http://www.padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2516
Subsidi BBM Memanjakan Pengusaha
Oleh Abdullah Yazid
By adminpadek
Sabtu, 01-Oktober-2005, 05:45:45
Bahan Bakar Minyak (BBM) memang merupakan sebuah komoditas yang sangat
sensitif. Ia merupakan sebuah komoditas pembangkit energi yang menggerakkan
sekian banyak sendi kehidupan di masyarakat (price leader).
Tentunya disadari bahwa ketika pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk
menaikkan harga BBM, pasti terjadi reaksi penolakan keras dari berbagai
elemen masyarakat . Sebab, beban yang akan diderita masyarakat tidak hanya
beban yang berkait dengan hal-hal ekonomis, tapi juga beban sosial dan
psikologis.
Masyarakat yang sudah resah dengan himpitan ekonomi, bencana alam, banjir,
tanah longsor, dan gempa bumi yang banyak terjadi di berbagai daerah, masih
akan ditambah lagi dengan ancaman kenaikan biaya hidup dengan naiknya harga
BBM ini. Secara psikologi sosial, hal ini jelas akan menjadi masalah baru
yang mengancam perikehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Realitas suksesi kepemimpinan di Indonesia juga tidak pernah "berpihak" pada
aspirasi harga murah BBM ala rakyat. Kenaikan harga BBM selalu saja terjadi
di setiap periode pemerintahan bangsa ini. Semenjak era pemerintahan
Abdurrahman Wahid, kebijakan atas BBM dilanjutkan pemerintahan di bawah
Presiden Megawati Soekaroputri yang menaikkan harga BBM sebesar 30%.
Kini, ternyata pemerintahan SBY juga tidak beda jauh dengan sebelumnya dalam
hal kebijakan harga BBM. Nampaknya BBM tetap saja komoditas negara yang
harus mengalami kelonjakan harga karena tuntutan harga minyak dunia. Harga
minyak dunia memang terus meningkat, bahkan mengatrol kebutuhan subsidi BBM
dalam anggaran.
Hal ini menyebabkan kebutuhan impor minyak dan BBM oleh Pertamina juga ikut
meningkat. Dengan harga USD 67 per barel, kebutuhan subsidi BBM bisa
mencapai angka Rp 163 triliun yang berarti dua kali lipat lebih nilai
subsidi dalam APBNP sebesar Rp 76,5 triliun (Jawa Pos, 16/8/05).
Nampaknya perkara inilah yang membuat rencana pemerintahan sekarang
menaikkkan harga BBM. Presiden SBY yang menjanjikan banyak perubahan dan
kesejahteraan bagi masyarakat, jauh-jauh hari sejak isu kenaikan BBM
bergulir bahkan telah siap untuk dikatakan tidak populer.
Bagi penulis, Presiden SBY kiranya penting menakar ulang bahwa persoalannya
bukan populer atau tidak populer di mata rakyat. Sejak akhir 2004, negeri
ini harus mengembalikan utang 7,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 67,5 triliun)
per tahun berupa cicilan pokok dan bunga. Sementara itu, dari
hitung-hitungan abstrak akibat kenaikan harga minyak dunia yang tidak
menentu ini, untuk subsidi BBM yang dinilai banyak kalangan tidak tepat
sasaran itu memerlukan anggaran negara hampir Rp 100 triliun!
Kalau semuanya dibebankan pada APBN yang nilainya Rp 397,8 triliun pada
tahun 2005 (belum termasuk kalkulasi kebijakan dana darurat akibat tsunami),
tentunya akan semakin memperumit kesinambungan anggaran dan memunculkan
krisis fiskal.
Artinya, urusan anggaran internal Indonesia yang sudah begitu ruwet, subsidi
BBM yang tidak pernah tepat sasaran, kenaikan BBM yang menuai protes rakyat
kecil, penangguhan pembayaran utang (moratorium) negara-negara kreditor yang
hanya sesaat, suatu saat akan "mencekik leher" bangsa Indonesia.
Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Padahal, spirit yang mestinya harus
dibangun adalah mencarikan jalan keluar kebutuhan mendasar rakyat, yang
otomatis harus seiring dengan kapasitas kemampuan masyarakat, apapun
kebijakannya!
Namun, bercermin dari pengalaman dan perjalanan pemerintahan kita, nampaknya
kenaikan harga BBM tidak dapat ditahan lagi. Meskipun kenaikan harga BBM
bukan satu-satunya cara yang efektif untuk memberantas penyelundupan BBM,
tetapi itulah pilihan Presiden SBY yang didukung banyak pejabat birokrat.
Maka, dengan tidak mengurangi rasa kritisisme dan kontrol masyarakat atas
setiap kebijakan pemerintah, begitu kenaikan itu mulai berlaku,
program-program kompensasi harus sungguh-sungguh langsung dilaksanakan.
Mekanisme kompensasi kenaikan harga BBM hendaknya bukanlah omong kosong
belaka dan dapat dipertanggungjawabkan mengingat masih demikian banyak orang
miskin yang terkena dampak langsung dari kenaikan harga BBM yang membutuhkan
langsung dari pemerintah.
Masalah pemberian kompensasi memang tak harus dikaitkan dengan kenaikan
harga minyak. Pemberian kompensasi-menyediakan fasilitas kesehatan dan
pendidikan, misalnya-memang sudah menjadi kewajiban pemerintah.
Itulah mengapa adanya dana kompensasi buat sektor-sektor tertentu yang
digembar-gemborkan pemerintah dituntut untuk benar-benar
dipertanggungjawabkan; transparansi penyaluran dana perlu dikontrol secara
ketat; serta benar-benar tepat sasaran.
Sementara itu, adanya pengalihan subsidi BBM ke sektor-sektor lain semisal
pendidikan, kesehatan, beras murah bagi rakyat miskin, pemberdayaan UMKM
(Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), ser