman dinasti Thang tentang masalah harapan dan arti harapan bagi kehidupan seorang anak manusia. Bayangkan, apa jadinya hidup jika kita sudah hilang harapan. Bersama cahaya fajar Serua Indah ini, aku datang menjenguk dalam bayangan "Nusa Dunia", "Café Bandar", Teluk Balikpapan dan Sungai Mahakam -- tempat-tempat yang mempunyai arti tertentu bagiku. Kepada mereka, diam-diam kukatakan: "Malam ini aku kembali melanjutkan kembara ke Barat. Seperti ujar Ramadhan KH: "ternyata aku hanyalah seorang pengembara, memang" atau seperti yang sering diucapkan oleh Arief Budiman: "Kau memang seorang pemimpi dan penempuh jalan sunyi, Emil". Barangkali memang, aku akan menjadi pinisi yang tenggelam di laut pengembaraan dan sunyi ini juga akhirnya. Tenggelam dan mati sendiri sambil menyebut nama demi nama yang terdekat di hati, kemudian meninggalkan wangi mimpi dan sunyi itu di permukaan laut,sungai, danau dan dedaunan gunung yang pernah mengasuhku.Tapi aku mencintai jalan cinta-mimpiku, mencoba menyetiai kataku sendiri,dan tidak akan berpaling daripadanya. Sungai, laut dan gunung tidak akan kukhianati. Melanjutkan kebiasaan sejak kanak di mana pun aku tinggal, menggunakan waktu yang ada, sebatang sapu lidi bertangkai panjang kuambil untuk membersihkan halaman yang luas.Halaman Serua Indah ini pun mengenal kebiasaanku ini, juga halaman rumah kakek di Yogya atau halaman rumah gubernur di Palangka Raya pada masa Tjilik Riwut mulai memimpin Kalteng.Tentu halaman-halaman petani Klaten yang pernah kuinapi selama turba pada masa mengikuti Gerakan Aksi Sepihak, akan ingat kebiasaanku ini. Sesudah menyapu, aku pun melakukan latihan-latihan fisik. Kalau ada karung goni berisi pasir, karung pasir itu kutinju, kalau tidak kulakukan beberapa gerakan setipe kungfu yang kupelajari pada masa aku hidup sebagai orang militer.Fisik harus terjaga sehat dan bugar selalu untuk menysongong esok penuh tanya dan kemungkinan.Esok yang tak terelakkan akan menantang dan aku tidak ingin terbanting sia-sia tanpa berlawan habis-habisan sebagai seorang anak enggang putra naga,"rengan tingang nyanak jata" atau jika menggunakan kata-kata penyair-cerpenis Shantined dari Kaltim: "gagah sampai akhir". Setelah matahari makin meninggi, Serua Indah kutinggalkan menuju TIM dan menunggu teman-teman seniman dan yang bukan seniman sebelum petangnya meninggalkan Jakarta.Waktu terasa sekali membatasi percakapan dengan teman-teman di detik-detik terakhir.Itu pun tidak semua teman bisa kutemui.Tidak sedikit mereka yang tidak bisa kuhubungi dan kutemui sesuai rencana.Yang paling kusesali, Daniel Johan dari pemuda Budhis, Liong MS dari Singapura, Manik Sinaga dari Aksara-Komunitas Matabambum,Novina Setia
[ppiindia] catatan sastra seorang awam [4]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah
Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 4. Barangkali dalam hal ini, terdapat jasa Kathirina, sekali pun mungkin tidak sangat ia sadari. Keadaaan Sabah dan tingkat perkembangan masyarakat Sabah terbaca dari dari puisi-puisi duka Kathirina dan puisi-puisi penyair Sabah lainnya [dari aspek lain]. Artinya, puisi tidak lepas dari keadaan masyarakat di mana penyairnya menggulati waktu. Sikap fatalis dan menyerah menerima posisi perempuan direndahkan hanya sebagai pemuas birahi atau seksual lelaki, oleh masyarakat maskulin dan juga masyarakat yang dikuasai oleh uang, pada galibnya adalah masyarakat yang tidak manusiawi sama sekali. Masyarakat itu sendiri, dalam kenyataan sesungguhnya mendekati masyarakat barbar yang tak jauh dari tingkat komunitas hewani. Betapa tidak, dengan corak masyarakat demikian separoh penduduk yaitu para perempuannya ditempatkan pada taraf terendah. Padahal kaum perempuan, jika menggunakan ungkapan Tiongkok Klasik adalah "penyangga separo langit". Bagaimana posisi perempuan dalam suatu masyarakat, kukira, memperlihatkan apakah secara hakiki masyarakat itu bebas, demokratis dan menjunjung Hak Asasi. Megatruh Kathirina Susanna adalah cerminan dan akibat dari adanya masyarakat maskulin di atas. Artinya, ketika membaca megatruh atau elegi atau lagu-lagu duka Kathirina, kukira patut dibedakan antara sikap penyair dan masalah sebab-akibat sehingga kita lebih adil menilai sikap penyair serta memberikan harapan kepada penganut sikap fatalis dan menyerah untuk berkembang alias berobah maju sesuai dengan hukum dialektika serta saling hubungan antara unsur satu dengan yang lain. Penyair atau siapa saja yang tidak mengakui hukum dialektika, kukira adalalah penyair atau orang yang sekali pun masih bernafas tapi secara hakiki ia sudah mati sebelum mati. Ciri utama penyair adalah kegelisahan mencari dan terus mencari, terus mengalir seperti arus memburu muara bukan bagai sabut dihanyutkan atau menghanyut di arus. Dari segi kritik, fatalisme dan sikap menyerah Kathirina yang tercermin dari enam sanjak di atas, bisa ditafsirkan secara terbalik yaitu salah satu cara mengkritik keadaan masyarakatnya. Melalui fatalisme dan pembudakan separoh warga masyarakatnya, penyair menunjukkan secara tidak langsung: "Beginilah akibatnya jika masyarakat maskulin dan maskulinisme dikembangteruskan". Padahal jika potensi perempuan dibebaskan, tidak dibelenggu, maka masyarakat hanya mendapatkan keuntungan atau manfaat. Jika benar pemahamanku bahwa pesimisme Kathirina merupakan bentuk kritik pada maskulinisme dan masyarakat maskulin, maka dengan cara ini, Kathirina setia pada posisinya sebagai sastrawan yang adalah warga republik berdaulat. Republik sastra yang dengan kedaulatannya berani melakukan pemberontakan berikut segala resikonya dan sering berdiri hadap-hadapan dengan repulik atau kerajaan politik formal. Dengan status begini, status sebagai warga republik sastra yang berdaulat, maka sastra dan sastrawan bisa dipandang salah satu aktor dari kontrol sosial. Berbicara tentang pemberontakan atau perlawanan maka pemberontakan atau perlawanan itu paling tidak terdiri dua jenis. Pertama pemberontakan/perlawanan instingtif dan kedua perlawanan sadar. Pemberontakan/perlawanan instingtif umumnya bersifat spontan, sedang pemberontakan sadar adalah perlawanan yang dibimbing oleh suatu konsep dibuntuti oleh rencana dan penyediaan sarana untuk mewujudkan konsep tersebut. Penyair yang bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir dalam barisan warga republik berdaulat sastra-seni, seyogyanya jika memberontak melancarkan pemberontakan sadar dan bukan perlawanan spontan yang instingtif. Untuk bisa sadar, dari penyair dituntut kegiatan mengamati, studi , menguasai tekhnik bersastra, bebas berpikir, komitmen dan ketegasan tanpa kepalang guna melaksanakan komitmen manusiawi tersebut. Dengan berkata begini, aku mau memperlihatkan bahwa komitmen dan komitmen itu ada berbagai macam. Ada komitmen yang anti kemanusiawan dan ada pula komitmen yang manusiawi. Tanpa unsur-unsur ini, kukira, penulis akan tetap berada pada tingkat penulis "ecek-ecek" tanpa hirau akan tanggungjawab yang menyertai sebutan penyair atau sastrawan dan "ecek-ecek' pulalah taraf kemanusiaannya sekali pun mereka berlindung di balik nama para dewa-dewi serta para malaikat kayangan yang asing dari kenyataan hidup di bumi. Tentu saja bahwa kesadaran dan komitmen bukanlah sesuatu yang sekali jadi sebagaimana pula halnya dengan taraf kemampuan bersastra. Ia adalah suatu proses sesuai dengan dialetika alam. Karena itu, aku membedakan adanya dua jenis penyair yait penyair instingtif dan penyair sadar. *** Ide "takdir" yang mendominasi enam sanjak Kathirina di atas mengingatkan aku akan kuliah Prof. DR. Arkoun dari Universitas Sorbonne Paris beberapa tahun silam di depan para mahasiswa IAIN di Indonesia yang sedang melawat ke Paris setelah be
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [47]:"D I BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MA LAM SERUA INDAH"
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [47] "DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH" 8. Kukira sanggar Bumi Tarung dan pelukis-pelukisnya memang layak ditulis tokoh,apalagi sampai sekarang mereka telah memberikan sumbangan yang tidak bisa diabaikan, terutama di bidang seni lukis dan pemikiran.Sambil lalu kudengar memang dalam Temu Serua Indah malam ini dari pembicaraan Misbach Thamrin dan Gumelar bahwa buku tentang Bumi Tarung sudah ditulis bahkan mungkin sudah terbit atau siap terbit.Pengalaman Sanggar Bumi Tarung, kukira unik dan mungkin eksprimen dalam berkreasi dan pencarian-pencarian mereka berguna untuk dipelajari oleh angkatan sekarang. Sampai pada malam ini, Amrus masih mengajukan ide dan prakteknya yang ia sebut sebagai "creative sparing partner". Apakah "creative sparing partner" itu? Dari penjelasan Amrus Natalsya, aku ketahui bahwa yang ia maksudkan dengan patner dalam berkreasi adalah teman atau patner yang berani mengkritik karyanya secara habis-habisan, tanpa tedeng aling-aling. Dengan patner begini, ia berusaha mencapai tingkat setinggi mungkin. Untuk itu kedua orang yang ber-"sparing partner" dituntut untuk meningkatkan taraf menyeluruh diri mereka masing-masing.Sebagai "creative sparing partner", keduanya berlaga habis-habisan tanpa belas kasihan untuk mencapai taraf karya setinggi mungkin.Amrus mendapatkan "creative sparing partner"nya pada Misbach Thamrin, pelukis-esais anak buruh tambang minyak Kalimantan yang bangga pada asal keluarganya. "Creative sparing partner" dengan demikian bisa juga dipandang sebagai tungku penggondokan dan pengolahan karya sebelum karya itu dilemparkan ke publik. Hal lain yang dikemukakan oleh Amrus bahwa dalam masalah kreativitas adalah patutnya dijaga watak indah,ilmiah dan keberpihakan.Tiga watak ini bagi Amrus Natalsja dianggapnya sebagai keniscayaan.Indah adalah menjadi keniscayaan karena seni tidak bisa dileraikan dari unsur indah. Jika tidak indah maka ia bukan seni lagi,ujar Amrus. Dalam kesenian, unsur indah dalam kesenian adalah suatu kemutlakan, tambah Amrus. Tanpa unsur keindahan,suatu karya sulit disebut sebagai karya seni. Sedangkan unsur ilmiah bersangkutan dengan pengenalan atas kehidupan dalam segala segi serta permasalahannya yang tidak pernah sederhana, dan juga masalah benar-salah, baik atau buruk.Aku tidak tahu apakah ketika mengetengahkan masalah ilmiah ini, pada Amrus Natalsja terkandung juga pengertian takhayulisme baik dalam bentuk usang atau pun yang kekinian. Dalam soal keberpihakan,Ammrus dengan tegas mengambil sikap berpihak kepada mayoritas umat manusia, mayoritas penduduk negeri, sikap yang dianut oleh Sanggar Bumi Tarung sejak berdirinya sampai sanggar itu tidak lagi bisa bertahan semenjak Orde Baru menguasai Indonesia dan banyak anggota-anggotanya yang menjadi penghuni penjara atau dikirim ke pulau pembuangan. Malam makin mutlak menguasai kampung Serua Indah. Gerimis makin menderas menjadi hujan.Tantangan esok mengalahkan hasrat untuk meneruskan pertemuan pertama Serua Indah hingga subuh seperti yang dulu dilakukan di Sanggar Bumi Tarung atau sanggar-sanggar Yogya lainnya. Kami menyadari bahwa Yogya dahulu sudah silam, yang tertinggal barangkali hanya apinya di hati terpancar di sorot mata.Api inilah yang kukatakan sebagai "Api Yogya" yang menyertai kami yang tersisa dan angkatan baru yang turut hadir malam ini, dalam menjelang esok yang tak punya tepian. Saling peluk dan tatap-dalam penuh makna dan harapan mengakhiri pertemuan yang pasti meninggalkan kenangan manis di hati masing-masing. Yang diucapkan bukanlah "selamat jalan" tapi "sampai jumpa"! Sampai jumpa,Bung! Sampai jumpa kembali! Paris,Nopember 2005 -- JJ. Kusni [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Group
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [46]:"D I BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MA LAM SERUA INDAH"
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [46] "DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH" 7. Sebelum memasuki masalah "patner kreatif" atau "sparing partner" [padanan lawan] dalam berkreasi yang diajukan oleh Amrus Natalsja ini, bolehkan aku bercerita sedikit tentang Amrus. Amrus¨termasuk salah seorang pelukis yang tergabung dalam Lembaga Seni Rupa Lekra Yogyakarta dan pendiri Sanggar Bumi Tarung Yogya yang dahulu terletak persis di depan rumah pelukis Amri Yahya alm.Tokoh-tokoh lain dari Bumi Tarung adalah Misbach Thamrin, anak buruh tambang minyak dari Kalimantan Selatan, Issa Hassanda dari Sumba, Sabri Jamal alm. dari Minangkabau, penyair-pelukis-novelis Kuslan Budiman dari Jawa Timur, pelukis Gumelar dari Jawa Tengah, dan lain-lain... Sedangkan pelukis Joko Pekik yang juga menjadi anggota Bumi Tarung pada waktu itu masih merupakan anggota pupukbawang belaka. Karena menjadi anggota Lekra, Amrus ditangkap oleh Orba dan dimasukkan ke dalam penjara selama 10 tahun lebih tanpa proses pengadilan apapun. Amrus kemudiandibebaskan bersama ribuan tapol yang disebut "tapol PKI" pada saat Jimmy Carter melaksanakan politik luarnegeri kemanusiaannya saat menjadi Presiden Amerika Serikat, berkat tekanan dan lobbie politik internasional yang kuat.Saat dibebaskan,Amrus tidak tahu pergi ke mana.Karena itu, ia kembali ke penjara, kalau tidak salah penjara Cipinang, dan minta diizinkan untuk sementara bisa tinggal di penjara. Melihat Amrus kembali, pengurus penjara bertanya: "Mengapa kau kembali?" "Lha, saya mau tinggal di mana? Tidak ada satu alamatpun yang bisa saya harapkan dan dapatkan di Jakarta ini. Lebih baik aku tinggal kembali di penjara. Di sini saya jelas ada tempat tinggal dan tidak tidur di jalan jadi gelandangan.Aku tidak mau jadi gelandangan". Kisah ini Amrus tuturkan kepadaku ketika kami bertemu untuk pertama kalinya di Pajempongan, Jakarta. Demikianlah Amrus untuk sementara tinggal di penjara, tapi leluasa ke mana pun karena ia sudah berstatus "bebas". Ia saban hari mencari kontak dengan temlan-teman lama. Setelah ia dapatkan alamat di mana ia bisa tinggal, ia meninggalkan penjara dan mencoba mengadu nasib kembali untuk hidup di Ancol sebagai pelukis. Di Pasar Seni Ancol, Amrus mengamati bentuk-bentuk lukisan yang ada di situ.Dari pengamatan ini, muncul pikiran pada Amrus bahwa jika ia mengikuti arus yang ada, maka ia tidak bakal bisa hidup. "Aku harus menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru, lain dari yang lain,sehingga karyaku adalah karya yang unik", pikirnya. Dari sinilah kemudian, Amrus sampai pada ide, untuk melukis di kepingan kayu.Ia pun mulai memungut kayu-kayu yang dibuang orang dan menjadikan kayu-kayu itu sebagai kanvasnya. Dan benar, apa yang dibayanngkannya, menjadi kenyataan. Ia tampil unik ditambah lagi dengan kemampuan tkehnis serta pengetahuan akademisnya, Amrus muncul menjadi pelukis unik dan mendapat perhatian dunia seni lukis. Boleh dikatakan, Amrus menjadi pelopor dalam tekhnik melukis ini. Karya-karyanya sangat laku dengan harga cukup tinggi, kalau tidak bisa dikatakan sangat tinggi, sehingga ia bisa mengobah keadaannya yang papa secara ekonomi setelah lepas dari penjara. Ketkika aku diundang ke sanggarnya yang besar dan luas di Jakarta, dan bahkan diajak ketemu dengan kolektor lukisannya, aku memang saksikan lukisan-lukisan di atas kanvas kayu berukuran besar, 4 X 6 meter, serta patung-patung kayu yang memang jadi kekuatan Amrus.Ia membiarkan aku sendiri menjelajahi sanggarnya, sementara ia dengan bersila tenggalam dalam keasyikan melukis.Saat melukis, ia tidak ingat lagi dunia kanan-kirinya.Aku pun tidak mengusiknya. Aku tidak tahu, apakah ilham menjadikan kayu sebagai kanvas ini ada tautannya dengan seni cukilan kayu yang dirintis oleh pelukis Suromo, Surono Ngajar Bana Sembiring dan diikuti oleh S. Pudjonadi dari Klaten Pertanyaan ini tak sempat kuajukan kepada Amrus termasuk saat kami bertemu di TIM Jakarta dan di Temu Serua Indah. Kami masing-masing sibuk dengan kegiatan masing-masing dan pertanyaan-pertanyaan yang diketengahkan forum. Agaknya tekhnik yang ditemukan oleh Amrus, sekarang sudah mulai menjalar ke kalangan pelukis-pelukis angkatan muda. Dari penemuan Amrus ini aku melihat di satu pihak, betapa keadaan sosial-ekonomi mempengaruhi pikiran manusia, kesulitan melecut manusia untuk mencari jalan keluar, dan di pihak lain betapa manusia yang menolak fatalisme tidak gampang dihancurkan.Apalagi seorang seniman yang benar seniman dan memilih hidup sebagai seniman.Pengalaman banyak seniman menunjukkan bahwa untuk menjadi seniman yang sungguh, perlu penyerahan diri total pada dunia kesenimanan dengan segala resikonya.Yang takut pada kemelaratan dan kemiskinan, terutama pada periode awal, tidak bakal mungkin betah dan bisa bertahan lama di dunia kesenimanan. Dengan pilihannya untuk tetap hidup sebagai seniman, ketika masih di penjara, kepada teman-teman seniman sepenjara Amrus katakan bahwa "kita ak
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [45]:"D I BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MA LAM SERUA INDAH"
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [45] "DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH" 6. Soal militer dan militerisme tidak lama dibicarakan karena kemudian kami memasuki masalah kerukunan nasional dan maaf, juga dengan mengambil pendapat Pramoedya sebagai acuan. Kelam malam makin dipertebalkan oleh gerimis yang tak juga mereda tapi juga tak seorang pun kami yang gubris.Saban berada dalam keadaan begini, aku selalu dan selalu saja teringat akan sanjak Chairil Anwar:"Senja Di Pelabuhan Kecil" yang ditujukannya "Buat Sri Ayati": "kali ini tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita serta tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan.Tiada bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi.Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap" Laut, sungai,gunung dan pelabuhan sampai sekarang tetap merupakan lingkungan hidupku baik secara nyata maupun secara metafora. Secara nyata sejak bertahun-tahun aku tinggal di pegunungan kota Paris, dan saban hari sungai Seine dengan kapal, dengan camarnya yang meliuk-liuk, kulalui.Seperti yang dilukiskan oleh Chairil dalam puisinya di atas, kurasakan benar diriku "sendiri berjalan menyisir semenanjung" yang "masih pengap harap" mencari untuk "menemu bujuk pangkal akanan", dan "kali ini" tanpa ingin "mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali". Hal tersebut kurasakan seperti masa silam dan berada di "pantai keempat" yang tak mungkin kucapai, tak "bisa terdekap".Sedangkan tali-tali di pelabuhan dan yang mengisi kapal, menyeret kenangku pada masa remaja. Saban pulang ke Kalimantan, dari Yogya melalui Surabaya, aku sering menyembunyikan tubuh kecilku di dalam tumpukan tali itu, sekedar untuk menguji kejelian pengawasan para anggota KKO yang mengawasi pelabuhan. Dan aku senantiasa berhasil sampai Banjarmasin tanpa bayar, walau pun di kantongku masih cukup uang pembeli tiket.Demikianlah saban melangkah meninggalkan pelabuhan Banjarmasin menuju alamat di mana aku akan singgah sebentar, aku tertawa sendiri, ngakak dalam hati seperti halnya aku mengacungkan tinju ke langit saat gelombang sungai bocah dahulu kukalahkan.Hanya sekarang, aku jadi orang kalah dan berjalan "menyisir semenanjung", di bawah gerimis kembara yang mempercepat kelam, sendiri dan tanpa cinta yang tak lagi kucari.Di sini kurasakan kekuatan magis puisi dan terdapat mengapa puisi jadi langgeng melamapui kurun waktu hidup si penyair.Juga aku melihat bahwa tema cinta bukanlah tabu ditulis penyair. Paling-paling masalahnya bagaimana kita mengolah dan bagaimana melihat serta menganalisa tema tersebut. Tak ada tema yang tabu bagi penyair dalam pencariannya sama halnya tak ada hutan paling keramat pun yang mencegah kembara pencarian penyair. Oleh karenanya aku sedikit pun tidak menjadi terusik dan galau jika ada yang mengkritikku sebagai telah melakukan pemerosotan diri, ketika menulis aku menulis tema cinta.Aku hanya bertanya: Mengapa begitu simplistis? Cinta dan harapan sesungguhnya adalah tema besar, dalam dan luas jika kita menyempitkan pengertiannya, apalagi jika sebatas birahi. Cinta dan harapan seperti halnya dengan ingat dan lupa sering harus dipertarungkan habis-habisan dengan segala konsekwensinya agar tetap memberi cahaya pada kehidupan dan tetap ada dalam kehidupan. Dalam konteks ini aku sering kembali merenung dengan konsep dan praktek Yesus tentang kasih atau cinta sampai ia punya kesanggupan mati di salib Golgotha.Agaknya untuk mampu sungguh-sungguh mencintai dan memiliki harapan, kita dituntut untuk sanggup melakukannya dengan kemampuan serta keteguhan menghadapi segala konsekwensinya, termasuk hilang kepala dan nyawa.Tidakkah jadinya pada cinta dan harapan kita dapatkan kemampuan hidup serta usaha untuk hidup secara manusiawi.Lupa jadinya nampak di mataku sebagai sikap lari dari persoalan dan menyerah pada cobaan ajal yang sering mengirimkan kesulitan demi kesulitan ke beranda bahkan ruang pribadi kita. Untuk "ingat", dan "selalu ingat", agaknya diperlukan keberanian, kejujuran diri, ketulusan dan kesetiaan.Bahkan mungkin menyangkut soal pada komitmen manusiawi. Masalah "kerukunan nasional" dan "maaf", kukira erat hubungannya dengan soal lupa,ingat,cinta dan harapan. Dalam hal ini Pram mempunyai sikap tegas "tiada maaf" juga kepada orang seperti Gus Dur yang secara terbuka meminta maaf atas peranan orang-orang NU atau di sekitar NU dalam Tragedi Nasional September 1965. Dalam soal ini sikap kami yang hadir di dalam Temu Seru Indah, dan aku sengaja tidak menukikinya karena tahu benar bahwa masalah besar begini, tidak akan mungkin terselesaikan dalam temu beberapa jam.Tapi yang sama kami
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [44]:"D I BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MA LAM SERUA INDAH"
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [44] "DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH" 5. Semua orang yang hadir leluasa mengemukakan pandangan masing-masing secara "blak-blakan" tanpa kembang atau bunga, dengan gaya masing-masing.Ada yang duduk, ada yang berdiri, berbicara sambil berjalan-jalan atau duduk seperti di warung kopi dengan sebelah kaki di angkat di atas kursi.Keadaan yang mengingatkan aku pada masa-masa diskusi di sanggar-sanggar zaman remaja Yogyaku dahulu atau percakapan hingga subuh di depan pasar Beringharjo.Tapi justru dari diskusi seperti inilah banyak ide-ide muncul.Sebagian besar dari para seniman yang hadir dalam Temu Serua Indah ini kebetulan adalah mereka yang pernah tinggal dan besar di Yogya.Pada pertemuan pertama ini nampak benar padaku bahwa masing-masing seniman ingin menumpahkan maksimal kerinduan mereka yang terbungkam selama berdasarwarsa. Ketika masih berada di Balikpapan, Indang Dina mengirimku sms agar sekali-kali jangan lupa akan Temu Seniman Serua Indah ini."Teman-teman mengingatkan kau agar kau mengutamakan pertemuan ini, dan jangan sampai gagal", tulis Indang Dina dalam smsnya. Karena memahami harapan dan perasaan teman-teman, maka sejak Balikpapan, apalagi waktu di Palangka Raya, pertemuan ini dengan segala usaha kubela, dengan segala cara kesulitan transport kuatasi.Tahu akan hal ini juga maka sejak dini, Shantined yang mengorganisasi peluncuran bukuku di Balikpapan, mendorongku untuk jangan memikirkan peluncuran di Balikpapan. "Berangkatlah, jangan ragu. Aku bisa tekel acara di sini, walau pun kau memang sangat diperlukan hadir. Berangkat", ujar Shanti. Pembicaraan tentang militer dan militerisme yang bermula dari pernyataan Pram di atas, sejenak terpotong oleh datangnya Rali -- seorang lelaki yang disekolahkan oleh Indang Dina untuk jadi sopir, dan juga punya kemampuan sebagai arsitek, bekerja sejak muda dengan Indang Dina -- datang membawa sekotak bir pesanan Tariganu.Hanya Tariganu yang menikmati bir ini dan hanya kami berdua sajalah yang merokok tak putus-putus seperti cerobong lokomotif. Melihat datangnya sekotak bir yang dibawa oleh Rali, Amrus Natalsja pematung dan pelukis dari Medan, salah sorang pendiri Sanggar Bumi Tarung, Yogya, sekarang salah seorang anggota Akademi Kesenian Jakarta,berkomentar tenang dengan gaya khasnya: "Kalian berdua akan segera mati dengan cara bunuh diri demikian.Aku hanya bisa berkata :Syukur, syukur, sambil melemparkan mawar merah ke liang kubur kalian". Mendengar ucapan Amrus itu, semua hadirin tertawa terkakak-kakak.Seperti tidak terusik sedikit pun Tariganu yang memang pernah lama brsekolah di RRT [Rpublik Rakyat Tiongkok] menjawab tenang dengan gaya seakan berkata pada dirinya sendiri: "Kalau kita mengamati riwayat pemimpin-pemimpin RRT, mereka yang merokok dan minum justru berumur sangat panjang". Tariganu menyebut nama-nama Chu Teh, Lin Piao, Mao Tsedong dan nama-nama lainnya untuk membela dalilnya.Teman-teman kembali tertawa terpingkal-pingkal."Sebaliknya bagaimana mungkin orang yang hanya makan sayur-mayur seperti kambing bisa panjang umur dan punya tenaga? Mana ada kambing yang berulur panjang?" lanjut Tariganu diarahkan kepada Amrus Natalsja yang sedang menikmati makanan vegetarian yang dia bawa dalam rantang khusus dari rumahnya. Derai tawa kembali menyingkirkan gerimis yang terus membasuh debu-debu atap dan dedaunan halaman rumah Indang Dina yang disebut oleh teman-teman secara bercanda sebagai "tuantanah". Sesudah canda itu usai, kami kembali membicarakan soal yang dikemukakan Pramoedya di PDS HB. Jasssin di atas, yang mengatakan "tiada maaf bagi militer". "Yang kupertanyakan, apakah pandangan demikian, tidak perlu dirincikan lebih lanjut? Sebab kukira antara militer, orang militer dan militerisme terdapat perbedaan. Tidak semua orang militer adalah militeristik atau penganut militerisme. Dari pengalaman Indonesia di tahun 1965 saja kita mendapatkan bukti bahwa di kalangan orang-orang militer terdapat orang-orang yang berhati nurani. Belum lagi kalau kita melihat bahwa Gamal Abdel Nasser dari Mesir, Chavez dari Venezuela, Kemal Ataturk dari Turki sekali pun mereka orang-orang militer, tapi tidak serta-merta menjadi penganut militerisme. Yang sipil, yang bukan militer justru tidak sedikit yang menganut militerisme dan menjadi batu rintangan bagi tegaknya masyarakat sipil.Kalau pengamatanku benar maka di dalam kalangan militer terdapat militer yang berpikiran cerah dan ada memang yang militeris, penganut militerisme sehingga penggeneralisasi militer identik dengan militerisme barangkali merupakan ide atau kesimpulan yang sulit dipertahankan. Kukira kekuatan militer yang berpikiran cerah ini untuk Indonesia patut dikembangkan. Dari segi negara, sebelum "negara itu melenyap", militer tetap diperlukan. Mempertahankan adanya militer, kukira tidak identik dan membuat kita jadi penganut militerisme.Kekuatan militer yang berpikiran cerah ini akan mempuny
[nasional_list] [ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [42]:"DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH"
** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [42] "DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH" 3. Pada titik ini, temu antar seniman di Serua Indah-Suka Damai sampai pada soal "sastra-seni kepulauan". Dalam pandanganku konsep "sastra-seni kepulauan" ini sangat penting Indonesia dan bahkan kuanggap sesuai dengan nilai-nilai republiken serta nilai Indonesia itu sendiri. Bagiku, ketika kita menyebut negeri ini sebagai Republik Indonesia,maka di dalamnya terkandung serangkaian nilai republiken dan nilai-nilai keindonesiaan.Yang kumaksudkan dengan nilai-nilai republiken adalah kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan [liberté, egalité, fraternité] nilai warisan Revolusi Perancis yang Prancis sendiri belum selesai mewujudkannya.Aku tidak melihat adanya nilai lain dari nilai-nilai di atas ketika "founding fathers" kita menamakan negeri ini sebagai "Republik Indonesia" [R.I].Sehingga Republik dan Indonesia merupakan rangkaian nilai yang dijadikan pegangan untuk berbangsa dan bernegara. Tapi sejarah perkembangan R.I, sering mempertontonkan ke dunia bahwa nilai-nilai republiken itu dijadikan puntung rokok di bawah tumit sepatu.Bahkan sampai pada hari ini. R.I. pun pernah merosot menjadi militerisme dan kerajaan feodal. Ketika nilai-nilai republiken dan Indonesia ini tidak diterapkan maka Indonesia akan tetap jadi semacam negara penindasan.Pusat dan mayoritas menindas minoritas. Orang Indonesia menjajah orang Indonesia.Pusat menindas daerah.Celakanya daerah selalu dikambinghitamkan.Padahal perlawanan daerah adalah reaksi terhadap pilihan politik Pusat.Sehingga masalah sebenarnya bukanlah terletak pada separatisme tetapi pada apa bagaimana politik pemerintah Pusat di Jakarta. Jika mau berbicara tentang yang disebut separatisme,maka pertanyaan utama kukira adalah apakah Jakarta menyetiai ide republiken dan Indonesia.Jangan dilihat secara terbalik dan menjadikan daerah sebagai kambing hitam. Hanya saja pola pikir mencari kambing hitam, sangat kental di negeri ini. Yang diabaikan sampai sekarang juga adalah nilai keindonesiaan. Apakah nilai keindonesiaan itu? Nilai keindonesiaan bagiku tidak lain daripada kemajemukan sebagaimana diruluskan dalam motto:"bhinneka tunggal ika". Malangnya motto yang merumuskan nilai keindonesiaan ini termasuk kurang diindahkan oleh para budayawan dengan menegakkan atau kecenderungan untuk menegakkan dominasi nilai yang bersifat sentris, terutama Jakarta sentris , paralel dengan pengerti Republik Indonsia sebagai NKRI yang sentralistik. Sentralisme nilai begini kukira adalah ujud dari ide NKRI sentralistik di bidang kebudayaan,khususnya sastra-seni. Berbalikan dengan ide sentralistik dan pengangkangan nilai ini adalah konsep sastra-seni kepulauan yang ingin mendesentralisasikannya, ingin melihat bahwa pulmau-pulau dan daerah bisa berkembang juga menjadi pusat-pusat kebudayaan, ingin menggali dan merevitalisasikan nilai-nilai serta potensi yang ada di daerah.Konsep sastra-seni kepulauan, kukira juga merupakan suatu politik kebudayaan dalam menyikapi macam-macam budaya dari luar negeri.Dengan adanya universitas-universitas di setiap ibukota propinsi, kukira, syarat berkembangtumbuhnya pusat-pusat kebudayaan di berbagai daerah, menjadi lebih tersedia. "Bhinneka tunggal ika" bagiku, sama dengan nilai keindonesiaan yang repuliken dan bukan dominatif. Nilai dan sikap dominatif ini pun sebenarnya ditunjukkan oleh penilaian bahwa yang disebut kebudayaan nasional itu adalah "puncak-puncak kebudayaan daerah" [Lihat: Penjelasan UUD '45].Yang lebih sesuai dengan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan, adalah konsep "sastra-seni kepulauan" sebagai pengewantahan dari ide "bhinekka tunggal ika". Adanya dan bermunculannya komunitas-komunitas budaya di berbagai pulau atau daerah bisa dipandang sebagai bentuk organisatoris dalam mewujudkan ide "sastra-seni kepulauan". Dalam hubungan inilah, kukira, apa yang dilakukan oleh penyair Tariganu , misalnya dengan penerbitan kaset "Puisi Pincala" menjadi penting,termasuk kegiatan-kegiatan eksploratifnya di daerah-daerah seperti di Kalimantan. Kalau dewasa ini sering dipertanyakan: "Apakah gerangan sekarang yang menjadi perekat guna menjadi Indonesia", kukira pertanyaan ini lebih mungkin didapatkan jawabannya melalui usaha menterapkan konsep "sastra-seni kepulauan" daripada keinginan konsep sentralisasi dan dominasi nilai yang bisa dilebih persiskan menjadi Jakarta sentris. Indonesia bukan hanya Jakarta atau Jawa. Pandangan ini kuajukan dalam temu antar seniman di Serua Indah-Suka Damai menanggapi apa yang diajukan oleh Targianu guna mendapatkan tanggapan-tanggapan dan komentar balik.*** Paris,Nopember 2005
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [41]:" DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS M ALAM SERUA INDAH"
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [41] "DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH" 2. Sosok demi sosok kuamati satu persatu. Di bentuk sosok siapa pun mereka yang hadir, baik lelaki atau pun perempuan, jelas kulihat tegaknya di depan mataku tokoh jiwa yang perkasa setelah melampaui masa jatuh bangun tak terperikan. Dengan maaf besar, di sini tak kusebut nama-nama mereka satu per satu. *** Tentu saja acara peluncuran buku 'sanjak' sederhanaku yang lebih bersifat kronik peristiwa: "Sansana Anak Naga Dan Tahun-tahun Pembunuhan" yang diselenggarakan oleh Komunitas Mata Bambu, di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki [TIM] Jakarta, 13 Agustus 2005, sebagai kegiatan pertama komunitas, menjadi bahan pembicaraan santai dan bebas kami.Bahkan soal peluncuran inilah yang mengawali pembicaraan. "Bagaimana pendapat Bung JJ tentang peluncuran buku tanggal 13 Agustus lalu itu?" tanya Tarigan U. "Barangkali pertanyaan itu pertama-tama adalah pertanyaanku, Bung. Dan aku sangat ingin mendengar pendapat kawan-kawan yang tentu lebih bisa membaca keadaan serta perkembangan serupa di PDS daripada aku", jawabku. "Dan pendapat-pendapat kawan-kawan kelak akan kusampaikan kepada kawan-kawan di Komunitas Matabambu [KM] sebagai sangu melangkah lebih lanjut", tambahku lagi. "Secara umum kukira peluncuran itu sangat berhasil. Lihat saja misalnya, harian nasional penting seperti "The akarta Post" atau "The Sunday" pun telah menurunkan artikel dan foto berarti mengenai Bung JJ dan kegiatan tersbut.Barangkali ini bisa dijadikan satu indikasi. Saya tidak tahu bagaimana di daerah-daerah di mana Bung lewati", ujar Tarigan U yang di Jakarta memiliki sanggar seni sendiri dan juga penggiat pada Perhimpunan Persahabatan Indonesia-China" Jakarta."Belum lagi jika kita lihat dari jumlah yang hadir hingga ruangan PDS terasa tidak memadai". "Aku dengar bahwa dari segi jumlah yang hadir, peluncuran 13 Agustus itu merupakan salahsatu yang terbesar sepanjang sejarah PDS, kalau bukan yang terbesar. Apakah benar? Pertanyaan ini kuajukan terlebih untuk kepentingan membaca perkembangan sekarang. Karena ia bersentuhan dengan pertanyaan "mengapa bisa terjadi demikian, faktor-faktor apa yang menyebabkannya", tanyaku lagi. Dengan pertanyaan ini, aku serentak teringat akan adanya sebuah spanduk kecil di pintu masuk TIM berisi peringatan "akan kebangkitan kembali komunis" dan surat tuduhan yang menuduh Matabambu mengangkat orang-orang Lekra. Surat tuduhan ini disampaikan ke Walikota DKI dengan beberapa tembusan.Juga mengingatkan aku akan apa yang disampaikan oleh Nursam dari Penerbit Ombak Yogyakarta dan penyair-cerpenis Harsanti [Shantined] dari Balikpapan yang mengatakan keengganan sementara harian menerima kedatanganku dan keengganan tokobuku terkemuka untuk dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan peluncuran di Balikpapan.Harsanti, penyair-cerpenis Kaltim ini adalah organisator utama, dibantu oleh Bung Syafiq dari Harian Tribun Kaltim untuk peluncuran bukuku di atas di Balikpapan.Terimakasih Santi, terimakasih Mas Syafiq. Adanya spanduk dan keterangan-keterangan ini, bagiku termasuk bahan-bahan berharga dalam membaca keadaan pola pikir dan wajah mental nyata manusia-manusia di tanahair hari ini. "Aku kira evaluasi di atas tidak terlalu jauh dari kenyataan", ujar Tarigan U yang disokong oleh penyair Toga Tambunan. Komposisi hadirin pertemuan antar seniman Serua Indah-Suka Damai malam ini, memang agak unik.Yang berasal dari Jawa hanya tiga orang, termasuk tuan rumah yaitu Indang Dina, sedangkan yang lain berasal dari pulau-pulau luar Jawa yang waktu di Yogyakarta dikenal dengan sebutan "anak seberang" -- suatu cara pandang Jawa sentris dalam memandang Indonesia, barangkali paralel dengan posisi Jawa dalam NKRI yang sentralistik. Dengan komposisi peserta begini, apalagi umumnya sudah saling kenal sejak lama dan biasa bicara bebas leluasa, maka pembicaraan dan pendapat diajukan tanpa batasan tatakrama semu dan feodalistik. Benar bahwa aku memang dibesarkan di Yogyakarta dan memang dipengaruhi oleh budaya Yogya, tapi tetap saja tidak bisa membuang kedayakanku.Barangkali karenanya aku bisa disebut Dayak-Yogya tapi bukan Yogya-Dayak.Penamaan ini kudasarkan pada teori Paul Ricoeur, filosof Perancis yang meninggal pada Mei tahun ini, yang memandang bahwa "budaya lokal merupakan dasar dialog dalam keragaman".Pandangan yang tentu saja berbeda dengan anggapan bahwa budaya etnik lebih dekat pada fasistis. Teman-teman lain pun nampaknya sepakat dengan apa yang diucapkan oleh Tarigan U dan Toga.Hanya yang tetap menjadi pertanyaan: Mengapa yang datang demikian banyak, termasuk kehadiran para wartawan dan acara berjam-jam masih dirasakan terlalu pendek? Apakah karena persiapan Matabambu yang baik, ataukah karena ada faktor Pramoedya A.Toer dan tampilnya orang Lekra, yang berada di bawah angin, di TIM? Ataukah mencakup semua faktor-faktor itu? Kebetulan tanggal 17 Agustus ad
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [40]:" DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH""DI BAWAH GERIMIS M ALAM SERUA INDAH"
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [40] "DI BAWAH GERIMIS MALAM SERUA INDAH" Akhirnya aku pun sampai di Serua Indah di mana pertemuan akan dilangsungkan. Hari sudah jam 15:00 petang.Begitu memasuki halaman yang luas di mana 10-15 mobil bisa berparkir, yang pertama-tama kucari adalah teman-teman seniman yang sedianya datang dan berjanji pasti datang.Tapi tidak nampak seorang pun. Yang ada hanyalah dering demi dering telepon genggam mengatakan bahwa mereka akan datang berombongan dan sedang menuju Serua Indah. Dari pengalaman sendiri di Jakarta, kurasakan betapa kemacetan jalan kota sungguh menjengkelkan, membuat kita sulit menepati waktu sebuah rendez-vous. Kedatanganku sendiri tidaklah terlambat dari jam yang dijanjikan karena memang sudah kuhitung benar sejak dari Palangka Raya.Kuhitung juga kemungkinan macet di jalan Jakarta. OLeh karena itu, kedatanganku lebih tepat waktu dibandingkan dengan teman-teman lain.Apalagi aku memang tidak suka menunggu dan tidak suka membiarkan orang menunggu jika tidak harus menunggu karena alasan tak terpungkirkan lagi. Terhadap waktu , aku memang selalu menghargainya secara maksimal, karena aku sadar benar bahwa waktu yang hilang tidak pernah bisa diraih kembali. Dalam pengembaraanku dari benua ke benua, kurasakan benar sakitnya kehilangan waktu atau penggunaan waktu yang tidak efektif dan berdampak langsung pada hidupku. Gerimis membasahi dedaunan yang rimbun di halaman mempercepat tibanya remang dan mengurangi terik yang menyengat.Sementara itu, di meja ruang terbuka dengan alam sebagai dekor, oleh Indang Dina sudah disiapkan masakan makanan Jawa yang khusus untuk menyambut seniman-seniman itu. Berada di ruang terbuka begini, kita tidak merasakan adanya kesumpekan bahkan sebaliknya merasa longgar. Apalagi sesekali angin semilir berhembus turun dari dedaunan dan malam yang mulai menampakkan kehadirannya makin jelas dan makin jelas. Di tempat ini, dahulu, memang sering kuselenggarakan pertemuan-pertemuan dengan teman-teman dari berbagai kalangan dan dari berbagai daerah tanahair. Tempatnya tertutup oleh pepohonan.Tamu-tamu luar negeri dari Eropa Barat, Jepang dan lain-lain pun sering menginap di sini untuk waktu kadang-kadang sampai satu bulan.Tempat ini sekarang merupakan tempat menyelenggarakan "Perpustakaan 1001 Buku" untuk anak-anak dan orang kampung Serua Indah di samping tempat menyenggarakan kursus masak-memasak dengan maksud menambah sumber penghasilan penduduk secara berprakarsa.Hal ini dimulai dengan pembuatan kue donat yang pemasarannya dirancang benar oleh pihak pengelola.Dan agaknya usaha produktif begini sangat menjanjikan.Sehingga aku makin yakin bahwa untuk negeri ini masih ada harapan dan jalan keluar dari keterpurukan asalkan rakyat bawah bisa menjadi aktor pemberdayaan diri mereka sendiri.Pemberdayaan dan pembangunan dari bawah begini inilah yang pernah kusebut "pemberdayaan dan pembangunan dari pinggir".Dari apa yang kusaksikan di !Serua Indah Suka Damai ini, kuyakini hal begini bukanlah hal muluk-muluk. Barangkali usaha tipe begini bisa disebut salah satu bentuk "pembebasan tenaga produktif".Barangkali! Di bawah gerimis dan temaram malam yang makin nampak di antara cahaya neon dan listrik rumah, satu-satu mobil dari berbagai jenis,yang membawa teman-teman berdatangan masuk ke halaman.Begitu semua kendaraan sudah masuk, gerbang besi pun ditutup kembali.Dari luar sama sekali tidak kelihatan bahwa di halaman Serua Indah ini, terdapat beberapa kendaraan. Begitu turun dari kendaraan, dengan kegirangan luar biasa, kami saling peluk dan kembali saling peluk tanpa mengucapkan kata sepatah pun. Paling-paling hanya saling pandang dengan pandang yang dalam terkadang nampak di bola mata ada air menggenang menngungkapkan secara utuh apa yang tersimpan di hati selama kurun waktu panjang tak berjumpa.Di air menggenang pada mata itu pun tersimpul segala cerita pahit dan manis, jika ada manisnya, tapi juga ada api yang masih menyala tak padam. Semua teman akhirnya mengambil tempat duduk dan bergerak bebas mengambil makanan atau minuman yang terhidang dimeja sesudah Indang Dina menawarkan tanpa basa-basi.Ada yang berdiri, ada yang duduk, ada yang sambil mondar-mandir. Masing-masing dengan perangai masing-masing dan tak seorang pun yang acuh akan perangai siapapun kecuali memamahaminya. Terkadang meledak gelak oleh perangai itu jika dirasakan menggelikan.Kurang lebih puluhan teman seluruhnya, terutama sastrawan dan pelukis yang hadir di pertemuan pertama kami.Dengan gaya beginilah maka percakapan dengan bebas tanpa aturan dan acara dimulai.Indang Dina sibuk mengamati hidangan apakah cukup atau harus segera ditambah sambil mengamati apakah karyanya bisa dinikmati teman-teman atau tidak sambil memasang telinga mendengar percakapan yang hangat suasana dengan isi yang serius diselingi canda-canda tajam dan kocak. Sosok demi sosok kuamati satu persatu. Di bentuk sosok siapa pun mereka yang hadi
[ppiindia] Fw: catatan dari meja nusa dua dan café bandar [40]: MEMBURU WAKTU KE SARUAN INDAH -- SUKA DAMAI
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [40] "MEMBURU WAKTU KE SARUA INDAH" Saban pesawatku tinggal landas meninggalkan Palangka Raya, melalui jendela pesawat, selalu kucoba melihat ke bawah, melihat tanah, sungai, gunung dan hutan kampung kelahiran.Melirik huruf-huruf besar TJILIK RIWUT yang tertera di atap gedung utama bandara.Memandangnya, kurasakan terkumpul segala rupa kisah kampunghalaman dari masa ke masa, termasuk harapan yang masih diburu dan hanya ditunda oleh kesulitan untuk mencapainya. Tak pernah kuucapkan "selamat tinggal" pada Kalimantan, apalagi Kalteng, khususnya Katingan, tak pernah pula kukatakan bahwa kegagalan, kejatuhan, penyingkiran dan keterpinggiran bisa meremuk mimpi generasi dan mimpiku pribadi.Seperti enggang, bisa patah, bisa luka dada dan sayapnya, tapi sampai pada gelepar penghabisan ia akan mencari cara mewujudkan mimpi dan cinta tertunda."Isen Mulang" [tak pulang perang jika tak menang] masih mempengaruhi diriku kendati benua demi benua sudah kukembarai, penjuru demi penjuru kusidiki. Kendati memang akhirnya aku tetap juga seorang pengembara, paling tidak sampai hari ini. Memandang gunung, sungai, tanah dan hutan Kalimantan, seperti kudengar suara menyeru-nyeru: "Kami tunggu kau kembali pulang, anakku sayang. Kau adalah anakku, anak kami tak perduli sebengal apa pun kau, sejauh apa pun kembaramu.Cinta antara kita tak bisa dipenggal seperti tak siapapun bisa memandaui air sungai hingga terpotong sampai tak tersambung lagi.Waktu dan ruang pun tidak!" Sebelum gunung, sungai, hutan dan tanah Kalimantan melenyap dari pandang, kepada mereka diam-diam kukatakan bahwa "Kalian memang danau arah pulang seekor bangau, hutan pulang si anak enggang". Fokker Merpati melaju membawaku ke Jakarta dikawal oleh gumpalan awan yang tak obah bagaikan ribuan kawanan kuda putih berderap melomba laju Fokkerku. Ribuan joki remaja berpakaian kelabu duduk di pungggung ribuan kuda yang memacu dan melomba. Melihatnya aku rasakan ada suatu dinamisme. Dinamisme alam.Elan kehidupan -- hal yang sangat diperlukan agar hidup tidak hanya asal hidup. Apakah arti hidup jika asal hidup? "Life is not for bread only" tulis seorang pengarang Barat, kalau tidak salah pengarang dari Russia. Sepanjang penerbangan, waktu aku manfaatkan untuk membaca teks "Visi, Misi Dan Program Kerja" yang diberikan oleh gubernur Kalteng Teras Narang dan yang ia minta dikomentari.Sementara itu, tak lama kemudian, pramugari sudah mengumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta.O, waktu demikian cepat berlalu dana tak punya ampun. Sama sekali tak perduli yang lalai dan berleha-leha. Dahulu, pada usia 15 tahun, pertama kali aku ke Jakarta, aku menggunakan kapal laut milik KPM bernama van Goen [nama seorag jenderal kolonialis Belanda yang turut menindas perlawanan rakyat Aceh] dan berlabuh di Tanjung Priok. Perlu dua hari dua malam pelayaran dari pelabuhan Sampit untuk sampai ke Priok.Sedangkan dari Kasongan, kampung kelahiranku, untuk ke Sampit juga memerlukan waktu pelayaran tidak kurang dari waktu demikian, menggunakan kapal kecil atau bahkan dengan perahu layar yang menggantungkan lajunya padaa angin. Karena selain menempuh pelayaran di sungai juga mesti menyisir Laut Jawa.Total pelayaran paling tidak tiga hari tiga malam juga.Berdirinya Kalteng turut merobah keadaan ini.Sekarang dari Jakarta ke Kasongan paling lama memerlukan waktu empat jam perjalanan pesawat dan kendaraan darat.Oleh adanya warnet dan jaringan telepon, aku dengan gampang bisa menghubungi Kasongan dari Paris.Aku bayangkan pada suatu hari yang tidak jauh,Kasongan akan mempunyai bandara sendiri sehingga bisa dicapai dalam waktu lebih singkat lagi.Mengapa tidak? Berdirinya Katingan sebagai kabupaten tersendiri, kukira membuka peluang ini, jika Katingan ingin memutuskan keterisolasiannya dan menjawab tanggap tantangan perkembangan yang cepat melaju. Melirik pada arloji di tangan, aku melihat bahwa waktu pertemuan yang sudah diatur oleh Indang Dina,di Sarua Indah,Suka Damai, Ciputat, dengan para seniman makin mendekat.Menurut rencana pertemuan yang sudah direncanakan sejak lama ini akan diselenggarakan jam 15:00. Seniman-seniman yang menungguku adalah seniman-seniman kawakan dan cukup terkemuka di bidang masing-masing,serta sudah melalui lika-liku hidup amis darah di mana berseliweran sampai di beranda dan kamar-kamar pribadi. Aku sangat khawatir bahwa aku tidak bisa datang tepat waktu oleh kemacetan lalulintas di Jakarta. Memprediksi hal-hal ini, Indang Dina sudah mengirimkan mobil jemputan untukku. Pertemuan dengan para seniman kawakan ini kurasakan penting karena dari sini aku mungkin terbantu untuk membaca keadaan kesenian dan pikiran-pikiran hidup yang ada di dunia kesenian Indonesia sekarang, terutama di Jakarta, bukan hanya yang terdapat di kalangan anak muda. Aku merasa perlu mengenal keadaan nyata dunia kesenian pada berbagai kalangan atau lapisan.
