"MAMA JAHAT, MAMA ENGGAK SAYANG SAMA AKU!" Kekerasan verbal menunjukkan rendahnya tingkat disiplin anak. Untuk mengikis perilaku ini, evaluasi kembali penerapan disiplin pada si prasekolah. Disadari atau tidak, anak usia ini sudah pandai mengobral kekerasan verbal. Coba saja tolak keinginannya, serta merta ia akan melontarkan sumpah serapah, "Mama jahat!", atau "Papa pelit! Enggak sayang sama aku!" Memang sih tidak semua anak prasekolah menunjukkan perilaku ini. Seperti diungkapkan Mira D. Amir, Psi., kekerasan verbal dilakukan anak sebagai gertak sambal agar keinginannya dipenuhi tanpa bisa ditunda apalagi ditolak. Dalam hal ini anak cenderung memunculkan sikap egoisnya tanpa melihat situasi dan kondisi. Jadi, dengan kekerasan verbal berupa ancaman anak berusaha menarik perhatian orang tua agar permintaannya selalu dikabulkan. PENIRU ULUNG Menurut psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) ini, kekerasan verbal antara lain muncul akibat penerapan disiplin yang salah dari orang tua. Khususnya ketika anak menginjak usia batita, ketidakmampuan orang tua menegakkan aturan menjadikan anak memiliki disiplin yang lemah. Anak jadi tidak mengerti mengenai apa saja yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Kemungkinan lain, orang tua tidak konsisten dalam menerapkan aturan. Sering terjadi, perbuatan tertentu yang dilarang beberapa hari sebelumnya, hari ini ternyata boleh. Akibatnya, anak senantiasa berada dalam kondisi bingung yang membuatnya terpaksa selalu menebak-nebak. Selain itu, anak usia prasekolah adalah peniru ulung. Dengan cepat dia akan meniru semua hal yang ada di lingkungan terdekatnya, baik itu ucapan ataupun sikap kasar. Siapa saja bisa dijadikan sosok peniruannya, entah teman, saudara, tetangga atau bahkan orang tuanya sendiri. Jangan heran kalau si prasekolah gemar berkata, "Mama enggak sayang aku lagi!" bila ibunya merajuk pada sang suami dengan berkata, "Papa enggak cinta lagi sama Mama." Ancaman verbal juga dapat tercetus dari mulut anak bila orang tua kerap melontarkan hal serupa. Contohnya, "Kalau kamu enggak mau makan, ya udah Mama pergi aja deh!" Secara tidak langsung anak akan menyimpan dalam-dalam semua sikap orang tua itu dalam memorinya. Sangat mungkin jika suatu saat anak balik mengancam orang tua dengan kata-kata yang punya kemiripan. Ingat juga, jadilah teladan yang baik buat anak. Contohnya sederhana saja, semisal selagi di rumah, apalagi di depan anak, jangan sampai mengeluarkan kata-kata kasar. Memang bukan hal mudah. Atau, ketika amarah terasa mulai meledak, orang tua bisa mengunci pintu kamar rapat-rapat. Kendati langkah-langkah ini juga tidak menjamin anak tidak bakal tahu pertengkaran orang tuanya. Namun setidaknya hal-hal negatif akibat luapan kemarahan orang tua tidak sampai dilihat dan didengar si kecil. SELEKSI TONTONAN Kekerasan verbal juga bisa didapat anak dari sumber media audio-visual seperti radio dan televisi. Apalagi, ungkap Mira, saat ini banyak sinetron yang muatannya sama sekali tidak mendidik. Banyak ucapan kasar yang keluar dari mulut para pemain, padahal, media televisi cukup ampuh mengubah perilaku anak karena ia akan dengan begitu mudah meniru dan menyerap semua sikap dan ucapan yang dilihatnya. Agar dampak buruk televisi bisa diminimalkan, orang tua bisa melakukan seleksi terhadap