Re: [wanita-muslimah] Subsidi BBM Memanjakan Pengusaha

2005-10-01 Terurut Topik L.Meilany
Bukan cuma pengusaha, tapi juga para orang kaya, yg punya banyak mobil pribadi.
Juga bagi para 'oknum distribusi  di pertamina'.
Mereka membuat list kebutuhan BBM yg fiktif, atau me mark-up permintaan 
BBM yg pada akhirnya BBM subsidi itu di jual lagi ke Singapura.
:-((

Salam
l.meilany
  - Original Message - 
  From: Ambon 
  To: Undisclosed-Recipient:; 
  Sent: Saturday, October 01, 2005 10:11 AM
  Subject: [wanita-muslimah] Subsidi BBM Memanjakan Pengusaha


  http://www.padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2516


  Subsidi BBM Memanjakan Pengusaha
  Oleh Abdullah Yazid
  By adminpadek
  Sabtu, 01-Oktober-2005, 05:45:45


  Bahan Bakar Minyak (BBM) memang merupakan sebuah komoditas yang sangat 
  sensitif. Ia merupakan sebuah komoditas pembangkit energi yang menggerakkan 
  sekian banyak sendi kehidupan di masyarakat (price leader).


  Tentunya disadari bahwa ketika pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk 
  menaikkan harga BBM, pasti terjadi reaksi penolakan keras dari berbagai 
  elemen masyarakat . Sebab, beban yang akan diderita masyarakat tidak hanya 
  beban yang berkait dengan hal-hal ekonomis, tapi juga beban sosial dan 
  psikologis.

  Masyarakat yang sudah resah dengan himpitan ekonomi, bencana alam, banjir, 
  tanah longsor, dan gempa bumi yang banyak terjadi di berbagai daerah, masih 
  akan ditambah lagi dengan ancaman kenaikan biaya hidup dengan naiknya harga 
  BBM ini. Secara psikologi sosial, hal ini jelas akan menjadi masalah baru 
  yang mengancam perikehidupan bermasyarakat di Indonesia.

  Realitas suksesi kepemimpinan di Indonesia juga tidak pernah "berpihak" pada 
  aspirasi harga murah BBM ala rakyat. Kenaikan harga BBM selalu saja terjadi 
  di setiap periode pemerintahan bangsa ini. Semenjak era pemerintahan 
  Abdurrahman Wahid, kebijakan atas BBM dilanjutkan pemerintahan di bawah 
  Presiden Megawati Soekaroputri yang menaikkan harga BBM sebesar 30%.

  Kini, ternyata pemerintahan SBY juga tidak beda jauh dengan sebelumnya dalam 
  hal kebijakan harga BBM. Nampaknya BBM tetap saja komoditas negara yang 
  harus mengalami kelonjakan harga karena tuntutan harga minyak dunia. Harga 
  minyak dunia memang terus meningkat, bahkan mengatrol kebutuhan subsidi BBM 
  dalam anggaran.

  Hal ini menyebabkan kebutuhan impor minyak dan BBM oleh Pertamina juga ikut 
  meningkat. Dengan harga USD 67 per barel, kebutuhan subsidi BBM bisa 
  mencapai angka Rp 163 triliun yang berarti dua kali lipat lebih nilai 
  subsidi dalam APBNP sebesar Rp 76,5 triliun (Jawa Pos, 16/8/05).

  Nampaknya perkara inilah yang membuat rencana pemerintahan sekarang 
  menaikkkan harga BBM. Presiden SBY yang menjanjikan banyak perubahan dan 
  kesejahteraan bagi masyarakat, jauh-jauh hari sejak isu kenaikan BBM 
  bergulir bahkan telah siap untuk dikatakan tidak populer.

  Bagi penulis, Presiden SBY kiranya penting menakar ulang bahwa persoalannya 
  bukan populer atau tidak populer di mata rakyat. Sejak akhir 2004, negeri 
  ini harus mengembalikan utang 7,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 67,5 triliun) 
  per tahun berupa cicilan pokok dan bunga. Sementara itu, dari 
  hitung-hitungan abstrak akibat kenaikan harga minyak dunia yang tidak 
  menentu ini, untuk subsidi BBM yang dinilai banyak kalangan tidak tepat 
  sasaran itu memerlukan anggaran negara hampir Rp 100 triliun!