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [39]: "has eh hari", ayo serbu kembali langit kembara!
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [39] "HAS EH HARI", AYO SERBU KEMBALI LANGIT KEMBARA! Besok siang aku ditunggu Jakarta.Lusanya Paris.Tulah dan tubin entah di mana.Hidup kurasakan bagai teka-teki silang tak pernah usai diisi.Yang pasti bahwa di tiap tapak dan tikungan, ada duka, ada luka, ada hilang menanti siap menyergap dan menyiksa. Harapan mengabut tapi tetap ingin diburu dan direbut.Sejak lama keduanya merupakan ayunan di mana aku bermain tak kenal jera. Nusa Dua dan Café Bandar seperti Kasongan dan Katingan bersama sekian nama, juga namamu Meldiwa, akan kian jauh di mata, tapi tertating selalu di tangan hati menolak menyerah.Hadir mengatasi ruang dan waktu tanpa "selamat tinggal" apalagi "adieu"!.Tak ada "aideu" atau "selamat tinggal" bagi harapan yang memang kadang bersembunyi atau "ndelik" jika menggunakan istilah anak perempuanku yang lucu dan nakal suka mengusikku. Keesokannya, jam sembilan pagi, aku sudah berada di Bandara Tjilik Riwut di antar oleh mereka yang merasa dekat denganku tak peduli daki-daki yang mengotori wajah jiwaku. Mereka mencintaiku sebagaimana adanya aku, tanpa ilusi puritanis. Pada tahun 1957an, ketika bandara ini sedang mulai dibangun,usiaku masih remaja, ketika mengajakku berkeliling dengan sebuah jip Willys 1945, Oom Tjilik Riwut menjelaskan mimpinya kepadaku dengan dingin. "Kita akan bangun dua lapangan terbang di ibukota Kalteng ini, Ken [dari kata "aken" bahasa Katingan brarti "ponakan"] . Satu untuk penerbangan dalam negeri, dan sebuah lagi untuk penerbangan internasional. Lapangan terbang internasional kurancangkan diberi nama lapangan terbang Panarung" [fighter]-- sekarang menjadi nama sebuah kampung di Palangka Raya. Kita harus bangun Kalteng sebagai ujud tanggungjawab manusia Dayak pada hidup". Mendengar dengan cermat tuturannya, aku dapatkan bahwa Pamanku ini memang seorang pemimpi. Dari mimpi dan cintanya kepada Tanah Dayak lahir laksa dan berlaksa prakarsa dan ide serta ketetapan mengejawantahkannya sampai selesai.Menelusur riwayat Tjilik Riwut ini aku menyaksikan bahwa cinta dan mimpi memang merupakan suatu kekuatan magis yang kuasa menantang dan menatap maut secara mata dengan mata tanpa kedip.Terngiang kembali "lahap"nya, bagaimana ia memekikkan kata "Merdeka" saban ketemu di jalan, dan bagaimana ia "manakir petak" [menumiti bumi] memperlihatkan kebulatan hati seorang "putera panarung". Semuanya membekas dalam diriku sampai sekarang dan memberiku pengaruh diam-diam. Tjilik Riwut dan angkatannya adalah angkatan panarung mandi darah dan airmata, berbeda dengan angkatan sekarang yang mengendalikan Kalteng. Barangkali perbedaan latarbelakang ini turut mempengaruhi gaya dan langgam dalam menyelenggarakan Kalteng. Ketika masih bekerja di Palangka Raya, Pamanku yang lain pernah bercerita bahwa saat Palangka Raya sedang dibangun dari hutan menjadi kota, Tjilik Riwut dan kegubernurannya berkedudukan di Banjarmasin, di depan gedung bioskop Kalimantan dekat Komando Militer Kota.Yang mengagetkan dari cerita Pamanku itu bahwa di rumah, rumah sorang gubernur, gubernur Kalteng, kehabisan beras.Gubenur Kalsel-- sahabat seperjuangan Tjilik Riwut -- pada waktu itulah yang kemudian membantu Tjilik Riwut yang sibuk, mengatasi soal beras ini dengan mengirimkan satu dua goni beras.Bandingkan dengan keadaan sekarang. Jabatan sama dengan peluang KKN dan memperkaya diri.Untuk memperoleh jabatan kunci pun dilakukan dengan membelinya. "Mengapa aku tidak menjual saja tanah agar dapat pos pgawai negeri itu", demikian tanpa malu-malu diucapkan oleh suami-isteri di depanku waktu dahulu bekerja di Kalteng.Pernyataan jujur dan polos ini sangat hakiki dan berbicara banyak, bahwa jabatan tidak lain dari barang dagangan dan alat korupsi. Saat harus kembali berangkat ke Jawa di tahun 57an,untuk melanjutkan sekolah di Gadjah Mada, bandara Panarung masih merupakan belantara sedang dibuka. Kembali lagi setelah lebih dari empat dasawarsa, pesawat Merpati yang membawaku dari Jakarta dengan tenang mendarat di bandara Palangka Raya yang dinamai bandara Tjilik Riwut dan bukan lagi Panarung.Masih merupakan bandara kecil tidak sebesar bandara Jajapura, Balikpapan atau pun Biak. Tapi ketika melihat atap bandara bertuliskan hurufhuruf besar TJILIK RIWUT,aku seperti melihat sebagian mimpi pamanku sudah terwujud walau pun jauh dari sudah. Juga melihat bahwa yang pernah nampaknya sebagai khayali, sesungguhnya bukan tidak mungkin. Hidup adalah laksaan kemungkinan di mana imajinasi leluasa tumbuh berkembang walau pun kejatuhan dan kegagalan menunggu di tiap tikungan dan langkah tapi Sysiphus tak pernah berhenti mencari puncak.Inilah barangkali absurditas hidup itu -- hidup yang betapa pun absurdnya tetap kucintai dan kusetiai serta kujaga dengan semangat anak panarung sekalipun harus berdarah-darah. Bandara Tjilik Riwut yang kulihat hari ini makin membaik, baik dari segi besar, kebersihan atau pun pelayanan.Jalan dua lapis
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [38]: ke katingan!
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [38] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 20 Dengan selesainya acara jumpa gubernur, maka acara utamaku di Palangka Raya pun selesai. Tinggal sekarang aku menindaklanjut segala program dan rencana yang sudah dicapai. Selama di Kalteng, dengan pihak pemerintah daerah aku sudah mencapai dua kesepakatan: [1]. dengan pemerintah propinsi melalui Gubernur Teras Narang dan [2]. dengan pemerintah kabupaten Katingan melalui Gatin,sekretaris daerah [sekda]nya yang khusus datang ke rumah adik kandungku di mana aku menginap. Gatin juga adalah sahabat lamaku. Ketika menjadi guru di Universitas Kristen Palangka Raya [UNKRIP], Gatin dan teman-temannya pernah khusus datang ke rumah kontrakanku di Gang Batu Hurun, Bukit Hindu untuk merundingkan apa-apa yang kongkret bisa kami sumbangkan kepada Kalteng, terutama di bidang pendidikan.Rencana ini terpenggal oleh meletusnya Tragedi Sampit 2001.Aku terpaksa keluar Indonesia. Apakah persetujuan Kasongan dengan Gatin selaku sekda kabupaten Katingan akan terujud? Aku pun kembali ke Paris secara pasti hanya membawa tandatanya sebab "di dalam air lumpur kehidupan" Indonesia, juga di Katingan: apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi ketidakpastian merajalela" Di Indonesia aku merasa seperti orang bermain loncat tali atau "tarik tambang" dengan ketidakpastian.Barangkali juga berjudi! Waktu yang diberikan oleh visa mendesakku harus segera kembali ke Jakarta dan mengharuskan aku seperti halnya waktu berada di Balikpapan meninggalkan rencana menemui orang-orang kunci ibukota Kalteng, Palangka Raya serta teman-teman lama yang pernah melakukan banyak hal bersama-sama. Cepat atau lambat mereka akan mengetahui bahwa aku sempat ke Palangka Raya dan barangkali menyesali karena tidak menyempatkan diri datang berkunjung. Sesal sebagai suatu macam perasaan kemudian kurasakan juga sekaligus sebagai kenyataan yang tak terpisah dari kehidupan, terutama kehidupanku.Sebagai perasaan dan kenyataan semuanya harus kukelola sebagaimana adanya kenyataan.Yang paling berat adalah bagaimana mengelola rasa kehilangan dan kejatuhan tiba-tiba di luar hitungan. Pada saat begini yang paling penting bagaimana mencoba agar bisa bertahan. Bertahan dan jangan buru-buru mengambil keputusan.Sebab keputusan yang diambil tergesa-gesa pada saat kehilangan dan jatuh akan sangat berbahaya bahkan bisa sangat fatal.Karena itu pernah seorang pimpinan gerilya Tiongkok dalam Perang Anti Jepang pada Perang Dunia II, mengatakan bahwa bisa bertahan berarti menang dan mencoba melihat titik terang kendatipun secercah. Kehidupan bukanlah kegelapan total.Gelap dan terang terdapat dalam sebuah bumi yang sama seperti halnya empat musim di daerah dingin dan bersalju.Jangan katakan musim semi sudah binasa dari puncak musim salju. Pekerjaan mendesak yang harus kuselesaikan sebelum meninggalkan Palangka Raya adalah mengurus pengelolaan perpustakaan pribadi yang kubentuk selama empat tahun bekerja di kota berpasir putih dan tegak di atas tanah granit ini. Kepada siapa ia harus kuserahkan agar bisa berguna dan dimanfaatkan di tengah-tengah ketidakacuhan akan arti perpustakaan dan buku.Perpustakaan pribadi yang kususun dengan buku-buku dari Jawa dan Eropa ini pernah membantuku ketika menjadi guru di UNKRIP yang kurasakan belajar dengan buku-buku pegangan sudah tidak zamani alias sangat ketinggalan zaman sampai lebih dari 50 tahun.Aktualisasi text books, kukira akan mempengaruhi mutu pendidikan.Tapi jangankan berbicara soal aktualisasi buku pegangan, minat baca para mahasiswa pun ternyata sangat minim. Tak ada tokobuku-tokobuku yang berarti di Palangka Raya. Ada satu yang agak besar terletak di jalan protokol Jalan A. Yani tetapi yang dijual terutama buku-buku rokhani alias keagamaan. Keputusan untuk membuka tokobuku jenis ini, bagiku menunjukkan bahwa ia didasarkan pada evaluasi pemilik, buku-buku apa yang dikira diminati penduduk atau yang diharapkan jadi lapisan pembeli.Jika pemilik tokobuku tidak mengindahkan masalah rentabilitas usaha, berarti tokobuku ini dibuka untuk tujuan lebih mengarah ke propaganda agama.Yang menggelitik diriku adalah pertanyaan:Inikah jalan yang diharapkan sebagai jalan alternatif bagi Kalteng untuk keluar dari keterpurukan? Perpustakaan pribadi yang kubangun selama 4 tahun tentui saja beda dengan buku-buku yang dijual di tokobuku-tokobuku di Palangka Raya. Untuk membangunnya, kusisihkan dana khusus. Buku-buku yang sesuai dengan corak keinginan dan perhatianku kubeli dari tokobuku-tokobuku yang ada di Palangka Raya, sekali pun sudah sangat lama.Untuk keperluan ini seperti saat berada di kota mana pun selalu kusediakan waktu untuk berburu buku.Tapi minat baca di ibukota propinsi ini kurasakan sangat "mengeneskan" hati. Bagaimana mungkin menumbuhkan suatu angkatan manusia bermutu tanpa minat baca dan belajar terutama atas dasar telinga semata.Naif,
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [37]: ke katingan!
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [37] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 19 "Bagaimana?", tanya Teras Narang. Sadar bahwa yang kuhadapi sekarang adalah orang pertama propinsi, tapi menjaga keenggananku menggunakan istilah "bapak", maka aku mencoba menggunakan istilah kompromi yaitu "gubernur" yang kadang-kadang kusingkat dengan "Gub". Menjawab pertanyaan gubernur dan aku melihat bahwa ia menungguku mengajukan persoalan dan agar mengembangkan diskusi, tanda bahwa ia sudah lelah, maka kukatakan: "Baik! Tapi sebelumnya aku mau jelas juga dalam bahasa apa kita diskusi? Apakah menggunakan bahasa Dayak atau bahasa Indonesia? Hanya kuanggap akan lebih layak jika kita menggunakan bahasa Indonesia, karena kukira ini adalah pertemuan resmi". Teras-Narang menyetujuiku. Maka kulanjutkan: "Seperti yang telah kita diskusikan melalui sms, terus-terang pertanyaan utamaku: Apakah gubernur bisa membantuku pulang ke kampunghalaman? Soal berikutnya: Apakah gubernur mau menggunakan tenagaku untuk pemberdayaan dan pembangunan Kalteng -- yang adalah propinsi lahirku terhadap mana aku merasa mempunyai "hutang moral". "Ya permasalahannya jelas.Tapi saya ingin tahu, apa keistimewaan dan kehebatan Anda maka mengharapkan tenaga Anda digunakan?".Gubernur bertanya. Mendengar kata "keistimewaan" dan "kehebatan", aku sedikit bingung karena tidak mengerti akan isi pertanyaan.Sebelum pertanyaan itu kukejar, Teras Narang memberikan penjelasan: "Yang kumaksudkan dengan keistimewaan dan kehebatan", misalnya saya. Keistimewaan dan kehebatan saya adalah mempunyai S1 ilmu hukum". "Aku mengerti sekarang" jawabku."Tapi bagiku S1 ilmu hukum dan lain-lain bukanlah keistimewaan atau kehebatan.Tapi adalah petunjuk jenjang pendidikan yang sudah dicapai atau dilalui oleh seseorang. Ia sama sekali bukan jaminan keistimewaan atau pun kehebatan.Jenjang pendidikan mungkin bisa membantu orang untuk bisa istimewa dan hebat tapi, "mungkin" bukanlah jaminan."Mungkin" adalah tempat bersarang bagi macam-macam kata sifat [ajektif] dan keadaan [situasi].Yang ideal, kukira, jika "mungkin" ini tempat bertumpu kata kerja [verb]. Kembali pada apa yang Gubernur sebut sebagai "keistimewaan" dan "kehebatan", yang aku punya hanyalah beberapa S1 dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai universitas di dunia, S2 antropologi-sosiologi dan S3 sejarah.Tapi keinginanku agar Kalteng mau dan bisa menggunakan tenagaku terutama berangkat dari hasrat membayar hutang moral pada kampunghalaman bukan karena merasa diri istimwa dan hebat. Sampai sekarang, aku masih melihat bahwa pemberdayaan dan pembangunan daerah, pertama-tama bersandar pada putera-puteri daerah.Apa yang kita capai sampai sekarang, lebih merupakan hasil jerih-payah dan perjuangan mandi darah dan airmata putera-puteri daerah ini sendiri, bukan karena putera-puteri dari luar daerah.Karena itu sangat ideal jika putera-puteri daerah yang ada di rantau setelah usai pendidikan, mereka segera pulang dan tidak keenakan di rantau orang.Dari segi ini pula, aku akan sangat berterimakasih jika Gubernur mau membantuku membayar hutang moralku dengan menghadirkan diriku secara fisik di Kalimantan Tengah ini.Kalimantan Tengah dalam penglihatanku adalah gugusan gunung pekerjaan yang menunggu uluran tangan.Dan dalam soal ini aku melihat bahwa masalah sumber daya manusia [sdm] merupakan kunci.SDM tentu bukan sebarang sdm tapi sdm yang berwawasan manusiawi dan berketerampilan tinggi, dan yang kusebut sebagai "Dayak bermutu".Rincian program tentu tidak bisa kuajukan dalam waktu beberapa menit seperti sekarang, tapi segalanya ada dibenakku dan pernah kucoba lakukan saat di Kalteng dua tiga tahun lalu.Aku kekurangan waktu untuk mewujudkan mimpiku. Karena itu aku minta dan menagih, bukan berharap, kepada Gubernur bisa memberiku waktu melanjutkan pekerjaan yang terpotong.Menjadi Indonesia dan Dayak adalah hak alamiku tapi dirampas dan direnggut dari tanganku tidak dari hatiku, oleh Orba.Aku minta hak alamiku dikembalikan tanpa syarat, jika kita sama-sama benar Dayak dan Indonesia. Agar sama-sama jelas,maka perlu Gubernur ketahui bahwa saat hak alamiku direnggut, aku terpaksa mengambil kertas formalitas Perancis". Gubernur memandangku, berucap: "Tidakkah dengan langkah itu, Anda telah mengkhianati Indonesia?" "Aku kira kata "berkhianat" atau tidak, termasuk jenis kata sensitif yang punya latarbelakang sejarah dan politik tertentu, samahalnya dengan kata "reformasi", "rekonsiliasi nasional" dan bahkan "Kalteng" serta "Indonesia" itu sendiri.Terhadap kata-kata peka yang membuka ruang diskusi, barangkali diperlukan kecermatan. Lebih-lebih jika kita seorang pemegang kekuasaan penentu kebijakan. Apalagi bagi seorang pemegang gelar S1 ilmu hukum yang terkenal akan ketelitiannya dalam berbahasa serta menggunakan istilah. "Wah, saya suka dengan diskusi terus-terang begini.Lebih suka lagi karena menyentuh soal-soal m
[nasional_list] [ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [36]: ke katingan!
** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [36] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 18 Frans Untung, yang ajudan, dengan ramah mempersilahkan aku, Lethus dan Esau duduk. - "Kami bukan yang diundang, lho", ujar Esau. "Kami berdua hanya mengawal", tambah Esau kepada Frans yang tidak menjawab apa-apa. Dari ucapan ini kuketahui bahwa Esau pun akhirnya merasa "kagok" atau "rikuh" sendiri dengan kehadirannya dalam pertemuan itu. Mendengar dan mengamati semua ini, aku hanya diam, berpikir dan menilai sedangkan dalam hati, aku berkata pada diri, sekali sesuatu sudah kulakukan akan kulakukan sampai akhir. Aku tak mau melakukan sesuatu dengan kepalang tanggung.Sikap ini jadi dalam tertancap dalam pada diriku sejak aku masih berada di SMP Kristen Sampit. Waktu itu aku sedang menyapu ruang kelas, tapi pekerjaan kutangguhkan karena tiba-tiba aku dipanggil oleh seorang guru.Tapi Hans Dürig, misionaris Swiss yang menjabat kepala sekolah kebetulan datang dan menanyakan: "Siapa yang melakukan pekerjaan ini?" Hans nampak marah. Begitu selesai dengan guru yang memanggilku, Hans kudatangi dan mengatakan: "Akulah yang mengerjakannya". Tanpa mau tahu latarbelakangnya, Hans menegurku dengan nada keras: "Kalau mengerjakan sesutu, harus dikerjakan sampai selesai. Jangan setengah-setengah", tegurnya. Mendengar teguran keras itu aku hanya diam dan menatap tajam mata Hans dengan mata kanakku, merasa ada ketidakadilan dalam teguran Hans.Aku merasa diperlakukan tidak adil oleh Hans.Ketidakadilan dan teguran Hans ini membekas di hatiku sampai sekarang ketika rambutku sudah berwarna dua. Ketika aku berada di Freiburg, Jerman, kudengar Hans masih hidup dan tinggal di Basel. Timbul rasa rindu padanya yang merangsang hasrat untuk menemuinya. Tapi waktu memaksaku membatalkan keinginan ini. Jika bertemu dengan guruku yang orang Swiss ini, akan kuucapkan lagi rasa terimakasih kepadanya. Terimakasih atas tegurannya dulu, sambil bercanda. Ah, masa silam! Akhirnya "masa silam betapa pun getirnya akan menjelma menjadi buah manis", kata orang Katingan. Ingatan akan Hans menyusup kebenakku setelah mendengar ucapan Esau di atas. Sedangkan aku merasa, akulah yang bertanggungjawab atas kehadiran mereka bersamaku karena aku tidak pernah menyatakan penolakan.Artinya apa pun yang terjadi, akulah yang harus memikul tanggungjawab dan resikonya. Sekali keputusan diambil patut kulaksanakan sampai tuntas.Karena sikap begini maka pernah seorang teman sangat akrabku mengatakan bahwa aku adalah orang yang "berkepala batu". "Tapi kepala batu yang berprinsip dan mencoba adil,bukan",candaku padanya. Ya "kepala batu" dan "kepala batu" pun ada macam-macam. "Ah, kau mana pula ada orang bisa melawanmu debat", balas teman terdekatku itu kesal pada dirinya dan memahamiku.Tertawa.Melihat mulutku mau mengucapkan sesuatu, teman terekatku itu cepat berucap: "Diam, diam, diam! Jangan katakan apa pun lagi.Kau, semangat tarungmu tak pernah surut", ujarnya."Suka berkelahi", tambahnya lagi seperti bergumam. Aku ketawa melihat tingkahnya. Temanku ini belum tahu bahwa betapa waktu kanak dahulu di kampung, jika aku pulang ke rumah menangis karena kalah bertinju dengan orang yang lebih besar, ayah malah memukulku. "Pulang ke rumah ini tidak ada orang yang boleh menangis kalau kalah. Ayo sana keluar, kejar dan cari lawanmu. ajak ia berkelahi lagi", bentak ayah dan aku pun terpaksa keluar sambil mengumpulkan segala tekad dan akal, menggerutu melepaskan rasa kesal: "Ayah ini bodoh!Bodoh!". Tapi langkah membawaku mencari lawan berkelahiku tadi untuk memulai perkelahian baru.Perkelahian habis-habisan.Tanpa bantuan siapa pun karena ditanamkan padaku agar tidak boleh main keroyok. "Lelaki tidak boleh main keroyok", ujar ayah.Kalau kemudian, aku pulang dengan luka-luka atau patah-patah, ayah tidak memarahiku dan dengan lembut membantuku membersihkan luka-luka itu tanpa menanyai siapa kalah siapa menang atau bagaimana jalannya perkelahian seakan semuanya itu urusanku. Ayah merasa puas bahwa aku pulang tanpa menangis dan sudah melawan. Tapi dalam kehidupan di negeri ini, kemudian kusaksikan betapa orang merasa gagah jika main keroyok dan berintrik, pandai saling tipu-menipu dan bangga pada khianat, sikap yang kukategorikan sebagai sikap pengecut.Tapi coba bayangkan! Bagaimana bisa mengeroyok ombak,arus dan topan sungai yang sering kutantang? Tapi kalau kuperhatikan situkang keroyok memang bukanlah anak asuhan alam yang garang. Sedangkan kegarangan jika sudah kita hadapi, ia tidak akan terasa garang lagi.Boleh jadi aku menangis karena kalah dan tidak bisa selalu menang. Tapi tangi
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [35]: ke katingan!
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [35] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 17 Kendaraanku akhirnya sampai ke gubernuran, sebuah kawasan luas, tertata rapi dengan gedung-gedung megah berciri Dayak dan bahkan ada sebuah betang [rumah panjang] terbuat dari kayu besi -- kayu yang terkenal oleh daya tahannya dan beratjenis [BD]nya pun lebih besar dari BD air. Kayu ini kian langka di Kalteng.Halaman ditumbuhi oleh hutan hijau, terutama di bagian belakang, dilengkapi dengan kursi-kursi kayu panjang untuk duduk berteduh dari terik.Sebuah parit merentang panjang membelah hutan itu. Terkadang gemersik air yang mengalir terdengar membuat sejuk di tubuh dan di hati.Di bagian depan terhampar sebuah lapangan hijau di mana upacara-upacara resmi dilaksanakan.Indah dan megah serta punya ciri lokal yang menonjol. Waktu Soeharto masih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan militerismenya, menjadi rahasia umum bahwa kantor gubernur ini pun ingin dibeli oleh Mbak Tutut.Tentu saja aku tidak bisa membuktikan kebenaran rahasia umum ini, hanya umum diketahui masyarakat bahwa Soeharto dan keluarganya ingin menguasai dan sudah melakukan penguasaan atas laut,darat dan bumi tanahair. Juga menentukan hidup mati seseorang. "The king can do no wrong" benar-benar menjadi kenyataan. Presiden dan keluarganya tidak boleh dikritik. Keadaan masyarakat Indonesia pada waktu itu dilukiskan oleh Rendra dalam kata-kata: "Apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi. Ketidakpasatian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki, menjadi merahabahaya, menjadi isi kebon binatang" Mujur saja pembelian kawasan gedung gubernur oleh Mbak Tutut yang rakus tidak menjadi kenyataan dan hanya tersimpan di rahasia umum. Saat turun dari kendaraan, kenangan akan segala kegiatan di gubernuran ini ketika masih bekerja di Palangka Raya datang menyambutku.Mereka bagaikan satu kumpulan kenalan lama yang rindu.Sekali pun yang menjadi gubernur sudah berganti tapi orang-orang lama masih ada, ketentuan protokoler pun tetap tidak berobah.Kusapa dan kusalami mereka yang nampak sedikit heran, kemana dan di mana saja aku selama ini.Keheranan yang hanya diungkapkan pandang tapi tidak diucapkan. Sesuai ketentuan aku melapor dan mendaftar ke bagian penerima tamu. Di ruang tunggu sudah banyak orang menunggu giliran tak obah orang menunggu giliran di ruang tunggu dokter atau dukun di Serua Indah, Ciputat. Aku tertawa sendiri diusik oleh perbandinganku.Tapi tidakkah jika seorang gubernur, orang pertama propinsi, bisa memilih dan mentrapkan politik yang tepat, ia bisa membawa dampak seperti dokter terhadap keadaan masyarakat yang sakit? Tapi sebaliknya,apabila pilihan politiknya tidak tanggap dan aspiratif, kekuasaan politik di tangan bisa menjadi magi hitam amis darah dan asin airmata. Seperti orang lain aku pun mendaftarkan diri, demikian juga Lethus Kitie Uda, seorang arsitek muda, dan Esau, yang bekerja untuk masalah lingkungan. Lethus dan Esau adalah sahabat lama, dan mereka ingin juga turut serta bertemu gubernur memanfaatkan undangan kepadaku. Aku menyetujuinya dengan menanggung segala kemungkinan konsekwensinya karena secara protokoler kutahu tidak kena.Barangkali dua teman muda ini tidak memikirkan masalah protokol. Saat berada di Balikpapan, Teras Narang berpesan agar tidak perlu mengantri, ia memintaku menghubungi Frans Untung, ajudannya. Karena enggan mendapat perlakukan khusus begini pesan Teras ini tidak kulakukan segera. Kurasakan terlalu mewah bagiku mendapatkan perlakuan khusus, lagi pula tidak mendidik. Aku, Lethus dan Esau duduk di ruang tunggu. Di sini ternyata tidak sedikit orang-orang yang masih mengenalku. Mereka berdiri dan mendatangiku mengulurkan tangan dan berbincang-bincang. Serombongan wartawan dari tivi dan media cetak tiba-tiba datang. Aku tidak tahu apa yang mau mereka liput. Dalam ketergesaan kerja, mereka masih menyempatkan diri menyapaku: "Kau sudah di sini lagi?" Kemudian berlalu.Kami berbicara dengan pandang.Terasa adanya kekagetan mereka melihat kehadiranku. Selama bekerja di Kalteng, dengan mereka aku memang sangat akrab.Tidak sedikit kegiatan-kegiatanku disiarkan melalui tivi dan koran.Tivi bahkan terkadang mewawancaraiku secara khusus selama 30 menit.Hal yang kemudian merepotkan diriku sendiri, terutama di hadapan polisi.Karena aku dianggap telah melampaui wewenang visa masuk Indonesia."Wewenangmu adalah mengajar di universitas, bukan memberikan wawancara", ujar seorang perwira polisi dan imigrasi setempat. "Kalau apa-apa yang kulakukan kalian permasalahkan maka pertama-tama yang dipermasalahkan semestinya adalah pemerintah daerah, termasuk gubernur. Juga para wartawan yang mewawancarai. Mereka yang mengajak.", jawabku. Akhirnya pihak imigrasi Kalteng mengatakan: "Baiklah, kami akan tutup mata dengan jari renggang". Melihat tapi pura-pura tidak melihat. Tahu tapi pura-pura tidak tahu. Setelah men
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [34]: k e katingan!
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [34] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 16 KFC di Palangka Raya! Lambang modernisasikah, lambang kemajuankah ataukah lambang dari laju penetrasi kebudayaan Amerika di Kalteng melengkapi hasil melalui parabola yang sudah sampai ke pedalaman? KFC yang terletak di Jalan Yos Soedarso adalah yang kedua dan lebih ramai daripada yang terdapat di Jalan Kinibalu. Sungguh menyedihkan bahwa di Palangka Raya, restoran yang menjual makanan Dayak sangat minim jumlahnya. Yang bisa disebut paling-paling Restoran Samba, Bukit Raya [yang nampaknya mengalami banyak kesulitan sejak pemiliknya terlibat dalam unjuk rasa anti Gubernur Warsito. Kekuasaan politik lalu turun tangan untuk mengendalikan lawan-lawannya dengan berbagai cara. Restoran Dayak lainnya terdapat di Jalan Kinibalu, sebuah restoran atau sebenarnya warung sederhana.Restoran di jalan Kinibalu ini mengkhususkan diri dengan jualan masakan Dayak berbasiskan daging babi.Dari ketiga restoran atau warung Dayak ini, yang memadai pelayanan dan penampilannya hanyalah Restoran Bukit Raya yang sekarang seperti kukatakan nampak merosot. Oleh keadaan ini maka waktu berada di Palangka Raya aku mencoba mendirikan sebuah restoran dan secara kebersihan, penampilan serta rasa makanan boleh dibilang terbaik yang dimiliki oleh orang Dayak di Palangka Raya. Sayangnya ketika aku harus meninggalkan Kalteng dan Indonesia, restoran yang kumimpikan sekaligus sebagai pusat kebudayaan jadi mati.Tutup tanpa kutahu penjelasan sebab-sebabnya. Tentang tutupnya pun kuketahui dari orang lain.Aku sendiri tidak pernah diberitahu hal-ikhwalnya seakan-akan peranku sama sekali tidak ada. Inikah ujud dari tatakrama berkawan? Dari kejadian ini aku lagi-lagi melihat adanya masalah tentang tidak sehatnjya pola pikir dan mentalitas di kalangan orang Dayak.Bagiku masalah ini dibandingkan dengan jumlah uang ratusan juta rupiah jauh lebih mendasar dari jauh lebih penting dari rusaknya kredibilitasku -- yang tak kuhiraukan demi kampunghalaman. Apakah kita paham arti pentingnya kredibilitas? Dayak dan Indonesia serta kredibilitas sama halnya dengan soal martabat adalah penting.Pokrol bambu mau menang sendiri yang menolak hakekat , sama sekali bukan jalan penyelamatan sekalipun jutaan kali dalam sehari kita menyebut nama Tuhan.Dengan cara ini Tuhan diajak berkomplot melakukan kejahatan dan menohok kawan. Dibandingkan dengan apa yang kami lakukan di Paris melalui Koperasi Restoran Indonesia, rata-rata restoran di Palangka Raya dari segi pelayanan dan kebersihan boleh dikatakan masih di bawah standar koperasi kami.Barangkali masalah ini patut diperhatikan baik oleh pemilik restoran/warung maupun oleh pemerintah kotapraja. Sekedar usul saja,mudah-mudahan bisa jadi perhatian. Mengembangkan pariwisata kiranya erat kaitannya dengan restoran juga transport.Soal fasilitas transport dalam menopang turisme di Palangka Raya sangat lemah. Jangankan untuk keperluan turisme, untuk melayani penduduk saja tidak padan dengan jarak-jarak yang patut ditempuh di ibukota propinsi terbesar dari segi topografis. Keunggulan KFC kukira terletak pada kebersihan dan pelayanan yang tidak asal-asalan dan berwajah serta berselera masa kini.Kekuatan KFC juga terletak pada kemammpuannyha mengikuti "trend" masa kini ditopang oleh citra keliru tentang Amerika yang diciptakan dengan bantuan kecanggihan tekhnologi. Ia mempunyai "l'ambiance", suasana yang meriah, hangat.Apakah benar penglihatanku bahwa berkembangnya KFC hingga ke jalan Yos Soedarso memperlihatkan proses Amerikanisasi sudah mulai menyusup ke Kalteng? Kurangnya restoran/warung Dayak di Tanah Dayak sungguh terasa bagiku suatu ironi yang menohok. Terlalu sulitkah menyelenggarakan restoran Dayak yang benar-benar mewakili dan layak tampil? Lebih menohok lagi ketika melihat orang-orang Dayak merasa bangga memasuki mall atau toko serba ada sebagai sesuatu yang prestisius.Kalau pengamatanku benar, dari kebanggaan ini kurasakan ada sesuatu yang hakiki telah hilang seperti halnya "manasai" [tari kolektif], suling balawung, gong dan kangkanong atau kecapi, dikalahkan dan dipojokkan oleh rock'n roll atau musik-musik pop Barat. Sedang lusuk [lumbung padi]yang melambangkan kebiasaan orang Dayak memperhitungkan masa depan dan kemungkinan yang buruk seperti kemarau panjang, sekarang pun tidak pernah kudapatkan lagi. Kemampuan membuat perahu atau kapal juga pudar. Seni tenun, letrampilan membuat sabun atau gula juga lenyap seperti halnya tekhnik pengobatan tradisional yang mandeg dan hancur bersama masuknya HPH yang memusnahkan tanaman obat-obatan. Demikian juga seni patung dan barangkali sebentar lagi seni anyam-menganyam. Sudahkah kita bertanya dan menjawab mengapa hal-hal tersebut melenyap dari tangan dan bumi kita? Sudahkah kita mencoba menyusun sejarah sastra-seni kita dan berkaca pada sejarah itu? Barangkali ada yang berpendapat
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [33]: ke katingan!
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [33] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 15 Menggunakan kendaraan yang disediakan oleh adik kandungku sesuai janji, pagi-pagi aku meluncur ke Palangka Raya dengan kecepatan 70-80 km/jam menempuh jarak 60 km.Jalan Kasongan-Palangka Raya memang masih sepi dalam artian bahwa jalan-jalan tidak terlalu padat kendaraan sehingga para pengendara mungkin berlari kencang. Aku sendiri pernah melarikan kendaraanku dengan kecepatan 90km bahkan 100 km/jam terutama kalau aku sendiri sehingga kalau terjadi apa-apa aku tidak mencelakakan orang lain. Sekali pun jalan di Palangka Raya atau jalan antara Kasongan-Palangka Raya masih sepi atau relatif sepi, j tapi keadaan begini justru sering melahirkan kecelakaan dan membawa korban nyawa yang tidak sedikit, terutama pada para pengendara sepeda motor. [Perlu aku catat di sini bahwa Kasongan adalah ibukota kabupaten Katingan, dan tidak ada yang disebut "kabupaten Kasongan" seperti yang diduga oleh sementara penulis dalam mengomentari tulisanku "Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar]. Para pengendara sepeda motor di kota ini sangat menqkutkan. Mereka suka ngebut dan main potong dalam jarak hanya beberapa meter atau nyelip tanpa hirau keadaan, mungkin nyelit atau tidak.Para pengendara sepeda motor yang suka ngebut ini sering disebut orang di Palangka Raya sebagai "koboi jalanan" dan nampaknya dengan ngebut mereka merasakan kepuasaan tersendiri.Umumnya tukang kebut ini terdiri dari anak-anak muda. Apakah dengan begini lagi-lagi aku dianggap sebagai menyalah-nyalahkan angkatan muda? Apakah angkatan muda tidak boleh dikritik? Apakah angkatan muda serba benar dan bebas kesalahan? Apakah kekurangan, kesalahan dan "koboi-koboian" patut didiamkan. Bahwa ada saling hubungan antara angkatan satu dengan angkatan yang lain, tidak kubantah dan ini sesuai dengan sikap dan pandangan sejarah, terutama dari Grup Annales,yang kuterima, bahwa antara masa silam, hari ini dan haridepan ada saling hubungannya.Tapi adanya saling hubungan ini tidak berarti angkatan muda tabu kritik.Mentabukan kritik, termasuk kepada angkatan muda, kukira sikap berbahaya.Masing-masing angkatan punya keunggulan dan kelemahan karena itu "tiga pemaduan", memadukan angkatan tua, menengah dan muda menjadi hal yang tetap relevan untuk bisa menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki masyarakat.Usia memang bukan ukuran dan jaminan kebenaran. Ada yang sudah jadi kakek tapi masih saja tidak dewasa-dewasa, tapi ada pula yang karena sudah melampaui jenjang akademi lalu merasa diri memiliki kebenaran dan lebih pintar. Di sini kukira kritik merupakan cara efektif untuk saling bantu, saling asah dan saling asuh atas dasar saling asih. Kritik atas dasar "tiga saling" ini tentu berbeda dengan maki-maki dan cerca atau memelesetkan nama orang atau gunjing.Caci-maki, cerca dan menggelari orang dengan macam-macam julukan atau pun gunjing serta watak suka "jutakan", bukanlah argumen, karena bukan argumen maka ia hanya menunjukkan kelemahan saja bukan kekuatan. Kritik atas dasar "tiga saling" di atas, juga berbeda dengan kepongahan yang pada hakekatnya tidak pernah punya dasar rasional. Maki-maki dan cerca, secara psikhologis kukira pada dasarnya tidak jauh berbeda dari psikhologi "koboi-koboi jalanan Palangka Raya" yang oleh polah tingkah "koboi-koboian" ini melakukan bunuh diri. Dalam menuju Kantor Gubernur, di mana Teras Narang menungguku, kendaraanku kembali mendekat Bundaran Besar. Dahulu di kanan Bundaran Besar ini, ada sebuah bioskop tua. Sekarang sudah dirobohkan. Dan di Palangka Raya sampai sekarang tidak ada satu gedung bioskop apa pun.Tempat bekas bioskop ini dikabarkan pernah ingin dibeli oleh Mbak Tutut pada Soeharto masih di puncak kekuasaannya. Bukan hanya lahan ini yang mau dibeli bahkan kantor gubernur dan lahannya yang luas juga mau dibeli oleh Mbak Tutut. Ketika masih bekerja di Palangka Raya, kudengar dari sumber yang bisa dipercayai, di lahan bekas gedung bioskop tua ini, akan dibangun toko serba ada.Hanya saja ketika Agustus 2005 lalu aku kembali ke kota yang sangat berciri Dayak ini, di lahan tersebut masih tidak nampak adanya gedung apa pun.Jalan besar yang makin ramai adalah jalan Yos Soedarso di mana banyak terdapat banyak toko-toko, restoran, warnet dan yang baru adalah KFC. KFC di Palangka Raya! Lambang modernisasikah, lambang kemajuankah ataukah lambang dari laju penetrasi kebudayaan Amerika di Kalteng? Paris, Oktober 2005. -- JJ.Kusni [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now. http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berd
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [32]: ke katingan!
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [32] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 14 "Jangan katakan kami pahlawan sejati jika tak sampai ke puncak" *** "bangunlah kaum yang terhina bangunlah kaum yang lapar" *** Melihat keadaan kampung-halaman yang mengiris hati, hatiku seperti rotan di mata jangat [alat pembelah rotan untuk bisa dianyam digunakan oleh perempuan-perempuan Katingan]. Perihnya, keperihannya ingin kujadikan penyang pambelum [sangu moral dalam memenangkan kehidupan]. Ia kurasakan sebagai tantangan:seberapa jauh dan tangguh kadarku sebagai anak manusia dan seorang Dayak "rengan tingang nyanak jata" sebagaimana dahulu bocahku melihat tantangan gelombang dan angin ribut. "Jangan katakan kami pahlawan sejati jika tak sampai ke puncak" tulis seorang penyair Tiongkok abad ke-20 ketika menempuh Long March ribuan li [ukuran jarak di Tiongkok],baris-baris yang ditulis pada saat maut, lapar dan dingin memburu serta mengepung dan menguji kadar tapi merasa bahwa merekalah, angkatan merekalah yang menjadi penanggujawab timbul-tenggelamnya negeri. Kembali dan lagi-lagi sastra serta pesan kawan dekatku yang juga seorang penyair,agar "selalu gagah", menjadi pelampungku berpegang seperti halnya ketika aku meninggalkan ibu saat usia sepuluhan tahun.Lebih-lebih di saat mengarungi masa pubertas penuh gejolak kosong pengalaman. Di hadapan kegalauan kampungku, aku melihat tokoh Sun Wukung atau si raja kera putih, berdiri di hadapan menungku, nakal mengejek: "Beranikah kau, Kusni, menyerbu dan mengobrak-abrik kerajaan sorga?". Ya, Sun Wukung dan si raja kera putih, si Hanoman dengan ribuan lasykar keranya nampak nampak nakal mengejekku, juga mengejek angkatan sekarang. Tidakkah kalian merasa terejek? Aku berpikir, tidakkah Katingan, tidakkah negeri ini memerlukan Sun Wukung dan Hanoman si pemberontak? Yang sorga sekali pun mereka obrak-abrik jika di situ terdapat ketidakadilan? Tidakkah Tanah Dayak memerlukan tokoh seperti Panimba Tasik dan Panetek Gunung yang diabadikan dalam legenda orang Katingan? Barangkali semuanya telah mati? Apakah benar, jiwa atau mental Katingan sudah jadi bangkai atau sabut dan busa hanyut di sungai kehidupan yang deras mengalir? Kata-kata Eugène Pottier [1871] yang ditulis di tengah-tengah kehancuran pemberontakan Komune Paris mengiang lantang di telingaku: "bangunlah kaum yang terhina bangunlah kaum yang lapar" berbarengan dengan suara kawan dan guruku waktu remaja Yogya, Rendra: "Orang-orang harus dibangunkan Kesaksian harus diberikan Agar kehidupan bisa terjaga" Bersamaan dengan itu ketika memandang bayangan wajahku di sungai, aku pun melihat diriku yang terus menua dan menua: "Ya,Ya! Akulah seorang tua! Yang capek tapi belum menyerah pada mati" dituakan oleh kembara yang tak berujung. "Kini aku berdiri di perempatan jalan Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak Sebagai seorang manusia" Mas Willy, di pinggir sungai kelahiranku, Katingan, kudengar suaramu seperti dahulu menasehatiku. Juga hari ini. Ya, di perjalanan seperti tak berujung ini benar, "aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing" yang tidak diindahkan samasekali oleh negeri dan kampung-halaman. Dari segi hakekat dan skala lebih luas, siapa gerangan yang "sudah menjadi anjing" dan tak mampu menulis "sajak sebagai seorang manusia" di negeri ini?! Siapa yang telah kehilangan kemanusiaan dan nurani? Di Katingan, pertanyaan-pertanyaan ini kudengar seperti suara hutan diaduk angin, kudengar di antara gemuruh arus dan riam. "Kau memang berkepala batu", ada suara lembut lain begitu kuhapal, begitu kukenal.Ya, tidakkah dalam mencintai memerlukan keteguhan bukan hanya sekeras batu, tapi barangkali harus bisa sekeras granit tanah Palangka Raya agar bisa mengundang petir.Aku kira negeri dan Katinganku memerlukan "petir" yang sabung-menyabung "agar kehidupan bisa terjaga".Cinta yang menggranit kukira diperlukan untuk mengundang petir.Petir yang mampu menggoncangkan kerajaan sorga.Barangkali dari sini manusia Dayak bisa kembali dilahirkan, Katingan bisa membangkitkan naga putih, merah dan kuning dari lubuknya seperti yang dituturkan dalam legenda -- hari ini kian lenyap dari ingatan terutama di kalangan para penangis.Menjadi Dayak dan Indonesia kukira adalah kemampuan menjadi petir kemanusiaan. Esok aku ditunggu di Palangka Raya, ditunggu oleh Teras Narang, gubernur baru yang memanggilku ketika masih di Balikpapan. Menyongsong esok aku merebahkan tubuh di rumah yang dibangun sendiri oleh ayah dari kayu besi, hasil hutan Katingan yang sekarang sudah makin melangka. Paris, Oktober 2005. -- JJ.Kusni [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM --
[nasional_list] [ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [31]: ke katingan!