acara yang ditonton si kecil. Pilihlah acara yang memang sesuai usia dan sarat akan manfaat dan pengetahuan. Kalaupun tidak memungkinkan, orang tua bisa melakukan pendampingan saat anak nonton televisi. Ketika ada tayangan yang tidak patut ditiru, orang tua bisa memberi arahan kepada anak. Batasi juga waktu nonton teve, misalnya sehari anak hanya boleh nonton pada jam-jam tertentu saja. Selebihnya, arahkan anak untuk melakukan berbagai aktivitas lainnya seperti bermain sepeda atau corat-coret di kertas gambar. Penyebab lain, anak tengah berada dalam kondisi letih. Kondisi tidak menyenangkan tersebut biasanya dilampiaskan anak dengan aneka sikap negatif, seperti rewel, tantrum, atau meminta sesuatu yang tidak pada tempatnya, dan mengancam lewat kata-kata kasar. Sedangkan untuk kasus anak yang melakukan kekerasan verbal karena capek, ngantuk atau lapar, orang tua mesti bersikap bijak. Bersikaplah jeli untuk mengamati bahwa rengekan tersebut bukan berarti anak ingin permintaannya dipenuhi, melainkan hanya kompensasi dari rasa capeknya saja. Jadi, hal yang perlu dilakukan orang tua adalah dengan mencari tahu, apakah benar si anak lapar atau mengantuk. Anak yang lapar biasanya bisa dilihat dari permintaannya akan jenis makanan tertentu. Selain itu orang tua bisa mengecek kapan anak mendapat asupan makanan terakhir. Jika selang waktunya cukup lama, dapat dipastikan anak memang lapar. Sementara untuk rasa ngantuk bisa dilihat dari kondisi fisik anak yang lelah dan terlihat tak bersemangat saat main. Kalau ini yang terjadi, orang tua mesti pandai mengalihkan aktivitas anak agar bisa tidur. Saat si kecil merengek minta dibelikan es krim di tengah malam, orang tua bisa membujuknya, "Wah, tukang es krimnya sudah bobok. Besok saja ya. Gimana sekarang kalau ibu dongengin tentang tukang es krim." PENERAPAN DISIPLIN Untuk mengatasi perilaku kurang terpuji ini, orang tua sebaiknya melakukan evaluasi. Khususnya menyangkut disiplin yang telah diterapkan pada si kecil. Orang tua mesti memiliki rambu-rambu baku, mana hal yang boleh dan tidak. Contohnya, anak tidak boleh makan es krim sebelum makan. Usahakan semua aturan ini berlaku secara konsisten. Jangan sampai terbuka kesempatan bagi anak untuk melanggar aturan.
Jelaskan aturan yang sama kepada semua penghuni rumah, dari supir, pengasuh, pembantu dan anggota keluarga lainnya. Dengan demikian diharapkan seisi rumah bisa seia sekata dalam menegakkan aturan yang berlaku. Bila kedapatan melanggar, orang tua jangan segan-segan memberikan sanksi. Atau sebaliknya, memberikan hadiah jika anak mematuhi aturan yang ada. Yang pasti, tidak ada kata terlambat dalam proses pembelajaran. "Jika di usia batita anak belum bisa diajarkan kedisiplinan, maka di usia prasekolah, mau tidak mau kedisiplinan harus diterapkan." Sampaikan pula pada anak untuk belajar menunda keinginan. Soalnya, karena berbagai sebab, tidak tertutup kemungkinan kemauan dan permintaan anak harus ditunda atau bahkan ditolak. Dengan demikian anak bisa memahami bahwa ada permintaannya yang bisa dikabulkan saat itu juga, tapi ada pula yang harus ditunda bahkan ditolak. JANGAN GAMPANG MENGALAH Menurut Mira, mengatasi perilaku yang satu ini harus melihat situasi dan kondisi. Jika kejadiannya di rumah, orang tua bisa memberi pengarahan tentang perilaku tersebut. Jika