beberapa waktu absen imel/i-net, maaf ya. di akar rumput pelosok. salam hangat lagi. gbu all.
--- Persona Minggu, 03 Desember 2006 Nawal el Saadawi, Menguakkan Selubung Pikiran Maria Hartiningsih & Ninuk M Pambudy Nawal el Saadawi. Nama itu senantiasa mengingatkan pada seluruh pemikiran yang banyak dinilai sebagai "pembangkangan" terhadap pemikiran arus utama. Ia membayar sangat mahal kemerdekaannya berpikir mengenai kebenaran, keadilan, dan kesetaraan. Bagi penguasa, tulisan-tulisan Nawal yang menggedor kesadaran dan akal sehat adalah ancaman terhadap kekuasaan yang dibangun dengan menyebarkan ketakutan Tujuh dari 45 karyanyadalam bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan tak kurang dari 12 bahasa lainnyabisa dibaca dalam bahasa Indonesia. Termasuk salah satu karyanya yang dipandang paling "subversif" di Mesir, novel tentang kejatuhan para pemimpin yang selalu bersembunyi di balik nama agama dan Tuhan, The Fall of the Imam (Jatuhnya Sang Imam). Selama hampir separuh usianya yang 75 tahun, penulis "pembangkang dari Mesir sosiolog, feminis, aktivis perdamaiandan seabrek julukan bagi pasangan hidup selama 42 tahun bagi Sherif Hetata serta ibu dua anak yang mewarisi keberanian bersikap orangtuanya, Mona Nawal Helmi (49) dan Atif Hetata (41)itu harus menghadapi berbagai ancaman. Ia harus berpindah-pindah tempat tinggal dan kemudian mengajar di Spanyol, Inggris, dan AS selama lebih dari 10 tahun. Penentangnya bukan hanya kelompok agama-agama di negerinya, tetapi juga di AS dan Inggris. Tulisan dan pendapatnya disensor di mana-mana. Namun, tak ada yang menggoyahkannya. Sebaliknya, pemikirannya berkembang memengaruhi banyak orang dan terus mengguncang. Selubung pikiran Pandangan yang banyak dinilai "keras" itu ia kemukakan dengan suara lembut dan sikap yang mengingatkan pada kehangatan seorang ibu. Kami menjumpainya pada suatu pagi serta pada pertemuan di Jakarta selama berlangsung Konferensi Internasional Ke-7 Perempuan Penulis Naskah Drama, beberapa waktu lalu. Nawal menyampaikan pidatonya dalam acara itu. Penampilannya sederhana dengan pakaian sehari-hari: celana panjang hitam dan kemeja bergaris lengan pendek, tanpa tata rias. Rambut putihnya diikat ke atas dengan seutas karet. Suaranya tegas, tetapi wajahnya ramah, bibirnya selalu tersenyum. Menyatakan bercucu karya-karyanya, Nawal tampak bangga ketika dalam acara makan siang memperkenalkan anak laki-lakinya, Atif Hetata, sutradara film, yang filmnya, Closed Door, memperoleh banyak penghargaan, juga dari negara-negara Arab meskipun film itu berisi kritikan terhadap kemiskinan dan fanatisme agama. Keletihan karena penerbangan panjang Kairo-Jakarta meluruhkan tubuhnya, tetapi tidak semangatnya. "Saya menaklukkan banyak hal, kecuali usia," ujarnya. Seluruh pemaparannya di Jakarta mengingatkan pada pidatonya di panggung terbuka Forum Sosial Dunia, Januari 2004 di Mumbai. "Ketakutan adalah bidan perbudakan," serunya lantang. Inti seluruh pesannya di Jakarta senada: membongkar ketakutan dengan menguakkan selubung pikiran (unveiled the mind), karena perang paling mematikan dan paling berbahaya adalah perang di dalam pemikiran; suatu kampanye untuk melancarkan kontrol dan menjinakkan akal sehat guna menguatkan kepatuhan. Meski perbudakan oleh selubung pikiran menyasar pada perempuan dan laki-laki tetapi perempuan merupakan tujuan terpenting dan utama; membuat mereka menerima nasib sebagai takdir dan berhenti bertanya. Selubung yang menutupi akal sehat itu dirajut dengan sangat canggih melalui media, sistem pendidikan, dan pemikiran politik fundamentalisme dalam berbagai agama, baik di Barat maupun di Timur, di Utara maupun Selatan. "Saya menjadi penulis pembangkang karena tidak dapat berpartisipasi dalam membuat kebohongan. Mereka berbohong persis seperti ketika George Bush dan Tony Blair berbohong saat mengatakan ada senjata pemusnah massal di Irak. Padahal mereka menyerang Irak untuk minyak dan menguasai," ujarnya. Menulis pengalaman dan pemikirannya adalah cara Nawal menguakkan selubung pemikiran. Karena itu, ia mengingatkan, "Kata adalah hal yang sangat penting Hati-hati menggunakan kata perempuan. Siapa Condoleezza Rice? Apa arti 'demokrasi' dan 'hak asasi manusia', yang memberi legitimasi AS menyerang Irak? Apa arti 'multikulturalisme' ketika malah mengotak-kotakkan? Apa arti keberagaman yang atas nama itu yang satu bisa menyerang yang lain?" Nawal menolak mendefinisikan tulisan sebagai maskulin atau feminin, ditulis perempuan atau laki-laki. Yang terpenting apakah tulisan itu mengatakan sesuatu yang progresif mengenai keadilan, kesetaraan, dan nilai-nilai manusia, ataukah tulisan itu bicara soal identitas yang membagi-bagi orang berdasarkan agama, suku, warna kulit, jender, dan hal-hal yang dikatakannya sebagai "nonsense" lainnya. Kreativitasnya senantiasa terkait dengan pembangkangan. "Kita menulis karena ingin mengekspresikan pikiran kita, bukan pikiran bos kita. Ketika kita menggunakan pikiran kita, kita menjadi pembangkang, karena kita melihat ketidakadilan." Nawal membuat pilihan yang tegas. Ia memilih kreativitasnya, pikiran-pikirannya. "Saya menceraikan dua suami terdahulu untuk bisa menulis secara kreatif, menggunakan pikiran saya sendiri." Menolak konstruksi identitas Seluruh pemikiran Nawal yang sebagian didasari oleh pengalamannya sebagai anak perempuan, dokter, istri, ibu, kemudian pengajar dan aktivis, membuatnya menolak konstruksi identitas yang dibangun oleh interpretasi teks Nawal yang mempelajari kitab suci agama-agama besar itu percaya bahwa semangat kitab-kitab itu adalah menyejahterakan manusia. Akan tetapi, interpretasi manusia membuat pemaknaan satu ayat tak jarang saling berpunggungan. "Ayah saya, seorang cendekiawan lulusan Al Azhar, menginterpretasikan bahwa Al Quran menolak poligami dan tidak ada aturan berjilbab. Tetapi, ada aliran lain yang mengatakan sebaliknya. Keduanya sama-sama aliran dalam Islam." Karena itu, ia menolak agama disatukan dengan negara karena hukum harus jelas dan tegas dan negara adalah milik semua warga. Bagi Nawal, "Agama adalah urusan pribadi, sangat-sangat pribadi." Beberapa aturan terkait dengan simbol-simbol luar, menurut Nawal, harus diletakkan dalam konteks sejarah. Konsep kerudung dilahirkan dalam Judaisme, kemudian Kristen, yang filosofinya didasari atas superioritas laki- laki dan inferioritas perempuan sebagai makhluk yang "tidak lengkap". Simbol-simbol luar itu tak ada kaitannya dengan moralitas. Semua logikanya lebih merupakan simbol politik. "Kepala dan wajah adalah intelektualitas saya, simbol keberanian dan kemanusiaan saya. Mengapa saya harus menutupinya?" Bagi Nawal, identitasnya adalah apa yang ia ucapkan, yang ia lakukan untuk masyarakat. "Identitas saya bukan pakaian saya," tegasnya. Simbol yang digunakan sebagai identitas adalah kepalsuan yang berhasil ditanamkan oleh proses cuci otak. "Kita merasa nyaman karena orang- orang mengatakan kita akan nyaman dengan cara itu," ia melanjutkan. Membayar mahal Keberaniannya bersuara membuat Nawal diguncang banyak persoalan. Bersama ratusan cendekiawan Mesir lain ia pernah dipenjara pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan kejahatan terhadap negara. Di penjara ia terus menulis meskipun hanya ada kertas toilet dan kertas pembungkus rokok. Yang terakhir adalah kasus pengadilan yang memaksakan agar Nawal bercerai dari Hetata karena tuduhan menghina agama Islam dan murtad dari Islam. "Saya memenangi kasus ini," ujarnya. Keberanian dibutuhkan untuk menyatakan kebenaran. "Saya sulit berbohong. Pengetahuan tak dapat diubah. Bila Anda mengetahui sesuatu, bagaimana Anda akan menyembunyikan pengetahuan itu dari diri Anda sendiri?" Ia menceritakan kejadiannya. "Saya tinggal di distrik miskin di Mesir. Suatu hari seorang perempuan miskin datang kepada saya. Ia mengatakan telah menabung untuk biaya sekolah anak-anaknya. Tetapi, suaminya mengambil uang itu untuk pergi haji yang menurut si suami lebih penting daripada pendidikan anak-anaknya. Si istri menangis dan bertanya kepada saya apa yang harus dia lakukan. Saya minta bertemu suaminya. Lalu saya katakan kepada si suami yang dia lakukan bukan ajaran Islam. Di dalam Islam diajarkan bahwa kebutuhan anak- anakmu harus didahulukan. Ia bersikeras itulah yang diajarkan sheikh di televisi. Saya katakan, sheikh-mu itu tidak paham mengenai Islam. Tetapi, dia tak dapat diyakinkan. Pada wartawan yang datang dan bertanya, saya katakan, orang ini tidak mengerti Islam. Lalu wartawan itu menulis di media, Nawal el Saadawi menolak haji. Mereka mengadukan saya ke pengadilan dan memaksa kami bercerai dengan alasan saya bukan Muslim. Kami pergi ke pengadilan. Suami saya mengatakan, 'Saya tidak akan meninggalkan dia, bahkan bila dia bukan Muslim.'" Sebagai dokter, Nawal secara terbuka mengungkapkan penolakannya terhadap sunat perempuan. Ia mengalami penyunatan yang membekaskan luka sepanjang hidupnya. "Semua anak perempuan di Mesir disunat," katanya. Ia adalah orang pertama di Mesir yang menolak sunat anak laki- laki. "Sunat pada anak laki-laki adalah kebiasaan Judaisme dan di Mesir dilakukan pada minggu pertama kelahiran bayi. Padahal saat itu, sistem kekebalan anak belum berkembang. Bisa terjadi komplikasi." Nawal menolak menggunakan rias wajah yang dikatakannya sebagai "postmodern veil". Tradisi keluarga Keberanian dan tradisi pembangkangan diwarisi Nawal dari keluarganya. Nenek dari ayahnya adalah petani yang berani menentang wali kota. Dialah inspirasinya. Nawal dilahirkan sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara, enam di antaranya perempuan yang berpendidikan tinggi dan bekerja di sektor publik. Ia sangat mencintai kedua orangtuanya yang berada di depan ketika keluarga besarnya hendak menjodohkan Nawal saat berusia 10 tahun. Sejak kecil ia sudah memberontak karena merasa ada yang salah di dalam keluarga dan masyarakat. Waktu umur delapan tahun ia menyadari kakak laki-lakinya mempunyai banyak hak istimewa di rumah. "Dia malas, saya pandai, tetapi saya harus bekerja lebih banyak di rumah," kenangnya. Karena kesal, suatu hari ia menulis kepada Tuhan, "Tuhan, Engkau adalah keadilan. Kalau Kau tidak adil, saya tidak siap untuk mempercayai-Mu" "Itu surat pertama saya, tidak pernah saya poskan karena saya tidak tahu alamat Tuhan " Kreativitasnya sempat hampir dihancurkan seorang gurunya. Dalam diskusi peluncuran bukunya, Nawal bercerita tentang gurunya yang memberi nilai 0 untuk tulisan yang mengekspresikan perasaan tidak sukanya terhadap sekolah, guru-gurunya, ayah, dan ibunya. Ia menyembunyikan tulisan itu, tetapi ketika sang ibu menemukan tulisan itu dia mengatakan, karangan itu sangat bagus. Si gurulah yang bodoh. "Saya beruntung mempunyai orangtua yang mendukung anak-anaknya pada saat membutuhkan." Bagaimana ia merefleksikan perjalanannya? "Kalau dilahirkan lagi, saya akan melakukan hal sama dengan apa yang saya lakukan sekarang." Energinya terasa menyala sepanjang perbincangan. Dari mana ia mendapatkannya? "Dari kalian. Ketika Anda melihat saya, mata Anda penuh dengan kehidupan. Jadi energi kita timbal balik...." --- End