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [31] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 13 "life is not easy there is time to be happy and there is time to be unhappy too" "but don't be afraid face the future with courage" *** Katunen sekarang merupakan kampung baru dari Kasongan. Waktu kanak dulu, Kasongan terdiri dari empat kampung yaitu Kasongan Lama, Kasongan Baru, Pata dan Tewang Rusau. Sedangkan Katunen, seperti telah kukatakan di bagian lain, masih merupakan tanah tinggi [kéréng -- bahasa Katingan] yang ditutupi hutan rimba serta tempat orang berladang atau mengembangkan kebun buah serta rotan. Kasongan Lama dahulu, umumnya dihuni oleh penduduk Kaharingan, Pata terutama yang beragama Islam sedangkan Kasongan Baru dihuni oleh penduduk yang beragama Kristen Protestan, demikian juga Tewang Rusau yang pada waktu itu masih terdiri dari beberapa rumah saja. Kasongan Lama adalah tempat Tjilik Riwut dilahirkan. Dan ketika melancarkan gerakan grilya menghalau Belanda, basis massa utama Tjilik Riwut adalah orang-orang dari Kasongan Lama. Sementara Kasongan Baru menjadi sandaran serdadu Belanda saban mereka datang ke Kasongan untuk mengejar gerilyawan. Tapi sering juga karena tidak merasa aman di Kasongan Baru, serdadu Belanda tidur di kapal mereka.Berlabuh di tengah-tengah sungai. Padahal ini pun bukanlah jaminan. Karena pernah terjadi, kapal perang Belanda yang berlabuh di tengah sungai diserbu oleh gerilyawan dan ditenggelamkan. Bangkai kapal ini kemudian tumbuh menjadi sebuah pulau di tengah sungai. Penduduk Pata yang umumnya terdiri mereka yang beragama Islam, agak acuh tak acuh pada gerakan gerilya.Tapi juga tidak memihak Belanda, berbeda dengan penduduk Kasongan Baru. Katunen, baru kemudian kuketahui, pada waktu itu menjadi sarang gerilyawan yang berseragam hitam-hitam dan segaris merah putih melekat pada leher baju. Sekarang, Katunen menempati kedudukan strategis dalam hubungan lalulintas antara kota pelabuhan Sampit dan ibukota Kalteng, Palangka Raya. Terlihat padaku melalui berbicara dengan penduduk Katunen bahwa orang-orang luar Kasongan mulai giat membeli tanah di jalur strategis ini dan pada masa mendatang pada saat misalnya jalan trans Borneo-Kalimantan sudah jadi kenyataan, kubayangkan Katunen akan makin menjadi jalur lalu-lintas penting yang dilewati orang-orang bepergian dari satu kota ke kota lain. Aku benar-benar merasa cemas dengan kesukaan orang Dayak Katingan, khususnya di Katunen yang gemar menjual tanah mereka sekedar untuk memenuhi kepentingan sesaat, tapi tidak melihat sedikit jauh ke depan. Bukan mustahil jika pada suatu saat yang tidak berapa jauh, penduduk Katunen yang Dayak sama sekali tidak bertanah lagi. Kepada orang-orang yang kuajak bicara selalu kutekankan agar jangan gampang-gampangan menjual tanah. Ke mana kita akan berumah dan pergi jika sebidang tanah pun tidak lagi kita miliki? Jika kita berada pada keadaan demikian maka kita akan benar-benar jadi orang yang berkampunghalaman tapi tak bertan ah [kalimat varian dari baris puisi Sabarsantoso Anantaguna: "Yang bertanahair tapi tak bertanah"].Aku jadi ngeri sendiri apabila membayangkan kemungkinan ini menjadi kenyataan. Kalau pun hal begini belum terjadi, tapi apabila praktek kesukaan menjual tanah itu berlangsung terus, bisa dipastikan keadaan menjadi kenyataan amat pahit. Hal yang menarik perhatianku juga adalah masih banyaknya lahan-lahan tidur milik orang Dayak. Aku heran, mengapa lahan-lahan tersebut tidak diproduktifkan misalnya dengan menjadikannya kebun sayur, buah-buahan, membangun warung, tambak ikan, beternak ayam, sapi, kambing, babi, atau apakah lagi yang lain yang bersifat prdouktif. Pemilik-pemilik lahan tidur ini lebih senang membeli sayur di pasar daripada memetiknya di kebun sayur sendiri jika mereka menjadikan lahan tidur itu sebagai kebun sayur. Tentu saja dengan berkebun, si pemilik tanah dituntut untuk bekerja rajin merawatnya. Tapi apa salahnya dengan keniscayaan begini? Yang banyak mengelola kebun sayur dan menyuplai pasar akhirnya orang-orang dari luar seperti orang dari Jawa atau Madura. Boleh dikatakan orang-orang inilah yang menguasai pasar sayur. Dari pembicaraan-pembicaraan intensif dan pengamatan langsung selama bertahun-tahun di Kalteng, kudapati bahwa yang menjadi ideal mereka adalah menjadi pegawai negeri betapa pun kecilnya gaji yang mereka peroleh. Menjadi pegawai negeri dianggap sebagai pekerjaan ideal dan dicoba diproleh dengan macam-macam cara termasuk mnyogok. Padahal berapa gerangan kesempatan kerja yang bisa ditampung dan diberikan oleh pemerintah daerah? Berhadapan dengan pola pikir dan mentalitas begini, aku melihat benar betapa besar persoal
[nasional_list] [ppiindia] Surat Kembang Kemuning: temu sastra tentang andré malraux dan e.du perron di sorbonnne paris, 15 oktober 2005 [4 -- selesai]
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** Surat Kembang Kemuning: TEMU SASTRA TENTANG ANDRE MALRAUX DAN E.DU PERRON DI SORBONNE PARIS 15 Nopember 2005. 4. Dibandingkan dengan masa hidup André Malraux yang mencapai 75 tahun, E. du Perron hanya sempat mengenyam hidup selama 41 tahun. Eddy du Perron dilahirkan di Jawa Barat -- kalau tidak salah ingat di daerah Sukabumi -- pada tahun 1899 dalam sebuah keluarga bangsawan atau lapisan atas masyarakat, pemilik tanah kaya, yang tinggal di Hindia Belanda, yang sekarang bernama Indonesia. Adalah wajar apabila asal sosial ini meninggalkan bekas pada kehidupan psikhologi Eddy.Dua puluh dua tahun dari 41 tahun masa hidupnya, dilewatkan oleh Eddy di tanah asalnya. Barangkali dari perasaan inilah Eddy melahirkan karya utamanya yang berjudul "Negeri Asal" [Het land van herkomst], terbit pertama kali dalam tahun 1935 artinya pada Eddy mencapai usia 35 tahun. Tahun 1921, ketika Edddy sudah berusia 22 tahun, orangtua Eddy berkeputusan untuk pergi dan menetap di Eropa. Setelah melampaui masa singkat yang disebut "periode moderniste", 1923-1926, Eddy memastikan kedudukannya dalam dunia sastra Belanda sebagai "penyelusup yang tidak disukai", yang jika menggunakan istilah Johanna Lederer, sang penari-sastrawan dan pakar sastra Amerika itu, sebagai "une espèce d'intrus".Dengan sikap ini Eddy mencermati "produksi sastra Negeri Belanda dari sudut pandang baru dan bebas", sekaligus mempertahankan pandangan bahwa kepribadian seorang pengarang sebagai faktor menentukan kadar sastranya". Dengan sikap dan pandangan inilah Eddy melancarkan kritik-kritik tanpa kompromi dan tajam. Melalui esei-esei demikian Eddy bertarung melawan "mentalitas kolonial" menggunakan sebuah majalah progresif yang kecil.Dengan ini kita menyaksikan bahwa akhirnya Eddy menjadikan sastra sebagai senjata di tangannya untuk berjuang, guna mewujudkan harapan dan mimpi-mimpinya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Multatuli dan pengarang-pengarang besar lainnya di berbagai negeri. Dalam pertarungan inilah Eddy makin memantapkan pandangan dan sikap sampai ia meninggal di Negeri Belanda pada tahun 1940 karena serangan jantung setelah serangan udara Jerman. Keberpihakan E.du Perron pada kemanusiaan -- untuk tidak mengatakan berpihak pada rakyat terjajah -- bukanlah datang serta-merta. Ia lahir melalui suatu proses. Barangkali di sinilah antara lain terdapat peran diskusi saban hari Eddy dengan Malraux, ketika Eddy tinggal di Paris sebagai wartawan. Tapi yang lebih menentukan lagi adalah pengalaman langsung Eddy ketika ia kembali ke "Negeri Asal"nya Hindia Belanda, pada bulan Oktober 1936, seusai Perang Saudara di Spanyol antara kaum repupbliken melawan pasukan fasis Franco yang disokong oleh Hitler. Kepergian Eddy kembali ke Hindia Belanda, menurut Johanna Lederer, pada tahun tersebut sebagian disebabkan oleh rasa muaknya pada politik yang ia alami ketika tinggal di Paris. Tapi ketika ia tiba di Hindia Belanda, ia tidak lagi bisa mengelak dari politik. Selama hampir tiga tahun [1936-1939] ia tinggal di Hindia Belanda, tiga tahun ini ditandai oleh konfrontasi terus-menerus dengan masyarakat kolonial. Eddy pun dengan kejadian ini menjadi kehilangan mimpi-mimpi indahnya akan masyarakat kolonial. Ia tidak bisa menerima mentalitas kolonial. Ketidaktahanan dan perlawanan yang menandakan watak jujur dari E.du Perron sebagai sastrawan. Ia memberontaki ketidakadilan kolonial dan menjadi sangat politis. Pengalaman hidup kembali di "Negeri Asal" membuat Eddy dari muak politik menjadi sadar politik dan memilih pihak yang menantang kolonialisme.Barangkali tahap sadar politik dan mengambil pihak ini merupakan tahap kedua bagi kehidupan Eddy sebagai penulis.Tahap baru, tahap sadar politik yang dia mulai pada usia 37 tahun. Ancaman Perang Dunia II yang makin menegangkan Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda, memaksa E. du Perron pada September 1939, meninggalkan "Tanah Asal"nya lagi dan pergi menetap ke Negeri Belanda di mana ia delapan bulan kemudian meninggal oleh serangan jantung setelah Negeri Belanda dibom pesawat-pesawat Hitler.Maut yang ditabur oleh bom-bom Hitler menghentikan Eddy melanjutkan tahap kedua hidupnya. Rician biografi Eddy bisa disimak selain melalui romannya Het land van herkomst, juga dan terutama melalui karya Kees Snoek, yang telah menulis biografi lengkap E. du Perron berjudul "E. du Perron. Het leven van een smalle mens" [La vie d'un homme étroit], terbit dalam bulan Maret 2005. *** Dari riwayat singkat Eddy di atas, aku melihat bahwa penulis yang jujur akhirnya didorong untuk memilih pihak dan pihak itu adalah kemanusiaan dan keadilan. Pemilihan pihak ini disertai oleh munculnya kesadaran politik tanpa harus menjadi partisan partai politik. Adanya kesadaran politik membuat pena
[nasional_list] [ppiindia] Surat Kembang Kemuning: temu sastra tentang andré malraux dan e.du perron di sorbonnne paris, 15 otkboer 2005
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** Surat Kembang Kemuning: TEMU SASTRA TENTANG ANDRE MALRAUX DAN E.DU PERRON DI SORBONNE PARIS 15 Nopember 2005. 3. Dibandingkan dengan E.du Perron [1899-1940] yang melewatkan waktunya lebih dari dua puluh tahun di tanah kelahirannya, Jawa Barat, Oost-Indië, sekarang bernama Indonesia, André Malraux boleh dikatakan tak dikenal oleh masyarakat sastra Indonesia. Agustus 2005 lalu ketika pulang ke Indonesia, seperti biasa, saya jelajahi tokobuku demi tokobuku sampai ke toko-toko buku loak dengan buku bertumpuk tak teratur dan tak bersistematik. Di rak-rak buku tokobuku atau di tumpukan buku tokobuku loak itu, tidak kudapatkan karya-karya André Malraux yang di Perancis merupakan tokoh politik dan sastra terkemuka sampai ia ditempatkan di Pantheon bersama Emile Zola, Alexandre Dumas, Victor Hugo dan Balzac. Posisi André sebagai sastrawan,budayawan dan politisi di Prancis bahkan di Eropa Barat, kukira jauh melebihi kedudukan Eduard [Eddy] du Perron yang mati muda. Seperti diketahui, Pantheon yang terletak tak jauh dari Universitas Sorbonne, di mana Temu Sastra ini akan berlangsung, merupakan makam bagi yang disebut putra-puteri terbaik dan berjasa Perancis. Sungguh menarik bahwa yang banyak menghuni Panthon justru orang-orang berpandangan kiri bahkan tidak sedikit dari mereka adalah anggota-anggota Partai Komunis Perancis seperti Jean-Moulin, pemimpin utama perlawanan terhadap penduduk Nazi Hitler -- seperti halnya yang memimpin perlawanan anti fasis di kota Paris juga seorang komunis --, penerima hadiah nobel suami-isteri Currie. Merenungi tentang apa-siapa yang menghuni Pantheon ini, aku sampai pada pertanyaan:Apakah dan siapakah yang disebut "kiri" itu? Memperhatikan riwayat-riwayat mereka, aku sampai pada suatu hipotesa bahwa yang disebut "kiri" itu kukira tidak lain semua mereka yang berjuang dan sanggup menggadaikan nyawa untuk ide memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. Jadi "kiri" tidaklah identik dengan Komunis atau Marxis, lebih-lebih tidak menjadi monopoli mereka. Apalagi jika kuingat apa yang dikatakan oleh Mao Zedong dari Tiongkok yang dalam salah sebuah tulisannya mengatakan bahwa "kaum komunis akan selalu minoritas. Mereka tidak bisa sendirian melakukan perobahan maju". Kukira sejalan dengan ini maka Mao menumis dalam artikelnya "The Situation and Our Policy After the Victory in the War of Resistance Against Japan" [August 13, 1945, Selected Works, Vol.IV, p.16]: "Our duty is to hold ourselves responsible to the people. Every word, every act and every policy must conform to the people interests, and if mistakes occur, they must be corrected -- that is what being responsible to the people means". Tidakkah "people interests" itu pada hakekatnya adalah sama dengan "memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat" atau menjadikan bumi tempat hidup manusiawi anak manusia? Atau jika menggunakan konsep manusia Dayak adalah "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang putera-puteri naga]? Yang berbeda barangkali hanya perumusannya saja. Nilai-nilai republiken Perancis yang dikenal dengan "liberté, egalité et fratenité", kukira juga paralel dengan apa yang dikatakan oleh Mao di atas sehingga barangkali tidaklah mustahil jika Pantheon banyak diisi oleh pejuang-pejuang beraliran "kiri". Dalam konteks ini, aku tidak bisa membayangkan Ferdinand Celine, betapa pun ia dihormati sebagai sastrawan besar, tapi karena sikap pro fasisme akan mendiami Pantheon. Pantheon adalah suatu lambang nilai republiken. Sehinngga kalau André Malraux dimakamkan di Pantheon, kukira bukanlah suatu kebetulan dan permainan nepotisme.Juga bukan kebetulan jika Jacques Chirac memakamkan sastrawan yang berdarah Afrika Hitam ke Pantheon. Aku masih ingat apa yang diucapkan oleh Chirac dalam pidato resmi saat memindahkan A.Dumas ke Pantheon. "Dumas adalah lambang Perancis hari ini".Perancis yang majemuk. Apabila Malraux kurang atau bahkan asing bagi masyarakat sastra Indonesia sehingga sampai pada hari ini, tidak satu pun karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti halnya dengan karya utama Eddy du Perron, "Negeri Asal"[Le pays d'origine] . Barangkali dari keadaan belum adanya karya-karya Malraux yang diterjemahkan dan asingnya tokoh sastrawan dunia terkemuka ini di Indonesia, belum atau bahak tidak dikenal, barangkali, mencerminkan banyak keadaan yang ada di negeri terutama di bidang sastra. Malraux memang seorang yang dekat dengan ide-ide Trotkis seperti halnya mantan Perdana Menteri Perancis yang populer, Lionel Jospin. Tapi sekali pun demikian, Jendral Charles de Gaulle, seorang nasionalis seperti Bung Karno, ketika menjadi Presiden Perancis paska Perang Dunia II, mengangkat Malraux sebagai Menteri Kebudayaan. Dan sebagai menteri k
[ppiindia] surat kembang kemuning: temu sastra tentang andré malra ux dan .du perron di sorbonne, paris [2] elmb
Surat Kembang Kemuning: ACARA TEMU SASTRA TENTANG ANDRE MALRAUX DAN E. du PERRON DI SORBONNE, PARIS 15 Nopember 2005. 2 Menurut rencana, Temu Sastra ini akan dibuka pada jam 16.00, oleh Kees Snoek dari Universitas Paris IV yang akan memperkenalkan secara singkat apa siapa André Malraux dan du Perron dengan makalah berjudul "Malraux dan du Perron Antara Eropa dan Asia [Malraux et du Perron Entre l'Europe et l'Asie]. Kees Snoek yang juga turut ambil bagian aktif dalam "Hari Sastra Indonesia di Paris" dua tahun silam, adalah seorang pengajar pada Universitas Sorbonne Paris IV di Departemen Kajian Tentang Belanda terfokus pada soal "Du Perron dan Pengadilan Kolonial di Indonesia". Ia pernah mengajar bahasa, sastra dan kebudayaan Belanda antara lain di Jakarta dan di Auckland, Selandia Baru. Sejak 2004, ia menjuadi dosen yang tergabung pada Studi Negeri Belanda di Universitas Sorbonne Paris IV. Ia telah menerbitkan buku-buku tentang kebudayaan Belanda, tentang kritik Multatuli di Indonesia dan tentang pengarang Belanda Eddy du Perron [1899-1940].Kees Snoek-lah yang telah menulis biografi lengkap E. du Perron berjudul "E. du Perron. Het leven van een smalle mens" [La vie d'un homme étroit], terbit dalam bulan Maret 2005. Kecuali itu Kees Snoek juga telah menterjemahkan sanjak dan cerita-cerita buah tangan Sitor Situmorang dan Rendra. Kumpulan puisi yang ia terjemahkan dan terbit di Jakarta dalam edisi dua bahasa pada tahun 2004 berjudul "Lembah Kekal" [Eeuwige vallei]. Guna melengkapi apa yang disampaikan oleh Kees Snoek, Pierre Coureux mempertunjukkan dokumen-dokumen koleksi pribadi Alain du Perron dan Ramon de Herrera, putera pelukis Pedro Creixam yang hidup sezaman dengan André Malraux dan Eddy du Perron. Pierre Coureux adalah petugas pemerintah Perancis dalam kerjasama kebudayaan dengan luar negeri yang didirikan sejak 10 tahun lalu. Coureux jugalah yang kemudian menjadi pendiri organisasi "Amitiés internationales André Malraux", sedangkan rasa ingin tahunya yang besar mendorongnya giat dalam penyelenggaraan seminar, colloques, pameran-pameran bekerjasama dengan para profesionalis berbagai bidang seperti museum, lembaga ini dan itu. Bersama-sama dengan Universitas Henri Godard, pada bulan Mart 2004, Coureux mendirikan sebuah majalah bernama "Pésence d'André Malraux" ["Kehadiran André Malraux"],di mana ia menjadi penanggujawab masalah aktualitas Malrusian [malrucienne]. Melanjutkan beberan Coureux maka Aziz Bennis, juga dari "Association des Amitiés International André Malraux" menyampaikan makalahnya berjudul: "Malraux dan Indo Cina Yang Terbelenggu" [Malraux et l'Indochine Enchaînée], disusul oleh Henri Godard dengan makalah: "Les amitiés de Malraux" ["Rasa persahabatan Malraux"] dilanjutkan oleh pembicara ketika yaitu Philippe Noble dengan kertas kerja berjudul:"Malraux dan du Perron, para cendikiawan dan Sisi Kiri" ["Malraux et du Perron, les intellectuels et la rive gauche"]. Apa-siapakah ketiga pembicara lainnya yang berhasil diajak kerjasama oleh "Pasar Malam"ini? Aziz Bennis adalah seorang doktor sastra modern lulusan Universitas Sorbonne Baru [l'Université de la Sorbonne Nouvelle yang juga disebut Paris III. Pada tahun 2001, Presses Univrsitaire du Septentrion, Aziz Bennis telah menerbitkan karyanya tentang André Malraux berjudul:"André Malraux. Histoire d'un parcours entre deux tentations croisées: le réalism journalistiques et le monde imaginaire du mythomane". Bennis sekarang sedang menyiapkan buku terdiri dari dua jilid tentang perjalanan Malraux di Indo Cina dan jilid lainnya tentang langlangbuananya di di Yaman dalam usaha memahami rahasia utama Ratu Saba. Sebagai seorang pengajar di bidang dokumentasi, Bennis dengan tekun pula melakukan penelitian perpustakaan guna memahami estetika reportase literer buah tangan Andre Malraux. Reportase literer memang cukup banyak ditulis oleh Malraux sejajar dengan banyaknya negeri-negeri yang telah ia kelanai pada masa mudanya. Bentuk ini misalnya bisa disimak pada karyanya "La Tentation de l'Occident" atau pada "Miroir des Limbes. La Corde et les souris" atau pada "Antimémoires"nya dan bukunya tentang Kamboja, serta yang lain-lain...lagi. Kisah perjalanan yang ditulis secara literer di negeri Malraux ini agaknya telah merupakan genre sastra tersendiri.Aku tidak tahu dengan baik, sejauh mana genre reportase literer ini berkembang di Indonesia sekarang. Hanya jika mengamati tulisan-tulisan yang disiarkan di internet, aku dapatkan, sekali pun masih dalam bentuk awal sekali, Sigit Susanto mulai nampak memberikan perhatian ke genre sastra ini.Apalagi Sigit memang mempunyai syarat yang padan guna melakukan perjalanan demi perjalanan. Barang tentu agar reportase literer tidak berhenti di permukaan masalah seperti kesan seorang wisatawan, dari penulis dituntut pengenalan persiapan akan negeri atau tempat yang akan didatangi.Sehubungan dengan hal ini, aku terin
[nasional_list] [ppiindia] Surat Kembang Kemuning: Temu SastraTentang André Malraux dan Eddy du Perron Di Paris, 15 Nopember 2005 [1].
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** André Malraux et Edgar du Perron en Bretagne (Archives Kees Snoek) Surat Kembang Kemuning: TEMU SASTRA TENTANG ANDRE MALRAUX DAN EDGAR du PERRON DI SORBONNE,PARIS 1. Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia [l'Association Franco-Indonésienne --AFI ]"Pasar Malam", Paris yang diketuai oleh Mme. Johanna Lederer, pada tanggal Rabu 15 Nopember 2005 mendatang kembali akan tampil dengan kegiatan kebudayaannya yang kreatif dan bermakna. Kali ini tema yang diangkat oleh "Pasar Malam" dalam membicarakan masalah Indonesia adalah "Gelitikan Timur Usikan Barat. André Malraux dan Edgar du Perron, Dua Sahabat, Dua Sastrawan Di antara Dua Perang" [ Tentation de l'Orient, Tentation de l'Occident. Malraux et du Perron, Deux Amis, Deux Auteurs Dans l'Entre-deux-guerres]. Istilah "tentation d'Occident" adalah istilah yang digunakan oleh André Malraux untuk judul sebuah karyanya: "La Tentation l'Occident" [Grasset, Paris, 1926, terbit ulang 1984, 220 hlm.]. Oleh adanya "tentation" timbal-balik antara Barat dan Timur, menurut dugaanku, keadaan inilah yang dijadikan alasan memberi temu sastra kali ini dengan judul "Tentasi Timur, Tentasi Barat", apalagi baik Malraux atau pun E.du Perron keduanya telah melanglang buana negeri-negeri di Timur.-- istilah yang sangat Euro-sentris. Direncanakan kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan oleh "Pasar Malam" bekerjasama dengan organisasi Perancis "les Amitiés Internationales André Malraux, lembaga Belanda di Paris "l'Institut Néerlandais" dan Université Paris IV, Sorbonne, dilangsungkan di ruang Amphiethéâtre Louis Liard, 7 rue de la Sorbonne, 75005 Paris, mulai dari jam 16.00 hingga jam 20.00 [Metro terdekat adalah Cluny atau RER Luxmbourg]. Sesuai dengan ketentuan pihak keamanan Universitas Sorbonne maka diharapkan para yang berminat untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu pada: Association Franco-indonésienne pasar malam [association Loi 1901 pour l'amitié entre les peuples Français et indonésien] Att.: Madame Johanna Lederer [EMAIL PROTECTED] (site : http://pasarmalam.free.fr) Saat tulisan ini disiarkan, menurut keterangan dari pihak-pihak yang dekat dengan AFI sudah tercatat 200 orang yang menyatakan keinginan untuk turut-serta. Barangkali dari jumlah ini bisa dilihat tingkat perhatian terhadap kegiatan AFI yang dengan pendekatan kebudayaan memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Perancis. Sekitar dua tahun silam AFI juga telah menyelenggarakan "Hari Sastra Indonesia" di mana diungkapkan hubungan segi tiga [triangulaire] dalam sastra antara Perancis-Belanda dan Indonesia yang ternyata bukan dimulai sejak kemarin. Seperti diketahui "Hari Sastra Indonesia" yang sukses ini mendapat dukungan kuat dari Kedubes Perancis di Jakarta, dari Kedubes Belanda di Paris dan berbagai kalangan lainnya. Untuk "Hari Sastra Indonesia" di Paris ini telah diundang Joesoef Isak dari Hasta Mitra dan Goenawan Mohamad [tapi berhalangan hadir]. "Hari Sastra Indonesia" di Paris telah menguak rahasia kisah hubungan panjang segi tiga dalam sastra sejak masa Diderot dan Victor Hugo serta menanti penanganan lebih lanjut. Ia juga telah membuka peluang bagi pengenalan lebih lanjut sastra Indonesia di Perancis. Pada hari inilah novel Pramoedya A.Toer,Gadis Pantai diterbitkan oleh Gallimard -- sebuah penerbit besar di ibukota Perancis. Penyelenggaraan seminar tentang André Malraux dan E du Perron pada Nopember mendatang ini bisa dipandang sebagai prakarsa guna mengkonsolidasi hasil capaian "Hari Sastra Indonesia" di Paris dua tahun silam. Mengangkat dua tokoh penulis besar ini dalam mengangkat masalah Indonesia, sungguh suatu kejelian pandangan yang patut diberi topi. Hal yang tidak terlalu mengherankan jika kita mengetahui bahwa Johanna Lederer adalah seorang lulusan Fakultas Sastra Sorbonne jurusan sastra-Amerika, seorang penulis dan juga penari. Kejelian pandang seorang cendikiawan dan artis terdapat pada Ketua AFI kela hiran Malang Jawa Timur ini. Dengan kejelian inilah Johanna memimpin AFI melakukan rupa-rupa kegiatan budaya seperti pameran lukisan Salim dan lain-lain. Dalam kegiatan-kegiatan ini AFI pun sering bekerjasama dengan Koperasi Restoran Indonesia Paris yang sejak berdirinya hampir seperempat abad silam, juga berfungsi sebagai "pusat kebudayaan Indonesia".*** Paris, Oktober 2005. --- JJ. Kusni [Bersambung.] Logo organisator Temu Sastra Malraux-Perron di Sorbonne,Paris. Amitiés Internationales André Malraux Pierre Coureux [EMAIL PROTECTED] (site : www.andremalraux.com) Association Franco-indonésienne pasar malam association Loi 1901 pour l'amitié entre les peuples Français et indonésien Johanna Lederer [EM
[ppiindia] SURAT KEMBANG KEMUNING: KETIKA SOROT SINARNYA MEMUDAR
Surat Kembang Kemuning: KETIKA SOROT SINARNYA MEMUDAR Mencatat Setiakawan Kepada Maroeli Simbolon Kesulitan finansil sering memburu dan menghantui para seniman, lebih-lebih bagi mereka yang belum bernama atau sedang membangun nama. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dialami oleh para seniman di luar negeri. Kalau kita datang ke Montmartre, sebuah kampung seniman yang terletak di kawasan tertinggi Paris, kita akan mendapatkan sebuah rumah bernama Le Bateau Lavoir di mana Pablo Picasso melakukan kegiatan-kegiatan berkeseniannya bersama seniman-seniman lain yang kemudian tersohor. Di Le Bateau Lavoir ini tercatat kisah laparnya Picasso walau pun tidak sehebat derita Modigliani yang kemudian menghembuskan nafas penghabisan dalam keadaan serba kekurangan. Sedangkan waktu di Yogya, ibu-ibu sederhana pemilik warung di sekitar ASRI Gampingan, jika mereka masih hidup, akan bisa bercerita bagaimana para pelukis muda dan mereka yang sedang membangun nama berhutang lebih dulu untuk bisa makan dan membayarnya ketika ada karya-karya mereka yang laku. Dan tentu saja saat pembayaran hutang dilakukan, jumlahnya jauh melampaui jumlah hutang, sehingga antara para seniman dan ibu-ibu sederhana pemilik warung, terjalin rasa saling mengerti dan saling tolong. Karena itu apakah terlalu salah mengatakan bahwa para ibu-ibu warung ini pun sebenarnya punya andil dalam kehidupan seni lukis di Yogya? Aku hanya mengenang jasa dan sikap mereka yang tak terlupakan di mana justru pada manusia-manusia sederhana begini kudapatkan rasa kemanusiaan dan pengertian yang besar.Sikap yang nyata tanpa diberi dasar teori apa pun tapi telah menghangati kehidupan sedangkan kelompok masyarakat yang lain dan merasa diri barangkali lebih elite atau tinggi, justru gampang menohok kawan sendiri didorong oleh individualisme yang mengangkangi jiwa mereka. Contoh lain adalah apa yang dialami oleh Rendra ketika terpaksa makan nasi dan berlauk garam saja bersama Mbak Soenarti, istrinya. Melalui praktek Rendra, Teguh Karya, Arifin C. Noer dan entah berapa nama lagi kusimpulkan bahwa menjadi seniman akhirnya adalah suatu pilihan total yang benar-benar dikahayati. Seorang jurumasak ikan Jepang pun pernah mengatakan demikian di depan tivi Perancis. "Kau tak bisa mendapat kemajuan dan nilai jika kau tidak mencintai pekerjaanmu. Masak bagiku adalah suatu totalitas". Perancis menghargai jurumasak mereka dengan memberikan bintang jasa nasional yang disebut bintang "Legion d'Honneur". Sedangkan kita di Indonesia? Sering yang terdengar "sekolah tinggi-tinggi sampai jadi sarjana S1 khoq hanya jadi jurumasak". Tentang kelaparan, kekurangan uang, sanggar-sanggar dan rumah yang didiami seniman, Yogya tidak kekurangan kisah. Kisah-kisah kekurangan uang, dikejar segala rupa kekurangan sampai sekarang agaknya masih saja belum berakhir. Di hadapan keadaan begini maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mengatasinya? Yang jelas individualisme tidak akan kuasa menjawabnya secara tanggap. Individualisme dalam pemahamanku hanyalah meruntuhkan, memadamkan nilai manusiawi dan membuat kita kadang menjadi sangat tidak perduli, pembohong bahkan sanggup kejam tanpa nurani. Karena itu bagiku, kasus Maroeli Simbolon yang sekarang masih terbaring di rumah sakit dan sikap para seniman menanggapi keadaan sastrawan ini menjadi cukup menarik. Pada saat "uang sebagai raja" merupakan nilai dominan dan meredupkan makna setiakawan, para seniman justru secara kongkrit ingin mengobarkannya. Maroeli mendapat kesulitan menangani beaya rumahsakit dan pengobatannya. Pada saat begini, Manik Sinaga dari Komunitas budaya Matabambu mengambil prakarsa bersama teman-temannya menghimbau para seniman dari komunitas-komunitas lain seperti "mejabudaya, "TUK", "Forum Apresiasi Sastra", "Majalah Aksara", "Masyarakat Sastra Jakarta", "Komunitas Generasi Batak (GenB)", "Senat Mahasiswa FFTV IKJ", "Penerbit Jalasutra" untuk turun tangan secara kongkret. Untuk kepentingan ini pada 18 Nopember 2005 mendatang akan diselenggarakan pentas "Sepasang Luka Cinta" dan lelang buku karya Maroeli, lelang Lukisan, baca puisi, musikalisasi puisi, baca cerpen mini karya Maroeli,happening art, pemutaran film, baca puisi karya kawan-kawan untuk Maroeli, sambutan dari semua komunitas penyelenggara dan tarian (Tor-tor) Batak. Berapa pun hasil yang diproleh dari kegiatan ini kelak, kukira ia tetap mempunyai nilai tinggi, lebih-lebih pada saat setiakawan memudar di negeri ini.Saat nilai manusiawi ini memudar para seniman justru mengangkat dan mengobarkan nyalanya. Apakah ini isyarat bahwa para seniman mulai mengambil tempatnya kembali "berada selangkah di depan" dari keadaan dan kenyataan? Tanda bahwa para seniman masih warga republik berdaulat sastra-seni dan pemimpi setia kemanusiaan? Menangani kesulitan ekonomi seniman beginilah yang justru merupakan salah satu program Komunitas Matabambu yang masih sangat muda sehingga seniman tidak identik
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua dan café bandar [30]: ke katingan!
Catatan Dari Meja Nusa Dua Dan Café Bandar [30] KE KATINGAN! KATINGAN : PANGGILAN PULANG DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA. 12 Sekali pun demikian ketergantungan masih saja berlangsung walau pun dengan kadar yang berbeda dari dahulu oleh adanya jalan darat. Klotok dan speed-boat masih memainkan peranan penting untuk menghubungi kampung satu dan kampung lainnya. Air minum masih tergantung pada sungai. Sayang dan malangnya oleh pengusahaan liar emas, baik di darat atau di sungai, sungai jadi penuh dengan air raksa yang sangat berbahaya bagi kesehatan penduduk. Ikan pun tidak sedikit yang kehilangan sisik. Pernah pada suatu ketika, aku mencoba terjun dan berenang kembali di sungai pengasuhku ini, seperti yang kulakukan di masa kanak dahulu. Tapi baru beberapa menit aku masuk ke airnya, badanku segera merasa gatal-gatal dan merasa seperti disengat. Aku pun sadar akan kadar airraksa sungai sudah demikian tinggi seperti yang diberitakan oleh koran-koran Palangka Raya. Kerusakan alam menyusul pengusahaan emas secara serampangan dan tidak bertanggungjawab ini nampak juga pada hutan seperti di Hampalit, tidak jauh dari Kasongan, yang berobah jadi padang pasir sejauh mata memandang. Katingan memang daerah kaya akan bahan tambang, terutama yang sekarang dieksploatasi benar adalah emas. Boleh dikatakan orang Katingan hidup di atas tumpukan emas tapi sekarang ternyata emas ini pula yang menyebabkan petaka jangka panjang. Waktu kecil dahulu kalau ibu mau membuat gelang atau anting-anting untuk saudara-saudara perempuanku, ibu tinggal turun sebentar ke sungai terutama ke gugusan pasir yang disebut Baras Dirik di hulu kampung. Beberapa jam saja "mandulang" ibu sudah medapatkan bahan cukup untuk anting-anting atau gelang. Oleh keadaan ini waktu bocahku dahulu, aku sama sekali tidak mengerti arti emas. Emas baru kupahami artinya ketika aku sekolah di Yogyakarta. Waktu itu kami ingin menyelenggarakan festival drama selama seminggu. Sebagai modal awal kegiatan aku menggadaikan sepedaku, dan kawan lain menggadaikan cincinnya. Aku jadi kadet melihat perolehan dari cincin emas itu justru jauh lebih besar daripada perolehan sepedaku yang memang butut. Sejak itulah aku baru paham akan arti emas. Kenaifan anak alam! Barangkali. Anak alam yang tulus dan polos sering jadi "makanan empuk" orang kota. Dan kenaifan ini agaknya belum hilang samasekali dari penduduk yang ternganga bingung oleh kerusakan alam mereka. Berlangsungnya eksploatasi alam yang buas begini berdampak pula pada kehidupan kolektif orang kampung apalagi disertai oleh penghancuran sistematik tatanan masyarakat adat oleh Orba. Sekarang tidak kusaksikan lagi orang berbagai hasil kijang atau celeng perburuan di kalangan orang kampung. Tari manasai sebagai lambang kehidupan kolektif makin hari makin merosot kehidupan dan penggunaannya dalam masyarakat. Aku melihat gejala ini erat hubungannya dengan kerusakan alam, eksploatasi buas dan tatanan masyarakat adat. Karena itu pekerjaan kebudayaan barangkali merupakan pekerjaan dari dasar dan mendasar. Lagi-lagi sayangnya, pekerjaan ini termasuk yang terbengkalai penanganannya di Kalteng. Terdapat kecenderungan bahwa sasatra-seni dijadikan sebagai barang dagangan turistik. Yang lebih berkembang adalah kebiasaan mabuk-mabuk dan dibela dengan mengatakannya sebagai "tradisi" sehingga ketika bekerja di Palangka Raya, terdengar oleh telingaku ucapan bahwa "orang Katingan itu jago mabuk-mabuk". Kukira minum baram [tuak] tidaklah dilakukan saban waktu. Apalagi sampai mabuk.Ia terutama dilakukan menyambut tamu atau handai-taulan dari jauh yang jarang jumpa. Menyatakan tradisi sebagai dalih untuk saban hari mabuk-mabuk adalah kekurangan paham akan sejarah. Ia timbul oleh berkembangnya frustrasi dan ingin melupakan atau lari dari kepahitan sehari-hari, bukan "lupa" atau melupakan sesuatu sebagai sikap moral mencari penyelesaian, jika menggunakan klasifikasi Paul Ricoeur, filosof Perancis yang baru meninggal bulan Mei lalu . Buntutnya ia membuka peluang bagi kekerasan dan perjudian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Kasongan pun perjudian sudah cukup merajalela. Kanak-kanak pun sudah terlibat. Inikah Dayak? Inikah Katingan sekarang? Aku kira, kurang-lebih demikian memang. Jika ada pendapat bahwa "orang Katingan jago mabuk-mabuk" tentu pendapat begini tidak turun dari langit tapi mempunyai dasar sosial atau dasar materinya, jika kita sepakat bahwa keadaan sosial atau basis materi turut membentuk pendapat dan sikap seseorang. Debat apa pun kukira tidak bisa mengabaikan dasar sosial atau basis materi hal-ikhwal. Kukatakan hal-hal ini dengan rasa prihatin dan kasihsayang seorang anak Katingan, karena kukira kita perlu tahu di mana kita berada sebelum tahu mau ke mana dan bagaimana menuju ke mana. Katingan patut diberdayakan dan dibangun agar jadi tempat kehidupan manusiawi bagi anak manusia yang manusiawi pula. Dengan menuliskan baris-baris ini aku ingin meng
[ppiindia] stanza kelabu [76-80]
STANZA KELABU 76. Genta Katdral Abbesses menggaung genta katedral mencari lembah ingatkan penduduk pada waktu akan malam gemanya hati menjelma rindu kerna cintaku tak punya sudah Oktober 2005. 76. Yang Sesungguhnya sampai jam tujuh paris sepi matahari, musim gugur sudah jalan pun sunyi semalam ada "malam putih" sedang lusa akan sangat gemuruh oleh demo anti pemerintah sunyi atau pun riuh yang sungguh masih saja kita bergandengan Oktober 2005. 77. Il n'y a pas l'amour heureux il n'y a pas l'amour heureux, tak ada cinta bahagia barangkali lebih kena langka benar cinta bahagia kenyataan yang garang sangat tak punya belas namun kita menjaganya tetap menanggap tanpa ratap Oktober 2005. 78. Padahal kesungguhan sering menohok kita sangat dalam lalu kalap terkapai hilang pegangan seakan perahu karam segala tiba-tiba jadi suram padahal siapa matahari cuma tenggelam atau dilindung awan Oktober 2005. 79. Pahlawan akupun sering berkata "biarkan aku sendiri" kerna suara sering membisingkan menambah runyam pemahaman sering hanya alasan sedangkan pahlawan esok jadi khianat bukan sangat hakiki daripada ketetapan diri Oktober 2005. 80.Racun yang bisa kukatakan aku sudah sekian lama di montmartre sudah sekian lama disambut seine dengan hangat ketika aku di kembara jangankan seine dan montmartre puncak kota tak kuasa membuatku terikat diriku pun belum benar kupahami -- gunjing jadinya keisengan beracun Paris, Oktober 2005 -- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving. http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12].KE MELAK! MAHAKAM BICARA KEPADAKU
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12]. KE MELAK!MAHAKAM BICARA KEPADAKU [2] tak kukatakan kau mahakam sungai duka kerna kau pun sungai mimpi, cinta, setia serta kepahlawan mahakam adalah pilihan *** Aku akhirnya masuk ke long boat bersama teman-teman. Aku sengaja mengambil tempat duduk dekat mesin diburitan agar leluasa bergerak. Bisa duduk, bisa berdiri. Berbeda dengan speed boat yang bermesin tempel dua sehingga ia meluncur bagai anak panah lepas dari busur, long boat hanya menggunakan satu mesin. Sejak masa kanak aku sangat biasa dengan mesin dan perahu-perahu tempel yang di daerah Sungai Katingan, Kalimantan Tengah, dinamakan "stempel". Pada masa kanakku dulu, "stempel" merupakan salah satu alat pengangkutan penting dan termasuk mewah untuk menghubungkan kampung satu dan kampung lain yang terletak di sepanjang sungai. Sebelum stempel hadir, penduduk, terutama yang berada di pedalaman melakukan saling kunjung dengan perahu buatan sendiri atau jalan kaki. Dengan cara inilah, menurut cerita mereka, penduduk menempuh jalan berkilo-kilometer untuk pergi ke suatu tempat bahkan sampai ke kawasan Borneo [Sabah dan Sarawak]guna menjalin hubungan dengan handai-taulan di daerah tersebut. Tak ada perbatasan di hati penduduk pulau. "Berapa sih jauhnya ke Sarawak dan Sabah? Ke hulu sedikit kita kan sudah sampai!" demikian ayah dan pamanku, Tjilik Riwut yang dikenal sebagai pejalan kaki ulung, menjawab dingin dan ringan pertanyaan bocahku penuh kekaguman sambil membayangkan perjalanan menebus belantara tak tertembus matahari. Ketika aku masih bekerja sebagai guru di sebuah universitas di Kalteng, dan diajak oleh sejumlah teman yang menjadi pejabat untuk turut menyertai mereka melakukan misi kunjungan ke perbatasan Kaltim, Kalbar, Sabah dan Sarawak. "Ke hulu sedikit saja kita sudah sampai", kembali kata-kata klasik itu diucapkan untuk membujukku. Melayangkan ingatan jauh ke belakang, pada dua abad silam, aku sampai pada halaman-halaman kusamnya yang bertutur tentang Pertemuan Damai Tumbang Anoi di sungai Kahayan. Pertemuan Tumbang Anoi dihadiri oleh seluruh wakil komunitas Dayak dari seluruh bagian pulau tanpa kecuali guna melakukan perdamaian dan menyelesaikan segala persoalan di kalangan mereka secara adat. Tidak terbayangkan kesulitan yang telah mereka tempuh untuk sampai ke Tumbang Anoi. Riam yang ganas, jalan tikus di hutan tak tembus cahaya matahari, naik-turun gunung dan lembah tak menghalang niat datang ke Tumbang Anoi. Sementara tol dan jalan darat yang mulus tidak ada, kecuali jalan tikus. Betang atau rumah panjang Damang Batu yang memimpin pertemuan raya itu sampai sekarang masih terjaga di sungai Kahayan. Mengenang kembali Pertemuan Tumbang Anoi ini, aku melihat kebesaran jiwa dan kekuatan tekad manusia Dayak untuk menjadi tuan atas nasib diri mereka sesuai konsep hidup-mati mereka: nyanak jata rengan tingang [anak naga putra-putri enggang], konsep yang kuanggap masih tanggap sampai hari ini. Apakah konsep ini dipahami dan dikenal di Kaltim terutama di kota-kota utamanya apalagi dengan komposisi demografis yang didominasi oleh etnik dari luar Kalimantan? Melihat kepada diriku yang kadang tak kuasa mengendali diri dan perasaan, aku jadi malu. Betapa aku ini sebenarnya hanyalah seorang yang kerdil, gampang "keder" di hadapan duka dan kehilangan. "Kau sesungguhnya bukan Dayak, Kusni. Terlalu lemah untuk menjadi seorang Dayak, tidak layak jadi layak, menjadi turunan Tambun-Bungai, apalagi menjadi 'nyanak jata rengan tingang'"**], demikian aku berkata pada diriku. Jika terus lemah begini dan memelihara kelemahan ini, maka kau hanya akan menjadi busa buritan perahu dan kapal, demikian aku menasehati diri.Bersamaan dengan ini mengiang suara lain, suara Stepanus Djuweng dari Kalbar, ketika aku secara khusus datang ke Kalbar dari Paris pada saat Konflik Sambas sedang berkecamuk. Mengetahui begitu banyaknya darah mengalir, dan aku memperlihatkan sikap tidak suka, Stepanus mengatakan bahwa "kita sedang melakukan perang bela diri". Pernyataan ini menyangkut masalah sebab-musabab konflik. Yang menyentuh diriku langsung adalah pertanyaannya: "Apakah aku seorang Dayak? Orang yang paham Dayak!?". Pertanyaan Stepanus membuatku merenung: Apakah sebenarnya seorang Dayak? Apa tautannya dengan Indonesia dan anak manusia serta uniseralisme? Adakah universamisme nilai pada Dayak sebagai tatanan nilai? Pertanyaan-pertanyaan ini mendorongku untuk membaca sejarah dan budaya Dayak, mengetahui benar kehidupan hari ini -- pertanyaan yang sekaligus membeberkan suatu program kerja mendesak untuk ditangani.Pelestarian [registrasi] dan revitalisasi jadinya merupakan keniscayaan tak lagi bisa ditunda. Ketika long boat-ku melaju, nasehat diri dan prtanyaan-pertanyaan di atas, di antara gemuruh mesin yang cuma sedepa berada dari tempat dudukku, kudengar seperti suara Mahakam menasehatiku dengan segala ketulusan dan kasihsayang
[ppiindia] stanza kelabu [67-70]
STANZA KELABU 67. Ulangtahun oktober bulan ini bertambah lagi setahun usiamu tiap detik berdetak dan berlalu adalah suara langkah perjalanan jam dinding tak peduli suka dan duka pada gagah-lemahnya kita tinggal, sanggupkah kita bertanya sebelum malam benar-benar tiba Oktober 2005. 68. Sia-sia pada tembok-tembok kota pada angin dan hutan pada semua suara tertera segala lupa sia-sia menghalau ingatan Oktober 2005. 69. Mawar Agustus rinai di kotaku membasuh puncak hingga sungai hanya debu-debu yang larut kenangan dan harapan masih kuat memagut o, angin musim gugur menabur wangi mawar agustus tak pupus-pupus Oktober 2005. 70. Nama Yang Diam-diam Kau Ucap Ulang entah di lengang malam atau di bising siang juga saat perseneling motor kau pindahkan sering kau seperti tercengang jauh memandang ada sosok tak hilang-hilang selalu datang diam-diam namanya kau ucap ulang Paris, Oktober 2005 -- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now. http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] stanza kelabu [62-66]
STANZA KELABU 62.Sejak September Tahun Itu kutinggalkan dahulu katingan memburu matahari september kutinggalkan yogya kota pengasuh kembaraku sejak itu memanjang kian memanjang yang terbanting dan hilang tak terbilang tercatat di parit dahi Oktober 2005. 63.Lebih Dewasa satu lagi rambutku memutih satu lagi parit dahi digali sebenarnya ingin aku menangisi kehilangan kuputuskan lebih dewasa tertawa dan mencandanya Oktober 2005. 64. Pelayaran Yang Tertunda tidakkah sudah kita tekuk jarak dan ruang jadi selembar kertas A4 bahkan lebih kecil lagi tidakkah sudah kita bangun kapal lengkap dengan petanya melihat cuaca kita tangguhkan pelayaran Oktober 2005. 65. Di Terali Jembatan Sembilan di terali jembatan sembilan musim gugur turun dari katedral notre dame anginnya, ah, seperti kulihat benar di gelombang sunyi, anginnya mengusik rambut dan pipimu warna bulan --di seine membayang Oktober 2005. 66.Di Pulau Hijau di greenland, pulau hijau, orang eskimo masih bisa memancing beku salju segunung disusun dijadikan rumah kediaman kukira duka berdarah tahunan mungkin lebih lama lagi bisa kita jadikan fondamen solid perkasa mimpi tertunda hari ini Paris, Oktober 2005 -- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12].KE MELAK! MAHAKAM BICARA KEPADAKU
