Tayangan SmackDown! Dihentikan
   
  Oleh: Zaki Amrullah dan Ayu Purwaningsih dari Berlin
   
  Stasiun TV LaTivi akhirnya menyerah. Tayangan berkelahi bebas bohong-bohongan 
SmackDown! akhirnya dihentikan, menyusul protes dari masyarakat selama lebih 
dari sepekan terakhir. 

   
  Manajer LaTivi mengatakan penghentian penayangan itu dilakukan untuk 
mengakhiri kontroversi tentang acara televisi itu. Tetapi LaTivi mengimbau agar 
yang berwenang konsisten dan menertibkan tayangan-tayangan lain yang juga mirip 
dengan tayangan semacam SmackDown! 
   
  Seiring bertambah maraknya protes masyarakat atas tayangan berkelahi bebas 
bohong-bohongan SmackDown!, Stasiun TV Lativi akhirnya menghentikan 
penayangannya. Menurut Aris Merdeka Sirait, dari Komisi Nasional Perlindungan 
Anak, setidaknya sudah tujuh anak yang dilaporkan menjadi korban kekerasan 
antar mereka, akibat menonton tayangan SmackDown! di Stasiun TV Lativi. Mereka 
diduga meniru adegan berkelahi dalam tayangan itu. Lebih tragis lagi, dua 
diantaranya meninggal dunia.
   
  Laporan aksi kekerasan yang diduga sebagai dampak tayangan TV bermula ketika 
seorang pelajar usia 9 tahun Reza Ikhsan Fadillah tewas beberapa waktu lalu, 
setelah dianiaya tiga kakak kelasnya. Pelajar kelas 3 Sekolah Dasar di  Bandung 
Jawa Barat itu meninggal setelah sekitar sepekan dirawat di rumah sakit.   
Belakangan ayah korban, Herman Suratman, menyatakan, putranya meninggal karena 
dianiaya ketiga kakak kelasnya yang meniru adegan SmackDown! di layar TV. 
   
  Acara berkelahi bohong-bohongan yang dikenal dengan SmackDown! ini memang 
banyak digemari, salah satunya Andika, bocah 9 tahun, yang mengaku 
bertahun-tahun menggemari acara tersebut.
   
  Aditya, 8 tahun, juga menyukainya. Namun mengaku tidak suka meniru adegan 
perkelahaian yang disaksikannya di acara Smack Down! Ia tahu bahwa adegan 
tersebut hanya trik semata, bukan adegan perkelahian sesungguhnya.
   
  Yudistira, ayah Aditya tidak melarang anaknya menyaksikan tayangan itu. Sebab 
menurutnya, tidak ada alternatif lain, karena program TV di Indonesia tidak ada 
yang bagus dan bersifat mendidik. Apalagi akhir-akhir ini banyak film-film 
agamis yang dicampur dengan adegan horror sehingga membuat anak-anak malah 
ketakutan dan berpikir tidak logis. 
  Ia menganjurkan orang tua lain agar berusaha sebisa mungkin mendampingi 
anak-anaknya dalam menyaksikan tayangan televisi sambil memberikan pengertian 
yang positif tentang apa yang ditonton. 
   
  Komnas Anak sendiri masih akan meneliti lebih lanjut, apakah kekerasan dan 
aksi brutal yang melibatkan antar anak itu, betul-betul dipicu oleh tayangan 
SmackDown! semata. Penelitian yang akan dilakukan Komnas Anak ini, didukung 
oleh pihak Lativi. Stasiun TV milik pengusaha Abdul Latif itu mengaku telah 
menaati aturan penyiaran. yaitu dengan menaruh acaranya di jam tayang malam 
hari dan peringatan bahwa SmackDown! adalah tontonan orang dewasa. Meskipun 
demikian, orang dewasa pun dapat tertular sakit jiwa kekerasan, bila terlalu 
sering menonton SmackDown! . 
   
  Komisi Penyiaran Indonesia menganggap respon Lativi terlambat, mengingat 
stasiun itu telah jauh hari diingatkan KPI untuk memindahkan jam tayang acara 
tersebut ke jam yang lebih larut, sebelum insiden terjadi. Koordinator isi 
siaran KPI Pusat Ade Armando mempersilakan masyarakat yang merasa dirugikan 
mempidanakan kasus ini.  
  Undang-Undang  penyiaran Nomor 32 tahun 2002 menyebutkan sanksi bagi 
pengelola staisun TV yang menayangakan adegan kekerasan dan pornografi  diancam 
hukuman penjara paling lama lima tahun dan atau denda 10 milyar Rupiah.  
   
  Sementara KPI sendiri hanya dapat melakukan mediasi antar pihak yang 
berseberangan, yaitu masyarakat yang memprotes dan manajemen Lativi. Menurut 
Sasa dari KPI sebenarnya dapat diambil jalan tengah atas kasus tersebut, tanpa 
merugikan kedua pihak. 
  Sementara itu, Kantor Pusat  World Wrestling Entertainment di Connecticut, 
perusahaan yang memproduksi tayangan SmackDown!, menyatakan tidak ada hubungan 
antara acara TV tersebut dengan kematian Reza. Psikolog Universitas Atmajaya 
Irwanto menjabarkan faktor yang menentukan perilaku seorang anak bukan hanya 
dari tontotan televisi. Bila sekedar menonton, efek menirukan adegan, relatif 
kecil. Namun bila ada faktor-faktor lain, misalnya permainan elektronik yang 
bersifat pertarungan, bisa jadi mempengaruhi perilaku anak. 
   
  Irwanto menambahkan hingga kini masih menjadi debat klasik, sejauh mana efek 
televisi terhadap perilaku anak. Irwanto menyarankan agar orang tua dapat 
mendorong kegiatan berimbang bagi anak. Bila memperbolehkan menonton TV, juga 
harus diikuti kegiatan-kegiatan lainnya yang positif.


 
---------------------------------
Have a burning question? Go to Yahoo! Answers and get answers from real people 
who know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke