FYI !! Sementara kita saling berbagi informasi (sharing) tentang Anak-Anak kita untuk 
mendapatkan Gizi / Kesehatan / Pendidikan yang Baik, ada baiknya kita menatap realita 
tentang Anak-Anak di-Timur Indonesia.

Kompas Online >Selasa, 11 Juli 2000

Tragedi KM Cahaya Bahari 
Belajar dari Ketulusan Nurani Stanly


PERTIKAIAN antarkelompok masyarakat yang masih saja membara di Maluku Utara ternyata 
tidak lalu membuat warga di sana lupa terhadap ke-wajibannya, menyediakan pendidikan 
yang layak dan lebih baik bagi anak-anaknya. Warga yang bertikai sadar betul bahwa 
pendidikan anak-anak tetap sangat penting dan tidak boleh terabaikan. 

Oleh karena itu, di sela-sela maraknya pertikaian yang sering kali harus berakhir 
dengan maut, warga di kawasan bergolak Maluku Utara tetap saja bertekad memberikan 
pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Hal itu mencuat setelah menelusuri komposisi 
usia dari 492 penumpang Kapal Motor (KM) Cahaya Bahari yang tenggelam, 29 Juni lalu, 
di Perairan Pulau Siau Tagulandang, Kabupaten Sangihe Talaud, Su-lawesi Utara. 

Menurut data yang dihimpun Kompas, sedikitnya 60 persen dari keseluruhan penumpang 
kapal naas itu adalah pelajar sekolah dasar (SD), sekolah lan-jutan tingkat pertama 
(SLTP), sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), dan mahasiswa. 

Sementara itu, para orangtua atau orang dewasa yang ikut berlayar dengan KM Cahaya 
Bahari dari Tobelo ke Manado rata-rata bertujuan sama, mengantarkan anak-anaknya 
pindah atau melanjutkan pendidikan di Manado. Sebagian lagi adalah para orang tua 
lanjut usia serta kaum perempuan yang sengaja diungsikan dari ingar-bingarnya 
kerusuhan, peperangan, dan maut di kawasan bergolak itu. 

Menurut Pelaksana Harian Administrator Pelabuhan Tobelo Johanis Gani, hijrah 
besar-besaran anak-anak sekolah dari desa-desa di Kecamatan Tobelo dan Galela, 
terutama selama bulan Juli dan sebagian sejak akhir Juni, karena waktunya bertepatan 
dengan pelaksanaan liburan panjang. Selain itu, karena menyesuaikan dengan jadwal atau 
agenda pendaftaran murid baru semua sekolah di Manado. 

Tidak tanggung-tanggung, seluruh lima anaknya plus beberapa keponakan Gani ikut dalam 
kapal naas tersebut untuk berlibur sekaligus pindah atau mendaftar sekolah ke Manado. 
Akhirnya, kapal pengangkut barang itu tenggelam bersama ratusan anak yang ingin 
melanjutkan cita-cita itu. Tenggelamnya KM Cahaya Bahari sekaligus menenggelamkan 
angan-angan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. 

Akibat kecelakaan laut itu, empat anak Johanis, keponakannya, serta opa dan oma dari 
para cucu itu hingga kini belum ditemukan, sementara Johana Mariska Gani (13) menjadi 
satu-satunya anak Johanis yang tersisa dan bisa diselamatkan dari maut di perairan 
sekitar 73 mil laut arah timur Lirung, Pulau Karakelang, Satal. Gadis kecil yang 
beranjak remaja itu, bersama sembilan penumpang lainnya, diselamatkan kapal ikan KM 
Minahasa 9 pada hari keempat, 2 Juli lalu. 


***
STANLY Ransaputih (10), salah satu korban selamat di atas KRI Multatuli dari Lirung ke 
Bitung, mengungkapkan, tujuannya ke Manado sebenarnya untuk pindah sekolah. "Kata mama 
dan papa", ujar Stanly, "kalau Stanly mau jadi orang baik-baik dan berhasil di 
kemudian hari, Stanly harus sekolah di Manado." 

Stanly menuruti nasihat orangtuanya untuk bersekolah di Manado karena, menurut 
ayah-ibunya, dia bisa sekolah dengan aman di kota itu. Stanly memang masih sangat muda 
bahkan terbilang kanak-kanak, tetapi tragedi yang menimpa KM Cahaya Bahari telah 
mengubahnya menjadi anak kecil yang matang, yang tahu persis penderitaan demi 
penderitaan serta sekaligus kasih sayang kedua orangtuanya kepadanya. 

Kematangan watak dan karakter Stanly bisa dilihat ketika ia dengan berani memutuskan 
berenang meraih tangan Johana Mariska Gani yang nyaris tenggelam di laut lepas yang 
berbatasan dengan Samudera Pasifik. Bagi Stanly, ketika itu, kedalaman laut Samudera 
Pasifik yang mencapai ribuan meter bukan soal besar ketimbang nyawa Johana, 
satu-satunya teman di tengah kesunyian Pasifik. 

Dengan cekatan, Stanly, anak nelayan yang pada waktu-waktu tertentu ikut melaut 
mencari ikan bersama ayahnya, berenang mendekati Johana, menggapai tangannya dan 
menaikkannya ke rakit kecil sampai akhirnya keduanya ditemukan KM Minahasa 9. Hanya 
dalam tempo tiga hari tiga malam, Stanly yang periang telah berubah dari seorang anak 
kecil menjadi seorang yang berkarakter, yang berani berkorban nyawa untuk 
menyelamatkan "kakaknya", Johana. 

Stanly memang anak kecil dari segi usia, tetapi kesediaannya mendengarkan panggilan 
hati nuraninya menyelamatkan Johana telah membuat ia menjadi seorang yang jauh lebih 
matang dan dewasa ketimbang para elite politik yang pintar memainkan strategi dan 
kata-kata demi memenangkan sebuah gagasan politik, termasuk mungkin mengorbankan nyawa 
anak-anak kecil seusia Stanly. Stanly bukan cuma korban KM Cahaya Bahari yang selamat, 
tetapi sekaligus sebuah fenomena khusus dan tempat kita semua berkaca diri, tempat 
belajar tentang bagaimana mendengarkan panggilan nurani terdalam yang suci. 

Cerita tentang kepahlawanannya pun bukan muncul dari mulut si pahlawan cilik ini, 
tetapi dari saksi hidup, Johana Mariska Gani. Sosok Stanly sekaligus contoh bagaimana 
manusia seharusnya saling membutuhkan, saling menolong tanpa batas-batas agama, adat, 
suku serta beragam cap lainnya. 


***
KINI, ratusan anak bangsa, anak manusia muda, kanak-kanak yang oleh orangtuanya 
dipersiapkan meraih pendidikan dan hidup lebih baik telah mati muda, hilang bersama 
derasnya arus dan gelombang ganas Samudera Pasifik. Anak-anak yang oleh orangtuanya 
diungsikan dari daerah bergolak untuk meraih pendidikan di Manado telah sekaligus 
berubah menjadi tempat kita belajar tentang hidup. 

Kiranya pengorbanan mereka, dan banyak sekali anak-anak yang ikut jadi korban dalam 
berbagai kerusuhan di Tanah Air, akan mampu menggetarkan hati nurani para politisi 
yang sudah tertutup kerasnya gagasan untuk saling menguasai, yang kemudian memakan 
korban anak-anak kecil. Semoga. (Freddy Roeroe) 

Kirim email ke