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12]. KE MELAK!MAHAKAM BICARA KEPADAKU [1] "ala ice, ala due,mahakam memercik dahi mukaku kuraup wajah, wajah kuraup hingga rambut*] naga sungai menyambutku padanya aku bersujud mengucap cinta anak katingan tak kenal takluk ala ice, ala due, anak sungai kembali ke sungai meloncat pesut menyapa angkasa tanda aku dikenalnya ala due, ala telo, ala epat, kupercik kutabur janji ke mahakam anak sungai kembali ke sungai" *** Sungai adalah ibu pengasuh masa kanakku. Sungai seperti hutan dan gunung, juga laut turut membentuk diriku dengan arus, dengan ombak, kabut, ikan dan burung-burungnya. Alam beginilah yang mengajarku melesit dari satu dahan ke dahan lain menyaing tupai dan siamang. Mereka jugalah yang mengajarku bagaimana merenangi arus di antara kilap perut ikan berwarna putih.Masa kanakku adalah masa kehidupan Dayak yang menjadi putra-putri alam. Alam adalah kehidupanku. Karena itu, Celia, anakku kuajar menyatu dan mengenal alam sebelum kelak sendiri mengembarai hidup. Aku ingin Celia segagah alam dan seindah alam. Alam adalah kegagahan dan keindahan yang padu. Lelaki atau perempuan sama saja. Layak gagah dan indah terutama jiwanya seperti ditunjukkan oleh kisah Kayau Pulang dan Bawi Kayau [Puteri Kayau] di daerah Schwaner-Müller. Karena itu aku merasakan kebahagian besar ketika Celia menjadi hidup menyala matanya saat melihat siamang bergayutan dari pohon ke pohon dan terkekeh girang ketika speed boatnya di ayun gelombang seraya berteriak: "Aku ingin terjun ke sungai, aku ingin berenang, Ba", teriaknya. "Terjunlah dengan gagah, Sayang, sebagaimana kau kuharapkan kelak dalam merenangi sungai kehidupan.Jangan takut tenggelam", jawabku dalam hati, tapi hanya tertuang di senyum. Sekarang sungai itu ada di hadapanku. Sungai itu menungguku. Mahakam, sungai raya dan naganya seperti melambai-lambaiku seakan-akan bertanya menguji dan bercanda: "Masihkah kau putraku dulu kuasuh?", pertanyaan paralel yang pernah diucapkan oleh seseorang kepadaku di hadapan tragedi, dengan sejuta makna:"Masihkah kau bisa bersikap gagah?". Masihkah ada kegagahan di negeri ini? Masihkah kegagahan meresapi anak bangsa dan negeriku? Menyambut lambaian itu aku segera turun meniti titian asal-asalan disebut tangga menuju long boat. Kebiasaan telah menumpulkan perhatian pada titian asal-asalan ini. Kebiasaan menumpulkan tanya dan sering dipandang sebagai keniscayaan yang benar padahal kebiasaan itu patut diberontaki. Pada tangga atau titian asal-asalan ini aku melihat fatalisme dan ketumpulan tanya sekaligus kekuatan dari kebiasaan. Dermaga berlabuh long boat pun juga asal-asalan padahal Kaltim adalah propinsi kaya. Kaya akan hutan, batu bara dan minyak bahkan emas. Kemana larinya kekayaan itu? Padahal pelabuhan dan transport merupakan soal vital dalam kehidupan penduduk. Pada titian dan dermaga asal-asalan serta rongsokan ini aku melihat wajah pulauku sesungguhnya di balik adanya parabola, tambang-tambang dan deru pesawat terbang serta gemuruh speed boat melaju membelah sungai. Titian dan dermaga asal-asalan serta rongsokan ini seakan mempertanyakan konsep pemberdayaan dan pembangunan yang dijadikan mata proyek dan pada suatu ketika diagamakan. Ya, negeri ini pernah menjadikan pembangunan sebagai agama dan hasilnya nampak pada titian dan dermaga asal-asalan serta kumuh bagi long boat Tenggarong. Wajah titian dan dermaga asal-asalan dan rongsokan yang kusaksikan sejak ketika sungai mengasuh masa kanakku dan hari ini masih kusaksikan di senja usia. Sebagai ilustrasi dari soal ini, aku ingin mengutip sebuah diskusi yang berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED] , sebagai berikut: - Original Message - From: andy adjeunk To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, October 01, 2005 7:55 AM Subject: [dayak] Apa kabar mereka yang di Perbatasan? Salam Jika warga dayak di pinggiran saja banyak yang terabaikan, bagaimana dengan mereka yang ada di perbatasan? Ini ada kiriman berita yang sudah terbit di Radar Tarakan (www.radartarakan.com) pertengahan bulan lalu. Menarik untuk dicermati. Berbelanja Saja, Malinau Pilih Malaysia.Disertasi S3 Bupati Malinau di Unibraw Malang Jatim=sub MALANG-Bayangkan, untuk berbelanja saja masyarakat Kabupaten Malinau Kaltim lebih memilih ke Malaysia daripada Indonesia. Bukan hanya harga saja yang terpaut sampai 100 persen, tapi juga dekatnya jarak tempuh dan murahnya biaya angkut barang yang membuat mereka menjatuhkan pilihan. Setidaknya, itulah fenomena mengejutkan seputar kehidupan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia yang dikupas habis oleh Bupati Malinau Drs Marthin Billa MM saat memaparkan disertasi program Doktor Ilmu Ekonomi Kekhususan Manajemen berjudul Peran Perdagangan Lintas Batas dalam Peningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur di gedung PPS Unibraw. Sontak, paparan itu sempat membuat undangan yang hadir terpana. Bagaimana tidak, ma
[ppiindia] stanza kelabu [57-61]
STANZA KELABU 57. Di Telaga Botani di telaga botani sebuah kerikil kulemparkan, dirikulah itu terlempar sepasang angsa anggun menyelam mengejar alam bungkam membiarkan diriku tenggelam sendiri Oktober 2005. 58. Shinta siapa bilang hidup amat sederhana? shinta diculik dari diriku tapi boleh jadi oleh kemelut ia hanya menghilang shinta, shinta, shintaku, kelak kembali takkan kau kupanggang kemurnian hanyalah bualan legenda untuk celia anakku Oktober 2005. 59. Di Long Boat Menuju Melak di buritan long boat menuju melak kulihat gelora gelisah orang terbanting di deretan penumpang yang berbaring orang-orang lelah tak sempat menduga duka dan cintaku Oktober 2005. 60. Cerita Korrie dinginn korrie bercerita tentang diri dan tragedi cintanya dipalang agama -- long boatku menderu tak mau tahu dukaku sendiri yang menikam kubalut dalam senyum dik, kau lihat gimana aku belajar munafik kerna mencintaimu? 61. Yang Tetap Utuh Tanpa Cedra kau menjadi sangat pendiam, aku pun sangat paham tapi aku ingin kau bahagia maka aku siap luka berdua kita memandang gimana matahari dan bulan pecah remuk di gunung batu rimba duka --mimpi saja yang utuh tanpa cedra! Paris, Oktober 2005 -- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org! http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[nasional_list] [ppiindia] stanza kelabu [50-56]
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** STANZA KELABU 50. Ketiba-tibaan tersumbat kerongkongan sepatah kata apalagi gumam sebaris lagu tak kuasa kuucap sebuah tikungan tajam berembun tiba-tiba kulalui di lereng tebing lembahnya aku terbanting: ketiba-tibaan menyergap hitungan 51. September pun Berlalu september pun berlalu tapi aku masih saja di pinggir sungai ini masih saja di puncak montmartre musim silih berganti menambah kerut dahi seperti parit mengalirkan laksaan cerita indonesia artinya masih saja seperti sediakala, seperti sediakala Oktober 2005. 52. Teka-teki sampai pada oktober aku melihat waktu seperti riam deras mengalir peristiwa demi peristiwa sangat luar biasa -- warna-warni terpaan dugaan nalar dan ramalan tak sempat membaca jauh ketinggalan kumengerti, betapa diri, hidup dan manusia tekateki tak usai dipahami Oktober 2005. 53. Belanga Pecah Di batu kemarin, ya bahkan detik lalu, baru saja berdua kita ucapkan ketetapan seakan matahari dan bulan telah di tangan hari ini segalanya seperti belanga jatuh di batu berantakan papasan kita di jalan tak lagi ada tutur-sapa Oktober 2005. 54.Tiba-tiba Kurasakan Diri Bagai Batu hitam mahakam di jaring malam kelam dari tebing ke tebing juga dari meja kursi di hadapanku pada restoran taman tiba-tiba kurasakan diri bagai batu jatuh ke lubuknya tenggelam Oktober 2005. 55. Dalam Sedan Ditahan patutkah kita selalu baik, jujur, setia dan sepenuh hati? apakah bumi memerlukannya atau tidak lebih baik kita jadi bandit pencopet dan penipu bahkan sanggup jadi pembunuh yang tenang? dalam sedan ditahan aku masih berkeputusan jadi manusia hingga tumbang Oktober 2005 56. "Kill of Hope" "kill of hope", "kill of dream", pembunuhan harapan harapan memang senantiasa diintai sergapan jejaknya sering berlumur darah airmata tanpa dia lama sudah aku binasa kernanya masih saja kau kucinta Paris, Oktober 2005 -- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org! http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.org ** ** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [11].DARI SAMARINDA KE TENGGARONG
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [11]. DARI SAMARINDA KE TENGGARONG "dari samarinda ke tenggarong jalan berliku hutan lembah berjambul awan warna kelabu siamang dan enggang tak lagi menyambutku kabut dukaku, adik, kabut rimba menaungi kalbu oleh kehilangan kabut dan tangisku di sini bertemu" Hari itu dengan berkendaraan mobil Kijang, kami meluncur menuju Tenggarong. Jalan mendaki, menurun dan berliku sebagaimana biasanya jalan-jalan mana pun, apalagi di daerah yang berbukit-bukit. Terkadang awan kelabu nampak jauh di bawah kami di atas pepohonan hutan yang tidak lebat lagi sehingga sinar matahari leluasa menembus dedaunan bermain di tanah. Melihat awan yang bertengger di pucuk-pucuk pohon, ingatanku sejenak melayang ke Batu, Jawa Timur, yang kukunjungi beberapa tahun lalu.Larut malam bulan kaku di atas awan kelabu hutan cemara dan kota yang tidur. Aku dan teman-teman Komunitas Batu menghangat tubuh melawan dingin gunung dengan jagung bakar dan kopi jahé. Ada kehangatan memancar dalam dingin dari tatap persahabatan pemimpi-pemimpi muda sederhana yang jatuh-bangun merambah jalan pencarian mereka. Melayangkan pandang ke pucuk-pucuk hutan, apakah hutan Kaltim masih hutan yang dahulu? Waktu banyak mengobah segala. Kita pun dalam sedetkik dua bisa berobah dan diobah oleh waktu di mana ketiba-tibaan bersarang. Ketiba-tibaan yang bebas dari kuasa nalar.Suara burung dan siamang tidak kudengar menyambutku dari hutan lembah. Apalagi yang namanya enggang lambang dari konsep hidup mati manusia Dayak, bukan hanya tak lagi terdengar gaung gema suaranya di rimba, dari kota-kota seperti Balikpapan dan Samarinda bahkan di kota kabupaten Melak pun jarang kudapatkan. Sedangkan di Kuching, Sarawak, lambang-lambang budaya lokal ini masih nampak dengan jelas.Bandara Kuching kuat ditandai oleh hasil-hasil lokal. Kaltim, terutama kota-kota utamanya nampak asing dari tanda-tanda lokal.Kuching bahkan mempunyai dua buah museum tentang Dayak terbesar , paling tidak Di Borneo-Kalimantan. Quo Vadis Kaltim? Inilah pertanyaanku sambil melihat dari kaca jendela Nusa Dua cakrawala dan teluk yang menghamparkan ruang selaksa mungkin. Di ruang selaksa mungkin itu aku merasa akrab dengan maut, kekalahan, kejatuhan, khianat alami dan ilmiah, tekad yang lemah hingga tunduk pada ketakutan, tapi sekaligus aku juga melihat dengan keharuan keperkasaan mereka yang bertarung seperti kapiten para pinisi di tengah badai. Memandang para kapiten pinisi di laut, aku katakan bahwa ajal sebagai puncak tragedi telah disemukan maknanya. Di sini pun aku jadi melihat kekalahan dan kejatuhan memiliki wayuh makna. Lalu Sysiphus yang jatuh di kaki lereng pendakian,tampil sebagai tokoh kemanusiaan yang kusansanakan dengan iringan dawai kecapi anak Katingan, kecapi harapan dan pertarungan tak punya sampai warisan si "Kayau Pulang" *]. Balikpapan dan Samarinda jelas padaku merupakan kota-kota Kaltim yang asing dari tanda Dayak. Dayak di sini jadi asing dan terpinggir, dipinggirkan proses sejarah. Dayak di sini sudah merupakan bagian dari eksotime dan obyek belas kasihan dan barang dagangan. Aku khawatir bahwa yang namanya Dayak di Kaltim akan jadi barang dagangan eksotik. Dan boleh jadi sebentar lagi akan muncul pakar dan sastrawan yang menteoritisir keterpurukan ini dan ikut menarik tali "lonceng kematian" seperti yang pernah dicanangkan oleh novelis Ray Rizal alm. Keterasingan ini juga dinampakkan dan kurasakan sekali ketika Kijang kami melewati yang disebut "Bukit Soeharto". Apa gerangan jasa Soeharto, sang presiden Republik Indonesia yang melakukan kudeta merangkak untuk naik ke tampuk kekuasaan, pada pulau ini dan Kaltim?. Dari koran-koran kuketahui bahwa Bukit Soeharto adalah bukit kebakaran "abadi", bukit batubara yang terbakar belum terpadamkan. Secara tersirat kulihat Bukit tersebut sebagai lambang pembakaran Kalimantan oleh Orde Baru. Siapakah yang hirau? Berapa banyak yang hirau? Berapa banyak orang Dayak lokal juga hirau? Apakah Korrie Layun Rampan yang sastrawan Kaltim dan anggota DPRD itu akan hirau? Bagaimana bentuk nyata kehirauannya? Sastrawan dan kekuasaan, sungguh suatu kombinasi yang tidak sederhana! Mengapa Soeharto si penjagal bangsanya sendiri diabadikan namanya pada gunung ini padahal ia bahkan telah meremukkan pulau? Diktator adalah orang yang dengan kepala dingin sanggup memasakre bangsanya. Dan itu adalah Soeharto sang presiden! Bukit ini kukira tidak pada tempatnya diberikan nama bukit Soeharto. Bukit ini patut dikembalikan namanya pada nama semula, sebagaimana kita pada tempatnya, kukira, mencoret nama Schwaner-Müller untuk menamai gugusan pegunungan melintasi Kalimantan dari barat ke timur. Ini adalah bentuk pelanggengan kekuasaan kolonialisme, penyingkiran identitas lokal sebagai awal dari peminggiran fisik. Kalau aku menyinggung soal identitas lokal, yang oleh Prof. Dr. Sajogyo dirumuskan sebagai "Jalan Kalimantan
[ppiindia] stanza kelabu [46-50]
STANZA KELABU 46. Damak-damak Beripuh pada laut dan gelombang lazuardi diarung awan bungkam dan sunyi menabur damak-damak ipuhnya ke dada September 2005 47.Di Dermaga Sungai Seine kelam malam sudah jatuh di seine: dingin dan sunyi dari dermaganya aku memandang bulan tembaga mandi simbur-simburan; wajahmukah itu yang mengerling diam menatapku menyimpan sejuta kata dikekang? September 2005 48. Angin Musim Gugur Puncak Montmartre musim gugur menurunkan anginnya dari puncak dilintasinya lembah menuju sungai mencari camar di puncak katedral ada seekor burung mungil: sendiri barangkali ia sedang menyidik mencari sesuatu yang hilang dari diri September 2005. 49. Larut dari kursi meja restoran taman malam aku memandang mahakam: sunyi dan kelam di arusnya sungai rakasasa ini tiba-tiba aku rasakan diri tenggelam entah larut ke mana September 2005. 50. Kita Jumpa Di Samudra tersumbat kerongkongan sepatah kata apalagi gumam sebaris lagu tak kuasa kuucap sebuah tikungan tajam berembun tiba-tiba kulalui di lereng tebing lembahnya aku terbanting: ketiba-tibaan menyergap hitungan September 2005 - JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Make a difference. Find and fund world-changing projects at GlobalGiving. http://us.click.yahoo.com/j2WM0C/PbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] stanza kelabu [46-50]
STANZA KELABU 46. Damak-damak Beripuh pada laut dan gelombang lazuardi diarung awan bungkam dan sunyi menabur damak-damak ipuhnya ke dada September 2005 47.Di Dermaga Sungai Seine kelam malam sudah jatuh di seine: dingin dan sunyi dari dermaganya aku memandang bulan tembaga mandi simbur-simburan; wajahmukah itu yang mengerling diam menatapku menyimpan sejuta kata dikekang? September 2005 48. Angin Musim Gugur Puncak Montmartre musim gugur menurunkan anginnya dari puncak dilintasinya lembah menuju sungai mencari camar di puncak katedral ada seekor burung mungil: sendiri barangkali ia sedang menyidik mencari sesuatu yang hilang dari diri September 2005. 49. Larut dari kursi meja restoran taman malam aku memandang mahakam: sunyi dan kelam di arusnya sungai rakasasa ini tiba-tiba aku rasakan diri tenggelam entah larut ke mana September 2005. 50. Kita Jumpa Di Samudra tersumbat kerongkongan sepatah kata apalagi gumam sebaris lagu tak kuasa kuucap sebuah tikungan tajam berembun tiba-tiba kulalui di lereng tebing lembahnya aku terbanting: ketiba-tibaan menyergap hitungan September 2005 - JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital. http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR:PESTA PANTUN SE NEGERI SABAH
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [10]. "PESTA PANTUN" SE NEGERI SABAH Hari ini, 29 September 2005 di negara bagian Sabah, Malaysia Timur mulai dilangsungkan kegiatan yang dijuluki "Pesta Pantun". Demikian Ony Basalin, penyair Sabah yang tinggal di Teluk Bayu berkabar kepadaku. "Kakakmu dan penyair Hasjuda akan menjadi hakim pada program Pesta Pantun" itu", tambah Ony Basalin yang sehari-hari kupanggil Kak Ony menuruti cara Ira, adikku memanggilnya. Kak Ony adalah seorang asal Dayak Dusun, turunan seorang kepala adat Sabah. Ira yang juga seorang penyair dan asal Sulu tapi tinggal di Sandakan lah yang memperkenalkan Kak Ony kepadaku. Rumah Kak Ony merupakan tempat berkumpul santai dan berbincang-bincang para sastrawan dan seniman Sabah dan melalui Kak Ony inilah aku mengenal nama-nama para sastrawan Sabah. Kehangatan para sastrawan-seniman Sabah menyambut kehadiranku ketika bergabung di Kemsas, milis Ikatan Penulis Sabah, membangkitkan hasratku untuk bisa segera berada di tengah-tengah mereka. Kesadaran dan tanggungjawab orang sepulau segera terasa padaku. "Apa yang Adik rasakan dan pikirkan sebenarnya adalah juga yang menjadi perasaan umum anggota-anggota IPS", tulis Kak Ony."Jika Adik kemari tentu banyak yang bisa kita lakukan bersama untuk pulau ini", lanjut Kak Ony dengan penuh harap dan bayangan. O, betapa kata-kata yang menyulut impian dan rencana. Aku membayangkan Kalimantan-Borneo, pulau yang terbelah sekarang secara politik, hati penduduknya tidak terbagi. Kembali ke soal Pesta Pantun. Apa arti Pesta Pantun ini bagi kehidupan sastra-seni kekinian? Dengan pertanyaan inilah aku melihat apa arti Pesta Pantun di neger Sabah sebagai sebuah kasus dan secara tidak langsung mengungkapkan suatu politik kebudayaan, khususnya sikap sastra yang patut dicamkan. Pantun adalah genre klasik dalam sastra Melayu/Nusantara. Berbicara tentang genre klasik sastra sekaligus sebenarnya kita menyentuh masalah hubungan antara tradisi dan modernitas. Adanya Pesta Pantun Senegeri Sabah kali ini, kukira secara tersirat menunjukkan bahwa untuk menciptakan dan mengembangkan serta mencapai modernitas tanggap serta aspiratif dalam sastra, modernitas itu patut memperhitungkan khazanah budaya yang sudah dimiliki dari angkatan ke angkatan. Bahwa khazanah bangsa atau etnik merupakan modal untuk menciptakan sesuatu yang baru yang tanggap zaman dan aspiratif. Kekayaan lokal memberikan kita kemungkinan lebih jauh dan lebih dalam berdialog dengan budaya lain. Pemberdayaan masyarakat lokal secara teoritis dirumuskan oleh Prof.Dr.Sajogyo sebagai "Jalan Kalimantan". Di sinilah arti penting tradisi dan merevitalisasi tradisi sehingga jadi modern serta tanggap zaman dan aspiratif. Masalah revitalisasi adalah langkah lebih lanjut daripada pelestarian yang bersifat pendaftaran kekayaan. Revitalisasi akan menjadi mungkin jika kita mengenal keadaan kongkret dan tahu mau menuju ke mana. Di tingkat ini aku tengah berbicara tentang pembangunan kebudayaan kekinian kita, tanpa lepas dari akar, tapi sekaligus menerima masukan-masukan positif dari luar. Kebudayaan nasional pada galibnya adalah kebudayaan campuran [le metissage]. Tidak pernah ada yang murni seperti yang disemaikan oleh sektarisme dalam berbagai bentuk. Penyelenggaraan Pesta Pantun senegeri Sabah hari ini kukira sejalan dengan arah demikian, menunjukkan kesadaran akan perlunya merevitalisasi khazanah sastra yang kita miliki dan hidup di kalangan masyarakat kita. Ketika membayangkan Pesta Pantun senegeri Sabah hari ini,ingatanku melayang ke ibukota Kalimantan Tengah, di mana pada masa kekuasaan walikota Salundik Gohong bersama Ikatan Sastra Indonesia [ISASI], Kalimantan Tengah, kami mendorong pengembangan karungut dan deder, bentuk puisi populer di dalam masyarakat Dayak Kalteng, disamping mengembangkan puisi berbahasa Indonesia. Kegiatan-kegiatan begini kami lakukan dengan konsep sadar demikian. Apalkah karungut, sansana, deder, pantun bukannya bagian dari sastra Indonesia, Kalimantan dan Nusantara? Mengapa ia disisihkan dari perhatian dan pembicaraan? Suatu saat aku membayangkan acara kesenian di Nusa Dua atau pun Café Bandar akan akan diberi varisan dengan bentuk-bentuk lokal. Mengapa tidak? Mengapa kita tidak mampu menghargai diri sendiri dan apa yang kita miliki? *** Paris, September 2005. - JJ.KUSNI Mimpi? Ya hari ini segalanya masih seperti mimpi, tapi justru kita kekurangan mimpi. Dunia, juga Borneo-Kalimantan tidak kelebihan mimpi. Pada mulanya segala berasal dari seperti mimpi dan mimpi. Mimpi pun memerlukan kemampuan, lebih-lebih kemampuan mewujudkannya. Mimpi tidak lagi jadi mimpi jika sudah jadi kenyataan, tapi setelah itu mimpi baru pun lahir dan terus lahir. Dalam perjalanan kembaraku, sering kurasakan bahwa untuk mempertahankan dan membela mimpi serta cinta pun tidak gampang. JJ.Kusni Perjalanan, September 2005. - Original Message
[ppiindia] stanza kelabu [41-45]
STANZA KELABU 41. Yang Tak Mati di makam ibu-bapak hari itu berdua kita berdiri membersihkannya lalu menabur bunga-bunga tanyamu: "mas, bicara pada mereka yang sudah tiada?" mencari matamu aku mengangguk mengatakan:"ada yang tak mati-mati,dik". September 2005 42.Bukan Meteor Tumbang dingin di daun-daun september di atap-atap kota bertengger tunggu! jangan katakan matahari meteor tumbang di hatiku ia mengorbit menabur terang September 2005 43. Seperti Semua Orang "bukan semata demi roti", "not for bread alone" tulis pengarang negeri utara dikawal rindu kau ke warnet hujan petir tak merintang seperti semua orang kita hangatkan diri di mentari kasihsayang September 2005. 44. "Not For Bread Alone" tertinggal! di kulkasku tertinggal dua keju "president" untukmu tertinggal saat rindu menggegasi pesawatku ke timur hari itu memaling ke detik lalu dan kulkasku nampak betapa lupa hanya merusak tapi,dik,kau yakinkah pada ingat dan hati, namamu selamanya terpahat? September 2005. 45. Kita Jumpa Di Samudra tak cukup sudah jari tangan menghitung usia kita seniscayanya juga bukan, kita pun patut pandai menakar deras gelombang desau angin pada layar menuju muara "jika arus mencari laut, adik, kita jumpa di samudra" September 2005 - JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org! http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [9] KONFERENSI ANTAR UNIVERSITAS BORNEO-KALIMANTAN DI KUCHING
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [9]. KONFERENSI ANTAR UNIVERSITAS BORNEO-KALIMANTAN DI KUCHING Debur ombak dan deru angin teluk datang dari jauh membentur jendela lalu jatuh sendiri di pasir dan buih pantai. Pada suara itu kudengar dan seperti kudengar mereka membawa suaramu yang ketika itu menyanyikan "Teluk Bayur" bersamaku. Kau robah liriknya, ya kuingat kau telah merobahnya untuk mengungkapkan diri, dengan mengatakan "kutunggu e-mailmu tiap hari". Sedangkan kaca jendela Nusa Dua kulihat seperti menampilkan wajah Celia anakku. Terbayang ia begitu girang main sepeda hadiah ulangtahunnya hingga larut malam sambil terkekeh, dan saban melirikku ia meledeg tanda sayang : "Papaku gembel, Papaku gembel, lihat aku dengan sepedaku. Terimakasih ya Pah!". Sekarang, dari kembaraku panjang segalanya saakan seperti sebuah fatamorgana, seperti cakrawala nampak di mata, tak terpegang tangan. Tapi segalanya nampak terang di halaman-halaman kenangan. Fatamorgana dan kenangan menyertai langkah kembaraku. Pada saat itu kubayangkan kita bertatapan diam. Berbicara dengan kediaman. Di saat sama aku pun teringat bagaimana kau meminta Pak Sopir untuk menghentikan pemutaran lagu disertai cliping anak perempuan kecil mengejar memeluk ayahnya yang baru datang: "Tolong hentikan lagu dan cliping itu, Pak dan cari lagu serta tayangan lain. Ia membuat sedih Bapak karena menggiring ingatannya akan anak yang jauh". Aku diam karena memahami berwayuh artinya permintaan itu, padahal aku sendiri tak lagi perduli dan lebih tertusuk oleh larik lagu yang didendangkan oleh Bob Totopoli: "rindu pun jadi terlarang". Untuk meluruhkan tusukan kenang dan bayang yang menggoncangkan perasaan, mencoba mengalihkan perhatian, aku mengeluarkan dari kantong jaket hitamku, makalah DR. Mohamamed Saleh Lamry, mantan profesor madya Universitas Kebangsaan Malaysia [UKM|, berjudul "Dari Kalimantan Selatan Malaysia. Makalah yang dikirimkan oleh DR. Lamry kepadaku beberapa hari lalu ini, telah disampaikannya di Konferensi Antar Universitas Borneo-Kalimantan yang berlangsung di Kuching, Sarawak pada 29-30 Agustus 2005 lalu. Berita dari DR. Lamry ini sungguh menggembirakan. Dari sini bisa kuketahui bahwa di samping Borneo-Kalimantan mempunyai Forum Penulis Borneo-Kalimantan, sekarang pulau raya ini mulai membuka forum baru yaitu pertemuan antar universitas yang ada di Borneo dan Kalimantan, pertemuan antar para akademisinya. Aku memandang pertemuan pertama yang akan disusul oleh pertemuan-pertemuan berikutnya di kalangan para akademisi Borneo-Kalimantan ini mempunyai arti penting dalam usaha mengembangkan kerjasama guna menjadikan Borneo-Kalimantan sebagai tempat hidup manusiawi penduduk pulau. Sebagai akademisi, tentunya dalam konferensi jenis ini mereka akan membahas masalah-masalah yang dihadapi oleh pulau dan penduduknya secara ilmiah. Melalui konferensi antar universitas ini bukan terlalu muluk mengharapkan adanya usulan-usulan terobosan berharga, baik yang bersifat mendesak mau pun yang berjangka jauh strategis. Oleh karena itu konferensi ini kulihat mempunyai nilai strategis dan praktis sekaligus, apalagi jika para akademisi yang bertemu bukanlah para akademisi menara gading yang asing dari kehidupan masyarakat dan permasalahan pulau. Sejauh ini aku memang belum mendapatkan hasil rincian konferensi, tapi diselenggarakannya pertemuan pertama antar akademisi Borneo-Kalimantan ini mengisyaratkan bahwa para akademisi pulau sudah menggarisbawahi peranan mereka baik sebagai pengamat maupun sebagai pemikir bagi usaha pemberdayaan manusiawi kawasan ini.Mereka sudah melihat arti penting kerjasama dan melihat jauh ke depan yang menunggu pulau. Cepat atau lambat, arti keberadaan mendiami satu pulau raya akan makin menjadi kenyataan, lebih-lebih bila hubungan darat kian lancar di mana orang-orang dari Kota Kinibalu, Sandakan, Brunei, Kuching ke berbagai tempat lain di Kalimantan dan atau sebaliknya makin lancar. Ini bukanlah fatamorgana tapi hari depan yang segera menjadi kenyataan. Adanya kesadaran dan tanggungjawab serta perlu mutlaknya kerjasama begini antara lain dinyatakan oleh sastrawan Sabah Ony Basalin, yang sehari-hari kupanggil Kak Ony: "Patutnya kita maju bersama dan bekerjasama erat sudah merupakan semangat umum para penulis Sabah", tulis Kak Ony kepadaku semalam. "Pulau menjadi urusan kita bersama". Demikian Kak Ony. Semangat serupa pun kudapatkan dalam korespondensi dengan para budayawan Brunei yang berhimpun di sekitar Majalah Bahana. Bukanlah kebetulan jika pertemuan penulis Borneo-Kalimantan yang ke-IX akan dilangsungkan di Brunei. Adanya semangat begini di kalangan para budayawan, sastrawan dan akademisi agaknya mulai munculnya sikap yang menisbikan arti perbatasan. Dalam hubungan ini, barangkali pertanyaan-pertanyaan sentral yang bisa diajukan adalah "mau ke mana Borneo-Kalimantan" dan "bagaimana mencapai ke mana ini"? Pertanyaan lain: Apakah sesu
[ppiindia] stanza kelabu
STANZA KELABU 31. Tapi Aku Masih Gagah, Mas! awan hitam di atas menara katedral taman abbesses bergayutan di dahan dan dedaunan oi, kulirik di wajahmu kuning bulan sepanjang jalan duka hitam itu ada di dua mata: "tapi aku masih gagah, mas!" September 2005 32. Dari Terali Jembatan Alexandre dingin musim gugur mengganti camar seine pulang sarang berseliweran mereka di antara kapal-kapal merapat dermaga dari terali jembatan alexandre aku memandang gelombang gampang diduga dalam lubuk tapi hatiku dan hatimu? kita saja yang tahu! September 2005 33. Seting menengahi gemuruh kapalku menuju samarinda seorang perempuan muda menyapa tiba-tiba:"jj kah?" "seting? kaukah?" tanpa ayal kami pelukan sepuluh tahun tak jumpa waktu pun tak amat kuasa; persahabatan kami tak tergugat. lihatlah! September 2005. 34."Boleh Istrimu, Kupeluk, Ibnu?" ibnu suami seting asal jawa kepadanya kutanyakan: "boleh istrimu kupeluk mengurai rindu?"ibnu ngakak mengangguk "boleh jj kupeluk, mas, tiada cemburu dan curiga bukan? kerling seting "alasan kalian lebih kuat dari cemburuku jika ada, sayang, sayangku" 35. Pemahaman Ibnu "ya, ya kubaca di mata seting, kubaca di mata abang" "kubaca di keengganan pisah dan rindu memprotes waktu dan ruang" "padahal sungai, gunung ,langit dan waktu mencatat kisah kalian" dik, di teluk di sungai juga di daun-daun gunung kisah kita terekam September, 2005. 36. Di temaram Angin Sungai Mahakam mahakam dan kelip lampu temaram angin menabur resahku malam keberangkatan ini, adikku, tak ada kapal dan pesut meluncur kecuali dukaku berpisah deras berdebur September 2005. 37. Busa melaju kapalku -- long boat orang bilang -- laju mengarung mahakam buih haluan di buritan dilupakan penumpang lenyap di malam cintaku,dik, bukanlah buih dan busa, tentu kau tahu sampai di seine ini tak lain kerna cintaku menolak jiwa busa September 2005. 38.DI MELAK jelas di ingatan hari itu di melak aku kau desak bacakan sanjak lalu kubuka halaman "aku tetap memilih mati sebagai pemberontak" kubaca untukmu mengatakan bahwa cinta dan pemberontakan cinta, keberanian dan kesetiaan padaku tak terceraikan September 2005. 39. Yang Terus Menagihku "apakah aku benar mencintaimu?" kujawab, "ya tegas tanpa kepalang" tidakkah ia kau lihat di warna fajar dan senja tidakkah ia kau saksikan pada bulan dan matahari pantai kencana dan gimana ia mengalahkan dingin gunung --ia terus menagihku sekarang! September 2005. 40. Gunjing Dungu selembut merpati selicin ular begitu hidup kukenal dan mengajar sandiwara? baca cermat teksnya apakah anda paham nzngkap hakekat ah, anda terlalu gegabah berkesimpulan dan terjangkit gunjing dungu September 2005 - JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital. http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] stanza kelabu
STANZA KELABU 21. Tak Pernah Kuhitung tak lagi kuhitung berapa kali musim menggugurkan dedaunan di kota ini dan kakiku lalu lalang di atas daun berhamburan yang sering kurasakan getirnya di hati bahwa diri dan hakku yang pengembara masih saja bolak-balik diinjak September 2005 22. Bagai Mata Ikan Parang Putih Menyilang lama kulihat kau terdiam menahan himpitan kendati perempuan, kau menumpahkan airmata amat enggan parang putih mengkilat bagai mata ikan menyilang mengancam hidup menagih pilihan kendati hati sendiri mesti ditikam September 2005 23. Sejarah Dan Korbannya tak ada khianat ketika mesti memilih. tak ada! tak ada! kecuali tragedi kembali pongah menabur jaring jalanya dan kita bagai kijang menggelapar di dalamnya sejarah masih saja terulang olehnya kali ini kita lagi-lagi tertikam September 2005. 24. Kureguk Anggur Ini Seperti Menghirup Kenangan malam ini satu botol anggur beaujolais village kubuka dan kuminum sendiri, dingin di luar kuhapal sekali suara langkahnya tahunan kukenal gelas demi gelas kureguk bersama kenangan padamu September 2005. 25. Yang Tak Pupus barangkali dan tentu saja potret berdua dahulu sudah tiada dari kamera sudah dihapus lama memandang lurus ke matamu kutahu dan kita sama-sama pasti ada yang tak pupus dari hati sampai mati September 2005. 26. Sebuah Syal merasakan angin laut dingin malam pada leher kau lilit syal sejenak kau ditegunkan gelora rasa yang gaib September 2005. --- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> 1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery. http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [8] KOMUNITAS DAN GERAKAN KEBUDAYAAN
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [8]. KOMUNITAS KEBUDAYAAN DAN GERAKAN KEBUDAYAAN. Adanya komunitas-komunitas sastra-seni di berbagai pulau dan daerah tanahair merupakan gejala yang muncul pada era kekuasaan Orde Baru Soharto dan paska Orba. Komunitas sebagai organisasi sastra-seni, barangkali merupakan kreasi unik para seniman angkatan sekarang, seniman yang tumbuh dan dewasa di bawah sistem otoriter dan militeristik. Bentuk komunitas merupakan jawaban dan jalan keluar mereka dari penindasan, guna mempertahankan serta mengembangkan kesenian. Kebebasan dan independensi agaknya, kalau pengamatanku benar, merupakan salah ciri komunitas dan para warganya. Terkadang kebebasan ini diujudkan secara ekstrim dengan meniadakan sistem penanggungjawab utama. Masing-masing anggota komunitas mengajukan usul kegiatan dan usul itu kemudian dirundingkan. Apabila sepakat maka ia dilaksanakan bersama-sama.Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Komunitas para pelukis muda Taring Padi yang bermarkas di dekat ISI daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta atau Komunitas Ladang di Samarinda yang mempunyai tempat berkumpul agak di luar kota. Bagiku yang terbiasa dengan berorganisasi dengan sistem klasik, yaitu di bawah satu pimpinan kepengurusan, model Komunitas Taring Padi dan Komunitas Ladang merupakan hal baru dan memerlukan waktu untuk mencernakannya, untuk memahami dan meyakininya. Organisasi walau pun bernama komunitas, tanpa pengurus organisasi! Sungguh hal baru dan pengalaman baru, lebih-lebih jika ingin membayangkan lahirnya gerakan kebudayaan. Mungkinkah gerakan kebudayaan diciptakan tanpa organisasi yang berkepengurusan? Jumlah 40-50 orang sebagai anggota, pasti sudah merupakan angka yang sangat besar, apalagi dibandingkan dengan jumlah mereka yang terhimpun di dalam Jaring Penulis Kaltim yang hanya segelintir tak lebih dari jumlah jari kedua tangan. Katakanlah anggota suatu komunitas itu 50 atau seratus orang, tapi apakah jumlah ini sudah bisa dikatakan suatu gerakan? Ia bisa menjadi janin, embrio, dari suatu gerakan, tapi masih jauh dari lahirnya suatu gerakan. Gerakan kebudayaan muncul ke permukaan apabila kita menyangkutkan masalah kebudayaan dengan masalah nasion dan negeri, dan gerakan kebudayaan tidak akan ada jika berkesenian untuk mengejar nama serta popularitas individual. Berangkat dari titiktolak terakhir ini, masalah nasion dan negeri akan asing dari pemikiran dan sentuhan. Orang-orang sibuk serta asyik dengan keeksentrikan diri pribadi yang kadang-kadang nampak kontroversial. Kontroversial bukan dalam arti pemikiran tapi lebih dari segi perilaku prbadi atas nama yang disebut keeksentrikan seniman misalnya dengan kekumalan dan kehidupan tidak teratur serta "awut-awutan", bergalau dengan minuman keras atau hasis. Bukan dari segi konsepsional bahwa sastra-seni adalah sebuah republik berdaulat. Aku melihat bahwa pendekatan kebudayaan dan gerakan kebudayaan untuk menyelamatkan nasion dan negeri, mencari jalan keluar dari krisis multi dimensional sekarang sangat diperlukan. Kebudayaan dan gerakan kebudayaan adalah kegiatan yang menyentuh hal terdalam yaitu hati, rasa dan pemikiran manusia, anak negeri dan bangsa. Manusia adalah penanggungjawab hidup, nasion dan negeri. Dalam soal ini orientasi manusiawi menjadi mendesak karena sektarisme dan elitisme tidak akan tanggap dan aspiratif. Betapa pun besarnya jumlah suatu komunitas tapi berorientasi pada pikiran tunggal alias sektaris, cepat atau lambat akan menabur benih pertikaian dan kekerasan. Gerakan sektaris tidak lain dari sebuah pohon besar tapi keropos. Lapuk dari dalam! Tidak punya harapan. Sehingga sungguh sulit kupahami jika ada pakar atau kritikus sastra-seni yang menolak perlunya wawasan bagi sastrawan-seniman. Agaknya penolakan atau penentangan terhadap perlunya wawasan begini dicampuradukkan dengan masalah keragaman bentuk atau cara berekspresi seniman. Apabila kita bicara tentang kemajemukan kiranya tak terelakkan kita memikirkan warna lokal baik dalam ide mau pun dalam bentuk. Sangatlah sulit dipahami jika kelokalan diidentikkan dengan paternalisme dan feodalisme. Aku khawatir alur pikiran begini, dengan jubah universalisme, kebebasan mencipta justru berdiri hadap-hadapan dengan dalil yang nampaknya sedang dibela. Jika ia diucapkan di daerah di mana terjadi penduduk lokal tersingkir dan terpingir, maka boleh jadi bisa dikembangkan sebagai dasar teori pembenaran penyingkiran dan peminggiran lebih lanjut. Apa yang kuajukan ini tidaklah sama dengan bahwa aku sedang mendorong ethnosentrisme, tapi lebih sejajar dengan pendapat "sastra-seni kepulauan", konsep "bhinneka tunggal ika", konsep Indonesia dan republik. Kalau dilihat adanya penolakan maka ia ada pada penolakanku pada konsep globalisasi kapitalistik yang menghancurkan keragaman dan menjadikan segala-galanya sebagai barang dagangan mulai dari sastra-seni sampai pada manusia. Dengan perspektif inilah, aku melihat ar
[ppiindia] stanza kelabu
STANZA KELABU 12. SEBUNGKUS ROTI DARI SEORANG PEREMPUAN memahami dukaku menggelora kenal makan pagiku lama di eropa perempuan itu meletakkan sebungkus roti di meja o, manis pemahamanmu memberiku sudah tenaga dan berkas cahaya September 2005 13. Di luka Kembaraku Panjang dari samarinda ke balikpapan liku jalan mengantarku ke bandara pulang broeri berlagu menoreh luka di dada enggang di mana tersimpan kembaraku panjang September 2005 14. Duka Mahakam malam menjala mahakam lampu tebingapal mengerdipku menyusur sungai dari melak ke samarinda kisah mahakam berbisik ke telinga September 2005. 15. Dari Puncak Paris "menyerah untuk menang" seorang perempuan mengucapkan kalimat itu kepadaku kupahami sekarang dari puncak paris bahwa aku patut bertarung tanpa tangis September 2005. 16. Di Lirik Lagu-lagu Jamal dan Henny mengucap kasih selamat jalan manisnya ketulusan jamal dan henny menyanyikan "teluk bayur" bergitarkan jiwa di saban kata dan nada kudapatkan lika-liku diri jalan panjang tak punya sampai di mana mimpi patut kujaga September 2005. 17. Tas Celia hijau daun warna tas di punggungmu, anakku hijau ranum musim bunga warna kasih kepadamu kelak kau besar jika hutan gunung masih ada bacalah padanya kau tahu kasih ayah tak tergantang, hijau dan hijau.. September 2005. 18. Seperti Teluk Seperti Mahakam tak ada yang kuminta ketika mencintaimu angka-angka pun tak pernah ada ketulusan seperti teluk seperti mahakam merentangkan airnya agar kapal mencari dermaga September 2005. 19. Jembatan Rambut Terbelah Tujuh masih kucatat pesan manis puitis dikirimkan kepadaku bahwa nama masing-masing membuat darah kita sama merah mengeraskan tulang menarung coba meniti jembatan rambut tujuh terbelah kalah kita tolak kerna tak lain dari ampas mimpi September 2005. 20. Perempuan Itu Perkasa sejak katingan sampai ke seine melintasi yang tse dari donau melintasi missisipi hingga ke rhin sampai aku ke mahakam kukenal kemudian perempuan itu perkasa dan aku hanyalah kepongahan yang peka tapi mencintaimu September 2005. --- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital. http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [7] MELIHAT WAKTU DAN SEKITAR DARI CAFE BANDAR
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [7]. MELIHAT WAKTU DAN SEKITAR DARI CAFE BANDAR Hari itu, di antara bayangan gedung-gedung yang berdiri di pantai Teluk Balikpapan, aku mengayunkan langkah santai sambil mengamat sekeliling menuju Café Bandar. Sejak dari Paris, aku memang sangat ingin ke mari. Apalagi Koperasi Restoran Indonesia, yang turut kubangun di pusat ibukota Perancis, sangat sering menerima pegawai-pegawai Total, perusahaan minyak Perancis yang beroperasi di Kalimantan Timur, dari Balikpapan . Kubayangkan, Café Bandar adalah sebuah café artistik penuh daya pukau, bayangan yang terbentuk oleh café-café pantai di Perancis dan Eropa umumnya. Apalagi ia terletak di pinggir teluk, dan teluk bagian dari laut. Laut yang bagiku adalah lambang hidup itu sendiri. Garang dan menantang. Sedangkan tantangan itu romantis dan penuh romantika. Tadinya aku ingin sendiri datang ke mari. Lebih bebas dan tidak merepotkan orang lain. Aku memang tidak suka merepotkan orang, apalagi menyita waktu mereka. Waktu, dalam benakku seelalu merupakan sesuatu yang bisa ditakar dengan uang sama halnya dengan perhatian. Sikap terhadap waktu bagiku kujadikan salah satu petunjuk dalam mengukur tingkat perkembangan suatu bangsa dan negeri. Etos kerja dan bagaimana seseorang memaknai hidup, juga bisa dilihat dari sikap terhadap waktu. Dengan demikian jika seseorang sukarela meluangkan waktunya untuk orang lain, maka adanya perhatian begini sangat layak diberi penghargaaan tinggi dan orang tersebut sebenarnya telah memberikan tempat khusus kepada yang diberikannya waktu. Gerak-gerik, cara jalan timat-timit barangkali ada kaitannya dengan sikap terhadap waktu dan konsep hidup. Dengan dasar pikiran ini maka aku tidak suka orang lain memberikan waktunya untukku dan aku suka sendiri, karenanya aku sangat menghargai tinggi pemberian waktu yang diberikan orang lain kepadaku. Inti persoalanku di sini adalah bagaimana kita memperlakukan waktu? Apa arti memperlakukan waktu sementara hidup kita sangat singkat? Secara singkat, katakanlah bahwa aku sedang berbicara tentang waktu sebagai suatu filsafat atau ujud dari suatu filsafat. Kalau di berbagai benua, aku bisa mencapai alamat yang kuinginkan tanpa kesulitan, mengapa mencari Café Bandar di sebuah kota sebesar Balikpapan saja, alamat itu tidak bisa kutemui?Demikian pikirku dan tekadku. "Inilah Café Bandar itu," ujar teman yang mengantarku. Terasa ia menahan diri untuk memberi keterangan lebih jauh sehingga kalimatnya terasa menggantung. Barangkali ia membiarkan aku melanjutkan sendiri kalimatnya. Kesibukan membawa temanku itu segera berlalu sehingga tidak bisa menerima ajakku untuk minum bersama walaupun cuma secangkir kopi atau segelas coca atau pun bir. Tak lupa aku mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatinya yang telah memberikan waktu untukku. Aku mengambil tempat duduk, memesan kopi tubruk panas. Melayangkan pandang ke langit teluk dan gelombang laut yang sedang tohor sehingga memperlihatkan pantai becek, barangkali sama beceknya dengan hidupku sehingga oleh sementara orang dipandang menjijikkan. Tapi coba tanya diri masing-masing agar bisa sedikit berlaku adil dalam menilai orang dan tidak begitu gampang menjijikkan hidup orang lain. Hidup mana dan hidup siapa gerangan yang mulus selalu bagai pasir kencana? Hidup mana dan hidup siapa yang tidak mengenal kebecekan? Kebecekan adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan. Masalahnya bagaimana kita keluar dari kebecekan dan membuatnya sebagai sangu menatah hidup. Tapi tentu saja bagi kepongahan, sikap ini barangkali sangat asing. Di pantai becek di bawah tiang-tiang Café Bandar, aku pun melihat kehidupanku yang kadang pasang dan kadang tohor. Juga kehidupan siapa pun. Tak terkecuali kehidupanmu, Dik. Pasang dan surut, keduanya membawa hikmah dan menanya. Menanyai, karena pasang dan surat sekaligus membawa corak petaka yang menagih tanggapan. Pasang surut adalah bagian dari waktu, sementara ajal berkeliaran bebas di dalam ruang dan waktu pandak kita. Memandang ombak dan cakrawala, keduanya membangkitkan hasrat padaku untuk memberi wangi pada ruang dan waktu pandakku dengan cinta yang tangguh. Pandang kualih dari laut dan cakrawala yang di mana pun selalu mengasikkan dan mengundang rindu karena seperti hutan, gunung dan sungai, laut pun dahulu pernah turut mengasuh masa bocahku. Laut selain seperti hidup, kian hari kian kurasakan seperti cinta. Adakah cinta yang tenang tanpa gelombang dan prahara? Tapi tidakkah kadar cinta itu ditanyai oleh gelombang dan prahara? Merenungi laut, aku sampai pada hipotesa bahwa cinta itu memang soal perasaan tapi kemudian usia membawaku untuk mengatakan bahwa dalam cinta, perasaan itu patut ditingkatkan kadarnya dengan makna. Makna inilah kemudian yang membuat cinta sanggup tangguh menanggap gelombang prahara. Dengan pemahaman inilah maka aku mengertikan ungkapan Tiongkok klasik bahwa: "with the one you love, even to
[nasional_list] [ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [6] "NUSA DUA" DAN "CAFE BANDAR" SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN BALIKPAPAN.