  Kalau semuanya dibebankan pada APBN yang nilainya Rp 397,8 triliun pada 
  tahun 2005 (belum termasuk kalkulasi kebijakan dana darurat akibat tsunami), 
  tentunya akan semakin memperumit kesinambungan anggaran dan memunculkan 
  krisis fiskal.

  Artinya, urusan anggaran internal Indonesia yang sudah begitu ruwet, subsidi 
  BBM yang tidak pernah tepat sasaran, kenaikan BBM yang menuai protes rakyat 
  kecil, penangguhan pembayaran utang (moratorium) negara-negara kreditor yang 
  hanya sesaat, suatu saat akan "mencekik leher" bangsa Indonesia.

  Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Padahal, spirit yang mestinya harus 
  dibangun adalah mencarikan jalan keluar kebutuhan mendasar rakyat, yang 
  otomatis harus seiring dengan kapasitas kemampuan masyarakat, apapun 
  kebijakannya!

  Namun, bercermin dari pengalaman dan perjalanan pemerintahan kita, nampaknya 
  kenaikan harga BBM tidak dapat ditahan lagi. Meskipun kenaikan harga BBM 
  bukan satu-satunya cara yang efektif untuk memberantas penyelundupan BBM, 
  tetapi itulah pilihan Presiden SBY yang didukung banyak pejabat birokrat.

  Maka, dengan tidak mengurangi rasa kritisisme dan kontrol masyarakat atas 
  setiap kebijakan pemerintah, begitu kenaikan itu mulai berlaku, 
  program-program kompensasi harus sungguh-sungguh langsung dilaksanakan.

  Mekanisme kompensasi kenaikan harga BBM hendaknya bukanlah omong kosong 
  belaka dan dapat dipertanggungjawabkan mengingat masih demikian banyak orang 
  miskin yang terkena dampak langsung dari kenaikan harga BBM yang membutuhkan 
  langsung dari pemerintah.

[wanita-muslimah] Subsidi BBM Memanjakan Pengusaha

2005-09-30 Terurut Topik Ambon
http://www.padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2516


Subsidi BBM Memanjakan Pengusaha
Oleh Abdullah Yazid
By adminpadek
Sabtu, 01-Oktober-2005, 05:45:45


Bahan Bakar Minyak (BBM) memang merupakan sebuah komoditas yang sangat 
sensitif. Ia merupakan sebuah komoditas pembangkit energi yang menggerakkan 
sekian banyak sendi kehidupan di masyarakat (price leader).


Tentunya disadari bahwa ketika pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk 
menaikkan harga BBM, pasti terjadi reaksi penolakan keras dari berbagai 
elemen masyarakat . Sebab, beban yang akan diderita masyarakat tidak hanya 
beban yang berkait dengan hal-hal ekonomis, tapi juga beban sosial dan 
psikologis.

Masyarakat yang sudah resah dengan himpitan ekonomi, bencana alam, banjir, 
tanah longsor, dan gempa bumi yang banyak terjadi di berbagai daerah, masih 
akan ditambah lagi dengan ancaman kenaikan biaya hidup dengan naiknya harga 
BBM ini. Secara psikologi sosial, hal ini jelas akan menjadi masalah baru 
yang mengancam perikehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Realitas suksesi kepemimpinan di Indonesia juga tidak pernah "berpihak" pada 
aspirasi harga murah BBM ala rakyat. Kenaikan harga BBM selalu saja terjadi 
di setiap periode pemerintahan bangsa ini. Semenjak era pemerintahan 
Abdurrahman Wahid, kebijakan atas BBM dilanjutkan pemerintahan di bawah 
Presiden Megawati Soekaroputri yang menaikkan harga BBM sebesar 30%.

Kini, ternyata pemerintahan SBY juga tidak beda jauh dengan sebelumnya dalam 
hal kebijakan harga BBM. Nampaknya BBM tetap saja komoditas negara yang 
harus mengalami kelonjakan harga karena tuntutan harga minyak dunia. Harga 
minyak dunia memang terus meningkat, bahkan mengatrol kebutuhan subsidi BBM 
dalam anggaran.

