------------------------------------------------------------------- Mailing List Daarul Fikri Edisi : 030 / Th. I -- Rabu, 12 Dzulqa'dah 1423H / 15-Jan-2003 Kolom : Keluarga Sakinah Judul : Understanding Positive Parenting 2 Sumber : Mohamad Fauzil Adhim -------------------------------------------------------------------
Understanding POSITIVE PARENTING 2 Ada beberapa hal penting dalam menyikapi iktikad positif anak yang “salah waktu”. Pertama, menunjukkan respon yang baik kepada iktikad positifnya. Bukan pada tindakannya. Kita menunjukkan pada anak bahwa kita menghargai dan menerima iktikadnya. Kita berterima-kasih kepadanya, menunjukkan penerimaan kepada dirinya. Kedua, mengarahkan anak pada perilaku lain yang lebih sesuai. Cara ini lebih mudah diterima oleh anak daripada memberikan larangan terhadap apa yang sedang dilakukannya. Larangan ketika anak sedang bersemangat melakukan yang positif –meskipun salah waktu—bisa dianggap sebagai penolakan, sehingga ia justru melakukan tindakan negatif. Sekedar larangan juga tidak memberi alternatif bagi anak apa yang seharusnya ia kerjakan. Ketiga, menunjukkan kepada anak bahwa perilaku lain yang kita sarankan lebih sesuai dengan iktikad positif anak. Kita bisa menyampaikan kepada anak bahwa dengan bermain di luar kamar, atau tidur dengan baik di dekat adiknya, akan menjadikan adiknya lebih tenang, sehingga adiknya merasa lebih disayang. Keempat, sampaikanlah dengan lembut dan empatik. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya, kelembutan itu apabila ada pada sesuatu ia akan memperindahnya, dan apabila ia tercerabut dari sesuatu akan tercelalah ia.” (HR. Muslim). Agar bisa menerapkan dengan baik, orangtua perlu belajar mengelola emosi. Kunci keberhasilan dalam melakukan keempat hal tersebut terletak pada kendali emosi yang baik. Jika kita sedang panik, tekanan emosi cukup tinggi, atau ingin menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat, ketenangan akan hilang dari diri kita. Apalagi kalau kita dikuasai oleh amarah, kita tidak lagi mampu berpikir jernih untuk dapat melakukan langkah pertama, kedua dan ketiga. Kita sulit menemukan kata-kata yang tepat, bukan karena tidak memiliki perbendaharaan kalimat yang baik, tetapi karena emosi kita sedang sangat negatif. Sementara untuk bisa berlemah-lembut dan empatik, juga memerlukan pengendalian emosi yang baik. Alhasil, bekal yang harus kita miliki adalah kendali emosi yang matang. Kita memiliki kesabaran. Dan inilah yang perlu kita benahi terus menerus. Tanpa itu, kita tidak bisa menerapkan positive parenting. Sampai sekarang, saya masih terus belajar mengelola emosi. Jujur saya katakan, emosi saya masih sering meletup-letup meski saya sangat meyakini bahwa cara paling efektif menghadapi anak adalah dengan pikiran positif, emosi positif dan hati yang jernih. Tetapi mengelola emosi memang butuh kemauan yang keras dan kesediaan untuk berproses terus-menerus. Butuh kesediaan untuk melakukan proses pembelajaran yang tiada henti. Tanpa itu semua, pemahaman tentang positive parenting akan sia-sia. Pengetahuan kita tentang bagaimana menghadapi anak akan tidak berguna, sehingga teori tinggal teori. Tidak lagi menjadi pijakan yang kokoh dalam melangkah. Catatan kecil ini berarti, tak ada tempat bagi kata putus asa untuk terus-menerus belajar mengelola emosi. Meskipun berkali-kali saya melakukan kesalahan dalam menyikapi anak, tetapi tekad untuk memperbaiki cara dan sikap harus dipertahankan. Salah satu cara adalah dengan menempelkan di dinding kamar kalimat-kalimat yang bisa memacu diri sendiri untuk senantiasa lebih lembut, lebih tenang dan lebih mampu mengendalikan emosi. Cara lain adalah menghidupkan pembicaraan tentang bagaimana seharusnya menghadapi anak, dan bukan sibuk memperbincangkan kerewelan-kerewelan mereka. Selain itu, perbincangan dari hati ke hati dengan istri di saat-saat khusus memberi manfaat yang luar biasa besar untuk introspeksi kesalahan dan memperbaiki niat, komitmen dan visi dalam menghadapi anak setiap hari. Di antara berbagai cara membangkitkan semangat mendidik dengan lebih baik, perbincangan dengan istri, saya rasa memberi kekuatan yang lebih besar. Kita bisa lebih mudah menyadari kesalahan-kesalahan kita, sehingga terdorong untuk lebih bersemangat memperbaikinya. Tentu saja, perbincangan semacam ini hanya akan efektif apabila dilakukan dengan hati yang terbuka. Keduanya siap melihat kenyataan bahwa masing-masing masih melakukan sangat banyak kesalahan dalam mendidik anak. Tanpa kesediaan untuk melihat kesalahan sendiri, perbincangan itu justru melahirkan arena tinju dimana masing-masing saling mengintai kesempatan untuk memukul jatuh. Alhasil, keberhasilan kita mendorong anak bersikap sehat (supporting to healthy attitudes) sangat dipengaruhi oleh kesediaan kita sendiri untuk bersikap yang lebih baik. Mendidik anak menjadi lebih baik berarti membenahi diri sendiri. Inilah yang kadang membuat kita lelah. Begitupun mendidik dengan cara yang lebih baik berarti usaha terus-menerus untuk senantiasa menghadapi mereka secara sadar dan terkendali. Bukan impulsif dan reaksioner. Sekali lagi, hambatan terbesar dalam melaksanakan adalah diri sendiri. Ya, diri sendiri adalah hambatan terbesar dalam mendidik anak. ***************************************************************** Saudaraku, setiap Muslim punya kewajiban untuk menyampaikan ajaran Islam. Kesempatan kita untuk berdakwah saat ini adalah : Anda sampaikan artikel ini kepada Saudara kita yang belum mengetahuinya. -------------------------------------------------------------------------- Milis ini bersifat searah (moderated) untuk bergabung dengan milis kirim e-mail ke : [EMAIL PROTECTED] --------------------------------------------------------------------------