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [6]. "NUSA DUA" DAN "CAFE BANDAR" SEBAGAI PUSAT KEGIATAN SASTRA-SENI BALIKPAPAN Kehangatan sambutan Pak Warno sekeluarga sejak detik pertama aku menginjakkan kaki, membuatku sejak itu merasa bagian dari keluarga ini dan Nusa Dua kurasakan seperti rumah keluarga. Di sini aku merasa bebas melalukan waktu melayangkan imajinasi terbang di antara camar-camar teluk di angkasa tak bertepi. Untuk ini ingin kusampaikan rasa terimakasih yang dalam tak berhingga kepada penyair dan penulis cerpen Kaltim, Shantined, kelahiran Yogyakarta dan sekarang berdiam di Balikpapan, yang telah membawa dan memperkenalkan aku pada keluarga ini dan Nusa Dua. Shantined adalah nama tokoh, Pak Besut, cerpenis Yogyakarta yang pada suatu periode jadi kesukaan para pendengar R.R.I, Yogya dan senantiasa ditunggu siaran malamnya. Kesukaan akan "Obrolan" Pak Besut, jika kukenang dan kurenungkan sekarang, ia memperlihatkan kembali arti sastra bagi kehidupan, dan hubungan sastra dengan kehidupan. Masyarakat memerlukan sastra dengan pesan-pesan yang disampaikan secara sastra. Kasus Pak Besut selain memperlihatkan peran dan hubungan sastra dalam kehidupan, ia pun memperlihatkan pengaruhnya dalam masyarakat. Masihkah tradisi ini, masihkah fungsi dan hubungan ini, dimainkan oleh sastra kita hari ini? Mengapa ada keluhan tentang "sastra yang terpencil"? Mengapa ada kritik tentang "puisi gelap" dan kesibukan apa erotisme? Penggunaan nama Shantined oleh Shanti kukira memperlihatkan pengaruh sastra dalam kehidupan di ruang dan waktu juga adanya. Di samping berterimakasih besar pada Shanti, aku pun sangat berterimakasih pada Mas Bimo yang kehangatannya pun tak terlupakan sampai-sampai mengundur kepulangannya ke Jakarta agar bisa menemuiku.Komitmen, rasa persaudaraan, keindonesiaan dan semangat republiken sangat kurasakan pada Mas Bimo, yang diangkat sebagai anak oleh seorang ibu Dayak di hulu Mahakam. Kasus Mas Bimo memberiku bukti tambahan bahwa "etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan" seperti yang dikatakan juga oleh filosof Perancis, Paul Ricoeur, bahwa "kebudayaan itu majemuk tapi kemanusiaan itu tunggal". Perlakuan dan sambutan Nusa Dua kepadaku menambah deretan bukti ini. Hubunganku dengan keluarga Nusa Dua berkembang dari "dudu sanak dudu kadang" menjadi "ya sanak yo kadang", perkembangan dari tingkat kuantitas mencapai taraf kualitas. Pada saat ini juga, terngiang kembali di telingaku kata-kata Bung Jamal, sang penyanyi syahdu romantik tapi sanggup mengambil keputusan yang tanggap, menjelang keberangkatanku dari Balikpapan: "Kita jadikan Nusa Dua semacam salah satu pusat kegiatan sastra-seni". Ide Bung Jamal ini mengingatkan aku akan arti penting sebuah tempat yang bisa menjadi pusat kebudayaan hari-hari, pusat yang memungkinkan kita senantiasa dekat dengan publik. Salah satu tempat demikian adalah restoran. Dengan ide inilah maka di kilometer nol Paris kami bangun Koperasi Restoran Indonesia sejak hampir 25 tahun lalu dan berkembang hingga sekarang. Koperasi Restoran Indonesia Paris, sekaligus berfungsi sebagai pusat kebudayaan dan oleh KBRI disebut sebagai "duta bangsa". Fungsi begini pun juga diperlihatkan oleh café dan restoran yang tersebar di jalan-jalan kota. Café dan restoran di ibukota Perancis ini sekaligus menjadi arena pertunjukan dan pementasan rupa-rupa bentuk kesenian. Dengan fungsi demikian , kita kenal yang disebut café theatre atau café filsafat. Eksistensialisme justru diawali dari diskusi-diskusi di café. Sartre, Simone de Beauvoir, Hemingway dan The Lost Generation-nya sering nongkrong di café sambil menulis. Peluncuran-peluncuran buku umumnya dilakukan di café-café. Dengan fungsi ganda begini, maka café-café dan rstoran sekaligus memberi sumber finansil bagi para seniman sekali menjawab keluhan tentang ketiadaan ruang pentas. Keluhan yang kurang masuk nalar di hadapan tersedianya ruang di mana-mana. Paris memperlihat padaku bahwa jalan, lapangan dan sudut-sudut terbuka dijadikan oleh para seniman sebagai arena berkarya dan pentas dari berbagai skala. Pentas terbuka begini justru menyeramaki kota dan memberi hiburan bagi penduduk. Di Montmartre, kampung di puncak gunung yang memang kampung seniman, di mana aku tinggal sejak bertahun-tahun, saban akhir pekan, jalan, lapangan selalu dihidupi oleh rupa-rupa kegiatan kesenian.Place du Tertre atau lapangan di depan gereja putih raksasa di puncak bukit dari mana kita bisa melihat seluruh Paris,boleh dikatakan menjadi ruang pertunjukkan dan kegiatan seni lukis permanen. Tanpa menghiraukan kelelahan aktivitas berhari-hari, Shanti dan teman-teman menyempatkan diri mengantarku dari Nusa Dua ke Café Bandar yang terletak tidak berjauhan. Beda denga
[nasional_list] [ppiindia] soliko
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** SOLIKO putih wajahmu, soliko wajahmu putih putih warna salju russia di lagu-lagumu di lapangan montmartre menggetarkan langit dan kampung sadarkan aku akan ulangtahun mengurai rentang kisah enggang disumpit damak cobaan stop! jangan menangis bocah lanang! sendu lagumu dan dukaku duka perempuan russia terbuang mengandeng hatiku anak tercampak kenang tinggal lembaran-lembaran koyak -- kasih, kau yang kukasih selamanya kukasih o, perempuan yang jadi bayang dan selalu membayang di teluk aku jadi pinisi karam buih hilang di buritan di gelombang pun tak tertinggal tanda pada pantai satu kata tak tertera kecuali hamparan merah kalbu yang luka soliko dan kematian soliko dan cinta soliko dan kesetiaan prajurit datang kembali mencari makammu tunaikan janji pernah diucap soliko,kataku jadi epitaf martabat kubela tapi pertarungan belum juga usai-usai mengusik usia di sini, di montmartre di lembah seine aku bermukim soliko dan cinta soliko dan kesetiaan kutahu tak kenal silam jangankan selamat jalan Paris, September 2005. - JJ.Kusni [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> 1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery. http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.org ** ** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
[nasional_list] [ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [5]."SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL"
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [5]. "SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL" 2. Apa yang dimaksudkan dengan ,"Sastra Kaltim? Aku sangat diprovokasi untuk mencari keterangan dan penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan "Sastra Kaltim" yang dijadikan tema sentral diskusi Samarinda JPK ini [25 September 2005] dan mungkin memang sengaja dibuat provokatif sebagai iklan untuk menarik perhatian dan minat pembaca untuk turut hadir di seminar yang dipungut bayaran "tiket Rp..15.000,00 [Umum], Rp..10.000,00 [pelajar/mahasiswa]." seperti yang disyiratkan oleh Mas Amin dalam pengumumannya: "Berminat"kah? Dari segi geografis, Kaltim adalah salah satu propinsi di Indonesia. Jika dihubungkan dengan kata "sastra", maka "sastra Kaltim" berarti sastra yang ada di daerah geografis itu. Bisa berarti demikian. Jika demikian, pertanyaan selanjutnya menjadi apakah benar JPK menangani dan menaruh perhatian pada seluruh kehidupan sastra di daerah geografis yang diklaimnya? Pertanyaan ini bisa dilihat dengan jelas dari apa yang dilakukannya selama ini sejak lahir sebagai kaca melihat diri. "Sastra Kaltim" dari segi geografis sesungguhnya juga merupakan suatu program baik pendek, menengah atau pun jangka panjang. Program yang berangkat dari wawasan bahwa "Sastra Kaltim" mencakup segala kehidupan sastra di wilayah Kaltim. Tapi apa yang terjadi? Dari kucerpen "Bingkisan Petir",sebuah cerpen dalam bahasa Indonesia, yang dicoba dijajakan di mana-mana, kita lihat bahwa ia didominasi oleh cerpen berbahasa Indonesia ditulis oleh mayoritas penulis asal dari luar Kaltim yang tinggal di Kaltim dan kurang berbicara tentang masalah Kaltim. Beberapa cerita pendek di dalam kucerpen ini malah bercerita tentang kehidupan di Jawa dan mengambil setting di Jawa. Nama Kaltim hanya dipinjam untuk promosi eksotisme dan turisme atau tangga mengangkat diri. Padahal bagi orang lokal sebenarnya apa yang dituturkan itu lebih eksotis lagi, dalam pengertian asing.Sama asingn ya dengan sebagian penulis di kucerpen itu dengan kehidupan dan permasalahan lokal, misalnya tercermin dari sikap terhadap orang Dayak yang dipandang dengan ketidakpengertian dan dijadikan obyek eksotisme turistik oleh salah satu cerita dalam kucerpen yang dijajakan dalam "Bingkisan Petir". "Bingkai Petir" -- sesungguhnya tidak terlalu istimewa, dan bukan suatu masterpeace lokal. Jika demikian, bagaimana kita bisa berbicara tentang muatan lokal melalui sastra di bidang pendidikan? Bandingkan dengan kegiatan Institut Dayakologi di Pontianak, Lembaga Studi Dayak21, di Palangka Raya. Mereka menjawab masalah ini secara kongkret dan bisa menyodorkan usul nyata. Aku mempertanyakan orang yang berbicara tentang masalah "Studi Kebudayaan dan Perubahan Sosial" tapi menyepelekan budaya lokal.Perobahan apa dan ke mana yang ia atau mereka inginkan? Perobahan erat hubungannya dengan wawasan. Bagaimana mungkin perobahan dilakukan tanpa wawasan? Sedang sementara itu ada orang yang bicara tentang studi kebudayaan dan perobahan sosial memandang bahwa wawasan sebagai batasan, belenggu dan penjara. Mau ke mana perobahan di bawa? Istilah "Sastra Kaltim" yang dijadikan tema sentral seminar sehari JPK juga terasa padaku mengandung pengertian dan menunjukkan bahwa di Kaltim telah muncul suatu kuantitas dan kualitas sastra -- sekali pun terbatas pada sastra berbahasa Indonesia -- mencapai tingkat tertentu melebihi daerah-daerah lain sehingga patut dibicarakan. Aku sangat meragukan hal ini baik dari statistik kualitas maupun kuantitas.Barangkali yang latah mengatakan hal begini karena keterbatasan informasi belaka sehingga nekad. Hitung, berapa judul buku sastra yang diterbitkan di Kaltim oleh JPK? Barangkali akan lebih baik seandainya "Sastra Kaltim" itu diganti dengan "sastra lokal" dalam konteks sastra-seni kepulauan. Dengan penamaan "Sastra Kaltim" terkesan bahwa Kaltim sudah mempunyai ciri, kualitas dan kuantitas tersendiri. Otoproklamasi yang terlalu percaya diri dan berkelebihan tapi sari semangatnya perlu dikembangkan dan didorong agar sastra-seni kepulauan itu berkembang, di mana hanya satu titik dari sebuah peta. . Barangkali teman-teman JPK mempunyai keterangan dan wawasan lain tentang yang disebut "Sastra Kaltim" dan apa yang disebut "sastra nasional". Dengan semangat dan keinginan mendorong ini pulalah maka aku banyak bicara tentang dan menyokong kegiatan JPK dengan harapan kata "Kaltim" benar-benar dikhayati dan bukan dijadikan dagangan turistik dan eksotik atau tangga ke suara jenjang dengan mengabaikan lingkungan. Apakah terlalu berkelebihan mengharap agar "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung", dekat dan paham lingkungan serta agar sastrawan seperti kata Ramadhan KH: "Penyair palin
[nasional_list] [ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [4]."SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL"
** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [4]. "SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL" 1. Musim rontok sudah. Jalan-jalan mulai digelimpangi oleh dedaunan yang gugur.Petang kemarin, aku memasuki sebuah café yang terletak di puncak gunung Montmartre, hanya 200 meter dari apartemenku. Dari puncak ini aku bisa memandang dengan sepuas hati lembah Seine dan kota Paris yang merentang leluasa dan manja di bawahnya -- lembah, sungai dan kota yang bermurah hati selama bertahun-tahun menyediakan diri bagai dermaga sementara bagi pinisi kembaraku. Aku menduduki sebuah meja di sebuah pojok dekat tembok menghadap ke lapangan Place du Tertre, di mana para wisatawan asyik dengan para pelukis yang bekerja di segala musim di ruang terbuka. Setengah pichet 50 sentiliter anggur merah [le vin rouge] kupesan menemani kue coklat di bawah alunan denting piano di antara patung pasangan sedang berpelukan dan lukisan ruangan. Anggur merah ini pun kureguk seteguk demi seteguk seperti menghirup selaksa kenang sekian bayang. Pada saat ini pikiranku jauh melayang ke arah timur, ke Teluk Balikpapan membawaku kembali ke Restoran Nusa Dua dan Café Bandar. Denting piano yang mengisi ruang kubayangkan bagai suara gitar dan suara lembut Bung Jamal dan kawan-kawan. Lihat, Dik! Kau bisa saksikan betapa bayangan telah meniadakan batas ruang dan waktu, merentangkan langit kemerdekaan bagi imajinasi berterbangan dan tumbuh.Saat ini, imajinasiku menjadi seekor rajawali merah melayang di angkasa menarung angin adu kuat di teluk di luar Nusa Dua dan Café Bandar. Dari kantong celana kukeluarkan cetakan kabar yang dikirimkan beberapa hari lalu oleh Mas Aminudin Rifai Wangsitalaja dari Jaring Penulis Kaltim [JPK], menggunakan fasilitas internet dilanjutkan sejenak dengan chatting di Yahoo Messenger [YM]. Dengan fasilitas tekhnologi ini jugalah aku dan teman-teman di tahahair mengorganisasi dan mengembangkan macam-macam kegiatan. Tekhnologi menjadi bagian dari usaha manusia menjadi tuan di bumi dan menjadikan bumi sebagai tempat hidup manusiawi. Di hadapan kemajuan tekhnologi juga kusaksikan ruang dan waktu makin bersimpuh. Nah, Adikku, tidakkah kehidupan sebenarnya mempunyai harapan dan manusia tak gampang dikalahkan -- walau pun sekarang di detik ini aku sedang mencoba mengalahkan kekalahan seperti yang diharapkan oleh Guntur anakku lanang yang berdarah Madura agar "enggang tak jatuh" dan "pinisi tak karam, tidak remuk di samudera berprahara". Hidup selalu berbadai garang, senantiasa menagih jawab serta menguji kadar. Lagi-lagi aku teringat akan sebuah suara lirih mengharap dalam bentuk tanya: "Kau gagah dan tetap bisa gagah, bukan?". Menjadi gagah sampai akhir bukanlah masalah sederhana. Lebih tidak sederhana lagi adalah untuk gagah bangkit dari kejatuhan, gagah di hadapan kekalahan. Tapi gagah itu terutama ada dan ditanya justru di tengah prahara duka dan derita, walau pun kejatuhan dan kekalahan bisa terjadi oleh lena kemewahan dan kegirangan. Lena membuat lupa. Ingat jadi terlempar seperti yang kita saksikan sekarang di kehidupan bangsa dan negeri kita. Lembaran pesan Mas Amin kembali kubaca kalimat demi kalimat: "Seminar Sastra:"SASTRA KALTIM DALAM KONSTELASI SASTRA NASIONAL" dan PELUNCURAN BUKU "BINGKISAN PETIR" [Cerpen-cerpen Kaltim]. Menampilkan pembicara: * DR. Faruk [kritikus sastra, kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM, Yogyakarta]; * Korrie Layun Rampan [Sastrawan Kaltim]; * Syafril Teha Noor [Pemred Harian KALTIM POST, Samarinda]; * Drs. Nanang Rijono, M.PD. [Dosen Univ. Mulawarman]. Dimeriahkan dengan pembacaan cerpen. Minggu, 25 September 2005 09.30 WITA-Selesai Ruang KERSIK LUWEY Gedung Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim, Lantai 4, Jln.Basuki Rahmat 5, Samarinda. Tiket Rp..15.000,00 [Umum], Rp..10.000,00 [Pelajar/Mahasiswa]. Berminat? Hubungi Jaring Penulis Kaltim (08164282866)". *** JPK sejak berdirinya, setelah kembali kampungnya Korrie, memang nampak memperlihatkan intensitas kegiatan yang barangkali menarik diikuti oleh daerah-daerah Kalimantan lainnya -- terutama dari segi penyiaran kegiatan. Dengan mengatakan hal ini, aku maksudkan bahwa kegiatan-kegiatan kebudayaan di daerah Kalimantan lainnya memang ada, hanya saja kegiatan-kegiatan di Kalsel, Kalteng, dan Kalbar barangkali kurang pemberitaan di skala lebih luas dari skala lokal sehingga tidak menjadi pengetahuan umum dan sering dianggap "sepi kegiatan" sehingga pertemuan penting seperti Pertemuan Penulis Se-Borneo/Kalimantan terakhir di Sandakan luput memantau dan mencatat mereka yang menjadi basis riil kegiatan sastra-seni di daerah-daerah tersebut. Sebagai contoh bisa kuambil Pekan Sastra-Seni dan Bahasa yang pernah diselenggarakan oleh Ikatan Sastrawan Indone
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua & café bandar [3]: anug erah sastra borneo-kalimantan
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [3]. ANUGERAH SASTRA BORNEO-KALIMANTAN Masalah pokok yang diajukan oleh Ailin Nor melalui tulisan di atas adalah bagaimana diadakannya suatu award untuk karya-karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan Borneo-Kalimantan dan Brunei.Menurut Ailin Nor , ide Award ini mula pertama dilontarkan oleh Jasni Matlani. Ailin melalui artikelnya di atas dengan demikian lebih banyak menggarisbawahi usulan Jasni yang telah dikemukakannya dalam berbagai artikel. Alasan Ailin menggarisbawahi usulan Jasni dikatakannya bahwa: "Memang perlu Anugerah Sastera Borneo (ASB) diwujudkan dengan tujuan memberi pengiktirafan kepada golongan sasterawan di Borneo. Sama ada anugerah itu setaraf dengan anugerah S.E.A Write Award ataupun sebaliknya, setidak-tidaknya ASB berupaya memberi dorongan atau pengiktirafan kepada golongan sasterawan dari Sabah serta Labuan, Brunei, Sarawak dan juga Kalimantan. Hakikatnya ASB merupakan satu anugerah yang amat penting untuk dibanggakan". Kecuali itu, menurut penglihatan Ailin, layaknya Award tersebut disediakan karena secara kuantitas dan kualitas, penulis-penulis di pulau raya Kalimantan/Borneo ini menelurkan karya-karya.Kualitas dan kwantitas patut diberi penghargaan dan didorong. Ketika berbicara soal Award ini, Ailin juga mengusulkan agar dari Kalimantan [Indonesia] diikutsertakan dalam sekretariat bersama penilaian di mana ditetapkan patokan pemberian Award. Di samping itu hal penting lain yang diingatkan oleh Ailini adalah masalah karya sastra sebagai suatu komoditi. Ailin melihat bahwa kita tidak perlu cemas akan pemasaran komiditi karya sastra ini, karena seluruh pulau merupakan pasar yang menjanjikan. Soal ketiga yang diingatkan oleh Ailin bagaimana dalam pemberian Award sastra ini, bagaimana ia tidak didominasi oleh angkatan tua yang diistilahkannya sebagai "veteran" sastra. Ailin mengharap agar angkatan muda pun patut mendapat tempat dan perhatian. Ailin mengusulkan agar: "apa yang harus diutamakan ialah penerima ASB nanti adalah seorang penulis yang menghasilkan karya terbaik dalam wilayah Borneo" dan Kalimantan. Standar tidak ditempatkan pada veteranisme tetapi pada "mutu" karya. Lebih tandas Ailin berkata: "Tentunya kita mengharapkan penulis veteran yang dicalonkan adalah penulis yang berupaya menghasilkan karya kreatif yang bermutu, jadi sebutan dan seterusnya diangkat sebagai karya terbaik. Kita tidak mahu penulis veteran itu hanya dinilai dari segi penglibatannya dalam dunia sastera dan mengetepikan pula keupayaan menghasilkan karya". "Pada saya syarat harus diutamakan ialah penghasilan karya yang benar-benar bermutu dan karya yang berupaya untuk menghangatkan sastera di Borneo. Karya yang mendapat tempat di Borneo, sehingga mendorong ianya diperbicarakan. Kita tidak mahu karya itu hanya hangat diperbicarakan di tempat sendiri atau usaha pihak tertentu untuk menjadikan karya itu diperbicarakan. Kita tidak mahu adanya paksaan seumpama itu dan syarat inilah pula harus diberikan keutamaan dan bersikap terbuka". Ketika Ailin mengatakan bahwa "kita tidak mahu karya itu hanya hangat diperbicarakan di tempat sendiri atau usaha usaha pihak tertentu untuk menjadikan karya itu diperbicarakan", aku melihat bahwa standar yang diusulkan oleh Ailin adalah patokan sastra internasional, patokan setinggi mungkin. Aku kira tuntutan begini sudah pada tempatnya jika kita memang benar ingin mendorong pengembangan sastra-seni pulau raya Borneo-Kalimantan. Jika kita menetapkan standar rendah maka hasil yang kita capai pun akan rendah pula. Mutu dan bukan veteranisme serta kongkalingkong atau kasak-kusuk atau "usaha pihak tertentu untuk menjadikan karua itu diperbicarakan", diharapkan menjadi patokan dalam pemberian Award sastra di pulau bersama ini. Dalam hal ini, kembali aku melihat arti penting strategis dari pertemuan periodik para penulis se Borneo-Kalimantan, baik dalam menetapkan standar maupun dalam menyusun panitya atau sekretariat penilai. Di sinilah lagi-lagi aku melihat perlunya pertemuan periodik mengikutsertakan semua potensi sastra yang ada dalam masyarakat di pulau dan keluar dari lingkup kecil para mereka yang kebetulan menangani secara formal masalah kebudayaan sehingga pertemuan penulis se Borneo-Kalimantan sungguh-sungguh representatif dan mampu membicarakan soal kebudayaan, khususnya sastra di kawasan ini. Dengan cara ini, maka pertemuan bisa luput dari jeratan elitisme dan lepas dari soal-soal nyata. Masalah pasar untuk karya-karya sastra sebagai suatu komiditi, aku kira memang layak dipertimbangkan karena dengan terjualnya karya-karya itu maka secara finansil, para penulis akan terbantu. Masalah ekonomi para sastrawan sudah pada tempatnya dipermasalahkan dan dipecahkan. Terpecahkannya masalah ekonomi penulis akan membantu pengembangan produksi karya-karya. Dengan menggunakan komunitas-komunitas sastra-seni yang tersebar di pulau raya kita ini saja, aku ki
[ppiindia] catatan dari meja nusa dua & café bandar [2]: sosok nusa dua
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [2]. SOSOK NUSA DUA Angin teluk dan terik katulistiwa Balikpapan tertahan di kaca jendela, jatuh di luar, di pantai yang sedang surut. Kusaksikan keduanya dalam diam dengan lirikan dari ruang Nusa Dua di mana suara Jamal dan teman-teman mengalun merdu menyanyikan lagu "Teluk Bayur" dan "My Way" [Comme d'Habitude] yang kuminta. Kuminta atau tidak, dua lagu ini memang sering dinyanyikan oleh teman-temanku saban aku tiba di berbagai tempat dan pulau, bahkan di saat-saat aku dalam pelayaran kapal. Dan aku tidak pernah berhasil sampai selesai ikut mereka menyanyikan kedua lagu tersebut karena emosi ketika sampai di tengah-tengah lagu jadi pasang meluap lalu membungkamkan mulutku. Di Balikpapan aku datang dan berangkat secara kebetulan atau tidak, sadar atau tidak, ternyata menjadi kenyataan menyambut dan mengantarku. Pada dua lagu tersebut ditambah dengan "River of No Return" memang kudapatkan kisah perjalanan diri yang tak punya usai. Dahulu, teman-teman dari Institut Dayakologi, Pontianak, sangat paham dan senantiasa menyanyikannya saban kami bertemu.Agaknya Jamal yang berwajah lembut selalu dihiasi senyum dan memimpin musik menyambutku di Nusa Dua cepat menangkap hal ini dan pemahaman ini ia nyatakan dalam pesan sms menjelang aku meninggalkan Kaltim: "Kehangatan dan kemesraan dengan sederhana, apa adanya akan abadi dan mengandung selaksa makna". SMS "selamat jalan dan jumpa kembali" memang banyak kuterima menjelang hari kepergianku. Pesan-pesan yang kupahami sebagai rasa persahabatan "mengandung selaksa makna" sekaligus harapan tulus agar aku "selalu gagah" dalam perjalanan tak punya usai ini. "Kau bisa selalu gagah, bukan?", demikian suara halus tulus disampaikan secara sederhana kepadaku di bandara kembali mengiang. Pertanyaan ini sama sekali tidak bisa kujawab sebagaimana dahulu pada saat kanak, aku tidak bisa menjawab tantangan ayah dan para paman: "Jangan kembali kampung jika tak bisa mengganti cawat dengan dasi". Ketika duduk di kursi pesawat yang membawaku ke arah barat, aku buka kembali semua sms-sms itu. Merenungkannya dalam kesendirian dan kediaman.Dalam renungan ini aku melihat betapa hidup sangat warna-warni bagai sebuah lukisan mengandung segala warna. Warna hitam hanyalah salah satu warna saja. Pada saat ini aku teringat akan apa yang pernah dituliskan oleh seorang penyair Tiongkok abad ke-20, yang menganjurkan supaya kita selalu "mencari secercah cahaya di kepekatan sekalipun ujung jari tangan tak nampak. "Cahaya"! Tidakkah "cahaya" yang dimaksudkan penyair ini adalah identik dengan harapan. Dan penyair menganjurkan agar kita tidak pernah hilang harapan dan selalu menggenggam harapan. Tanpa harapan kita akan jadi fatalis dan sudah kalah. Bahkan sudah mati. Semangat serupa juga diungkapkan oleh sobatku almarhum , Agam Wispi, putera Aceh yang penyair: "gugur bunga dari tampuknya di musim nanti berkembang lagi" Inilah pesan dan makna utama yang kudapatkan dari Balikpapan, khususnya dari Restoran Nusa Dua dan menjadi sebuah sosok hidup lembut, indah dan gagah menyertai serta selalu mengingatkan aku yang terkadang goyah saat mengarungi perjalanan anak kembara. Sekarang aku kembali ke Paris dan esok atau lusa entah di mana, tapi sosok ini, ya sosok makna ini, selalu seperti bayang diri turut serta di tiap tapak diayun. Sosok yang kunamakan juga sebagai sosok Nusa Dua. Sosok ini jugalah yang kurasakan bersamaku membaca tulisan berikut, tulisan yang kurasakan sedang kubaca di Nusa Dua dari meja-mejanya. Aku sedang membayangkan sedang memperbincangkan soal di bawah ini dengan sosok tersebut: Isu Sastera Berpeluangkah Penulis Muda Raih ASB? Oleh: Ailin Nor KETIKA Jasni Matlani melontarkan cadangan tentang perlunya diwujudkan satu anugerah untuk golongan sasterawan di Borneo pada Dialog Borneo/Kalimantan di Sandakan, ianya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sebenarnya ia bukan sesuatu yang baru kerana Jasni sebelum ini pun telah menyuarakan cadangan itu dalam beberapa artikelnya. Memang perlu Anugerah Sastera Borneo (ASB) diwujudkan dengan tujuan memberi pengiktirafan kepada golongan sasterawan di Borneo. Sama ada anugerah itu setaraf dengan anugerah S.E.A Write Award ataupun sebaliknya, setidak-tidaknya ASB berupaya memberi dorongan atau pengiktirafan kepada golongan sasterawan dari Sabah serta Labuan, Brunei, Sarawak dan juga Kalimantan. Hakikatnya ASB merupakan satu anugerah yang amat penting untuk dibanggakan. Kita mempunyai ramai penulis yang layak untuk menerima anugerah itu. Jika ASB diperkenalkan sejak dulu, mungkin sudah ramai penulis yang telah menerima anugerah tersebut. Bukan hanya di Sabah tetapi juga di Labuan, Sarawak, Brunei dan Kalimantan sendiri memiliki golongan penulis yang layak untuk menerima anugerah tersebut. Kemampuan dan keupayaan menghasilkan karya yang bermutu, mungkin menjadi penyebab mengapa Jasni Matlani melontarkan cadangan
[ppiindia] CATATAN DARI MEJA NUSA DUA DAN CAFE BANDAR: TEMPAT YANG MENINGGALKAN TANDA DAN SUATU PERSPEKTIF [1]tempat
CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [1] TEMPAT YANG MENINGGALKAN TANDA DAN SUATU PERSPEKTKIF. Nusa Dua dan Café Bandar adalah nama dua buah tempat makan dan minum sambil bersantai-santai serta diskusi yang terletak di pinggir Teluk Balikpapan. Dari kursi-kursi tempat ini kita bisa memandang ombak bermain mencari pantai tanpa jemu sebagai lambang keuletan mengejar ingin mewujudkan mimpi dan angin bermain-main di bawah sayap camar. Sedangkan cakarawala yang jauh, seakan selalu mengingatkan kita akan perlunya kebesaran jiwa serta keluasan pandang yang sanggup memberikan tempat pada kebenaran orang lain -- gerbang tanpa palang bagi hidup bersama antar anak manusia dari etnik dan bangsa mana pun ia berasal, membisikkan bahwa betapa layaknya jika kita ketika "berdiri di kampung halaman kita memandang tanahair tapi sekaligus merangkul bumi". Laut, teluk, barangkali itulah makna yang diisyaratinya sedangkan kita adalah camar yang bermain bersama dan dicoba angin yang terkadang menjelma jadi topan. Café Bandar dan Restoran Nusa Dua terletak tidak berjauhan. Café Bandar secara usia jauh lebih tua. Terbuka. Sedangkan Nusa Dua tertutup, berjendela kaca sehingga orang-orang di dalamnya terlindung dari dingin dan derasaan angin. Nusa Dua lebih punya warna Indonesia daripada Café Bandar yang terkesan sepintas menyontek Barat sehingga lbih mendekati kitchs atau epigonis. Ketika berada di Balikpapan, kedua tempat ini kusempatkan mengunjunginya. Bahkan Nusa Dua merupakan tempat di mana aku disambut hangat luar biasa oleh teman-teman dan pemiliknya yang kemudian menjadi sahabatku. Mengenang para sahabat dan rasa persahabatan mereka dengan terimakasih yang dalam, maka kubayangkan catatan-catatan ini kutulis di meja-meja kedua tempat itu, yaitu Restoran Nusa Dua dan Café Bandar, terutama meja-meja Nusa Dua yang tak terlupakan hingga detik terakhir sebelum aku terbang melanjutkan perjalanan. Karena itu, catatan-catatan ini kunamai "Catatan Dari Meja Nusa Dua & Café Bandar". *** Pada saat berada di Balikpapan dan Samarinda, andaikan aku punya cukup waktu, sebenarnya aku ingin melanjutkan penerbangan ke Sandakan untuk mengunjungi Ira, adikku, yang tinggal di sana, juga seorang penulis, serta bertemu dengan teman-teman dari Ikatan Penulis Sabah [IPS]. Sebagai orang Kalimantan, aku sangat tertarik guna melihat dari dekat perkembangan kehidupan sastra-seni di Sabah, apalagi tak lama berselang di Sandakan telah dilangsungkan Pertemuan Para Penulis Borneo-Kalimantan yang ke-VIII. Adanya pertemuan ini seperti mengisyaratkan bahwa para penulis merasa ada kesinambungan perasaan serta tanggungjawab. Dan ini kukira suatu sikap sangat realistis sebagai orang-orang yang tinggal di satu pulau. Cepat atau lambat penduduk pulau raya ini akan menyaksikan bahwa garis sempadan akan menjadi minim makna dan perspektif inilah yang kiranya sangat layak diprediski dan disongsong sejak sekarang agar tidak gagap dihadapan perkembangan. Ketika berbincang-bincang dengan berbagai kalangan di Kalimantan Tengah, terutama dengan angkatan mudanya, soal ini pun sudah kusentuh. Juga ketika berjumpa dengan Teras Narang, gubernur Kalteng yang baru, yang khusus memanggilku sejak aku berada di Balikpapan. Teras Narang, menanggapi hangat apa yang kuketengahkan. Tinggal sekarang kami menagih apa yang sudah diucapkan agar kata jadi berarti dan tidak jadi belati.Kenyataan menunjukkan yang paling tidak setia kata adalah para politisi. Ingkar kata tak jauh jaraknya dari sikap mengingkari dan mengkhianatik diri sendiri. Dalam pembicaraan dengan para seniman dan cendekiawan muda Kalteng baik di Yogyakarta atau pun di Kalteng sendiri, mereka sangat antusias untuk menjadi partisipan aktif pertemuan penulis se Borneo-Kalimantan yang ke-IX di Brunei kelak dan mereka pun menyatakan kesanggupan serta bersiap-siap sejak sekarang menjadi penyelenggara pertemuan yang ke-X. Masalah ini pun sudah kami ajukan ke Gubernur Teras Narang. *** Dalam perspektif ini maka Nusa Dua dan Café Bandar merupakan tempat meninggalkan tanda khusus pada diriku, di mana, di atas mejanya kutulis catatan-catatan berikut. Dari mejanya juga kubaca dan kulukis peta rancangan serta kuberikan tanda tempat-tempat utama disinggahi dan dicapai tak boleh luput. JJ.KUSNI Perjalanan, Agustus 2005. [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now. http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org ***
[ppiindia] SURAT SANDAKAN
SURAT SANDAKAN Adikku sayang, Yang sejak lama kuperhatikan bahwa sebelum sampai pasar, angkot-angkot dihentikan sejenak oleh para sopir di suatu tempat dan selalu di tempat sama. Dari jendela kendaraan Pak Sopir mengulurkan genggaman kepada seseorang yang berjaga di sebuah pos.Melirik genggaman sopir itu, nampak padaku beberapa lembar rupiah. Apa gerangan maksud rupiah yang diserahkan kepada penjaga pos itu? Pajak resmi ataukah bentuk pungutan liar alias pungli? Ketika kepada Pak Sopir kutanyakan, ia hanya diam saja dan tak pernah ada mereka yang mau menjawabku.Aku menduga keras bahwa ini memang adalah pungli yang dilakukan "penguasa liar"atau "penguasa bayangan" kawasan!.tanda bahwa Indonesia dikuasai oleh kekuasaan ganda: yang formal-legal dan yang riil illegal. Adanya kekuasaan ganda ini turut andil dalam menterpurukkan bangsa dan negeri. Dugaan ini didasarkan pada cara memberikan rupiah itu dan bentuk pos tersebut yang tak memperlihatkan tanda-tanda legalitas. Ditambah lagi oleh pengalamanku ketika mencari taksi saat turun dari bus DAMRI yang membawaku dari bandara Soekarno-Hatta ke pusat kota. Sebelum naik taksi yang membawaku ke alamat tujuan, Pak Sopir taksi memintaku membayar Rp.5000,- untuk yang disebutnya "petugas keamanan" parkir. Tentu saja aku merasa heran dan memandang mata Pak Sopir sambil bertanya setengah protes: "Belum-belum khoq harus membayar untuk hal yang tak ada sangkut-pautnya dengan urusanku sebagai penumpang". Pak Sopir memandangkulurus ke mata seperti memberikan isyarat. Isyarat yang segera kupahami. Tidakkah hal-hal begini merupakan salah satu bentuk kekerasan, ujud dari meratanya kekerasan dalam masyarakat, lukisan nyata dari keras garangnya kehidupan? Kekerasan dan kegarangan mengepung dan mencegat kita di setiap tapak. Kekerasan yang melembaga menggerogoti nurani kita dari detik ke detik sehingga diam-diam dipandang sebagai kewajaran, lalu orang-orang pun tidak enggan menohok teman dekat. Menyakiti hati orang pun dipandang sebagai wajar dalam masyarakat yang menterapkan "hukum rimba" dan "ketidakpedulian". Oleh karenanya sering Jakarta kurasakan sebagai "belantara" penuh binatang buas yang lapar mangsa. Ganas! Manusia negeri ini pun sering kudapatkan sangat ganas. Tidak jarang, orang-orang menjadi manusia tanpa nurani sehingga sanggup membunuh dan menyiksa sesamanya dengan mata dan hati dingin.Manusia terasa langka di Indonesia dan tidak gampang jadi manusia.Kata dan bahasa lebih berfungsi sebagai badik tajam. Seperti para penumpang lainnya, beberapa ratus meter dari pasar,aku pun turun, lalu berjalan kaki mencari bus tumpangan meneruskan perjalanan ke kota. Di Pasar Ciputat yang sangat macet, bahkan pejalan kaki pun mengalami kesulitan untuk melangkah secara tenang dan aman.Angkot,sepeda motor, pejalan kaki, pedagang-pedagang sayur yang menggeletakkan dagangannya di tanah, mobil, bus dan segala macam rebut jalan lewat di bawah langit bau segala macam. Segala dan semua minta tempat, berebut ruang di bawah dikte kekerasan serta keangkuhan sektarisme. Terhadap hal ini Chairil Anwar pernah menulis bahwa: "Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat" tapi bagaimana sikap kita terhadap masalah ini, terutama terhadap lapisan bawah, dasar piramida masyarakat yang merupakan mayoritas penduduk? Sudahkah kita "mencatet" dan memberikan mereka "tempat"? Ataukah tempat mereka itu digarong? Di Pasar Ciputat, pada kekerasan, pada hilangnya nurani, di jalan-jalan kota aku menyaksikan dampak dari penggarongan tempat mereka ini dari kehidupan manusiawi.Cinta, l'amour,love yang hakiki menjadi olok-olok,kelereng mainan kanak, kehidupan pun menjadi padang gersang,savana di mana berkeliaran macan lapar.Aku mendapatkan lukisan keadaan ini pada sanjak Chairil Anwar , Nocturno, yang antara lain berkata: " Aku menyeru -- tapi tidak satu suara membalas, hanya mati dibeku udara Dalam hatiku terbujur keinginan, juga tidak bernyawa. Mimpi yang penghabisan minta tenaga, Patah kapak, sia-sia berdaya Dalam cekikan hatiku Terdampar ...Menginyuam abu dan debu Dari tinggalannya suatu lagu" Ya, Dik, "mimpi yang penghabisan minta tenaga" dan banyak keinginan "juga tidak bernyawa" hari ini. Tapi di hadapan keadaan demikian Chairil Anwar juga berpesan: "..pelarian akan terus tinggal terpencil" Semestinya kita tidak boleh melakukan pelarian. Tapi apakah aku masih punya "tenaga" untuk mewujudkan "mimpi yang penghabisan" ketika aku harus mencoba menarungi putusasa di depan krisis kesadaran sebagai Sysiphus dan keterasingan serta pembuangan? Aku menyadari benar adanya absurditas sedang menakaliku. Juga kurasakan ketika aku sedang berpegang di pegangan pintu bus menuju ke kota untuk mencari tempat duduk. Sendiri.Kesendirian yang kemudian kurasakan sebagai hakiki sebagaimana ditunjukkan oleh pantun berikut: "ke pulau sama ke pulau ke pulau menangguk udang merantau sama merantau kalau mati, mati seorang" Su
[ppiindia] SURAT SANDAKAN
SURAT SANDAKAN Setelah sejenak berdiri memandang gedung Eyang Agung, kulihat sebuah angkot warna putih menungguku dengan sabar di ujung jalan. Penungguan ekonomis, cerminan orang bawah di Indonesia. Aku pun berlari-lari kecil menuju angkot tersebut karena tidak ingin menyusahkan orang lain dengan kepanasan menungguku apalagi kutahu bahwa para penumpang lainnya akan pasrah pada keputusan Pak Sopir -- ujud dari hubungan paternalistik tanpa hukum, kecuali hukum konvensional, yang masih sangat dominan di negeri ini.Aku membaca banyak soal dari hubungan penumpang dan sopir, dari keadaan transpor di Indonesia. Dengan berjongkok, minta permisi pada para penumpang lainnya yang berasal dari pinggiran Jakarta aku mengambil tempat duduk.Panas mengigit langsung terasa. Tubuhku yang terkuras menumpahkan keringat membasahi T-shirt dan masuk menyusup ke mata. Gigitan terik ini berkurang oleh angin menyusup dari jendela ketika angkot dilarikan oleh Pak Sopir. Di tengah terik kota yang sebagaimana pun juga, tak pernah aku mengeluh, membuat sementara teman bertanya: -"Apa kau tak merasa panas?". +"Tentu saja panas. Tapi apakah keluhan akan memberikan penyelesaian. Satu-satunya cara adalah menghadapi keadaan ini sebagaimana adanya". Sikap ini pun kali ini kuambil ketika berada di angkot, bajai, becak atau bus tanpa AC.Hanya saja dalam diriku aku jadi malu sendiri, karena aku tahu benar aku tidak bisa mengambil sikap begini dalam menghadapi segala keadaan, terutama yang bersifat emosional.Keadaan emosional atau psikhologis terasa jauh lebih menggigit, menikam dan menekan. Daya tahan psikhologis ini justru sangat menentukan perkembangan dan keputusan seseorang. Sering menimbulkan keadaan tak terduga pada saat kestabilannya oleng.Kedewasaan barangkali ditakar antara lain dengan kemampuan menjaga kestabilan psikhologis dan emosional dalam keadaan yang paling gawat. Kukira sastrawan dalam tokoh-tokohnya barangkali patut mengeksplorasi dan mendalami sungguh masalah psikhologis ini sehingga tokoh-tokohnya menjadi hidup dan manusiawi.Memahami manusia, kukira, pertama-tama memahami masalah psikhologinya. Dengan pendekatan ini kita tidak akan gampang main pasang topi kepada seseorang, tapi justru memberikan ruang lapang untuk seseorang melakukan kesalahan, kejatuhan yang mengeneskan dan sekaligus memberikan kemungkinan dan harapan bangkit. Terhadap masalah ini Boris Vian, sastrawan Perancis mengatakan: "Le plus clair de mon temps, je le passe à l'obscurcir" [waktuku yang paling bercahaya justru yang telah kulewati melalui kegelapan]. Tidak semua orang bisa melalui kegelapan dengan berhasil. Tidak semua orang berdaya bangkit dari kejatuhan dan kekalahan.Tidak semua pinisi bisa mencapai pantai, banyak yang remuk di laut. Tidak sedikit enggang jantan atau betina jatuh di penerbangan pada saat sayap-sayapnya patah dan luka.Karena itu dalam perang dan pertempuran faktor psikhologis ini sangat mendapat perhatian. Barangkali kehidupan merupakan salah satu bentuk perang juga yang terdiri dari serangkaian pertempuran. Kekalahan di satu pertempuran bukanlah sama dengan kekalahan perang. Tapi ada memang pertempuran yang menentukan. Kurasakan sekarang, aku sedang berada di pertempuran sangat desisif.Kata-kata: "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" kembali deras mengiang di telingaku ketika meluncur dalam angkot yang melaju ke Pasar Ciputat yang macet. Berbarengan dengan kata-kata tersebut kembali kudengar suara lembut penuh harapan sekaligus kecemasan: "Kau bisa tetap bersikap gagah, bukan?!". O, kegagahan, kegagahan! Bisakah aku selalu gagah? Bisakah kita selalu gagah? Akukah kuda yang teruji perjalanan jauh? Pada saat ini terbayang wajah Kartjono alm. sahabatku yang sempat meringkuk dalam tahanan Orde Baru karena ia seorang pengikut Soekarno. Ketika bertemu di Paris, ia mengatakan: "Kalau kau mundur, Bung, kau akan memulai segalanya dari nol dan itu berarti kau kehilangan waktu dan segala makna yang selama ini kau bela". Kata-kata ini Kartjono ucapkan ketika aku berada dalam suatu kegalauan di luar dugaan. Kartjono menyelamatkan aku, dan aku kian paham arti sahabat. Memandang kepada Pak Sopir dan kehidupannya yang keras, mendengar dialognya tentang keadaan politik serta ekonomi yang melingkungi hidupnya, dengan pnumpang duduk di kursi di sebelahnya, aku melihat jelas keras garangnya kehidupan dan Pak Sopir. Pak Sopir dipaksa bertarung. Dalam pertarungan merebut seribu dua ribu rupiah, tulangnya dikeraskan,darahnya dimerahkan, dan benar, pada dahinya kulihat parit-parit duka sekaligus parit-parit perlawanan. Hal yang sama kusaksikan di wajah dan di keadaan kebanyakan penumpang. "Kita adalah sama-sama penumpang kendaraan hidup", ujarku dalam hati sambil diam-diam memandang wajah para penumpang itu satu per satu. Bedanya dengan diriku, mereka kusaksikan memang gagah menarung duka dan kesulitan.Kesulitan dan kegarangan yang rutin membuat orang pun bia
[ppiindia] SURAT SANDAKAN
SURAT SANDAKAN Setelah menempuh jalan memutar guna luput dari kemacetan lalulintas,akhirnya aku sampai juga ke kampung Sarua Indah, Ciputat. Deddy dan Guntur membantuku menurunkan koper-koper bawaan.Kami berdialog dalam diam dan dengan kediaman di antara bayangan dan kenangan masing-masing.Kutahu Deddy menyayangiku dan sangat memahamiku serta ingin mengungkapkan banyak soal,juga perasaannya. Antara kami berdua terdapat tautan khusus tak pernah saling kami ucapkan. Bertahun-tahun tempat ini tidak kusinggahi lagi. Terlalu melelahkan dan menguras tenaga, perasaan serta waktu untuk ke mari.Rumah dengan halaman besar dikitari pagar yang kukenal dan mengenalku sudah banyak sekali berobah. Berobah seperti kampung Sarua Indah, seperti diriku dan apa-siapa saja! Sering aku berpikir tidakkah perobahan alias gerak ini memang suatu hakekat dan barangkali dia sendirilah yang langgeng? Di ujung gerak kulihat ajal menungguku setelah terbontang-banting oleh pergulatan memberi makna di ruang dan waktu tersedia. Diam-diam kupandang rerumputan hijau halaman yang dulu saban pagi dan petang kuurus.Diam-diam kupegang pokok rambutan dan kelapa yang masih berdiri dan nampak tua.Kurenungi dedaunannya. Kurasakan kami saling tatapan dalam kediaman, menahan hasrat tukar cerita dan tanya.Pepohonan dan rerumputan hijau ini pernah memberiku kenyamanan dan ketenangan karena kecil dahulu aku memang diasuh oleh alam dan warna hijau. Hijau hutan, hijau sungai dan biru gunung.Memandang pokok rambutan dan kelapa halaman rumah ini, aku melihat mereka sebagai sisa dari masa lalu dan bahwa masa lalu, entah pahit atau manis rasanya senantiasa memunculkan diri ke hari ini, seperti sahabat lama senantiasa berkunjung ke nurani dan kehidupan kita. Maka akan omong-kosong dan pura-pura lupa saja jika kita mengatakan "tak perduli" pada masa silam walau pun benar pula bahwa kita takkan juga bisa mengembalikan air hujan ke langit. Bahkan sering masa silam itu menguntit, terutama menguntitku bagai bayang. Di saban sapaannya saat datang tiba-tiba aku sering terperanjat memandang perkembangan yang kuhadapi.Demikian pulalah halaman rumah Sarua Indah dengan rerumputan dan pepohonannya yang kudatangi sekarang menyapaku. Melihat masa silam ini aku seperti masa kanak dahulu kembali merasa kesendirian mutlak di tengah alam raya bagaikan anak kijang liar di tengah padang.Jeritku ke langit memantulkan gaung sipongang bagai bumerang jatuh kembali ke hadapanku.Aku asyik bercakap dan bercanda dengan diri sendiri serta waktu sambil menghitung kehilangan, perolehan, kekalahan, kejatuhan dan berapa jauh tapak menggirangkan sudah kuayun.Dalam berhitung ini, kupastikan aku masih belum memahami hidup dan manusia, masih saja kanak yang patut belajar keras mengenalnya.Masih patut belajar berbahasa agar cermat berkata dan bisa menghormati kata.Aku ingin kata-kataku menjadi terjemahan tepat dari hidupku, menjadi peta jalan dan rencana sebagaimana, pada suatu periode fungsi kata di kalangan masyarakat Dayak Katingan, Kalimantan Tengah, sehingga kata menjadi mantra.Tapi dengan keinginan ini, aku sering dalam ditusuk oleh kata yang tidak lagi dihormati pengucapnya.Kata di hari ini sudah demikian merosot dan tidak diindahkan.Karena itulah barangkali kata "terimakasih" dan "maaf" sangat langka di Indonesia. Langkanya kata-kata ini menyangkal pemeo bahwa bangsa ini adalah bangsa peramah, lemah-lembut dan berkebudayaan tinggi. Melihat berbagai gejala aku mempertanyaakan: Tidakkah bangsa ini sedang terancam banditisme baik yang terbuka atau terselebung. Dari dihormati tidaknya kata,barangkali kita bisa mengusut pola pikir, mentalitas, keadaan sosial, politik, sosiologis serta psikhologi seseorang atau suatu bangsa. Rumah di Sarua Indah sudah penuh dengan orang-orang yang datang khusus untuk menyambut kedatangan kami baik dari sanak-saudara maupun teman-teman termasuk teman dekat seperti Sini Cedercreutz dari Finlandia secara khusus menyisihkan waktunya menunggu kedatangan kami. Hanya saja aku tidak bisa berlama-lama di Sarua Indah karena sejak dari Paris seluruh acara sebulan sudah kurancangkan dengan menggunakan fasilitas internet.Internet memungkinkan kita mengatasi kendala waktu dan ruang dalam mengorganisasi kegiatan. Barangkali melihat sikapku, dalam hati mereka, orang-orang mengatakan aku terlalu dingin dan "Barat". Tapi apakah mereka tahu -- dan tentu tidak tahu apalagi gubris -- bahwa aku melomba waktu memacu matahari.Perasaan yang menggejolak kupendam dalam katupan bibir yang mengeras. Ini pun kusadari sebagai bagian dari tragedi dan kehidupan sampai sekarang kurasakan lebih merupakan suatu tragedi. Aku hanyalah seorang Sysiphus yang mendaki gunung dan sia-sia melaga tragedi.Aku pun hanyalah pinisi tanpa dermaga dan akan binasa di pelayaran tanpa limitnya. Mengamati jarum jam yang terus bergerak, dengan mengendalikan perasaan aku minta diri meninggalkan rumah Sarua Indah mengawali program kerja y
[ppiindia] SURAT SANDAKAN