si kecil berkata, "Mama enggak sayang sama aku lagi." Orang tua bisa menjelaskan bahwa menolak atau menunda keinginan anak bukan berarti orang tua enggak sayang, tetapi ada maksud yang baik di balik itu." Begitu juga mengenai aturan yang tidak membolehkan anak makan es krim sebelum makan nasi. Kemukakan bahwa es krim bila dimakan sebelum makan, akan membuatnya kenyang lebih dulu, atau malah bisa sakit perut. Lain hal jika kejadiannya di tempat umum seperti di mal. Di tempat-tempat seperti ini orang tua membutuhkan kiat-kiat tertentu. Biasanya, di tempat-tempat umum anak memang lebih berani mengutarakan ancamannya. Apalagi jika ia belajar dari pengalaman bahwa orang tua umumnya tidak tega menolak alias langsung memenuhi permintaannya. Jika ini terjadi, orang tua hendaknya bersikap cuek. Diamkan saja si anak selama beberapa saat. Katakan, "Kamu enggak boleh begitu, ini kan bukan di rumah." Nah, jika cara ini juga dianggap tidak mempan, orang tua bisa mengambil langkah santai meninggalkan si anak. Biarkan ia berteriak-teriak. Nanti juga dia akan mengikuti orang tua, meski mungkin sambil sesunggukan menahan tangisnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sekali-kali mengalah pada ancaman anak. Saat anak berteriak-teriak minta dibelikan sesuatu di mal, misalnya, banyak orang tua yang karena alasan malu lantas mengabulkan tuntutan si anak. Terbiasa mengalah seperti ini bisa membuat anak berpikir, "Oh, ternyata ancamanku ampuh ya." Lain kali anak pun akan mengulangi ancaman yang sama jika kemauannya tidak dituruti. TAHAP EKSTREM Yang tidak kalah penting, anak pun sebetulnya berisiko mengalami dampak negatif akibat perilakunya. Antara lain ia bisa tumbuh menjadi pribadi sulit yang jika kemauannya tidak dituruti langsung ngambek atau kalau permintaannya tak dipenuhi langsung mengancam dan melakukan tindak kekerasan apa pun. Dalam tahap ekstrem, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang senang mengancam orang lain. Sebab, jika anak sudah terbiasa dengan pola pikir bahwa ancaman terbukti sangat ampuh untuk memperdayai orang tuanya, hal yang sama akan ia lakukan kepada lingkungannya. Kelak jika sudah tumbuh remaja, anak mungkin tak segan-segan melakukan ancaman saat cintanya ditolak. Atau ketika bekerja, anak juga tak pernah surut untuk menakut-nakuti rekan kerjanya lewat ancaman. Kalau ancamannya di usia prasekolah hanya sebatas gertakan sambal, alias omong doang, maka di saat dewasa, ancaman tersebut besar kemungkinan jadi kenyataan. "Banyak kan remaja atau dewasa muda yang nekat bunuh diri hanya gara-gara cintanya tak sampai pada sang pujaan hati." Selain itu, kemungkinan lain anak akan tumbuh menjadi pribadi yang egois. Soalnya, kalau selagi kecil keinginannya tidak pernah ditolak, maka hal yang kurang lebih sama akan dia lakukan pula ketika dewasa. Tak heran jika ia selalu mendahulukan kepentingannya, dan kurang menaruh peduli pada kesusahan orang lain. Hanya saja, dampak negatif tersebut umumnya terjadi kalau sudah mencapai tahap ekstrem akibat orang tua maupun orang-orang di rumah selalu menolerir perilaku buruk anak. Sementara jika tidak, bukan tidak mungkin, perilaku buruk ini akan surut dengan sendirinya seiring bergulirnya waktu karena lingkungan lazimnya akan ikut mengoreksi perilaku negatif anak. Saeful Imam. Ilustrator: Pugoeh