Hal ini menyebabkan kebutuhan impor minyak dan BBM oleh Pertamina juga ikut 
meningkat. Dengan harga USD 67 per barel, kebutuhan subsidi BBM bisa 
mencapai angka Rp 163 triliun yang berarti dua kali lipat lebih nilai 
subsidi dalam APBNP sebesar Rp 76,5 triliun (Jawa Pos, 16/8/05).

Nampaknya perkara inilah yang membuat rencana pemerintahan sekarang 
menaikkkan harga BBM. Presiden SBY yang menjanjikan banyak perubahan dan 
kesejahteraan bagi masyarakat, jauh-jauh hari sejak isu kenaikan BBM 
bergulir bahkan telah siap untuk dikatakan tidak populer.

Bagi penulis, Presiden SBY kiranya penting menakar ulang bahwa persoalannya 
bukan populer atau tidak populer di mata rakyat. Sejak akhir 2004, negeri 
ini harus mengembalikan utang 7,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 67,5 triliun) 
per tahun berupa cicilan pokok dan bunga. Sementara itu, dari 
hitung-hitungan abstrak akibat kenaikan harga minyak dunia yang tidak 
menentu ini, untuk subsidi BBM yang dinilai banyak kalangan tidak tepat 
sasaran itu memerlukan anggaran negara hampir Rp 100 triliun!

Kalau semuanya dibebankan pada APBN yang nilainya Rp 397,8 triliun pada 
tahun 2005 (belum termasuk kalkulasi kebijakan dana darurat akibat tsunami), 
tentunya akan semakin memperumit kesinambungan anggaran dan memunculkan 
krisis fiskal.

Artinya, urusan anggaran internal Indonesia yang sudah begitu ruwet, subsidi 
BBM yang tidak pernah tepat sasaran, kenaikan BBM yang menuai protes rakyat 
kecil, penangguhan pembayaran utang (moratorium) negara-negara kreditor yang 
hanya sesaat, suatu saat akan "mencekik leher" bangsa Indonesia.

Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Padahal, spirit yang mestinya harus 
dibangun adalah mencarikan jalan keluar kebutuhan mendasar rakyat, yang 
otomatis harus seiring dengan kapasitas kemampuan masyarakat, apapun 
kebijakannya!

Namun, bercermin dari pengalaman dan perjalanan pemerintahan kita, nampaknya 
kenaikan harga BBM tidak dapat ditahan lagi. Meskipun kenaikan harga BBM 
bukan satu-satunya cara yang efektif untuk memberantas penyelundupan BBM, 
tetapi itulah pilihan Presiden SBY yang didukung banyak pejabat birokrat.

Maka, dengan tidak mengurangi rasa kritisisme dan kontrol masyarakat atas 
setiap kebijakan pemerintah, begitu kenaikan itu mulai berlaku, 
program-program kompensasi harus sungguh-sungguh langsung dilaksanakan.

Mekanisme kompensasi kenaikan harga BBM hendaknya bukanlah omong kosong 
belaka dan dapat dipertanggungjawabkan mengingat masih demikian banyak orang 
miskin yang terkena dampak langsung dari kenaikan harga BBM yang membutuhkan 
langsung dari pemerintah.

Masalah pemberian kompensasi memang tak harus dikaitkan dengan kenaikan 
harga minyak. Pemberian kompensasi-menyediakan fasilitas kesehatan dan 
pendidikan, misalnya-memang sudah menjadi kewajiban pemerintah.

Itulah mengapa adanya dana kompensasi buat sektor-sektor tertentu yang 
digembar-gemborkan pemerintah dituntut untuk benar-benar 
dipertanggungjawabkan; transparansi penyaluran dana perlu dikontrol secara 
ketat; serta benar-benar tepat sasaran.

Sementara itu, adanya pengalihan subsidi BBM ke sektor-sektor lain semisal 
pendidikan, kesehatan, beras murah bagi rakyat miskin, pemberdayaan UMKM 
(Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), ser