SURAT SANDAKAN Adikku, Koper kecil kabin kugeret dengan langkah gontai digandeng oleh sekian bayangan serta kesiapan disergap segala kemungkinan tak terduga menuju ke loket pemberian "visa on arrival", visa yang diberikan pada saat kedatangan oleh pihak imigrasi. Pada saat yang sama, di telingaku mengiang sebuah suara lembut yang sangat kukenal: "Kau tetap gagah dan sanggup tetap gagah bukan?", suara gaib dan ajaib yang memberikan kekuatan khusus tak bertara. Kukira siapa pun tanpa kecuali, memerlukan sumber kekuatan gaib ajaib begini.Pengalaman demi pengalaman melalui imigrasi tanahair pada saat aku melangkah menuju loket visa, kembali mendekatiku dan kusambut dengan senyum. Aku selalu mencoba menyenyumi duka yang menghampir bagai kawan lama walau pun aku tak bisa mengendalikan diri dan mengucurkan airmata di hadapannya. Aku menganggap tangis demikian sebagai suatu hal alami dan kejujuran pada diri, bukan tanda menyerah.Tangis demikian merupakan tangis yang membebaskan. Petugas imigrasi memeriksa lembar demi lembar pasporku kemudian menatap wajahku lurus seakan ragu apakah benar aku pemegang kitab kecil warna coklat bertuliskan "Komunitas Eropa", "European Community", lalu mencapnya. Lembaran yang dicap itu kuamati. Aku hanya mendapatkan izin tinggal di Indonesia bulan dan berakhir pada 10 September 2005. "Tidak bisakah aku mendapatkan visa lebih panjang dari sebulan?", tanyaku. "Tidak! Kalau Bapak mau memperpanjang waktu tinggal di Indonesia, Bapak harus keluar dulu", jawab petugas imigrasi itu. Mendengar jawaban ini, dan juga ketika kemestian mendapatkan visa, ironisme menikam hulu hatiku dengan ganas. Apalagi ketika petugas imigrasi menanyaiku "Bapak kelahiran Kalimantan?". Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh, mulai dari dalam hati. Apakah ironisme itu? Ia adalah keadaan menjadi asing di negeri sendiri, dan asing di negeri orang sekalipun secara legalitas, aku adalah warga negeri tersebut.Tapi antara legalitas dan kenyataan tidak pula aneh jika terdapat jarak. Legalitas bertautan dengan nilai dan mimpi, sedangkan kenyataan bersentuhan dengan sejarah serta budaya.Karena itu dalam masalah budaya lokal aku menggarisbawahi arti penting revitalisasi. Pelestarian dilakukan untuk kepentingan revitalisasi. Jawaban petugas dan pertanyaan petugas imigrasi itu pun kembali menguak luka sejarah yang kuidap. Mata luka ini menjadi terbuka lebih besar dan meneteskan darah kembali ketika ada pihak yang mengatakan bahwa termasuk aku harus dimaafkan. Apakah gerangan salahku dengan memimpikan Indonesia yang manusiawi? Ataukah yang ideal adalah Indonesia yang anti kemanusiaan dan tak berkeadilan? Berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hari-hari begini, aku makin memastikan betapa kita patut berlaga di tiap tapak diayun. Keadilan dan kemanusiaan bukanlah sebuah durian runtuh. Dan pengalaman selama ini menunjukkan bahwa manusia tidak gampang-gampang juga untuk dikalahkan.Perkembangan yang kita temui sekarang justru buah laga manusia, karena manusia tidak gampang dikalahkan. Kembali suara lembut mesra ajaib dan gaib mengiang ke telingaku: "Kau bisa tetap gagah, bukan?". Gagah artinya kita harus menghalau takut. "N'ayez pas peur!", "Jangan takut!", Paus Yohannes II alm. Apakah ketakutan ini sudah lenyap dari jiwa kita, dari jiwa anak-anak bangsa dan negeri ini? Ketakutan yang ditemani oleh dendam ini sangat berkembang subur pada masa Orde Baru sebagai konsekwensi dari pendekatan "keamanan dan stabilitas nasional" yang diterapkan demi melaksanakan "agama pembangunan". Malangnya, justru agama pembangunan, kesaktian-pemutlakan azas tunggal Pancasila dan NKRI sentralistik inilah yang telah menjelmakan hutan-hutan tak tertembus matahari di Kalimantan menjadi padang pasir seperti daerah Hampalit di Kalteng misalnya, membuat sungai-sungai penuh dengan airraksa. Ketika aku keluar dengan gerobak bandara berisi koperku, Deddy -- anak lanangku yang pernah bersekolah di Paris dan sangat paham akan keadaanku, dengan senyum maklum bertanya: "Ada apa lagi yang membuatmu lambat keluar?". "Tidak ada hal istimewa. Petugas pember visa hanya salah memberiku formulir dan aku harus mengisi ulang semuanya dari awal. Agaknya petugas rancu. Kerancuan sering mengacau dan mengganggu kita". Deddy suka mengenang kembali pengalamannya hidup bersamaku di Paris. Paris telah membentuknya sehingga sering ia merasa asing di Indonesia. Ia ikut aku di Paris begitu ia lulus SMA. Yang menjemputku bersama Deddy adalah M.G. Romli, biasa kupanggil dengan Guntur, mahasiswa filsafat Universitas Al Azhar, Kairo. Guntur memandangku sebagai ayahnya. Bahkan jika menurut istilahnya "lebih dari ayah". Guntur adalah seorang dari etnik Madura sedangkan aku asal etnik Dayak. Aku melihat keakraban hubungan kami merupakan jawaban nyata baru lagi atas masalah konflik antara kedua etnik itu yang pernah menyiram Kalteng dengan darah. Sampai sekarang aku memandang konflik berdarah tersebut, tidak l
[ppiindia] SURAT SANDAKAN
SURAT SANDAKAN Ira Adikku, Dari layar televisi pesawat, kuketahui aku sedang berada di langit negeri mana sehingga bisa memperkirakan masih berapa jauh Indonesia yang kutuju. Kau yang kucari. Mengetahui di mana dan bagaimana keadaan kita, kukira merupakan suatu pertanyaan penting dalam suatu perjalanan, entah itu perjalanan nyata ataupun suatu analogi atau metafora. Dengan pertanyaan-pertanyaan ini kita bisa menetapkan kita mau ke mana dan bagaimana menuju ke mana itu? Serta-merta suatu bandingan muncul di kepalaku .. Aku jadi membandingkan pesawat Singapore Airline yang kutumpangi dengan diriku yang "klayaban". Pesawat ini jelas arahnya, di mana dan kapan ia akan mendarat, kapan pula ia akan pergi serta menuju ke mana. Sedangkan aku? Aku yang juga sedang dalam perjalanan bahkan suatu kembara, terasa dan jelas benar bahwa perjalanan dan kembaraku tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lebih-lebih secara pengembaraan pencarian batiniah dan pemikiran. Perjalanan dan pencarianku adalah perjalanan serta kembara yang tak punya sudah dan tak punya sampai. Kalau "sudah" dan "sampai" itu ada, maka titik demikian adalah titik yang bernama ajal yaitu malam dari kehidupanku. Matahari hidupku yang jatuh di hulu. Pertanyaan-pertanyaan selalu menggelisahkan dan membuatku seperti pinisi yang terus melaut lalu secara pasti pinisi itu, aku akan remuk dan tenggelam di laut. Aku memang bukan Boeing Singapore Airline sekalipun sama-sama sering mengalami goncangan demi goncangan hebat saat mengarungi angkasa berawan. Apalagi yang sampai sekarang kuharungi dan menggoncangkan dengan dahsyat tidak lain dari barisan awan kehidupan garang tak punya kasihan serta tak punya peduli. Tai aku makin sama tak pedulinya. Romantisme? Idealismekah ini? Dukaisme seorang masocis atau narsisiskah ini? Entahlah, tapi aku memburu yang kuburu selalu yaitu makna alias arti. Arti inilah barangkali pelampung karet yang melekat di tubuhku. Dalam goncangan demi goncangan begini, aku rasakan diriku sebagai sasaran tembak kehidupan garang dari waktu ke waktu. Sejarah pun turut menembakku. Pada keadaan psikhologis begini, di tengah perjalanan tanpa usai begini maka aku dapatkan diriku pada kata-kata Chairil Anwar: "tembus jelajah dunia ini dan balikkan ... pilih kuda yang paling liar, pacu laju, jangan tambatkan pada siangdan malam . hilang sonder pusaka, sonder kerabat tidak minta ampun atas segala dosa, tidak memberi pamit pada siapa saja" hingga pada saat demikian tiba: "ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa sepi" Merenungi keadaanku senyatanya yang demikian,melihat muka dan tubuh jiwaku di kaca waktu dan kaca pesawat, penuh luka, aku tertawa sendiri, menertawai diri dalam pesawat yang sedang melaju ke timur. Aku mendapatkan diriku seperti yang dilukiskan oleh Chairil Anwar dalam sanjaknya "Lagu Siul" [I]: "laron pada mati terbakar di sumbu lampu aku juga menemu ajal dicerlang caya matamu heran! ini badan yang selama berjaga habis hangus di api matamu" Aku sungguh-sungguh merasa diri "dikutuk-sumpahi eros" yang "merangkaki dinding buta" "mengembara serupa ahasveros". Pernahkah kekuasaan politik negeri ini perduli pada "Ahasveros" yang "dikutuk-sumpahi eros"?. "Aku menyeru -- tiada satu suara mmbalas, hanya mati beku di udara Dalam hatiku terbujur keinginan, juga tidak bernyawa". Kekuasaan politik dan banyak orang juga diam seperti "tidak bernyawa". Apakah negeri, bangsa dan anak bangsa ini memang "tidak bernyawa" lagi? Aku terus mencari manusia, aku mencarimu karena menganggap kau seorang manusia, karena yakin nuranimu masih nurani manusia yang manusiawi.Ketika di tengah kegalauan dahsyat kau katakan "aku tak hirau" , "I don't care", kupahami kata-kata ini menunjukkan bahwa kau masih sangat manusiawi yang kenal gundah, bingung, takut dan resah, ujud dari palsunya kesaktian dan kemutlakan, sementara nurani masih saja bertahan dalam ujud air mata.Tapi politik sering tanpa nurani, sangat menghitung macam-macam kepentingan. Jika mengambil jalan pintas barangkali kuanjurkan orang "bunuh diri" atau jadi "penjahat-penjahat besar". Relatif tepat pada waktunya, pesawat Singapore Airline- ku mendarat di bandara Soekarno-Hatta yang sangat kukenal. "Tuan-tuan dan puan-puan, sebentar lagi kita akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta", suara pramugari yang lelah tapi tetap senyum -- senyum kemestian melaga -- menggema dalam ruangan di antara kursi-kursi penumpang sampai ke hatiku menggugah kenangan ketika negeri ini dahulu kutinggalkan dan setelah puluhan tahun kembali kukunjungi. Kutemui sebagai orang asing, diasingkan oleh kesalahpahaman sejarah."Tanahair", bisikku pada alam yang hijau di luar ketika roda pesawat menyentuh landasan, "kita kembali berjumpa. Aku tidak berobah dengan cintaku! Apakah kau berobah? Jika kau benar beroba
[ppiindia] SURAT SANDAKAN
- Original Message - From: Budhisatwati KUSNI To: KEMSAS Sent: Friday, September 16, 2005 5:54 AM Subject: SURAT SANDAKAN SURAT SANDAKAN Ira adikku, Ketika pesawat Singapore Airline tinggal landas, Paris, kota yang membukakan pintu hatinya selama puluhan tahun untukku, nampak di bawah. Rumah-rumah, bangunan-bangunan, sungai Seine yang membelah kota, juga Montmartre, kampung seniman, di mana aku tinggal hampir sejak berada di ibukota Perancis, makin lama makin mengecil. Samar dan hilang, kecuali terhampar di kenangan dan bayangan. Hidup pun demikian, proses pun demikian. Lahir, tumbuh dan mati, merupakan proses singkat yang mengisi waktu tak terelakkan. Tinggal masalahnya bagaimana kita dalam waktu yang singkat tersedia itu memberinya makna maksimal, bagaimana kita mengalahkan suka dan duka di sepanjang tanjung rantau perjalanan. Penyair Chairil Anwar mnjawabnya dengan "sekali berarti sudah itu mati" sedangkan aku, Dik, ingin suatu hidup tanpa mati sekali pun aku sadar jasadku akan sirna. Aku yakin kita bisa membuat hidup tanpa mati. Cinta tanpa mati. Memandang Paris yang kian mengabur dari udara, bersama lajunya pesawat ke timur, sejenak terbayang ulang kisah kedatanganku kemari dan pengalaman jatuh-bangun di kota ini sebagai seorang eksil politik yang datang dan menarung hidup hanya bermodalkan dua kaki dan tangan. Pertarungan inilah yang membuat tulangku mengeras dan darahku kian memerah oleh kucuran luka dan dukanya tapi masih kuragukan seberapa lama aku bisa tetap gagah sebagaimana yang ditanyakan oleh seorang teman dekatku: "Kau bisa tetap gagah, bukan?!". Di hadapan pertanyaan ini, aku teringat akan pepatah Tiongkok Kuno bahwa "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" -- ungkapan yang mempertanyakan sekaligus ketahanan dan kadar cintaku serta diriku secara utuh. Aku sadar benar, perbedaan antara kesementaraan dan ketahanan, bukan kelanggengan mutlak! -- seperti halnya aku pun sadar lebih gampang menjadi lemah daripada menjadi tetap gagah, lebih gampang menyerah dari pada melanjutkan laga hingga akhir. Kesadaran begini mengingatkan aku akan nasehat sastrawan Perancis, Victor Hugo agar kita tidak menertawakan orang yang kalah dan seorang yang sedang menangis. Hidup bukanlah sesuatu yang ramahtamah tapi sangat garang. Karena itu hidup lebih sulit daripada mati. Paris dan sejarahnya menyediakan berlumbung-lumbung contoh jika kita mau belajar sejarah. Belajar sejarah kukira hakekatnya memelihara ingatan, karena manusia sangat gampang dan suka pada lupa sehingga membuat kita suka pada kemunafikan dan tidak menghargai kata, getol pada isntanisasi dan jalan pintas yang merendahkan prinsip serta nilai. Makin meninggi pesawatku, aku berada dalam kepungan awan kelabu yang nampak di luar jendela bagaikan ribuan kuda putih berderap berpacu melomba pesawatku ke timur."Go to east, men!"! demikianlah suara yang menggema di telingaku di tengah derap ribuan kuda-kuda putih itu. Karena di kampunghalamanku di timurlah kurasakan aku mempunyai hutang moral besar belum tunai. Awan-awan putih kelabu itu juga nampak padaku bagaikan lembaran-lembaran buku kenangan kembara lima benuaku. Entah berapa kali sudah bolak-balik lautan awan ini kulalui di segala penjuru benua dan aku masih saja tetap sebagai "kalayaban". Tiba-tiba kurasakan benar diriku ketika membaca halaman-halaman kitab kenangan berwarna putih kelabu ini, tak lain dari seekor enggang hilang rimba, bagai pinisi tanpa dermaga. Aku merasa benar sebagai anak manusia yang jadi korban sejarah dan putusan poilitik. Sayangnya, kesadaran dan sadar politik ini pun di Indonesia masih tidak dipandang penting, lebih-lebih di kalangan sastrawan-seniman angkatan baru. Orang lebih menyanjung yang disebut "sastra murni", tanpa kejelasan apa yang dimaksudkan dengan "sastra murni" itu secara sejarah dan konsepsional. Kesadaran politik di Indonesia barangkali masih berada di titik nol atau tingkat awal. Sadar politik tidak berarti sama dengan partisan tapi lebih berupa taraf seorang anak manusia yang ingin hidup manusiawi. Aku sendiri, dalam hal ini, lebih cenderung pada posisi "free thinker" daripada menjadi partisan. Mungkinkah menjadi "free thinker" tanpa sadar politik. Berada di tengah-tengah kesunyian angkasa yang hanya diusik oleh gemuruh mesin pesawat melau ke timur, aku sangat merasa diri hanya sebagai sebutir debu dan noktah minim arti, makin merasakan betapa mendesaknya memburu dan memberi arti di ruang waktu yang singkat. Benar yang dikatakan penyair Tiongkok bahwa kita perlu: "rebut waktu pagi-senja seribu tahun terlalu lama" Dalam usaha "merebut waktu pagi-senja" ini maka aku membuka tas tangan mengeluarkan buku-buku yang ke mana saja selalu menyertaiku. Buku adalah kekasihku. Buku memberiku acuan, membukakan pintu demi pintu dalam pencaria
[ppiindia] Susunan Acara Peluncuran Buku JJ.Kusni dan Peresmian Komunitas Matabambu 13 Agustus di PDS TIM JakartaBaoipenyebaran undangan
Susunan Acara Peluncuran Buku JJ KUSNI Oleh komunitas matabambu Pukul 14.30 s/d 15.00 WIB (Efektif: 2 jam) Penanggung jawab: Imam Maarif dan Faiz Manshur Tempat: PDS TIM Jakarta. 1. Pembukaan oleh MC - Silvi - membacakan susunan acara (2') 2. Sambutan Ketua Panitia - Arie MP Tamba (3') 3. Sambutan Sekretaris komunitas matabambu - Manaek Sinaga (10') 4. Peluncuran buku JJ Kusni (10') a. Sambutan Penerbit Ombak b. Penyerahan buku dari Penerbit Ombak ke Penulis c. Penyerahan buku dari Penerbit Ombak ke komunitas matabambu d. Penyerahan buku dari Penerbit Ombak ke PDS HB Jassin 5. Sambutan dan pembacaan puisi oleh JJ Kusni (10') 6. Orasi 'sastra dan kekuasaan' oleh Pramudya Ananta Toer (10') 7. Diskusi buku dipandu oleh Henny PS dengan pembicara Sides Sudyarto dan F Rahardi ( 60') 8. Pemutaran film JJ Kusni karya Dhani Agustin (15') [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hoiom8g/M=320369.6903865.7846595.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123510705/A=2896110/R=0/SIG=1107idj9u/*http://www.thanksandgiving.com ">Help save the life of a child. Support St. Jude Children¿s Research Hospital. ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Matabambu Press Release: Sastra & Kekuasaan
- Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] PRESS RELEASE: SASTRA DAN KEKUASAAN Jakarta, 3 Agustus 2005. Reformasi membuka pilihan terhadap bermacam-macam kebebasan. Setelah dikungkung oleh kekuatan militer selama 32 tahun pintu kebebasan berekspresi dan berbicara terbuka lebar. Masyarakat perbukuan nasional termasuk sastra dan seni budaya menjadi lebih dinamis sejak tahun 1998, ketika era demokrasi, penghormatan HAM, dan keadilan sosial menandai lembaran baru sejarah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia dengan aparat negaranya yang masih korup. Salah seorang rekan perjalanan budaya reformasi ini adalah JJ. Kusni, budayawan Indonesia yang kini bermukim di Perancis. JJ. Kusni adalah satu dari pengarang Indonesia yang tinggal dan berkarya di luar negeri seperti Sobron Aidit dan Sitor Situmorang, sastrawan Angkatan'45 yang hampir separuh perjalanan kreatifnya dihabiskan di negeri Perancis. Lahir di Kasongan, di pinggiran sungai Katingan, Kalimantan Tengah, 25 September 1940, sejak tragedi nasional September 1965 ia sudah melanglang buana ke negeri orang. Karier kepenulisannya sudah dimulai jauh hari sebelum masa Manifes Kebudayaan yang berlanjut dengan kegiatannya sebagai anggota Lekra. Pada akhir tahun 1965 ia diundang Himpunan Pengarang Tiongkok sebagai anggota Lekra untuk mengunjungi negeri tirai bambu itu. Pada tanggal 13 Agustus 2005, pukul 14.30, ia akan meluncurkan antologi puisi bertajuk "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan" di PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB. Jassin, TIM, Jakarta. Buku yang diterbitkan Penerbit Ombak Yogyakarta ini menghimpun 33 puisinya yang semula pernah diterbitkan Stichting di Belanda tahun 1990. Akan hadir pula dalam acara ini, sastrawan Pramoedya Ananta Toer dengan orasi budaya bertema "Sastra dan Kekuasaan", didampingi penyair Sides Sudyarto DS dan F.Rahardi selaku pembahas puisi JJ. Kusni. Partisipasi Pramoedya Ananta Toer dalam acara ini, juga JJ. Kusni lewat penerbitan kembali bukunya menandai kembalinya mereka setelah hutang sejarah bangsa ini yang mengalpakan masalah dikucilkannya mereka dalam lembaran karya sastra dan seni Indonesia. Acara yang terselenggara oleh Komunitas Matabambu ini sekaligus sebagai momentum peringatan bangsa Indonesia sampai saat ini yang masih diliputi masalah besar bernama kekerasan dengan terkekangnya kebebasan kreatif dari sikap represif dan diskriminatif pemerintahan di masa Orba yang ironisnya masih dilupakan oleh pemerintah zaman kini. (dna) *** Untuk informasi lebih lanjut hubungi penyelenggara acara: Komunitas Matabambu (KMB) Sekretariat: Gedung Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya No.73, Jakarta Pusat, Indonesia. Telp: (021) 31936641, E-mail: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED] 0o0- [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> http://us.ard.yahoo.com/SIG=12htq53jh/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123072231/A=2896125/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail";>Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] WARSIYAH
WARSIYAH terbilang seorang perempuan bernama warsiyah dari banyumas jawa tengah memburuh di tanah rantau menolak kalah -- garang hidup kian ganas di indonesia terpuruk memilih hidup perempuan-perempuan tak menyerah mari kita berkaca siapa sebenarnya yang perkasa dan gagah serta mati-matian membela harkat?! mari kita berkaca apakah kita memang manusia sering kusaksikan dasi jas wangi parfum tak lebih dari bau comberan elitisme selubung laksaan kemunafikan dan khianat tajam, tajamkan mata serta telinga memandang mendengar hakekat terbilang seorang perempuan bernama wasiyah dari banyumas memburuh di tanah rantau memilih hidup menolak kalah sang majikan malaysia menyiksa memperkosanya indonesia diam republik pun diam yang papa di mata penjabat tak punya martabat di sini tanahair tinggal nama masih saja dicintai republik mencampakkan warganya jabatan jadi pasar jual-beli peluang menjelajah penjuru berbelanja ke seantero bumi warsiyah republik yang merosot indonesia yang terpuruk panggilan bertalu seruan membela martabat warsiyah adalah diri kita yang dinista dicuekkan Paris, Agustus 2005. --- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hqgcqff/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1122904624/A=2896129/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail";>DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] KATA PENGHABISAN TELAH KAU UCAP
KATA PENGHABISAN TELAH KAU UCAP [Kepada DR.Sophian Waluyo] kita memang tak punya pretensi bisa luput dari jaring jala maut seperti kesia-siaan menjerat matahari, jatuhnya senja di hulu barat hasrat hanya bisa melomba mencoba berpacu sempat mencatat cinta yang menolak batas merebut inci demi inci bagi geliat kau pun tidak aku pun tidak siapa pun tidak sejak yogya kau selalu ulang ingatkan di tepukan bahuku masih remaja masih kusimpan dan kupajang kartu mawar merah kartu-kartu busur kembaramu menyusur penjuru kita bisa mati, bisa kalah, jatuh, cinta patut tetap terjaga dialah yang kan terus seperti phoenix bangkit lagi dari abu hari ini kau telah tiada, sophian kata penghabisan telah kau ucapkan segalanya sesuai janji aku masih saja ke barat timur seperti dahulu sejenak dari rantau kembara sejenak aku di kejauhan langkah kuhentikan tundukkan kepala mengeja ulang namamu kita adalah pencinta menolak menyerah di kubangan duka sejarah bersimbah darah kita bukan munafik dan pengkhianat indonesia tahu, bumi pun tahu yang hakekat Paris, Juli 2005. - JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] SENANDUNG ABANG UNTUK ADIKNYA [3]
SENANDUNG ABANG UNTUK ADIKNYA [Kepada Sitti Azizah] 3. LEWO LEBA jagung panggang jagung rebus berlauk kerang pulau siput di sini untukmu terhidang, adikku lewo leba menyambutmu mengelu si manis dari seberang jagung rebus ikan panggang untukmu terhidang, adikku di halaman kenang tak terhapus waktu wanginya tinggal di ruang kalbu adakah negeri adakah suku adakah bangsa di hati penduduk lewo leba? hari itu kau tiba di lewo leba manusia jadi tuan langit dan bumi air dan gunung harmoni bagai nyanyi kecapi lewo leba, adik lewo anak bumi kasih rentangan pelangi seluas galaksi di lewo leba semerbak cinta mengisi penjuru angin pun wangi di lewo leba mewangi hutan alun gelombang wangi riap rimbun daun malam dan siang di lewo leba lewo leba, adik lewo leba itulah kepolosan orang-orang sederhana hari ini dilecehkan hari itu di lewo leba munafik telanjang di pasir kencana dulu kau tiba manis, manis munafik terpuruk di dasar jurang di lewo leba kau tahu, adik wanginya kasih hati penduduk hari ini dalam ditohok Paris,Juli 2005. --- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] SENANDUNG ABANG UNTUK ADIKNYA [2]
SENANDUNG ABANG UNTUK ADIKNYA [Kepada Sitti Azizah] 2. ADAT ORANG KAMPUNG lewat remaja putri putri kampung hari itu fajar bangkit dari timur dari larantuka ke maumere kau berjalan hitam rambutmu tergerai mayang terurai gelang gading sampai ke siku daun kelapa padang ilalang mengenal langkahmu kembang tanjung wangi rambutmu -- wanginya, wanginya penduduk kampung mengenalnya terpana para dewata berjalan remaja putri putri kampung hari itu fajar bangkit dari timur penjaga padang penjaga laut dan gunung menurunkan angin menjagamu ke maumere mencapai penjuru dari larantuka ke maumere gadis dan perempuan berjalan sendiri pagi petang malam dan siang angin begitu santun dan galan berjaga mengawal mereka diadatkan sudah turun-temurun semalam dahulu pembangunan tiba penduduk dibungkam di angin bertabur racun ipuh petaka ajal menyergap di saban tikungan dari larantuka hingga maumere larantuka maumeremu adik, adikku bukan lagi yang dahulu bukan lagi yang dahulu kekerasan dan duka diadatkan lapar menggelinding di atap-atap menggantung di pohon-pohon siang dan malam kosong lumbung kampung maut berjaga di kepala tangga penduduk memburu esok mencari lusa Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] DARI ELI API, ELI BOLING KE DANAU KELIMUTU
DARI ELI API, ELI BOLING KE DANAU KELIMUTU [Kepada Sitti Azizah] 1. biru laut gunung biru warna-warni kelimutu danau tersanjung masih saja, adik masih saja bagai dahulu mereka menunggu mengenangmu menyambut siapa yang tiba kelak datang laut menggelombang daun kelapa bergoyang tanda kau dikenal mereka lapar dan duka mengokohkan ingatan mempertajam pemahaman dahulu ke sini kau pernah tiba lapar dan duka menyaring sahabat menapis setia mengasah ingatan 2. dari eli api eli boling eli mandiri tiba kita ke kelimutu danau warna-warni adik, adikku wahai adikku jalan masih saja berliku seperti dahulu masih mendaki dan menurun daun-daun tetap rimbun tapi indonesia memang jalan sedang menurun indonesia negeri selaksa bencana sejuta ancaman penduduk di luar hitungan republik tiga juta nyawa dimasakre sama dengan nol apalagi ratusan busung lapar nusatenggara penguasa membiarkan dungu menerpa penduduk jakarta melanggengkan bangga kembara dan dukaku dari eli api eli boling eli mandiri hingga kelimutu jalan mendaki dan menurun indonesia jalan licin dan menurun jurang menganga di ujungnya 3. indonesia adalah kengerian adalah kemerosotan manusia sedang ditantang mati hidupnya penyair terpinggir tak terbilang ditagih jawabnya eli biru laut biru kelimutu warna-warni jauh dari esok tangan menggapai tangan-tangan menunggu harapan indonesia tangan terkapai tangan yang karam terkapai-kapai Paris, Juli 2005. JJ. KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] IN MEMORIAM DR.SOPHIAN WALUYO
IN MEMORIAM SPOHIAN WALUYO di namamu tercatat arti martabat harga diri keindonesiaan dan kembara cinta serta mimpi pada jejakmu tertera tanda gimana patut bertarung gimana ajal ditampik dan melecehkan tirani di namamu jelas kubaca tak ada yang patut diaib-malukan menjadi manusia dan indonesia keduanya patut dibela dan dimenangkan di namamu tercantum harga kemerdekaan hari ini mahatari buram di tanah kelahiran dan kita masih saja tak bergeming memilihnya ketika kita menolak kecupetan hanya merendahkan diri ajal akhirnya memang pengucap kata penghabisan tapi mimpi akan terus seperti angin tak pernah ditundukkan bermain di pucuk daun, di gunung dan laut menyongsong angkatan demi angkatan hadir tak surut-surut sunyi? barangkali sunyi hatimu sebagai anak kembara tak sunyi derap langkahmu di lima benua jas demi jas, paspor demi paspor bercap sekian negara di lembaran-lembarannya kubaca keperkasaan pemimpi yogya hari ini kau meninggal di rantau dalam sunyi sekian kembara dilupakan tak masuk hitungan negeri tanda kegalauan dan kelam tirani masih saja melanda sampai malam pemimpi masih saja tak bergeming: kau di antaranya! Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [4-- SELESAI]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB]. [2] BEBERAPA GARISBAWAH: 5. MENGEMBANGKAN SISTEM JARINGAN: Melalui kerangka pikiran yang mendasari kelahiran KMB yang disiarkan oleh Manik Praba, nampak bahwa KMB memperhatikan masalah pengembangan sastra-seni dengan sistem jaringan kemitraan baik lokal, nasional, rejional dan internasional. Sistem ini jika diterapkan dengan baik, saya kira akan mampu mengerahkan semua potensi yang terdapat di negeri kita dan unsur-unsur solidaritas manusiawi dari luar. Langsung tidak langsung dengan sistem ini kita melepaskan diri dari jaring jalan kesempitan dan kepongahan sektarisme, serta menempatkan standar tinggi dalam pekerjaan berkesenian. Sistem jaringan juga berarti menggalang kerjasama saling bantu dan mendorong maju seluruh jaringan yang bekerjasama. Sistem ini pun akan berdampak pada usaha penghancuran monopoli nilai dan sentralisme yang kiranya bukan padanan atau tidak compatiblee dengan bhinneka tunggal ika. Saya kira, kalau pemahaman saya benar, titik-titik inilah yang tersirat dalam kata-kata Manik Praba ketika menjelaskan kelahiran KMB: "Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antar pekerja seni dan pemerhati kebudayaan umumnya; -Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat Indonesia". Barangkali perumusan dasar pemikiran demikian merupakan hasil kesimpulan KMB atas pengalaman berkomunitas selama ini.Perumusan demikian sekaligus menggambarkan suatu program sadar KMB di hari ini, esok dan esoknya lagi...seperti halnya Pernyataan Gelanggang atau Mukaddimah Lekra tidak lain adalah suatu program budaya juga yang dirumuskan secara teoritis. Karena itu barangkali jika prinsip-prinsip umum yang mendasari kegiatan KMB seyogyanya dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang matang rapi. 6. Menjaga Mutu: Hal lain yang ingin saya garisbawahi adalah bagaimana dalam kegiatan-kegiatannya, KMB bisa selalu menjaga mutu baik mutu diskusi, mutu pembicara, mutu topik bahasan, mutu organisasi. Mutu, saya kira, akan berhubungan dengan wibawa, martabat dan pengaruh serta akan bergaung jauh. Ecek-ecek memang satu mutu juga tapi hasilnya pun akan ecek-ecek juga. Dilihat dari komposisi pengurus KMB, pengalaman dan daya kreativitas, kemampuan kerja mereka, saya kira saya tidak akan terlalu salah mengungkapkan kepercayaan. 7. Soal Dana: Dalam berkesenian sering dan sangat sering kita berhadapan dengan kesulitan dana. Dalam soal ini, atas dasar pengalaman pribadi yang sangat sedikit dan sederhana, saya tetap bertolak tidak dari dana melimpah. Dana melimpah kalau tidak dikelola dengan baik akan sirna dalam sekejap mata. Mengelola adalah menyangkut masalah kemampuan dan mutu manusia. Manusia bermutu, berwawasan dan bertanggungjawab inilah yang menjadi huruftebal saya dalam soal ini. Apabila sekarang kita tidak punya dana, tapi punya barisan manusia demikian, kiranya dana bisa dicari oleh manusia bermutu, berwawasan dan bertanggungjawab itu. Barangkali pengalaman saya keliru dan atau saya keliru menyimpulkannya. Dengan tulisan ini saya sekaligus menyambut kelahiran KMB yang sejak tangis pertamanya sudah mengemban beban besar negeri dan bangsa serta kemanusiaan yang menagih jawab.Hormat!*** Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [SELESAI] [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [3]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB]. [2] BEBERAPA GARISBAWAH: 4. PRINSIP KETERBUKAAN DAN KEMAJEMUKAN: Yang saya maksudkan dengan keterbukaan adalah pertama-tama tidak menjadikan pandangan agama atau ideologi tertentu sebagai dasar komunitas sehingga komunitas terbuka bagi siapa saja dari aliran, pandangan dan kepercayaan apapun. Prinsip ini, saya kira sesuai dengan prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan: bhinneka tunggal ika. Kalau ditanya lalu, mau ke mana, prinsip apa yang mendasari komunitas maka saya kira jawabannya adalah prinsip-prinsip republiken dan keindonesia sebagai bimbingan dalam memanusiawikan manusia, masyarakat dan kehidupan, prinsip yang saya kira mendasari lahirnya sastra-seni itu sendiri. Sesuai dengan prinsip-prinsip ini maka konsep sastra-seni kepualauan terdapat di dalamnya. Atas dasar ini maka sentralisme atau monopoli standar akan berada pada kutub lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip republiken dan keindonesia, sebagai bagian dari prinsip-prinsip manusiawi. Saya mengkhawatirkan apabila melepaskan prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan yang berhakekatkan menntang pikiran tunggal [la pensée unique], kita akan terjerat oleh sektarisme dan fanatisme yang anti kemajuan bahkan anti sejarah.Ketepatan memilih prinsip banyak menentukan perkembangan suatu komunitas. Yang sektaris tidak bakal berkembang sekali pun nampaknya pada suatu saat berkembang maju dan didukung oleh dana kuat, tapi karena ia tidak tanggap zaman dan tidak aspiratif ia lambat-laun akan jenuh sendiri dan terkubur oleh kecupetannnya.Kecupetan dan sektarisme pada galibnya tidak lain dari liang kuburan. Masalah prinsip ini saya ajukan agar bisa dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh pengurus KMB sambil menarik pelajaran dari komunitas-komunitas terkemuka sekarang seperti TUK dan FLP misalnya. Jika ada di antara para anggota KMB yang berbicara tentang kemasyhuran, saya kira, kemasyhuran bukanlah tujuan. Kemasyhuran erat hubungannya dengan kerja dan penerimaan masyarakat serta haridepan yang diawali oleh pilihan prinsip yang tanggap dan aspiratif. Dalam hal ini saya tidak menganggap TUK dan FLP sangat tanggap dan aspiratif sekali pun nampak bernama. Tapi kedua lembaga itu menyediakan pengalaman berharga bagi KMB. Apakah yang ditawarkan oleh TUK dan FLP untuk negeri dan republik ini dalam pengertian tanggap dan aspiratif dilihat dari segi nasion? Dengan segala keterbatasan dana, barangkali apa yang dilakukan oleh Halim HD dan kawan-kawannya di berbagai daerah, saya jauh lebih tanggap dan aspiratif bagi bangsa, negeri dan republik ini karena itu ia terus berkembang. Saya harap, pendapat ini tidak dianggap sebagai suatu serangan tapi lebih menyangkut pertanyaan prinsip dalam membangun sastra-seni di negeri kita. Pertanyaan prinsip akan bisa terangkat jika kita bisa membaca keadaan negeri dan bangsa secara nyata dengan tujuan tunggal memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, karena bagi saya sastra seni tidak lepas dari tujuan ini. Sekali pun KMB belum merincikan prinsip dan programnya atas prinsip pilihannya, tapi melalui pengenalan pribadi demi pribadi di dalam kepengurusannya dan juga dari kerangka pemikiran yang mendasari didirikannya KMB seperti yang dibeberkan oleh Manik Praba dalam tulisannya di berbagai milis tentang KMB, saya menaruh harapan besar bahwa KMB bisa menempuh jalan alternatif dengan menimba pengalaman dari praktek komunitas-komunitas yang ada sekarang. Kalau KMB hanya mengikuti mentah-mentah apa yang sudah ada, saya tidak yakin KMB akan membesar dan berkembang di seluruh negeri seperti berkembangnya "mata bambu". Tidak juga bakal bisa menjadi katalisator komunitas-komunitas.Keunggulan dan kekurangan komunitas-komunitas yang ada sekarang tentunya merupakan lumbung pelajaran yang berharga.Kemampuan menimba pelaran dari lumbung pengalaman ini berarti KMB melangkah setindak di depan. Kerangka pikiran yang mendasari lahirnya KMB, 15 Juli 2005 adalah: -"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antarpekerja seni dan pemerhati kebudayaan umumnya; -Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat Indonesia. -Perlu ditingkatkan terus pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat umum terhadap kesenian dan kebudayaan; -Perlu dikembangkan situasi kehidupan yang kondusif dan layak bagi para pekerja seni dan pemerhati kebudayaan pada umumnya. -Perlu ditumbuhkan terus harga diri dan kepercayaan diri para pekerja seni dan kebudayaan agar tidak kehilangan gairah terhadap dunia seni dan kebudayaan yang digelutinya. -Perlu diberi kesempatan dan peluang yang memadai kepada para pekerja seni dan kebudayaan yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terabaikan karena sulitnya kondisi kehidupan mereka" [Manik Praba, 21 Juli 2005]. Apabila mengamati kerangka pikiran di atas barangkali yang kurang digarisbawahi adalah sikap keterbukaa
[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [4-- SELESAI ]
KRONIK ANGSA LIAR: SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [4] Bentuk sastra-seni yang ada di kalangan buruh migran, terutama di Hong Kong adalah puisi, cerpen, seni drama/teater, baca sanjak, tari dan lukisan. Tapi yang paling banyak digunakan adalah puisi dan cerpen. Dalam perbandingan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai sarana pengungkap diri tetap genre puisi juga. Saya sendiri sudah mengumpulkan dari berbagai sumber puisi-puisi buruh migran dari berbagai negeri seperti Hong Kong, Malaysia, Taiwan, dan lain-lain... Demikian juga saya pun mulai mengumpulkan cerpen-cerpen tentang buruh migran baik yang ditulis oleh buruh migran sendiri atau mereka yang menaruh perhatian pada soal buruh migran. Dari kalangan yang terakhir terdapat nama-nama antara lain Fia Rossa, Rida Fatria, Ida ... dan lain-lain nama lagi. Sedangkan dari kalangan buruh migran terdapat nama-nama seperti Wina Kami, Ifah Rosian, H. Nurjariah, Imes Hisa, Aishara Putry, Endang Partiwi, dan lain Fia Rossa yang hidup di Hong Kong dan mengenal masalah-masalah buruh migran melalui cerpen-cerpennya mengangkat persoalan-persoalan nyata dan mengeneskan hati. Fia Rossa sekarang masih terus menulis dan melanjutkan penulisannya dengan tema buruh migran. Sedangkan Rida Fatria menulis novel tentang buruh migran, atas dasar negara. Di sini saya hanya ingin menarik perhatian berbagai pihak terutama dunia penerbitan dan kalangan sastrawan terhadap karya-karya begini, bukan untuk membahas karya-karya tersebut. Di dalam genre puisi, terdapat kegiatan yang lebih menonjol lagi. Sampai sampai dilakukan perlombaan puisi di kalangan buruh migran yang disokong oleh Departemen Tenaga Kerja RI dan Pemberdayaan Perempuan [?!] hanya memberi sertifikat pada para pemenang, tapi tidak menindak lanjutkannya ke tingkat menerbitkan karya-karya itu. Puisi-puisi yang dilombakan ini bisa diperoleh di website [EMAIL PROTECTED] Hampir tidak ada kegiatan buruh migran terutama di Hong Kong yang tidak disertai oleh puisi. Dalam genre ini terdapat nama-nama seperti Vivian Wahab, Atik, Surati, Danink Kurniaty, Ernanda Fikri, Fia Rossa, kemudian yang paling paling menonjol dan terpnting di antara mereka di dunia kepenyairan adalah Mega Vristian -- moderator milis [EMAIL PROTECTED] Terhadap khazanah sastra yang terdapat di kalangan buruh migran ini belum banyak penerbit yang menaruh perhatian. Mungkin karena menganggap buruh migran , khususnya TKW/TKI adalah lapisan masyarakat yang berkualitas rendah sehingga memandang mereka diawali dengan pandangan melecehkan para babu dan pekerja badan. Padahal seperti yang diperlihatkan oleh karya-karya Fia Rossa, karya-karya ini merupakan mutiara berkilau jika diasah, dan ini adalah pekerjaan penyuntingan. Di tengah kelangkaan perhatian terhadap karya-karya sastra buruh migran ini, terdapat nama Penerbit Ombak Yogyakarta, pimpinan Nursam, yang menyatakan ketertarikan dan keinginannya menerbitkan karya-karya tersebut. Ketertarikan dan keinginan Penerbit Ombak terhadap karya-karya buruh migran ini, kembali memperlihatkan sifat pelopor dari badan penerbit yang dipimpin oleh angkatan muda bangsa dan negeri ini. Penerbit Ombak lagi-lagi mencoba memberikan terobosan bagi pengembangan sastra di negeri ini. Adalah Penerbit Ombak jugalah yang memberi perhatian kepada karya-karya kaum tani Kerawang. Melihat langkatnya penerbit seperti Ombak yang menaruh perhatian secara nyata pada lapisan bawah, mengapa tidak dari pihak buruh migran dan organisasi-organisasinya mengimbangi usaha Penerbit Ombak Yogyakarta ini dengan perhatian nyata pula. Solidaritas akan lebih kokoh jika ia seperti gayung bersambut***. Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Selesai] [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU DI JAKARTA [2]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB]. [2] BEBERAPA GARISBAWAH: 1.Kerjasama Majalah Sastra-Budaya "Aksara" dan KMB. Sejauh yang saya amati, hubungan antara Majalah Aksara dan KMB, kalau amatan ini benar, lebih bersifat kerjasama kemitraan erat saling menguntungkan dan saling tunjang. Artinya dua lembaga ini masing-masing berdiri independen. Sejauh ini belum ada pernyataan bahwa Majalah Aksara merupakan organ dari KMB. Adanya kerjasama begini secara tersirat memperlihatkan bahwa antara keduanya terdapat kesejajaran orientasi. Kalau tidak mana mungkin akan terjalin suatu kerjasama. Melalui kerjasama demikian, kegiatan-kegiatan KMB bisa disebarluaskan. Untuk sebuah organisasi, organisasi apa dan bagaimana pun, adanya sebuah media senantiasa mempunyai arti penting. Sebaliknya Majalah Aksara dengan kerjasama ini mendapatkan tempat leluasa di TIM oleh berpangkalnya KMB di TIM sebagai salah satu pusat kegiatan sastra-seni tak terabaikan di Jakarta. Dengan demikian maka Majalah Aksara pun mendapatkan serta telah mengambil tempatnya di kalangan dunia sastra-seni ibukota. Melalui kerjasama kemitraan dengan Majalah Aksara, KMB pun di lain sisi bisa memanfaatkan pelaksanaan program-programnya antara lain dengan menggunakan jaringan kerja yang ada pada Majalah Aksara yang nampaknya terus berkembang. Dilihat dari segi organisasi, adanya jaringan-jaringan kerja di berbagai tempat yang dikembangkan dan terus dikembangkan oleh Majalah Aksara, saya kira mempunyai arti penting. Dengan cara ini, Majalah Aksara dan KMB bisa menumbuhkan janin gerakan kebudayaan -- mungkin alternatif -- bagi bangsa dan negeri yang sedang ditimpa oleh krisis multi dimensional sekarang ini. Tumbuhnya gerakan kebudayaan dari bawah berbasiskan komunitas-komunitas sastra-seni di berbagai daerah dan pulau, secara pandangan optimistik, bisa diharapkan memobilisasi seluruh kearifan dari bawah yang barangkali mampu menawarkan alternatif budaya bagi negeri dan bangsa. Kerjasama Majalah Aksara-KMB dengan demikian membuat para pendukungnya keluar dari langit kecupetan bersifat setempat. Jika orientasi ini dilaksanakan dengan konsekwen, bukan tidak mungkin keduanya bisa memainkan peran katalisator bagi komunitas-komunitas yang ada dan akan ada. Mendorong dan mengembangkan lebih lanjut baik dari segi kualitas mau pun kuantitas komunitas-komunitas yang ada.Lahirnya komunitas-komunitas sastra-seni ini merupakan kreativitas dari angkatan sekarang dalam berkesenian, cara mengorganisasi diri yang berbeda cara-cara pada masa pemerintahan Soekarno. 2. PROGRAM: Hal lain yang menarik perhatian saya pada KMB adalah adanya program jelas yang menyertai kelahirannya. Adanya program ini memperlihatkan bahwa komunitas baru ini bekerja secara terancang dan bukan insidentil. Terancang dengan tujuan serta orientasi yang jelas. Dan program ini, jika disimak benar mencakup program mendesak, program jangan pendek dan jangka panjang. Program-program ini didukung oleh sebuah struktur organisasi yang padan untuk melaksanakannya. Dari adanya sturuktur organisasi dan program serta komposisi para penanggungjawabnya, saya melihat samar-samar adanya gambaran tentang pola gerakan kebudayaan yang diimpikan oleh KMB-AKSARA. Ciri-ciri ini memperlihatkan bahwa kegiatan KMB-AKSARA bukanlah kegiatan spontan. Betapa pun kecil kegiatannya pada suatu ketika, tapi yang kecil itu merupakan ujud dari suatu mimpi besar dan bukan suatu kegiatan spontan, melainkan suatu aktivitas budaya sadar guna mencapai tujuan. 3. ALIANSI BERBAGAI ANGKATAN: Apabila mengamati susunan pengurus KMB, nampak pada saya bahwa komunitas baru ini mencoba menyatukan potensi dan kearifan serta pengalaman berbagai angkatan sastrawan-seniman. Di dalam kepengurusannya ada nama-nama Sides Sudyarto yang berbeda dari angkatan Manaek Sinaga. Sedangkan angkatan Manaek berbeda pula dari angkatan Dody Iskandar, Donny Anggoro atau Henny Purnama atau pun Faiz Manshur. Potensi, kemampuan, kearifan dan kemungkinan-kemungkinan berbagai angkatan ini agaknya ingin dihimpun oleh KMB sebagai satu kekuatan.Dari susunan kepengurusannya, tertangkap oleh saya, kesadaran para anggota komunitas bahwa masing-masing angkatan punya tempat dan guna. Tidak terlihat pandangan saling hujat dan meremehkan seperti "Ah kau angkatan tua bangka" atau "Huh, bacot gede, padahal baru anak kemarin sore!". Latar pengalaman para anggota dan pengurus pun sangat beraneka. Pengalaman Manik Praba berbeda dengan Sides, dengan Donny Anggoro, Moyak, Faiz Manshur, Arie MP Tamba dan lain-lain.. Pengalaman perbedaan yang juga mau diorganisasi menjadi suatu kekuatan oleh KMB atas dasar "asas kebersamaan dan kekeluargaan". Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Bersambung] [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabat
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI [1]MATA BAMBU DI JAKARTA
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MENYAMBUT LAHIRNYA KOMUNITAS SASTRA-SENI MATA BAMBU [KMB]. [1] Pada tanggal 15 Juli 2005 sejumlah sastrawan-seniman dan budayawan dari berbagai generasi, termasuk yang berhimpun di sekitar Majalah Sastra-Budaya Akasara , Jakarta telah mendirikan sebuah komunitas baru menambah jumlah komunitas yang sudah ada. Komunitas baru ini dinamai Komunitas Mata Bambu [|KMB] yang bersekretariat di: Gedung PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB. Jassin Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat [Telp: (021) 31936641; E-mail: [EMAIL PROTECTED] ]. Adapun susunan pengurusnya tersusun sebagai berikut: Dewan Pengurus Komunitas matabambu adalah: 1. Manaek Sinaga (Manik Praba) 9. Dody Iskandar (Moyank) 2. Arie MP Tamba 10. Henny Purnama Sari 3. Maroeli Simbolon11. Faiz Manshur 4. Endo Senggono 12. Akhmad Sekhu 5. Sides Sudyarto 13. Mahanani Burhan (Nani) 6. Imam Maarif 14. Farah Farida 7. Nuruddin Asyhadi15. Harna Silwati Silvi 8. Ahmad Nurullah 16. Donny Anggoro dengan penanggung jawab harian: -Ketua Komunitas: Sides Sudyarto -Sekretaris Komunitas: Manaek Sinaga -Humas Komunitas: Arie MP Tamba -Bendahara dan Sponsorship: Henny Purnama Sari -Divisi Penerbitan: Nuruddin Asyhadi KMB ini didirikan atas dasar pertimbangan "bertitiktolak pada pemikiran bahwa" bahwa di negeri ini: -"Perlu dijalin terus komunikasi yang efektif dan harmonis antarpekerja seni dan pemerhati kebudayaan umumnya; -Perlu dikembangkan terus segenap potensi kesenian dan kebudayaan masyarakat Indonesia. -Perlu ditingkatkan terus pemahaman, kesadaran, dan kecintaan masyarakat umum terhadap kesenian dan kebudayaan; -Perlu dikembangkan situasi kehidupan yang kondusif dan layak bagi para pekerja seni dan pemerhati kebudayaan pada umumnya. -Perlu ditumbuhkan terus harga diri dan kepercayaan diri para pekerja seni dan kebudayaan agar tidak kehilangan gairah terhadap dunia seni dan kebudayaan yang digelutinya. -Perlu diberi kesempatan dan peluang yang memadai kepada para pekerja seni dan kebudayaan yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terabaikan karena sulitnya kondisi kehidupan mereka". Pada tanggal 13 Agustus 2005, pukul 15.00, di PDS HB. Jassin-TIM, Jakarta, KMB akan mengumumkan secara resmi eksistensinya sekaligus meluncurkan antologi puisi JJ. Kusni berjudul "Sansana Anak Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan" yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta [Agustus 2005]. "Sansana" adalah salah satu bentuk puisi rakyat Dayak daerah Katingan, Kalimantan Tengah yang masih sangat hidup sampai sekarang. Menurut keterangan bocoran yang saya peroleh, kegiatan pertama ini akan segera disusul oleh kegiatan-kegiatan terencana lainnya seperti: Diskusi Iwan Simatupang (September 2005), Heroisme (Oktober 2005), Diskusi Maskulinisme vs Feminisme (November 2005). Di samping kegiatan-kegiatan berupa peluncuran buku dan diskusi seperti di atas, KMB juga mempunyai program pendidikan, pengkajian, penerbitan dan memperkokoh sistem kerja jaringan baik di tingkat lokal, nasional dan internasional. Dalam melaksanakan program-programnya, sejak berdiri, nampaknya, KMB menjalinkan kerjsama erat dengan Majalah Sastra-budaya Aksara, Jakarta yang dipimpin oleh Manaek Sinaga. Kerjasama yang didasarkan pada "asas kebersamaan dan kekeluargaan" yang dipilih oleh KMB sebagai prinsip kerjanya. Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Bersambung] [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] LAPAR! LAPAR DI NEGERI KITA!
LAPAR! LAPAR DI NEGERI KITA! lapar!lapar! lapar jiwa lapar raga lapar negeriku kita orang-orang lapar ikan-ikan menggelepar didampar ombak pantai kencana lapar mengerdilkan raga mengerdilkan manusia mengerdilkan penduduk petinggi duduk di bangkai kita darah kita di cangkir kopinya lapar dari kupang ke sumba timur lapar mengamuk rote ndao dari belu hingga alor ajal menyergap penduduk ajal turun dari segala penjuru lapar, lapar ini bukan intermezo, bung lapar di pulau-pulau begini kaya maut yang lapar kita jadi mangsa lapar ini lapar kita lapar orang-orang terpinggir lapar orang-orang pulau kampung dan desa bukan lapar presiden atau anggota parlemen yang lapar uang lapar kuasa lapar ini lapar kita lapar yang memerosotkan republik menjatuhkan martabat negeri dan diri sedang anggota parlemen minta 51 juta gaji ketika kita dibinasakan lapar bencana turun dari 16 penjuru ini tentu bukan intermezo, bung, yang kau "prekkan!" ini benar satu petaka menagih tindakan tak kepalang menagih sikap putera-puteri beradat lapar! lapar lapar jiwa lapar raga lapar negeri lapar mengerdilkan kita lapar merabunkan mata anakku,di hadapan petaka jangan kau jadi peratap lebih baik mati berdiri daripada menjadi budak tanpa martabat negeri ini pulau ini negeri dan pulaumu hidup adalah hak! Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [3]
KRONIK ANGSA LIAR: SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [3] Yang menarik perhatian saya dan menimbulkan pertanyaan: Mengapa kegiatan sastra-seni buruh migran ini lebih mencuat di Hong Kong dibandingkan dengan di negeri-negeri lain? Saya memang tidak punya angka persis tentang berapa jumlah buruh migran Indonesia di Hong Kong, juga dengan sendirinya saya tidak mempunyai data statistik tentang klasifikasi mereka, baik mengenai daerah asal, tingkat pendidikan atau pendidikan formal mereka dan sebagainya. Tidak juga tentang jenis pekerjaan mereka. Sebab pengertian BMI tidak sebatas pada pekerjaan "pramuwisma" -- istilah lain yang bersifat pelembut bagi pekerjaan pembantu rumah tangga, tapi juga mencakup bidang-bidang pekerjaan lain seperti jururawat, buruh pabrik, bekerja di radio, atau tenaga ahli, dan lain-lain Apa yang saya dapatkan adalah evaluasi garis besar dari berita-berita mengenai BMI dan sumber-sumber langsung lainnya. Kalau sumber saya benar, maka sekarang jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh buruh migran Indonesia, terutama adalah sebagai pembantu rumah tangga, dan umumnya mereka adalah buruh migran perempuan. Jumlah mereka sekarang, agaknya sudah menyaingi jumlah buruh migran dari Philipina yang di sekitar tahun 1991 merupakan jumlah terbesar di bidang pekerjaan sektor ini. Di sini saya tidak mencampuradukkan antara orang-orang asal Indonesia yang sudah menjadi warganegara Hong Kong yang jumlahnya, terutama setelah Tragedi Nasional September 1965, juga tidak sedikit. Kelompok ini tidak termasuk dalam kategori BMI. Hal lain yang menarik perhatian saya adalah daerah asal para pramuwisma Indonesia di Hong Kong yang banyak sekali berasal dari Jawa Timur. Agaknya agen-agen penyalur pramuwisma ini banyak beroperasi di daerah Jawa Timur dan kemudian Jawa Tengah. Barangkali ada hubungannya dengan tingkat pengangguran dan keadaan sosial lainnya di kedua propinsi yang terpadat secara demografis di Indonesia. Adanya BMI saya kira tidak terlepas dari kondisi sosial-politik-ekonomi, terutama sejak Orde Baru. Sebab, pada masa pemerintahan Soekarno, BMI tidak dikenal. Karena itu saya katakan bahwa gejala BMI, tidak terlepas dari hasil dan akibat politik "pembangunan" Orba juga yang menciptakan kesenjangan luar biasa antara kaya dan miskin di negeri kita. Ataukah barangkali gejala BMI ini suatu gejala kemajuan dan keberhasilan mewujudkan kemerdekaan nasional?! Kembali pada masalah sentral: Mengapa justru di Hong Kong, terdapat kegiatan berkesenian yang berarti di kalangan BWI? Menjawab pertanyaan ini, barangkalik penjelasan Fia Rosa, seorang cerpenis yang banyak menggarap tema-tema BMI bisa memberi guna. Tulis Fia Rosa dalam cerpennya "Lukamu Adalah Dukaku" "The Pearl of the Oriental [Mutiara Dari Timur], sebuah julukan untuk Hong Kong -- yang merupakan salah-satu wilayah Republik Rakyat Tiongkok [RRT] yang sangat berkembang. Sistem pemerintahannya sangat bagus dan mendukung pertumbuhan ekomoni yang sangat pesat. Salah satu bentuk dari tatanan kehidupan bermasayrakat dan bernegara yang sangat bagus ini, tercermin pada adanya peraturan hukum yang mengatur tentang pekerja migran" [Dari: Arsif Pribadi JJK]. Oleh adanya perlindungan hukum ini, yang merupakan peninggalan kolonialis Inggris, memungkinkan para BMI melakukan berbagai macam kegiatan,termasuk di antaranya kegiatan berkesenian, sebagaimana digambarkan oleh Fia Rosa di bawah ini: "Banyak sekali aktifitas yang dijadwalkan setelah seminggu keletihan memandang muka-muka masam para majikan. Ada yang bersiap-siap melakukan pertemuan untuk organisasi. Ada yang janjian bertemu di Taman Victoria [Victoria Garden], ada yang pergi mengikuti kursus-kursus, ada yang melakukan kebaktian, bergabung dengan masyarakat lokal di gereja-gereja yang megah. Ada yang terburu-buru menuju ke mesjid untuk menghadiri pengajian. Ada yang menghabiskan waktunya untuk shopping. Ada juga yang pergi kencan dengan pacar-pacar mereka dari berbagai macam bangsa, seperti buruh mogran dari India , Pakistan, Nepal, atau pun orang-orang kulit putih. Tapi ada juga yang hanya bisa "bengong" lontang-lantung sendirian tak tahu apa yang mereka lakukan. Demikianlah suasana kehidupan para pekerja migran di hari-hari libur mereka". Sehingga tak heran jika para pekerja migran di Hong Kong tak seperti layaknya pekerja migran lainnya, keren-keren dan otak mereka encer, tak kalah dari mereka yang jebolan sekolah tinggi di Indonesia meski sebenarnya mereka mungkin hanya lulusan sekolah dasar , SMP, maupun SMA walau ada juga yang jebolan dari sekolah tinggi". Adanya komunitas besar BMI, oleh Fia Rosa dijelaskan sebagai berikut: "Menjadi pekerja migran bukanlah pilihan mereka. Pekerjaan ini mereka pilih dengan berat hati. Karena Pemerintah Indonesia tak lagi peduli akan nasib rakyat kecil, sudah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka sedangkan tuntutan kehidupan membuat mereka har
[ppiindia] PEMBERONTAKAN YANG PINTAR PATUT DILANCARKAN
PEMBERONTAKAN YANG PINTAR PATUT DILANCARKAN ketika kepapaan ketika kelaparan ketika ancaman kehancuran dan kematian menabur jaringjalanya dari pagi hingga senja tanahair dan penduduk pulau dilecehkan di rak-rak dokumen parlemen di deretkan di laci kadaluwarsa "declassified categories documents" republik dan indonesia puntung rokok tercampak di tumit sepatu uang sang raja anggota parlemen sudah bukan penyandang mimpi hanya tahu menuntut gaji tinggi jutaan parlemen sudah demikian merosot sanggup jadi budak dan pembunuh bayaran para pemilih sogokan hingga undang-undang dan peraturan amis darah penindasan tak kepalang kukira sudah saatnya memang kita patut habis-habisan bertarung kalau republik, indonesia dan manusia masih dijunjung kukira sudah saatnya memang kita patut berlawan dengan nyata pelecehan dan perbudakan begini tak layak dibiarkan bersimaharajalela kernanya aku menghargai pemberontakan tapi pemberontakan yang pintar parlemen sudah jadi komplotan bandit dalam cerita koboi far-western republik dan indonesia satu titik geografis planet ini di mana kemanusiaan sudah demikian gawat hilang harkat dan martabat pemberontakan yang pintar patut kita lancarkobarkan maka kata kujadikan damak-damak beripuh damak dari otak dan hatiku yang membidik Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING:SEKALI LAGI TENTANG PERTEMUAN SASTRAWAN BORNEO-KALIMANTAN KE-VIII DI SANDAKAN, SABAH [2]
aitu Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Bertempat di Hotel Sabah, pertemuan ini mengambil tema 'Persuratan Melayu Menjana Pembinaan Bangsa'. Dari Indonesia diwakili lima delegasi. Diantaranya Yudhiswara (Kalbar), Aminudin Rifai yang lebih dikenal dengan Amien Wangsitalaja (Kaltim), Drs Muhammad Mugeni (Kalsel), Drs Rusman Namsurie (Kalteng), dan Safrulah Sanre (Sulawesi). Adanya delegasi dari Sulawesi ini, menurut Aminudin karena forum ini ke depan akan memperluas cakupannya hingga ke Mindanau Filipina dan bagian timur Indonesia. "Hal ini juga dilatarbelakangi bahawa sastra di daerah tersebut masih lemah. Sehingga perlu untuk dibangkitkan. Lagi pula daerah Mindanau juga menggunakan bahasa Melayu. Selain itu juga untuk meramaikan forum kajian sastra dan budaya tersebut," kata Aminudin kepada Kaltim Post. Lebih lanjut pria yang akrab disapa Amin ini menuturkan, ketika membicarakan perkembangan sastra di daerah masing-masing, banyak peserta mengaku merasa termarjinalkan. Seperti delegasi dari Sabah dan Sarawak yang mengeluhkan perkembangan sastra di daerah mereka yang tidak semaju daerah Semenanjung (Malaysia wilayah barat). Hal itu diperparah orang-orang Semenanjung yang menganggap remeh karya sastra dari kawasan Sarawak dan Sabah. "Kalau di Kalimantan, perbandingannya dengan Jawa dan Sumatra. Memang sastra di Kalimantan terpinggirkan atau belum semaju Jawa atau Sumatra. Walapun untuk wilayah Kalimantan, Kalsel bisa dibilang paling maju perkembangan sastranya. Oleh karena itu, pada dialog tersebut diusulkan adanya penghargaan sastra khusus untuk sastrawan Borneo - Kalimantan," tuturnya. Selain berencana memberikan penghargaan bagi sastrawan Borneo - Kalimantan, forum ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi. Diantaranya adalah memperluas cakupan keanggotaannya dengan mengajak sastrawan Filipina bagian selatan dan Indonesia bagian timur yang nantinya dinamakan Dialog Timur. Mengadakan seminar tentang Syair Melayu dalam ruang lingkup Borneo - Kalimantan. Membuat website tentang sejarah perkembangan sastra melayu, baik dalam bahasa melayu maupun dalam bahasa asing. Mengadakan pertukaran penulis di wilayah Borneo - Kalimantan dengan harapan dapat meningkatkan mutu karya masing-masing daerah. Sementara itu Ketua Menteri Sabah, Datuk Musa Haji Aman seperti yang dikutip Amin, mengucapkan pertemuan antarbangsa serumpun ini merupakan wadah untuk membahas perkembangan bahasa, sastra, dan budaya di wilayah kepulauan Borneo. Selain itu juga sebagai ajang bertukar pikiran dan pengalaman dengan harapan mampu menyejajar diri dengan bangsa-bangsa lain yang sudah maju. "Harapan saya agar Dialog Borneo - Kalimantan ke-VIII ini dapat membuka dimensi baru dalam pengekalan budaya bangsa serantau. Di samping mengeratkan lagi kerjasama yang sekian lama terjalin. Sebelum ini pun pelbagai bentuk kerjasama dalam bidang-bidang yang lain telah berhasil dan mencapai matlamatnya (tujuan) seperti kerjasama perdagangan, persempadan, dan lain-lain. Sekali lagi saya mengucapkan setinggi-tinggi penghargaan kepada semua yang terlibat dalam menjayakan kegiatan yang amat berharga ini," tutur Datuk Musa Haji Aman. (cono rispambudi utomo) *** [Sumber:Saaludin Marif, [EMAIL PROTECTED] Thursday, July 14, 2005 12:47 PM]. 2. BACA CATATAN DALAM RENCANA KOMENTAR nadin <[EMAIL PROTECTED]> wrote: -Original Message- From: Budhisatwati KUSNI [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Sunday, July 10, 2005 10:35 AM To: dayak; [EMAIL PROTECTED]; aliemha aliemha; kOMUNITAS TERAPUNG; LEMBAGA STUDI DAYAK21; [EMAIL PROTECTED]; Ka Ida --BPost; budi banjar; ronny teguh; nadin; JPK; jaringan penulis kaltim; Ken Zuraida Hamid Subject: JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF? JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF? Pertemuan sastrawan Borneo-Kalimantan ke-VIII yang berlangsung pada 2-5 Juli lalu di Sandakan, Sabah, Malaysia, mestinya sekarang sudah berakhir. Sayangnya informasi lebih jauh tentang hasil-hasil dan keputusan-keputusan yang ditelorkan oleh Pertemuan itu sampai sekarang masih saja tidak didapatkan, juga oleh publik di lingkungan sastrawan di Kalimantan. Apakah ini suatu kekurangpahaman pihak penyelenggara akan makna sosialisasi hasil-hasil pertemuan yang menggunakan label "sastrawan Borneo-Kalimantan" Bang Maily bersetuju pandangan sobat/sepatutnya sudah ada keputusan/resolusi di akhir dialog/tapi kalau adapun resolusi itu merupakan satu hal yang kita tunggu, tetapi akankah resolusi itu bakal dibincang dan dijadikan kenyataan atau resolusi kok tinggal resolusi melulu kerana kita kita ini suka ngomong2 aja dan kurang bertindak untuk maksud merealisasikan apa yang diputuskan"ataukah kembali
[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [2]
KRONIK ANGSA LIAR: SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [2] Tidak kurang pentingnya dalam kegiatan berkesenian dan dalam bidang-bidang kehidupan lainnya adalah dampingan solidaritas dari para akademisi, organisasi buruh Hong Kong, dan para profesional sehingga kegiatan, termasuk dalam kehidupan sastra-seni kian terarah dan sistematik. Penyelenggaraan workshop penulisan yang sekarang sedang berlangsung [Minggu, 10 Juli ini, di Hongkong University, Kowloon, dua cerpenis Jawa Timur, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto, diundang menjadi pembicara pada acara workshop penulisan bagi buruh migran Indonesia (BMI) di Hongkong. Workshop yang diadakan komunitas sastra BMI Caf? br> de Kosta itu diikuti lebih dari 200 pekerja di Tiongkok itu] adalah sekedar salah satu contoh saja dari ujud kongkret dampingan para profesionalis di kalangan buruh migran. Keterlibatan para profesionalis dalam kegiatan tulus-menulis di kalangan buruh migran, saya kira akan sangat berarti guna meningkatkan wawasan, teknhis know-how [keterampilan] para mereka yang tertarik menggunakan sarana tulis-menulis dalam mengungkapkan diri. Seperti dikatakan oleh Harian Jawa Pos [Minggu, 10,Juli 2005]: "Banyak mutiara terpendam di sana. Jika saja kita tekun dan sedikit sabar memolesnya, pastilah mutiara-mutiara itu bakal berkilauan, menyemarakkan Taman Sastra Indonesia". Membantu membuat "mutiara-mutiara itu ..berkilauan" guna "menyemarakkan Taman Sastra Indonesia" adalah fungsi dari keterlibatan para profsiona!is dan cendekiawan. Membantu artinya memberikan syarat luar yang menguntungkan, sebab akhirnya apakah "mutiara-mutiara" ini akan berkilau atau tidak, ditentukan oleh masing-masing individu itu sendiri, antara lain kesungguhan dan kesadaran bersastra mereka. Dilihat dari segi para cendekiawan dan profesionalis itu, maka dampingan atau keterlibatan mereka, barangkali bisa dipahami sebagai ujud dari komitmen sosial yang kongkret. Penyatuan diri kaum cendekiawan dengan masyarakat, terutama lapisan masyarakat yang luas, akan mempunyai peranan penting bagi perobahan progresif, di samping sekaligus mengobah mendidik para cendekiawan itu sendiri yang biasanya pongah, karena mula-mula menduga ijazah dan gelar adalah sama dengan ijazah dan gelar kehidupan. Yang menarik perhatian saya dan menimbulkan pertanyaan: Mengapa kegiatan sastra-seni buruh migran ini lebih mencuat di Hong Kong dibandingkan dengan di negeri-negeri lain? Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI Lampiran: Ketika Para Buruh Menulis Sastra Minggu, 10 Juli ini, di Hongkong University, Kowloon, dua cerpenis Jawa Timur, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto, diundang menjadi pembicara pada acara workshop penulisan bagi buruh migran Indonesia (BMI) di Hongkong. Workshop yang diadakan komunitas sastra BMI Caf? br> de Kosta itu diikuti lebih dari 200 pekerja di Tiongkok itu. *** Belakangan ini dalam dunia sastra Indonesia muncul istilah yang tampaknya akan semakin sering disebut-sebut: sastra buruh migran (Indonesia). Fenomena itu ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra dari "rahim" para pekerja wanita kita di luar negeri, yang diam-diam sudah lama "mengandung" benih-benih potensi yang luar biasa. Terus terang, saya sempat dikagetkan oleh kehadiran Rini Widyawati, yang tahun lalu baru pulang dari Hongkong. Selama dua tahun Rini memang bertaruh jiwa dan raga menjadi domestic helper (pembantu rumah tangga) di negara bagian Tiongkok itu. Nah, ketika pulang ke kampung halaman itulah, Rini membawa oleh-oleh sebuah catatan harian yang, oleh beberapa kalangan, dinilai sangat nyastra. Tak lama kemudian, oleh-oleh itu telah terbit menjadi buku dengan judul: Catatan Harian Seorang Pramuwisma (JP-Books, Mei 2005). Rini boleh jadi termasuk salah satu TKW kita yang istimewa. Secara akademis, dia hanya sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah dasar. Karena setelah itu, dia harus mencari penghidupan sendiri keluar dari kemiskinan keluarganya di desa. Untungnya, begitu sampai di kota (Malang), dia bertemu dengan seorang pengarang wanita hebat:Ratna Indraswari Ibrahim. Maka, sambil membantu membereskan pekerjaan rumah, Rini mendapat "pelajaran" secara khusus bagaimana "menulis sastra" dari Mbak Ratna. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hingga Rini menginjak dewasa. Hingga Rini kemudian memutuskan untuk pergi menjadi TKW di Hongkong.. Saya benar-benar terperanjat ketika menerima naskah Rini (saat itu saya menjadi editor di JP-Books) yang menurut saya benar-benar luar biasa. Dari pengalaman menyunting buku Rini itulah saya lalu berkenalan (atas bantuan cerpenis Lan Fang) dengan wartawati Berita Indonesia (salah satu koran berbahasa Indonesia yang beredar di Hongkong). Dia bernama Ida Permatasari yang lebih senang memakai nama Arsusi Ahmad Sama'in dalam tulisan-tulisannya (kebanyakan berupa cerpen). Perempuan asal Blitar itu yang sangat bersemangat memprovokasi perempuan buruh migran asal Indonesia di
[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [1]
Pengantar: Saya kirim ulang tulisan ini untuk mengkoreksi kesalahan nama "KIMWU" yang semestinya adalah IMWU. Karena kesalahan ini, melalui kontak japri, tulisan ini sempat dikatakan "penuh kesalahan", sedangkan ketika saya tagih untuk ditunjukkan secara rinci kesalahan-kesalahan lain yang dikatakan "penuh" itu,permintaan saya tidak dipenuhi. Barangkali yang terjadi hanyalah kelalaian berbahasa cermat saja atau bukti dari keadaan tidak buta aksara tapi tidak bisa membaca. Titik utama yang ingin saya angkat di sini, adalah menunjukkan bahwa di kalangan buruh migran terdapat, kegiatan sastra-seni dan saya kira ini patut didorong serta dikembangkan. Kepada para pengkritik, saya ingin bertanya: Patutkah kegiatan ini dikembangkan dan digalakkan secara sistematik? Adanya Buruh Migran Indonesia [BMI] merupakan gejala baru dalam masyarakat, dan sangat wajar jika ia mencerminkan diri dan tercermin dalam sastra-seni. Berkembangnya sastra buruh migran, baik yang ditulis oleh buruh migran itu sendiri atau pun yang menaruh perhatian terhadap BMI, kiranya akan menambah warna pada sastra Indonesia kekinian yang terus berkembang. Saya sangat menggarisbawahi pentingnya buruh migran menulis langsung tentang diri mereka sendiri sebagaimana dahulu, saya pernah ikut mendorong pengembangan kegiatan kaum tani menulis langsung tentang kehidupan diri mereka. Munculnya karya-karya sastra yang ditulis oleh buruh migran sendiri, membuktikan bahwa mereka adalah kekuatan pontensial dan sekaligus menjawab pelecehan terhadap mereka. Membabu adalah salahatu bentuk kerja badan, dan kerja badan mempunyai peranan sebagaimana halnya kerja otak dalam perkembangan masyarakat. Tak ada kebudayaan dan kehidupan tanpa kerja badan dan kerja otak. Penyempitan jarak antara keduanya, diperlukan.Menghina kerja badan hanya mempertontonkan kecupetan pikiran. Lahirnya karya sastra-seni di kalangan buruh migran hanya membuktikan kecupetan pelecehan ini. Penerbit Ombak Yogyakarta di bawah pimpinan Nursam, agaknya sudah menaruh perhatian pada jenis sastra ini. Dengan semangat inilah Kronik ini saya tulis dan tentu saja terbuka terhadap segala kritik nalar berbukti. JJ.KUSNI KRONIK ANGSA LIAR: SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [1]. SEJAK beberapa hari bulan Juli ini di Hong Kong, sedang diselenggarakan lokakarya penulisan di kalangan buruh-buru migran yang tinggal di kota-negara tersebut. Untuk keperluan lokakarya ini, dari Indonesia telah didatangkan dua orang wartawan/sastrawan. Dalam skala lebih besar,yaitu skala internasinonal, dari pihaknya Universitas Hong Kong, telah pula melangsungkan kegiatan pelatihan menulis. Sepanjang yang saya ketahui, buruh migran asal berbagai negeri di Hong Kong dibandingkan dengan buruh-buruh migran di tempat-tempat lain seperti Taiwan, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang apalagi di negeri-negeri Timur Tengah, jauh lebih aktif dalam berkesenian. Berkesenian mereka rasakan sebagai bagian dari keperluan mereka. Mereka memiliki grup teater dengan kegiatan periodik, beranggotakan buruh-buruh migran dari berbagai negeri, termasuk buruh migran asal Indonesia.Yang paling aktif di dalam grup teater ini adalah Mega Vristian, yang juga penyair dan pelukis asal Malang, Jawa Timur.Teater oleh buruh-buruh migran di Hong Kong selain menjadi sarana pengungkap diri, agaknya juga berfungsi sebagai alat untuk membela hak serta pengucap tuntutan dan harapan mereka. Teater dan berbagai bentuk sastra-seni lainnya, selalu menyertai kegiatan-kegiatan terorganisasi buruh-buruh migran di Hong Kong, di mana buruh migran asal Indonesia turut serta di dalamnya.Teater akhirnya, langsung tidak langsung merupakan suatu proses penyadaran dan sekolah politik-kebudayaan bagi buruh-buruh migran Hong Kong ini. Aktivitas berkesenian begini, mungkin dilakukan oleh para buruh migran Hong Kong, karena mereka mempunyai hak cuti akhir pekan yang dilindungi hukum. Cuti akhir pekan inilah kemudian yang oleh buruh-buruh migran ini sebagai peluang berkesenian -- kesempatan meningkatkan dan memanusiawikan diri.Di samping adanya perlindungan legal ini, kegiatan berkesenian mungkin berkembang oleh adanya majikan-majikan yang manusiawi, memberikan kesempatan kepada buruh-buruhnya setelah usai pekerjaan pokok melakukan hal-hal lain di luar tugasnya. Bahkan terdapat pula, para majikan yang membiarkan komputernya dipakai oleh buruhnya. Adanya majikan-majikan begini, saya kira tidak bisa dinegasi dengan membuat citra bahwa semua majikan itu jahat. Membuat citra majikan dan buruh migran sewarna, saya kira adalah cara pandang hitam-putih dan sangat simplistis, cara pandang yang tidak bakal mungkin memahami dan melukiskan kenyataan. Buruh dan majikan adalah dua sisi dari satu mata uang dengan lukisan berbeda di atasnya. Taman Victoria [Victoria Garden] akhir pekan merupakan tempat berkumpul dan sering menjadi pentas terbuka bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan buruh migr
[ppiindia] KRONIK ANGSA LIAR:SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [1]
KRONIK ANGSA LIAR: SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [1]. SEJAK beberapa hari bulan Juli ini di Hong Kong, sedang diselenggarakan lokakarya penulisan di kalangan buruh-buru migran yang tinggal di kota-negara tersebut. Untuk keperluan lokakarya ini, dari Indonesia telah didatangkan dua orang wartawan/sastrawan. Dalam skala lebih besar,yaitu skala internasinonal, dari pihaknya Universitas Hong Kong, telah pula melangsungkan kegiatan pelatihan menulis. Sepanjang yang saya ketahui, buruh migran asal berbagai negeri di Hong Kong dibandingkan dengan buruh-buruh migran di tempat-tempat lain seperti Taiwan, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang apalagi di negeri-negeri Timur Tengah, jauh lebih aktif dalam berkesenian. Berkesenian mereka rasakan sebagai bagian dari keperluan mereka. Mereka memiliki grup teater dengan kegiatan periodik, beranggotakan buruh-buruh migran dari berbagai negeri, termasuk buruh migran asal Indonesia.Yang paling aktif di dalam grup teater ini adalah Mega Vristian, yang juga penyair dan pelukis asal Malang, Jawa Timur.Teater oleh buruh-buruh migran di Hong Kong selain menjadi sarana pengungkap diri, agaknya juga berfungsi sebagai alat untuk membela hak serta pengucap tuntutan dan harapan mereka. Teater dan berbagai bentuk sastra-seni lainnya, selalu menyertai kegiatan-kegiatan terorganisasi buruh-buruh migran di Hong Kong, di mana buruh migran asal Indonesia turut serta di dalamnya.Teater akhirnya, langsung tidak langsung merupakan suatu proses penyadaran dan sekolah politik-kebudayaan bagi buruh-buruh migran Hong Kong ini. Aktivitas berkesenian begini mungkin dilakukan oleh para buruh migran Hong Kong, karena mereka mempunyai hak cuti akhir pekan yang dilindungi hukum. Cuti akhir pekan inilah kemudian yang oleh buruh-buruh migran ini sebagai peluang berkesenian -- kesempatan meningkatkan dan memanusiawikan diri.Di samping adanya perlindungan legal ini, kegiatan berkesenian mungkin berkembang oleh adanya majikan-majikan yang manusiawi, memberikan kesempatan kepada buruh-buruhnya setelah usai pekerjaan pokok melakukan hal-hal lain di luar tugasnya. Bahkan terdapat pula, para majikan yang membiarkan komputernya dipakai oleh buruhnya. Adanya majikan-majikan begini, saya kira tidak bisa dinegasi dengan membuat citra bahwa semua majikan itu jahat. Membuat citra majikan dan buruh migran sewarna, saya kira adalah cara pandang hitam-putih dan sangat simplistis, cara pandang yang tidak bakal mungkin memahami dan melukiskan kenyataan. Buruh dan majikan adalah dua sisi dari satu mata uang dengan lukisan berbeda di atasnya. Taman Victoria [Victoria Garden] akhir pekan merupakan tempat berkumpul dan sering menjadi pentas terbuka bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan buruh migran di samping yang diselenggarakan di ruang-ruang tertutup. Faktor lain yang membantu kegiatan berkesenian ini adalah terdapatnya organisasi buruh migran di Hong Kong, dan mempunyai jaringan kontak dengan Sarikat Buruh Hong Kong dan organisasi-organisasi buruh di negeri-negeri lain. Buruh-buruh migran Indonesia pun mempunyai organisasi mereka sendiri, seperti KIMWU dan mempunyai penerbitan-penerbitan mereka. Melalui organ-organ organisasi buruh migran ini disalurkan karya-karya sastra yang ditulis oleh para buruh migran tentang kehidupan mereka. Selain media cetak, buruh migran Indonesia ini pun mempunyai milis mereka sendiri. Dua yang paling menonjol adalah [EMAIL PROTECTED] dan sastra_tki@ yahoogroups.com Melalui media cetak dan elektronik ini, menyalurkan karya-karya buruh migran, menyuarakan ke seantero dunia permasalahan mereka, mengembangkan jaringan di kalangan mereka di berbagai negeri dan menggalang solidaritas lokal, nasional dan internasional.Pers cetak dan elektronik buruh migran jadinya berfungsi sebagai pendidik dan organisator sekaligus. Tidak kurang pentingnya dalam kegiatan berkesenian dan dalam bidang-bidang kehidupan lainnya adalah dampingan solidaritas dari para akademisi, organisasi buruh Hong Kong, dan para profesional sehingga kegiatan, termasuk dalam kehidupan sastra-seni kian tearah dan sistmatik. Penyelenggaraan workshop penulisan yang sekarang sedang berlangsung adalah sekedar salah satu contoh saja dari ujud kongkret dampingan para profesionalis di kalangan buruh migran. Paris, Juli 2005 JJ. KUSNI [Bersambung] [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, k
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF?
JURNAL KEMBANG KEMUNING: AKANKAH PERTEMUAN SASTRAWAN SE BORNEO-KALIMANTAN SELANJUTNYA MEMPUYAI ORIENTASI BARU YANG TANGGAP DAN ASPIRATIF? Pertemuan sastrawan Borneo-Kalimantan ke-VIII yang berlangsung pada 2-5 Juli lalu di Sandakan, Sabah, Malaysia, mestinya sekarang sudah berakhir. Sayangnya informasi lebih jauh tentang hasil-hasil dan keputusan-keputusan yang ditelorkan oleh Pertemuan itu sampai sekarang masih saja tidak didapatkan, juga oleh publik di lingkungan sastrawan di Kalimantan. Apakah ini suatu kekurangpahaman pihak penyelenggara akan makna sosialisasi hasil-hasil pertemuan yang menggunakan label "sastrawan Borneo-Kalimantan" ataukah kembali membuktikan sikap elitis pertemuan yang tidak menyandarkan diri pada sastrawan-seniman dan komunitas-komunitas sastra-seni daerah-daerah yang di atasnamainya? Ataukah kedua-duanya? Apa pun alasan sebenarnya, kukira, pertemuan Sandakan itu dalam kenyataannya merupakan pertemuan para pejabat pemerintah di bidang kebudayaan dengan mengatasnamai sastrawan-seniman dan Borneo-Kalimantan. Apa pun juga alasan sebenarnya, dan pilihan yang diajak serta oleh panitya, kukira tetap menunjukkan suatu orientasi atau politik kebudayaan elitis dan ekslusif serta mengawang tidak membumi dari Pertemuan Sandakan. Terkesan padaku, dengan orientasi begini, penanggungjawab Pertemuan Sandakan merasa diri sebagai baron-baron kebudayaan, sebagai "pangkalima-pangkalima " jika menggunakan istilah orang Dayak Katingan, Kalteng. Pangkalima tanpa bala. Apakah "pangkalima-pangkalima" sastra tanpa bala ini, kecuali bersandar pada kemampuan uang, mempunyai keperkasaan "memungkas gunung", "menimba tasik atau laut" seperti yang dilukiskan oleh legenda Oloh Dayak Katingan? Jawabannya sudah dijawab dengan orientasi dan sunyinya gema Pertemuan Sandakan di Kalimantan kecuali di segelintir hadirin yang adalah pejabat budaya yang jauh dari bumi nyata. Barangkali pertemuan begini kelak selanjutnya tidak lagi menggunakan label "sastrawan Borneo-Kalimantan" tapi "pertemuan antar pejabat" budaya karena aktor nyata dan berjasa sudah diabaikan. Kalau evaluasiku keliru, aku menagih panitya menyebarluaskan hasil pertemuan, paling tidak ke seluruh Borneo dan Kalimantan. Rahasia negarakah? Amboi, amboi tuan-tuan yang terhormat. Mana pula ada hubungan kerja sastrawan dengan rahasia negara? Apakah aku berhak menagihnya? Ya! Karena aku termasuk orang Kalimantan dan tidak seorang pun bisa menegasi asal kelahiranku yang telah digunakan oleh Pertemuan Sandakan. Dari informasi-informasi yang kemudian kudapatkan ternyata yang hadir dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat adalah pejabat-pejabat juga, dan dari Kalimantan Tengah atau Selatan tidak kudapatkan berita bahwa komunitas-komunitas sastra-seni , aktor-aktor sastra-seni daerah-daerah trebut telah turut menyemaraki Pertemuan Sandakan. Institut Dayakologi Pontianak [ID], sebuah lembaga berwibawa dalam masalah kebudayaan di Kalbar yang berkegiatan sudah berdasawarsa dan sudah melakukan usaha-usaha pemberdayaan serta sumbangan nyata dalam bidang kebudayaan, sama sekali tidak diundang. Karena merasa mempunyai tanggungjawab atas kehidupan kebudayaan di pulau raya Kalimantan/Borneo, majalah Kalimantan Review, organ ID, secara berprakarsa mengirimkan wartawannya. ID sendiri sebagai sebuah lembaga sama sekali tidak digubris, demikian juga Komunitas Terapung, Lembaga Penelitian Dayak21 di Palangka Raya, Kalteng, apalagi Komunitas Meratus di Kalsel. Aku menaruh perhatian pada pertemuan antar Borneo-Kalimantan karena inti prakarsa demikian kukira penting , lebih-lebih jika dilihat dari perspektif pulau. Melalui pertemuan-pertemuan demikian sebenarnya kita bisa sejak dini, sejak hari ini merancangkan dasar kerjasama antar negara yang terdapat di pulau , dasar dari suatu haridepan yang bukan hanya menjadi urusan pejabat yang sering buta aksara dalam bidang budaya. Dari segi ini, kukira sifat eksklusif baronisme dan "anak raja"isme jika menggunakan istilah penyair Perancis, Paul Elouard, tidak akan pernah tanggap dan aspiratif. Yang kuharapkan dalam pertemuan berikut, penyelenggara mempertimbangkan aktor-aktor budaya di lapangan. Mengangkat dan membahas masalah nyata kehidupan sastra-seni di bumi nyata pulau, bukan rekaan akademik dan imajiner atau bahkan sama sekali menjauhkan atau membiarkannya bagai sabut hanyut di sungai. Tidak memperhatikan aktor sastra-seni berwibawa di lapangan dan menjadikan permasalahan nyata sebagai sabut atau busa [buré-- bahasa Dayak Katingan] , hanya menjadikan pertemuan sebagai tempat "berbual-bual kosong", bertamasya dengan beaya negara yang dipungut dari pajak atas rakyat. Kalau ulah begini dipandang sebagai kesalahan, tentu saja kesalahan yang dilakukan sampai delapan kali pertemuan, masih bisa dikoreksi pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Tapi terjadi memang bahwa keledai tersandung di batu yang sama. Apakah manusia sejenis keledai? Ba
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM [2-- SELESAI]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM. 2. Pernyataan ini pun barangkali memperlihatkan suatu proses perkembangan tertentu di kalangan komunitas Dayak. Apa dan bagaimanakah proses perkembangan tertentu itu? Diumumkannya Pernyataan ini berguna, karena jika terjadi apa-apa yang berbentuk lain jika pernyataan ini tidak diindahkan khayalak ramai tidak akan heran dan tahu jalan perkembangannya serta asal muasal kejadian, tidak secara gegabah menuding komunitas Dayak sebagai komunitas yang suka perang dan kekerasan. Pernyataan ini juga merupakan usaha membentuk dan menyiapkan pendapat umum baik di tingkat lokal, nasional mau pun iternasional. Aku tidak tahu, apakah ketika mengumumkan pernyataan ini, pihak Komunitas Punan Hulu Kelay sudah menyiapkan langkah-langkah berikutnya yang kongkret, sehingga pernyataan tidak tinggal di pernyataan atau kata-kata di atas kertas tanpa wibawa. Untuk suatu komunitas yang tinggal di pedalaman dan bahkan dikelompokkan pada "suku terasing", penggunaan pernyataan sebagai sarana membela dan memperjuangkan hak asasinya bukanlah hal yang umum, apalagi menggunakan media massa elektronik dan disebarkan melalui milis yang sepadan dengan permasalahan. Memperhatikan gejala ini, besar dugaanku bahwa penggunaan metode perjuangan begini, kiranya tidak lepas dari peranan para cendekiawan komunitas Dayak Punan Hulu Kelay yang sudah balik kampung. Dugaan ini diperkuat oleh pengorganisasian orang-orang Dayak Punan Hulu Kelay dalam bentuk Komunitas yang sangat lazim sekarang ini. Dari komposisi penandatangan Pernyataan, dugaan ini memperoleh penguatan baru lagi di mana bentuk organisasi "modern" dan "tradisional" dipadukan sehingga antara keduanya ada sambungan. Modern dan tradisi bergabung jadi satu kekuatan, yang modern mendasarkan diri pada budaya lokal yang sudah ada [baca:tradisional]. Jika dugaan ini benar maka di sini aku melihat betapa kearifan dan kebudayaan lokal dijadikan dasar untuk pemberdayaan dan pembangunan bersolidaritas memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat, jalan yang dirumuskan oleh Prof.Dr.Sayogjo sebagai "Jalan Kalimantan". Masalah ini adalah masalah konsepsional, masalah urgen patut dipecahkan sebelum kita bertindak dan mengorganisasi diri untuk menjadi tuan atas nasib diri dan di kampung kelahiran sendiri. Untuk mewujudkan "Jalan Kalimantan" ini, penyatuan diri para pemuda-pemudi Dayak yang terdidik dengan mayoritas warga komunitas di daerah-daerah terpencil baik di hulu atau di hilir, akan mempunyai arti sangat strategis. Barangkali keluarnya pernyataan Komunitas Dayak Punan Hulu Kelay ini hanya menegaskan kembali kepentingan ini. Untuk sanggup menyusup hingga ke hulu-hulu yang jauh dari segala fasilitas memang diperlukan keteguhan komitmen dan meresapnya suatu wawasan kemanusiaan di dalam diri orang-seorang. Keteguhan ini pun akhirnya seperti ujar orang Tiongkok Kuno bahwa "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh" juga adanya. Jika dugaan di atas benar, maka ia menggarisbawahi arti pentingnya agar para mahasiswa-mahasiswa Dayak yang sedang belajar di mana pun di luar Kalimantan sekarang untuk pulang kampung begitu mereka selesai dengan studi mereka dan bukan keasyikan di rantau yang memberi kenyamanan dan fasilitas lebih dari di kampung. Jika mau berbicara terus-terang, tanpa menyimpan pengertian sukuisme sempit atau ethnosentrisme apalagi tutuppintuisme, tapi secara kenyataan dan pengalaman sejarah, aku sama sekali belum percaya pemberdayaan dan pembangunan daerah bisa ditangani secara tanggap dan aspiratif oleh etnik-etnik lain. Tidak pernah ada buktinya etnik lain membawa perobahan maju untuk komunitas Dayak. Yang banyak buktinya adalah penggarongan dan pengurasan kekayaan daerah. Kalimantan Tengah lahir dan berkembang adalah karena bersandar pada usaha dan kegiatan, dengan darah dan keringat serta pengorbanan putera-puteri daerah Kalteng sendiri. Jika putra-puteri daerah tidak mau kembali sesudah studi mereka selesai, maka bukanlah salah langit dan bumi, apalagi kesalahan pihak etnik pendatang baru jika komunitas Dayak terpinggirkan. Untuk keluar dari keadaan terpinggir dan terpuruk, kukira Dayak patut jadi etnik yang bermutu dan bukan jadi etnik budak kekinian yang loyo tidak punya harga diri, jati diri dan merelakan diri kehilangan martabat lalu menempatkan uang sebagai raja, memburu dengan segala cara tanpa malu-malu gelar-gelar semu hasil pembelian. Yang diperlukan komunitas Dayak dan negeri ini, kukira, pertama-tama dan di atas segalanya adalah manusia yang bermutu, berwatak dan berkomitmen republiken dan berkeindonesiaan. Gelar bukanlah jaminan menjadi manusia demikian. Untuk Tanah Dayak barangkali pertama-tama yang diperlukan adalah manusia pemimpi dan pejuang dan pejuang-pemimpi bermutu daripada orang-orang bergelar semu dan tanpa nyawa. Paris, Juli 2005. JJ.KUSNI [Selesai] [Non-text portions
[ppiindia] HALIM HD, "NETWORKER" KEBUDAYAAN
Sumber Kompas, Jakarta, 15 September 1999. HALIM HD, "NETWORKER" KEBUDAYAAN MAKASSAR Arts Forum (MAF) '99 yang digelar di Ujungpandang,5-12 September 1999 telah usai. Event kesenian besar dan terbilang sukses meski masih banyak kekurangan di sana-sini, tentulah tak lepas dari peranan pekerja seni, Halim HD. Dengan totalitas luar biasa, Halim mengerjakan apa saja. Dari kurator sampai pembantu umum. Menempel poster, membagi-bagi undangan diskusi usai acara di panggung terbuka Benteng Fort Rotterdam, mencuci piring, sampai membersihkan kamar mandi di sekretariat panitia. Di luar itu, ia juga sejak lama telah membangun relasi-relasi sosial-ia menyebutnya sebagai fasilitator/networker kebudayaan. Halim menjalin hubungan dengan ratusan orang di puluhan kota, di Indonesia maupun luar negeri. Semua bisa dihubungi lewat telepon, e-mail, faksimile, atau surat. Hasilnya mulus? Tidak juga. Tetap ada konflik antara panitia dan lembaga kesenian. "Sebetulnya, apa yang terjadi di sini sama dengan yang terjadi di Surabaya atau Semarang. Penyebab utamanya: ada sesuatu yang tampaknya seolah-olah dunia kesenian hanya bisa dipecahkan oleh lembaga itu," kata Halim. Dan Halim merasa sedih, karena sebagai partisipan, ia ternyata harus terlibat dalam konflik itu. Institusionalisasi atau pelembagaan kegiatan-kegiatan kesenian di negeri ini dalam 20 tahun terakhir memang sangat kuat sekali. Mulai dari Dewan Kesenian Jakarta, lalu muncul dewan serupa di kota-kota lain, sehingga menimbulkan kesan dunia kesenian hanya bisa dikelola oleh lembaga. Berikutnya, selalu ada upaya saling jegal lewat lembaga-lembaga itu, yang kemudian menjadi konflik yang melebar ke wilayah-wilayah lain. "Ini yang saya sedihkan. Kita harus kembali kepada fitrah kesenian itu sebagai kebersamaan," kata mantan "guru gadungan" yang mengajar Bahasa Indonesia di Department of Asian Language and Culture di University of Michigan (1989-1992). *** HALIM HD lahir 25 Juni 1952 dari keluarga pedagang-petani di Serang, Karesidenan Banten (Jawa Barat). Menamatkan SD dan SMP di Serang, dan melanjutkan SMA di Yogyakarta. Ia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1972-1977, tetapi tidak sampai selesai. Ketika menjalani masa-masa kuliah itulah, ia ikut mengelola majalah mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, Universum, di samping sebagai penanggung jawab dan koordinator "Forum Dialog" mahasiswa Fakultas Filsafat. Forum ini berusaha untuk mengembangkan diskusi dan dialog tentang filsafat, agama, kebudayaan, dan masalah-masalah aktual kemasyarakatan dengan perspektif filsafat. Halim pun terlibat pada kegiatan sastra pada tahun 1972-1976, menulis puisi namun kemudian berhenti, dan lebih mengkonsentrasikan diri untuk membuat artikel/esai tentang kesenian, kebudayaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. Tulisannya dimuat di berbagai terbitan kampus maupun koran lokal di Yogyakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, Padang, Ujungpandang, Bali, di samping juga menulis untuk koran, majalah, serta jurnal di Jakarta. Di antara pekerjaan itu, bersama seniman dan pekerja kesenian di Solo, ia mendirikan "Kelompok Kerja Kamandungan" yang menampung berbagai kegiatan seni. Awal 1980-an di Solo, Halim mengkoordinir pementasan dan kegiatan kesenian dari berbagai daerah yang datang ke Solo, misalnya kegiatan yang melahirkan "Sastra Kontekstual" yang dilontarkan Ariel Heryanto dan Arief Budiman. Setiap tahun sejak tahun 1982, ia mengadakan kegiatan yang bersifat forum dengan skala yang jaringannya luas dan dalam berbagai disiplin, seperti pertemuan perupa dan kalangan pendidikan alternatif, serta kalangan NGO (non-government organization). Bersama kalangan NGO inilah ia ikut mengadakan workshop teater untuk pedesaan dan masyarakat di kampung-kampung di Solo, Jateng, Jatim, dan beberapa daerah lain. *** APA sebenarnya yang ingin digapai Halim dengan memilih sebagai networker kebudayaan? Menurut dia, sesungguhnya setiap orang adalah makhluk yang mengelola kebudayaannya bersama lingkungannya. Networker bagi Halim-yang pernah bekerja sebagai asisten riset Dr Takashi Siraishi dan Dr Ben Anderson pada Cornell Modern Indonesia Project (CMIP)-artinya bagaikan simpul jaring nelayan yang satu dengan lainnya saling terkait dan selalu tergetar, jika ada sesuatu benda yang jatuh di dalam jaring itu. Jaringan itu juga mengartikan bahwa simpul dari jaring itu sebagai suatu kesederajatan, sesuatu yang setara, yang satu dengan yang lainnya saling mengait dan terkait oleh suatu peristiwa. Konsep jaringan ini sebetulnya menuju masyarakat madani dalam perspektif kebudayaan. "Kesenian dan kebudayaan jelas dan pasti tidak bisa terlepas dan melepaskan diri dari kondisi dan situasi politik, ekonomi, dan masalah-masalah lainnya, termasuk soal hankam yang memang sangat men
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM [1]
JURNAL KEMBANG KEMUNING: ISYARAT BARU DARI MASYARAKAT DAYAK DI PEDALAMAN KALTIM. 1. Komunitas Masyarakat Punan Kelay, salah satu sub-etnik masyarakat Dayak yang hidup di pedalaman Kalimantan Timur, dan kalau tidak salah ingat, oleh Orde Baru dipandang sebagai salah satu suku terasing yang patut diberadabkan sehingga patut dipindahkan dari kampung-halaman mereka ke daerah perkotaan untuk mendapat bias yang disebut peradaban, pada tanggal 30 Juni 2005 telah mengeluarkan pernyataan tertulis terhadap apa yang sedang menimpa mereka sejak berdasarwarsa hingga sekarang. Pernyataan tertulis ini disiarkan pada 07 Juli 2005 melalui berbagai milis antara lain [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Lengkapnya pernyataan Komunitas Masyarakat Punan Kelay itu berbunyi sebagai berikut: Teman-teman yang baik, salam kenal, kami dari komunitas masyarakat Punan Kelay, dengan ini menyampaikan beberapa pernyataan kami tentang pengelolaan dan pemanfaatan SDA daerah kami, semoga berkenan. salam lestari, Zenas Daring Pernyataan Long Suluy Forum Kampung (Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay) (Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu) Kabupaten Berau Untuk Pelestarian Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hulu Sungai Kelay. Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat, binatang buruan, rotan, emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan sumber kehidupan kami masyarakat Punan Hulu Sungai Kelay, Kabupaten Berau. Untuk itu kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber alam tersebut, akan terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak: 1. Menolak penambangan sumberdaya alam, terutama tambang emas dengan menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat yang membahayakan, kecuali dilakukan secara tradisional (dulang) seperti yang diajarkan oleh orang tua kami secara turun-temurun 2. Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami menggantungkan hidup dan kehidupan 3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun 4. Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas 5. Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam 6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita. Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan alam lainnya yang akan menjadi bencana bagi kehidupan kami dan generasi kami ke depan. Jika kami tidak bertindak dari sekarang. Long Suluy, 30 Juni 2005 Kami yang membuat pernyataan: Ditandatangani oleh: * Forum Kampung Ketua Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay * Para kepala kampung, ketua BPK dan kepala adat: Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu, Kabupaten Berau*** [Sumber:Punan Hulu Kelay;[EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] com ;[EMAIL PROTECTED];Thursday, July 07, 2005 4:54 PM]. *** APA ARTI PERNYATAAN INI? Pernyataan ini pertama-tama kubaca terutama sebagai munculnya isyarat baru di kalangan masyarakat Dayak yang hidup jauh di pedalaman, pesan serius dari kalangan komunitas Dayak Punan Hulu Kelay. Isyarat tentang adanya suatu kebangkitan baru di kalangan orang-orang yang dipandang rendah, hina, dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai "suku terasing" atau "primitif" sehingga seperti halnya dengan semua Dayak dipandang sebagai lambang dari segala keburukan, kejahatan dan yang negatif: "Dajakkers". Jika menggunakan lambang-lambang budaya Dayak, maka kebangkitan ini bisa digambarkan bahwa naga yang tinggal di lubuk sungai telah muncul ke permukaan dan menghempas-hempaskan ekor raksasa perkasanya sebagai peringatan serius diucapkan dengan tenang secara Dayak, di alamatkan kepada siapa saja: "Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan alam lainnya yang akan menjadi bencana
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: ESTETIKA KEPRIHATINAN
JURNAL KEMBANG KEMUNING: "ESTETIKA KEPRIHATINAN" Ungkapan ini adalah ungkapan yang kuambil dari tulisan Halim HD, budayawan Solo asal Banten dalam salah satu komentarnya ketika menyertai diskusi tentang Manikebu versus Lekra di milis [EMAIL PROTECTED] . Sayangnya Halim HD tidak menjelaskan lebih rinci lagi konsep "estetika keprihatinan", konsep yang ia anggap layak dimiliki oleh para sastrawan-seniman. Tapi sekali pun demikian, kita !mengenal Halim HD dari dekat, maka kita, kuranglebih, kita tidak akan memperoleh kesulitan memahami apa yang ia maksudkan dengan "estetika keprihatinan" itu. Selain banyak bepergian ke berbagai daerah dan pulau dalam rangka mewujudkan konsep "sastra kepulauan", di Solo, Halim HD sangat akrab dengan kehidupan masyarakat lapisan bawah yang merupakan dasar dari suatu piramida masyarakat. Munculnya penyair Wiji Thukul yang berasal dari lapisan masyarakat dan tetap akrab dengan kehidupan lapisan bawah sampai ia "hilang" tak tentu rimba dan lautnya, jika mau jujur, kiranya tidak lepas dari jasa budayawan Solo ini juga. Halim dan seorang temannya jugalah yang mengajukan nama Wiji Thukul agar mendapatkan Wertheim Award. Dan usul ini berakhir dengan diberikannya Wertheim Award pertama kepada Wiji Thukul, bersama-sama dengan Pramoedya A.Toer dan Rendra. Ketika mengajukan nama Thukul ke Yayasan Wertheim, tidak ada sebuah pun antologi puisi Wiji Thukul yang diterbitkan. Yang dijadikan bahan adalah karya-karya berupa fotokopie yang dilakukan oleh Halim HD sendiri dan fotokopie ini diberikan oleh Halim HD kepada teman-teman dekatnya. Halim HD memang banyak menulis dan bekerja di lapangan tapi sejauh pengetahuanku belum ada satu buku pun yang telah ia terbitkan. Ia sibuk dengan kepentingan orang banyak dan kepentingan umum, ciri umum dari seorang networker kebudayaan yang mempunyai rasa solidaritas tinggi tapi karenanya juga menjadi peka pada ketidakadilan. Dalam pengembangan kebudayaan negeri ini, kukira, peran networker tidak bisa diremehkan. Sastra-seni memang pekerjaan kreatif yang umumnya bersifat individual, tapi pekerjaan kreatif individual ini bisa mencapai skala lebih jauh lagi berkat jasa networker yang pada tahun 1960an disebut sebagai pekerjaan organisatoris. Tidak semua orang mampu mengerjakannya. Seorang networker atau organisator kebudayaan, selain memerlukan kemampuan mengorganisasi, ia pun diminta memiliki wawasan, pengetahuan dalam serta bisa menciptakan karya-karya sastra-seni juga. Tidak jarang organisator kebudayaan menjadi tidak produktif berkarya. Karyanya ia alihkan ke dunia pengorganisaian kegiatan berkesenian. Berdasarkan pengenalan ini, maka ketika ia mengentengahkan konsep "estetika keprihatinan", kukira "keprihatinan" yang ia maksudkan tidak jauh, kalau bukan yang utama dan terutama, adalah keprihatinan kepada kehidupan masyarakat luas, terutama lapisan bawah yang merupakan mayoritas penduduk dan dasar dari piramida masyarakat. Sehingga ketika Halim HD mengetengahkan konsep "estetika keprihatinan" kukira dengan pengajuan ini, Halim HD sedang menawarkan usulan agar para sastrawan-senima menaruh perhatian kepada masyarakat, terutama yang menjadi dasar piramida masyarakat. Dengan mengatakan bahwa "keprihatinan" ini sebagai suatu "estetika", kukira Halim HD sedang menghimbau agar para sastrawan-seniman mempunyai "keprihatinan" kemasyarakatan dan keprihatinan kemasyarakatan ini ia bukan lagi suatu "keprihatinan" biasa tapi sudah merupakan suatu estetika. Dengan mengangkat masalah "keprihatinan" ke tingkat "estetika" maka dengan ini sebenarnya Halim HD sudah menjadikan "keprihatinan" ini sebagai standar atau patokan atau tolakukur karya dan kegiatan berkesenian. Dengan mengangkat "keprihatinan" ke tingkat "estetika", kukira Halim HD sekaligus secara tidak langsung mengkritik sikap pamer dan iklan diri tanpa malu-malu seorang seniman. Pamer dan iklan belum jaminan mutu tinggi. Tanpa usah dipamer dan diiklankan seorang sastrawan dan seniman menjadi sastrawan dan seniman karena berkarya dan karyanya. Jika ia berhenti berkarya maka ia pun berhenti menjadi seniman. Tanpa karya dan berkarya, seorang sastrawan-seniman hanyalah sudah mati, dan hanya berbaring di "kasur lama", jika menggunakan ungkapan Tiongkok klasik, dan mengaku-ngaku sastrawan-seniman, ujud dari masturbasi jiwa. Tidak ada yang aneh dan istimewa hingga patut diiklankan dan di pamer-pamerkan jika seorang seniman berkarya. Sekali pun ia tetap berkarya, misalnya, maka dengan mengangkat "keprihatinan" sebagai "estetika", karya-karya itu pun patut ditakar dengan standar "keprihatinan" ini. Dengan mengangkat "keprihatinan" pada tingkat "estetika", agaknya Halim HD pun mengkritik sikap elitis dan menyerukan para sastrawan-seniman agar tidak bersidekap di menara gading memandang kehidupan dari jauh sehingga hanya menduga-duga persoalan nyata kehidupan tapi tidak mengetahui keadaan sesungguhnya apalagi merasakan pahit-manisnya hidup yang nyata. Jik
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: GELEMBUNG SABUN
JURNAL KEMBANG KEMUNING: GELEMBUNG SABUN Di bawah ini adalah sanjak-sanjak Ikranegara [selanjutnya aku singkat dengan Ikra] yang ia siarkan di milis [EMAIL PROTECTED] [5 Juli 2005]. PATH (2) many paths end in dead-end walls DEAD-END WALL this is it a slab of concrete from a fallen dead-end wall which used to be so powerful & frightening which blocked our sight & our free steps which shed the victims' blood and tears now lying low meaningless only scattered smelly garbage where flies feel at home PATH (3) those who depend on their beliefs when facing a dead-end wall keep moving continue the journey but go nowhere SO STRANGE! so strange! those who depended on their beliefs facing a dead-end wall in the last century are still walking in the same place even in this new century forever? going nowhere? [Sumber: Ikranagara," [EMAIL PROTECTED] , Tuesday, July 05, 2005:2:39 AM; Subject: [koran-sastra] Four more tiny poems from Ikranagara, Four Tiny Poems from "Under the fullmoon Light" selected poems By: Ikranagara]. Ikra bukanlah orang baru di dunia perpuisian Indonesia walau pun tentu berada di bawah angkatan Goenawan Mohamad atau Rendra. Usianya pun sudah mencapai 60 tahun. Pencantuman usia ini kumaksudkan bahwa Ikra bukan anak kemarin sore di dunia puisi. Ia berpuisi sejak masih remaja SMA dan bahkan sejak usia remaja itu, ia sudah menjadi salaah seorang penandatangani Manikebu yang merupakan peristiwa budaya penting dalam dunia kebudayaan Indonesia. Artinya sejak remaja SMA, Ikra mempunyai wawasan dan pengetahuan politik yang dalam dan matang karena turut menandatangani sebuah pernyataan penting demikian [lepas dari kita setuju atau tidak] hanya mungkin jika kita sadar akan isinya dan atau ikut-ikutan. Oleh lamanya Ikra berkecimpung di dunia perpuisian, tidaklah heran jika secara tekhnis nampak ada penemuan diri pada sanjak-sanjaknya di atas.Karena itu di sini aku tidak akan menyentuh masalah tekhnis, tapi membatasi diri tentang pendapat yang Ikra ungkapkan dalam sanjak-sanjak di atas terutama dalam "Path [3]" dan "So Strange". Dalam dua puisi tersebut berpendapat bahwa: PATH (3) those who depend on their beliefs when facing a dead-end wall keep moving continue the journey but go nowhere SO STRANGE! so strange! those who depended on their beliefs facing a dead-end wall in the last century are still walking in the same place even in this new century forever? going nowhere? Isi kedua puisi di atas, kalau pemahamanku benar, tidak jauh berbeda, tapi saling melengkapi, yang satu menggarisbawahi yang lain, di mana Ikra mengatakan "so strange" terhadap orang ".who depended on their beliefs". Orang-orang ini menurut Ikra akan berakhir pada "go nowhere" Membaca deklarasi ini, pertanyaan yang muncul pada diriku: "Lalu apa yang Ikra maui? Apakah Ikra menginginkan orang-orang hidup tanpa pegangan dan menjadi "bendera di atas bukit" yang berkibar menurut arah angin? Bendera di atas bukit dengan kata lain adalah manusia bunglon, manusia angin-anginan yang berprinsipkan individualisme dan bila perlu tak segan menohok kawan seiring, dan jadi penjilat. Nilai atau prinsip menjadi tidak perlu dan tidak penting. Yang penting aku bisa selamat dan terangkat sehingga sang aku bisa ke mana saja dan bisa hidup dalam situasi apa saja. Bisa "going everywhere" or anywhere. Prinsip dan membela nilai manusiawi dipandang oleh Ikra sebagai "dead-end wall". Berpendapat begini tentu saja adalah hak Ikra sepenuhnya dan pilihan demikian sekaligus menentukan kadar kita sebagai anak manusia. Barangkali Ikra menganggap menjadi bendera di atas bukit, menjadi manusia angin-anginan, menohok kawan seiring, memang jauh lebih luhur dari prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan jika kita menterapkannya pada Indonesia dan Republik Indonesia sehingga dengan demikian kita bisa jadi "pahlawan" di segala zaman tanpa menantang resiko dan bebas dari ancaman bayonet ajal, tapi JIKA, memang pendapat Ikra, tentu aku tidak akan sependapat. Menghalau kolonialisme Belanda dan menjadi bangsa merdeka, bagiku adalah suatu prinsip yang patut dibela dengan segala konsekwensinya sebagaimana yang ditulis di tembok-tembok kata Yogayakarta --ibukota Rvolusi Agustus 1945 --: "Merdeka atau Mati" atau seperti yang diungkapkan oleh poster Affandi: "Ajo Bung!" atau sanjak-sanjak Chairil Anwar seperti "Aku", "Diponegoro" atau "Kerawang-Bekasi" juga yang ditunjukkan oleh Rendra dalam sanjak-sanjak, Riantiarno di masa Soeharto berkuasa, atau oleh Ramadhan KH dalam "Priangan Si Jelita". Bagiku hidup tanpa prinsip dan tidak berani membela prinsip adalah suatu kekerdilan dan Indonesia serta Republik Indonesia yang kita impikan terwujudnya tidak memerlukan penjilat, orang angin-anginan dan mentalitas bendera di atas bukit sekalipun manusia begini tetap dan akan selalu ada. Adanya manusia jenis ini pun tidak membuatku berkata "so strange!", atau mengatakan yang ber
[ppiindia] Fw: [Lingk] Peryataan Long Suluy
- Original Message - From: Punan Hulu Kelay To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, July 07, 2005 4:54 PM Subject: [Lingk] Peryataan Long Suluy Teman-teman yang baik, salam kenal, kami dari komunitas masyarakat Punan Kelay, dengan ini menyampaikan beberapa pernyataan kami tentang pengelolaan dan pemanfaatan SDA daerah kami, semoga berkenan. salam lestari, Zenas Daring Pernyataan Long Suluy Forum Kampung (Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay) (Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu) Kabupaten Berau Untuk Pelestarian Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hulu Sungai Kelay. Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat, binatang buruan, rotan, emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan sumber kehidupan kami masyarakat Punan Hulu Sungai Kelay, Kabupaten Berau. Untuk itu kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber alam tersebut, akan terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak: 1. Menolak penambangan sumberdaya alam, terutama tambang emas dengan menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat yang membahayakan, kecuali dilakukan secara tradisional (dulang) seperti yang diajarkan oleh orang tua kami secara turun-temurun 2. Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami menggantungkan hidup dan kehidupan 3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun 4. Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas 5. Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam 6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita. Pernyataan ini kami buat karena telah mulai terlihat akibat dari perubahan alam, seperti; air sungai yang selalu mengeruh, air pasang dalam waktu lama, binatang buruan untuk konsumsi mulai susah diketemukan, tanaman gaharu berkurang karena pengambilan pihak luar secara terus-menerus, dan perubahan alam lainnya yang akan menjadi bencana bagi kehidupan kami dan generasi kami kedepan. Jika kami tidak bertindak dari sekarang. Long Suluy, 30 Juni 2005 Kami yang membuat pernyataan: Ditandatangani oleh: Forum Kampung Ketua Persatuan Kampung Dayak Punan Hulu Kelay Para kepala kampung, ketua BPK dan kepala adat: Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu, Kabupaten Berau - Apakah Anda Yahoo!? Lelah menerima spam? Surat Yahoo! mempunyai perlindungan terbaik terhadap spam. http://id.mail.yahoo.com/ [Non-text portions of this message have been removed] = Petunjuk Milis Lingkungan === Gunakan bahasa yang sopan dan bersikap dewasa Berlangganan: [EMAIL PROTECTED] Berhenti: [EMAIL PROTECTED] Milis Lingkungan tidak menerima segala bentuk ATTACHMENT, bila ada yang akan kirim ATTACH harap di-COPY & PASTE di BADAN EMAIL. = Motto:Lestari dan berseri Indonesiaku == Arsip berita-berita lingkungan di Indonesia : http://groups.yahoo.com/group/berita-lingkungan/ Berlangganan : [EMAIL PROTECTED] YAHOO! GROUPS LINKS a.. Visit your group "lingkungan" on the web. b.. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] c.. Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group o
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING:APRIORISME KETIDAK TAHUAN YANG DIYAKINI DAN NAMA
JURNAL KEMBANG KEMUNING: APRIORISME KETIDAK-TAHUAN DAN NAMA Dari diskusi tentang Manikebu versus Lekra versus Lekra yang sekarang sedang berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED] lamat-lamat tertangkap oleh mataku yang membaca dan telingaku yang mendengar, sekali pun terkadang disuarakan dengan malu-malu ada pendapat yang menyetarakan Lekra sebagai sesuatu keaiban dan kenistaan sekali pun suara itu tidak menyertakan bukti-bukti. Kalau pun yang diannggap sebagai bukti itu adalah kesaksian maka kesaksian itu masih pantas dipertanyakan apakah bukti kenistaan membakar buku itu adalah memang tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggota Lekra. Jangan-jangan ada suatu prasangka penyamarataan. Karena itu Desha menanyakan melalui contoh Yogya yang dikenalnya sebagai perbandingan. Dan Desha oleh penuding dijawab bahwa si penuduh bukan ahli Lekra tapi tidak menjawab dan menghindar dari inti persoalan tuduhan yang sudah dilempar ke depan umum. Pertanyaan tagihan Desha, kukira adalah suatu pertanyaan wajar. Dan aku sebagai penanggungjawab Lekra di Kota Yogyakarta pada tahun-tahun 60-an pada kesempatan ini ingin menggarisbawahi pertanyaan Desha meminta pertanggunganjawaban dan bukti bahwa yang membakar buku itu adalah Lekra. Aku turut menagih bukti bahwa pembakaran buku itu, benar dilakukan oleh anggota-anggota Lekra seperti yang dituduhkan. Kalau tidak bisa membuktikannya, aku minta sipenuduh menarik kembali tuduhannya di depan umum dan tidak melalui japri. Mengapa tuntutan ini aku ajukan karena sepengetahuanku anggota-anggota Lekra mencintai buku dan tidak ada petunjuk organisasi secara nasional untuk melakukannya. Kalau penuduh masih memahami arti kata, harga diri dan martabat diri sebagai manusia yang menolak fitnah, aku kira sipenuduh tidak menolak membuktikan pernyataannya. Dari pernyataan inilah aku melihat bahwa Lekra dijadikan kambinghitam dan orang merasa leluasa berkata apa saja serta merasa sah tentang Lekra. Sementara yang jelas sampai sekarang karya-karya anggota Lekra masih dinyatakan terlarang oleh pemerintah dan belum dicabut. Perpustakaan Pramoedya A. Toer dan dokumen-dokumennya dibakar -- hal yang sampai sekarang tetap digugat oleh Pram. Sementara itu juga, siapa yang bisa menyangkal bahwa berapa banyak anggota Lekra yang dibunuh, dipenjara, disiksa dan dibuang ke pulau pembuangan? Bahwa Lekra sebagai organisasi kebudayaan menentang prinsip-prinsip Manikebu, tidak disanggah dan benar, tapi Lekra dalam konfrensi nasional di Palembang, menolak dan mengkritik pembubaran Manikebu. Joebaar Ajoeb sebagain sekretaris jenderal [sekjen], orang pertama Lekra dalam percakapannya denganku di rumahnya di Jalan Pemuda Jakarta menyatakan dengan jelas bahwa dalam hal pembubaran Manibu, Lekra "telah kecolongan". Menurut Ajoeb, pembubaran Manikebu adalah atas usul Menteri Prof.Dr.Prijono kepada Soekarno demi menyelamatkan Partai Murba yang sedang menghadapi ancaman pembubaran. Dari sini nampak betapa pada tahun-tahun itu, kehidupan kebudayaan, pada semua pihak, tanpa terkecuali, sangat terkait dengan perkembangan pertarungan politik pada periode itu. Tentu saja aku tidak menuntut orang-orang menyetujui ide-ide Lekra. Hak masing-masing untuk setuju dan menentang. Tapi jelaskan apa yang tidak disetujui dan ditentang dari Mukadimmah Lekra dan ide-ide yang dikembangkannya melalui Kongres dan konfrensi-konfrensi nasional guna membangun dan mengembangkan gerakan kebudayaan rakyat di negeri ini? Aku sendiri, sebagai salah seorang penanggungjawab Lekra sederhana tingkat Yogya telah mencoba menuliskan dan secara terbuka mencoba menarik pelajaran dari praktek berkesenian Lekra dan menuturkan betapa sengitnya pertarungan di dalam Lekra sendiri dalam membangkitkan gerakan kebudayaan rakyat di Indonesia. Barangkali ada yang beranggapan bahwa masalah Lekra dan Manikebu sudah menjadi masalah masalah silam dan tidak relevan dengan tuntutan kekinian. Masalah Lekra dan Manikebu hanyalah rincian dari sejarah kebudayaan Indonesia. Benarkah anggapan begini? Apakah inti debat ide tersebut? Kalau pengamatanku benar, sejak 17 Agustus 1950, hari berdirinya Lekra pertama di seluruh Indonesia di Jakarta, di jalan Madura, masalah sentral yang diketengahkan adalah masalah orientasi kebudayaan untuk Indonesia sebagaimana juga -- dalam konteks syarat sejarah berbeda -- masalah sentral yang dimunculkan dalam polemik kebudayaan di kalangan sastrawan-seniman-budayawan angkatan Poedjangga Baroe. Apakah masalah orientasi ini sekarang merupakan masalah yang tidak tanggap zaman lagi? Jika demikian, katakan kepadaku, mau ke mana sastra-seni dan kebudayaan Indonesia sekarang? Apakah debat orientasi ide ini menimpakan malapetaka saja kepada angkatan sekarang, seperti yang pernah kudengar di TIM Jakarta dan di milis-milis? Ataukah pernyataan dan tudingan demikian bukannya petunjuk dari kebingungan dan kehampaan ide dari si penuding. Hendaknya angkatan sekarang dan yang di atas angin tidak berke
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: PEMBEBASAN DAN PEMANUSIAWIAN MANUSIA SEBAGAI STANDAR
JURNAL KEMBANG KEMUNING: PEMBEBASAN DAN PEMANUSIAWIAN MANUSIA SEBAGAI STANDAR Karya-karya sastra Indonesia berbahasa Indonesia, tidak sedikit yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan dikomentari oleh pakar-pakar asing dan para Indonesianis berbagai negeri.Apakah komentar dan dimasukkannya karya-karya terpilih untuk suatu antologi terjemahan demikian menunjukkan karya-karya tersebut mencapai taraf lebih tinggi dari karya-karya lainnya dan komentar serta keterpilihannya merupakan suatu standar nilai? Dipilihnya suatu karya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan dimasukkan ke dalam sebuah bunga rampai, tentu saja dilakukan atas dasar suatu patokan atau standar tertentu. Standar siapa? Tentu saja standar sang atau tim pemilih kalau ia merupakan suatu tim. Standar tim barangkali sedikit lebih bersegi banyak dibandingkan dengan hanya dipilih oleh satu orang saja. Pertanyaan berikutnya:Apakah pakar dan Indonesianis merupakan standar kebenaran dan obyektivitas? Tentu saja tidak, banyak contoh menunjukkan bahwa yang disebut pakar dan Indonesianis ini pun penuh dengan subyektivitas bahkan kecerobohan. Salah satu misal adalah buku tentang masalah keagamaan di Tanah Dayak yang diterbitkan oleh LIPI Jakarta sehingga membangkitkan gelombang protes dari kalangan cendekiawan Dayak, sampai-sampai tokoh Kaharingan Kalimantan Tengah mengancam menjatuhkan hukuman adat pada LIPI. Contoh lain adalah sejarah Indonesia yang ditulis dibawah pimpinan Brigjen DR.Noegroho Notosusanto dengan data yang tidak sedikit diputarbalik bahkan pemalsuan. Berbicara tentang standar, sering standar itu bercampurbaur dengan berbagai macam pertimbangan, terutama pertimbangan politik. Contoh: Ketika LIPI menerbitkan terjemahan buku pemikiran-pemikiran politik di Indonesia, dalam buku tersebut pikiran-pikiran dari D.N.Aidit sama sekali dihapus alias disingkirkan. Padahal dalam edisi aslinya tertera pikiran-pikiran D.N. Aidit yang mewakili PKI. Contoh lain buku H.B.Jassin tentang Angkatan '66. Dalam tulisan ini H.B.Jassin memuji setinggi langit dan mengkategorikan sanjak-sanjak Taufiq Ismail dan lain-lain sebagai suatu angkatan, sedangkan sanjak-sanjak para anggota Lekra yang tidak kurang politis dan cara pengungkapannya tidak kurang baik dari sanjak-sanjak Angkatan '66 dikatakan sebagai sanjak-sanjak sloganis. Bukan karya sastra. Dengan contoh-contoh ini aku ingin menunjukkan bahwa dalam menilai dan memilih terdapat unsur subyektivisme. Juga dalam memilih apa yang diterjemahkan pertimbangan subyektif dan pertimbangan politik pun sulit dihindari. Karena itu bagiku, penterjemahan karya-karya ke dalam bahasa asing dan pemuatannya ke dalam yang disebut majalah terkemuka atau penerbitan yang ditopang oleh pakar atau Indonesianis tidak mempunyai arti menentukan dan tidak bisa dijadikan patokan atau standar bermutu tidaknya seorang penulis sedangkan yang tidak dipilih menjadi ntidak bermutu. Dalam konteks ini, aku jadi lebih menghargai Cak Durasim dan atau Wiji Thukul sekali pun karya-karya mereka tidak dipilih oleh majalah terkemuka luar negeri, tapi dengan nyawa mereka telah membela nilai-nilai yang diungkapkannya dalam karya. Apa yang dibela Wiji dan Cak Durasim lebih kongkret artinya bagi usaha memanusiawikan manusia di tanahair daripada suatu terjemahan dan popularitas individual, pamer atau iklan diri yang jika dilihat secara hakiki sangat menjijikkan karena orang begini biasanya tidak enggan menjual diri, jadi pengkhianat dan mencla-mencle, tanpa kepribadian yang tegas. Kebesaran Cak Durasim dan Wiji Thukul tidak pertama-tama terletak pada kemampuan tekhnis berkesenian tapi terdapat pada satunya kata dan perbuatan mereka. Kata adalah terjemahan ide dan hidup mereka. Dengan ini yang ingin kukatakan bahwa patokan tertinggi bagi seorang sastrawan masih saja terdapat pada kesanggupan atau kemampuannya dalam memanusiawikan manusia, masyarakat dan kehidupan di negerinya sendiri sebagai bagian dari kemanusiaan seplanet, bukan terletak pada apakah ia diterjemahkan dan diterbitkan oleh majalah terkemuka suatu negeri mancanegara atau disangga oleh pakar serta Indonesianis yang sering tanggung pengetahuannya tentang Indonesia tapi mencari hidup dari menjual nama Indonesia. Pada masa jayanya Orde Baru Soeharto sementara Indonesianis Perancis pernah berterus-terang kepadaku bahwa Indonesia adalah periuk nasi mereka dan mereka tidak mau periuk nasi ini hancur berantakan karena menyokong kegiatan anti Orbaku. Aku tentu saja menghargai keterus-terangan ini, tapi dari sini kulihat jelas bahwa nilai dan harkat diri, mutu kita, termasuk sastra kita, tidak ditentukan oleh para pakar dan Indonesianis. Dari pengalaman langsung dan bacaan kuketahui bahwa yang disebut pakar dan Indonesianis itu tidak bisa atau sulit membebaskan diri dari status pelayan politik pemerintah negerinya. Yang bisa membebaskan diri dari kaitan ini, bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Kary
Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH
Boni Triyana yang baik, Terimakasih atas komentar dan tambahan data yang sangat berharga. Salam hangat, JJK - Original Message - From: Boni Triyana To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Sunday, July 03, 2005 5:58 PM Subject: Re: [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH Bung Kusni yang baik, Saya sangat setuju dengan pendapat yang bung kemukakan. Saya adalah salah seorang anak muda yang lahir dan besar di zaman Orba. Semester pertama kuliah langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa Soeharto adalah seorang penguasa otoriter yang harus ditumbangkan. Jelas saya terkaget-kaget. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya, ketika itu masih SD, terkagum-kagum pada figur Soeharto dalam film "Serangan Oemoem 1 Maret" dan juga pada film "Pengkhianatan G.30.S/PKI." Dalam benak saya, dia jagoan titik. Hebat. Lalu memasuki 1997-1998, ketika baru kuliah, mata saya melek. Terbuka lebar. Betapa di balik kehebatan pembangunan ekonomi yang dilakukannya, tersimpan buruk wajah Orde Baru. Artinya, bagaimanpun juga, saya adalah bagian dari korban brain washing Orba. Saya tentu setuju apabila keburukan PKI ketika masih berjaya pun ditulis dengan gamblang. Tanpa ba bi bu lagi. Dan tentu dengan serangkaian fakta yang kuat pula. Sekarang ada kesan "wajar" apabila orang-orang kiri dibantai habis. Karena pada periode sebelumnya PKI begitu garang menyerang kelompok politik lawan-lawannya. Inilah yang tidak beres. Bagaimana kesombongan PKI pada waktu itu dibalas dengan membantai massal kepada 3 juta massanya. Mengenai pelurusan sejarah. Menurut hemat saya, ini perlu diperjelas lagi. Di kalangan sejarawan di Indonesia, saat ini sedang terjadi "tarung" antara mereka yang menggunakan istilah "penulisan ulang sejarah" (Prof Taufik Abdullah) dengan yang menggunakan istilah "Pelurusan Sejarah" (Asvi Warman Adam). Penulisan ulang sejarah adalah sebuah usaha untuk menuliskan kembali sebuah peristiwa sejarah yang sebelumnya telah ditulis, dengan menggunakan fakta yang baru atau fakta yang sama dengan penulisan sebelumnya namun dengan intepretasi yang baru. Penulisan ulang sejarah yang baru tidak menggantikan versi sejarah yang sebelumnya. Ini didasarkan atas adanya adagium: bahwa setiap orang/kelompok memiliki hak untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat berhak menentukan karya sejarah mana yang mereka baca. Sedangkan "Pelurusan Sejarah" adalah sebuah upaya untuk mengoreksi penulisan sejarah yang terdahulu, yang telah terbukti memutarbalikan fakta. Versi sejarah yang diluruskan dapat menggantikan versi sejarah sebelumnya, ketika fakta yang digunakan dalam penyusunannya terbukti lebih sahih daripada versi sebelumnya. Terkhusus untuk kasus 65, mari kita tengok buku "Kesaktian Pancasila di Bumi Pertiwi." Buku ini diterbitkan oleh BP. Almanak Republik Indonesia. Diberi kata pengantar oleh Nugroho Notosusanto. Kalau tidak salah ingat Pada hal. 51 terdapat sebuah foto yang memuat gambar beberapa mayat bergelimpangan dalam keadaan tangan terikat di tepian Bengawan Solo. Dalam caption disebutkan "Inilah korban keganasan PKI." Padahal fakta yang sesungguhnya mayat-mayat tersebut adalah anggota dan simpatisan PKI yang dibantai oleh militer atau milisi pendukungnya. Ini kan jelas pemutarbalikan fakta, sehingga perlu diluruskan, bukan ditulis ulang. Karen kalau ditulis ulang, lalu membiarkan versi yang sebelumnya, tentu akan membiarkan masyarakat awam bingung, bahkan tersesat dalam prasangkanya. Contoh berikutnya juga bisa dilihat dalam buku Alex Dinuth "Kewaspasdaan Nasional: Kumpulan Dokumen Terpilih Peristiwa G.30.S/PKI" terbitan Intermasa tahun 1997. Pada hal 510-511 juga terdapat foto seperti di atas dan juga dengan caption yang menyesatkan. Tentang pembantaian di tepian kali Bengawan Solo dan Brantas sudah ditulis dengan bernas oleh Hermawan Sulistyo, "Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan di Jombang-Kediri 1965-1966." So, menurut hemat saya, yang perlu dilakukan dalam penulisan sejarah wabilkhusus tahun 1965 adalah "Pelurusan Sejarah" bukan "Penulisan Ulang Sejarah." Sekian dari saya. Bonnie Triyana Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: REKONSTRUKSI DATA
JURNAL KEMBANG KEMUNING: REKONSTRUKSI DATA OBYEKTIF Dalam diskusi tentang "Lekra versus Manikebu" yang sekarang sedang terus berlangsung di milis [EMAIL PROTECTED], ada sementara pihak yang menampakkan kebenciannya pada Lekra dan atas dasar pengalaman pribadi sekali pun masih muda remaja mengatakan tanpa ragu bahwa Lekra pada tahun-tahun 60-an telah melakukan tindak-tindak antgi kebudayaan seperti membakar buku tanpa menunjukkan bukti bahwa jika pembakaran buku itu benar terjadi apa bukti-bukti bahwa yang membakarnya adalah anggota-anggota Lekra. Berbicara tanpa bukti dan rincian sama dengan fitnah tidak tahu malu dan tanpa harga diri sehitam kuku pun sambil mengagungkan diri sebagai seorang sastrawan dengan segala perangkat nilai kesastrawanannya, sementara itu yang jelas berapa banyak anggota Lekra yang disiksa , dibuang, dipenjara, dibunuh, karya-karya mereka dinyatakan terlarang [juga pada masa pemerintahan Soekarno], perpustakaan pribadi Pramoedya A. Toer di Jakarta dihancurkan tidak terbantah, merupakan kenyataan diketahui dunia. Fitnah dan kebohongan yang umum dilakukan pada masa Orde Baru, agaknya masih membekas dalam kehidupan hari ini. Aku katakan fitnah jika tuduhan demikian tidak disertai bukti dan rincian data. Fitnah memang sering dialami oleh orang-orang yang sedang berada di bawah angin dan kesewenang-wenangan biasa dilakukan oleh mereka yang berada di atas angin. Tidak setuju dan bahkan anti Lekra adalah hak mutlak seseorang. Tapi fitnah adalah soal lain yang melampaui batas nalar. Aku menghormati hak orang lain tidak setuju bahkan anti Lekra. Tentu saja aku menghormati hak ini. Hanya saja jika anti dan tidak setuju: apanya yang tidak disetujui dan diantikan?! Bagaimana penjelasannya? Akan mustahil rasanya jika apa yang tidak disetujui dan diantikan ini pun diserahkan kepada para pakar sastra, padahal pakar sastra dan Indonesianis pun tidak kurang ada yang pengetahuannya tentang Indonesia pun pas-pasan dan mereka bukan jaminan kebenaran. Ambil contoh Keith Foulcher atau Stephen Miller yang menulis tentang Lekra dengan kesimpulan yang menguntungkan Lekra, apakah mereka bicara tentang debat ide di intern Lekra dan rincian permasalahan Lekra? Bicara tentang Lekra tanpa menyentuh masalah ini kukira hanyalah petunjuk ketidaklengkapan pengetahuan dan data tentang Lekra.Lekra adalah suatu lembaga kebudayaan, dan kebudayaan bersentuhan dengan ide, pola pikir dan mentalitas. Apakah Keith dan Miller menyinggung pergulatan Lekra di bidang ini? Lagi pula mengapa sarjana asing yang dijadikan standar, padahal orang-orang ini menulis dengan motif tersendiri? Berbicara tentang pembakaran buku tanpa bukti dab rician selain fitnah, juga akan menunjukkan terbatasnya pengetahuan tentang konsep dan praktek kebudayaan Lekra. Menyerahkan masalah Indonesia, dalam hal ini masalah "Lekra versus Manikebu" bisa merupakan cara lari menghindari tanggungjawab tapi sekaligus sikap begini juga adalah ujud dari mental budakisme dan pengecut yang tidak diperlukan Indonesia yang republiken. Pernyataan-pernyataan bertendensi fitnah begini kukira menyentuh masalah sikap sejarah yang selama Orba data-datanya dijungkirbalikkan bahkan dipalsukan, sesuai strategi pimpinan teras CIA yang ditetapkan dalam pertemuan di Philipina sebelum Tragedi September 1965 meletus [lihat: Otobiografi Letkol Penerbang Heru Atmodjo, dalam wawancaranya dengan JJ. Kusni -- direncanakan akan diterbitkan oleh Ombak Press Yogyakarta tahun ini. Lihat pula Boni Triayana, dalam milis ppiindia@yahoogroups.com 03 Juli 2005]. Yang kumaksudkan dengan sikap sejarah adalah usaha bersikap semaksimal mungkin setia pada data. Artinya obyektivitas. Obyektivitas, terutama dalam ilmu sosial, termasuk ilmu sejarah, memang seperti yang dikatakan oleh Jan Myrdal mempunyai batas, karena akhirnya data itu ditafsirkan dan tafsiran akan mempunyai ciri subyektif. Sedangkan subyektivisme dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik-ekonomi dan lingkungan pada waktu tertentu. Hanya saja jika kita berpegang teguh pada obyektivitas, kukira, kita akan berusaha maksimal mengurangi tingkat subyektvisme dalam menafsirkan data. Sejarah obyektif kukira merupakan keperluan mendesak negeri dan bangsa hari ini dan selanjutnya. Kalau pun ilmu sejarah tidak bisa melepaskan diri dari tafsiran atau subyektivisme, tapi minimal data-data jangan dipalsukan, jangan diputarbalikkan. Pengetangahan data sebagaimana adanya, kukira adalah suatu kemutlakan. Jika hal ini terpenuhi barangkali obyektivitas itu relatif tercapai. Apabila ada sejarawan yang mengatakan sejarah merupakan suatu rekonstruksi data maka kukira data yang dimaksudkan di sini akan masih sama yaitu data sebagaimana adanya. Pengebiran data, pemutarbalikan data, pemalsuan data, akan menimbulkan krisis pada ilmu sejarah, kalau tidak ia hanya bisa disebut sejarah palsu. Fitnah sebagai bagian dari subyektivisme, tak ada sangkut-pautnya dengan data sebagaimana adan
[ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH
JURNAL KEMBANG KEMUNING: MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer di Lentera, ruang kebudayaan harian Bintang Timur yang ia asuh. Manikebu adalah kata lain dari "mani kerbau". Oleh adanya keadaan ketidaksinambungan sejarah ini maka sejak beberapa tahun di negeri ini ada usaha "meluruskan sejarah" -- istilah yang tidak semua orang setuju dengan alasan sejarah adalah sejarah. Ia, sejarah itu ada, dan memperlihatkan dirinya secara nyata. Lukisan sejarawan tidak lebih dari suatu tafsiran. Tafsiran sejarah sering sangat subyektif. Karena itu Prof. Arkoun dari Univ. Sorbonne [Paris III] dalam sebuah ceramahnya membedakan dua macam sejarah, yaitu sejarah tafsiran alias sejarah politis dan sejarah obyektif. Sejarah tafsiran atau politis adalah sejarah yang ditulis demi kepentingan politik tertentu dari suatu rezim tertentu. Oleh keberpihakan membuta begini maka si penulis tidak segan memutarbalikkan kenyataan dan menciptakan kebohongan yang oleh Goebel, menteri penerangan Hitler diberi dasar teori "kebohongan akan jadi kebenaran jika dipropagandakan terus-menerus". Tiga puluh tahun rezim Orde agaknya merupakan periode "penyebaran kebohongan" sehingga "kebohongan itu menjadi "kebenaran", kebenaran pihak pemegang kekuasaan, dan penyebaran kebohongan ini dikawal oleh Orde Baru Soeharto dengan pendekatan "keamanan dan kestabilan nasional" yang melahirkan ketakutan dan membunuh pertanyaan. Pertanyaan menjadi suatu tindak subversif. Pemutarbalikan data sejarah dan penyebaran luas kebohongan oleh pemegang kekuasaan politik akan langsung mempunyai dampak pada masyarakat luas, lebih-lebih jika ia dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah si seluruh tingkat. Kebohongan dan pemutarbalikan ini diperkokoh oleh media massa yang hadir di rumah-rumah keluarga, menyusup hingga bilik-bilik pribadi saban hari sehingga anak-anak yang lahir dan diasuh pada zaman Orba boleh dikatakan tumbuh mendewasa dengan ide-ide kebohongan. Kalau kebohongan dan pemutarbalikan ini adalah daki-daki dan debu, maka daki dan debu-debu inilah yang menutup jiwa dan pikiran satu angkatan paling tidak, sama dekilnya dengan jiwa kaum sektarian. Membuang daki-daki dan debu ini bukanlah pekerjaan sederhana seperti membalik telapak tangan. Tidakkah masalah ini menjadi bidang garapan para sastrawan?! Terbitnya berbagai Memoire para saksi sejarah yang masih tersisa dan lepas dari pembinasaan fisik, pada masa yang digelapkan sesudah turun panggungnya Soeharto, kukira termasuk acuan berguna bagi angkatan muda. Daya kritik tetap diperlukan dalam membaca Memoire itu, sebab sering dalam menulis tentang diri sendiri, orang gampang terpeleset ke lobang-lobang egosentrik. Jadi kalau dikatakan di negeri ini ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah maka penanggungjawab utamanya adalah pemegang kekuasaan politik. Sejarah dijadikan alat penopang kekuasaan. Tapi sejarah itu sendiri tetap ada sebagaimana adanya kejadian-kejadian itu sendiri. Ia ada sebagaimana dirinya, entah disukai atau tidak, menyenangkan atau tidak tapi sebagai data dan kejadian ia akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Jika dikatakan ketidaksinambungan maka ketidaksinambungan itu sendiri, kukira adalah ujud dari suatu sejarah tertentu pada periode tertentu. Dari segi ini, aku kira, sesungguhnya tidak ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah. Yang disebut ketidaksinambungan sejarah di atas, kukira, adalah praktek politik terhadap sejarah, dan praktek ini ujud dari sebuah sejarah juga. Sejarah sebagaimana adanya sejarah. Misalnya: Manikebu atau Lekra, suka atau tidak suka orang padanya, keduanya ada dan nyata ada dalam catatan sejarah. Masalahnya: Bagaimana kita memahami hakekat peristiwa dan menempatkannya dalam suatu rangkaian sari sejarah yang utuh. Untuk memahami sari ide dan musabab atau roh yang melatari kejadian-kejadian ini untuk kepentingan-baik hari ini dan masa depan, kukira menjadi inti dari suatu pengkajian dan diskusi. Pengkajian masalah atau renungan, bukanlah mengembangkan saling hujat yang tak akan punya ujung, juga bukan pamer jasa dan kepahlawanan atau keluarbiasaan diri. Mengabaikan sari ide, mengenyampingkan roh, dan pertanyaan-pertanyaan hakiki, hanya akan membawa kita ke jalan buntu ketidaktahuan. Hal ini pun kukira berlaku pada saat kita memperbincangkan masalah Lekra versus Manikebu. Agar perbincangan jadi efektif, mengena pada sasaran barangkali, yang kita perlukan adalah merumuskan pertanyaan-perta