Dari www.cimbuak.net, bisa dijadikan topik diskusi
Is St Marajo, 39+
www.cimbuak.net
urang-minang.blogspot.com


Benarkah Peran Sosial Wanita Minang Dalam Adat dan Budayanya Sebagai Wujud 
Kesetaraan Gender? 
 

Ditulis oleh hifni hfd 
Senin, 14 Januari 2008 
 Berbicara dari aspek sosial, manusia berada pada tempat yang sama, namun 
masing-masing mempunyai fungsi dan peran yang berbeda dalam kehidupan 
masyarakat. Dalam artikel ini, kita mencoba mengurai peran sosial wanita 
dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya dan wanita minang pada 
khususnya. Dari aspek sosial dan hukum, sesungguhnya wanita secara 
kodrati, memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatan fisik. Namun 
dimasa sekarang, akibat tuntutan kehidupan ekonomi yang semakin berat, 
tidak ada lagi batasan bagi wanita untuk melakukan tugas-tugas fisik. 
Demikian pula dalam kegiatan non fisik seperti; politik, ekonomi dan 
perdagangan. Peran non fisik inilah yang sering dituntut oleh para kaum 
wanita masa kni dalam kesetaraan gender. Apakah kesetaraan gender itu ? 
apakah sudah tidak membatasi hal-hal yang bersifat kodrati ? Sehingga saat 
ini kita dapat menyaksikan betapa kaum wanita sedemikian berpeluang apa 
saja, sudah melampaui hal-hal yang manusiawi dari diri seorang wanita, 
seperti menjadi wanita pegulat, wanita pesepak bola, bahkan di kota 
metropolitan Jakarta, menjadi sopir bush-way dengan syarat berpendidikan 
Strata 1 !. Yang lebih menyedihkan mereka menjadi tukang batu, kuli 
angkat, sebagaimana yang kita saksikan di pulau dewata „Bali“, dimana 
wanitanya menjadi kuli bangunan juga di ekploitasi untuk keperluan pemuas 
dahaga pria yang berkedok seni patung,  dll sebagainya.

 
 
Berbicara dari aspek sosial, manusia berada pada tempat yang sama, namun 
masing-masing mempunyai fungsi dan peran yang berbeda dalam kehidupan 
masyarakat. Dalam artikel ini, kita mencoba mengurai peran sosial wanita 
dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya dan wanita minang pada 
khususnya. Dari aspek sosial dan hukum, sesungguhnya wanita secara 
kodrati, memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatan fisik. Namun 
dimasa sekarang, akibat tuntutan kehidupan ekonomi yang semakin berat, 
tidak ada lagi batasan bagi wanita untuk melakukan tugas-tugas fisik. 
Demikian pula dalam kegiatan non fisik seperti; politik, ekonomi dan 
perdagangan. Peran non fisik inilah yang sering dituntut oleh para kaum 
wanita masa kni dalam kesetaraan gender. Apakah kesetaraan gender itu ? 
apakah sudah tidak membatasi hal-hal yang bersifat kodrati ? Sehingga saat 
ini kita dapat menyaksikan betapa kaum wanita sedemikian berpeluang apa 
saja, sudah melampaui hal-hal yang manusiawi dari diri seorang wanita, 
seperti menjadi wanita pegulat, wanita pesepak bola, bahkan di kota 
metropolitan Jakarta, menjadi sopir bush-way dengan syarat berpendidikan 
Strata 1 !. Yang lebih menyedihkan mereka menjadi tukang batu, kuli 
angkat, sebagaimana yang kita saksikan di pulau dewata „Bali“, dimana 
wanitanya menjadi kuli bangunan juga di ekploitasi untuk keperluan pemuas 
dahaga pria yang berkedok seni patung,  dll sebagainya.

“ Alam terkembang jadi guru”, demikian falsafah yang dianut etnis Minang - 
etnis besar yang ada di Indonesia. Falsafah ini sangat “unique”, sebagai 
panutan dan pelajaran hidup bagi manusia dan individu, dengan memetik 
suatu kejadian dari peristiwa dan proses alam. Saya bertanya, apakah 
wanita minang yang berkedudukan sebagai ‚ Bundo Kandung –  limpapeh rumah 
nan gadang, mengalami hal serupa seperti yang diuraikan diatas, sehingga 
para kaum wanitanya telah meninggalkan jati dirinya sebagai makhluk yang 
disanjung oleh adat dan budayanya. Disini sebagai seorang wanita minang, 
saya merasa berbahagia atas perlakukan adat dan budaya yang menempatkan 
kami sebagai makhluk yang disanjung, dimana masyarakatnya meyakini benar 
bahwa wanitalah bermula dan paling pantas menerima peran sosial dalam 
mempertahankan kelanggengan adat dan budaya.

Simaklah pepatah yang memperlihatkan betapa, kaum wanita ditempatkan dalam 
kedudukan yang istimewa.

Bundo kandung limpapeh, rumah nan gadang
Umbun puro pegangan kunci
Hiasan didalam kampuang, sumarak dalam nagari

Dalam adat dan budaya Minang, agar kecintaan dan penghargaan kepada kaum 
wanita selalu hidup dalam jiwa kaum pria, adat menetapkan silsilah 
keturunan mengambil garis keturunan Ibu, yang disebut sistem matrilinial. 
Mengapa mengambil garis keturunan ibu ? Beberapa penulis mungkin sudah 
mengupas keunggulan dan kelemahan sistem matrilinial ini. 
Namun seperti yang dikatakan oleh Puti Rhouda Thaib, seorang budayawan 
Minang saat ini, menyatakan bahwa „ mengamati sistem matrilineal baik dari 
segi konsepsi dan pelaksanaannya di dalam adat dan budaya Minangkabau, 
dapat diibaratkan seperti melihat sebuah kue donat. Jika terlalu dekat 
yang tampak hanyalah lobangnya saja, tetapi bila dilihat dengan "jarak" 
tertentu dan membandingkannya dengan yang lain, maka donat tampak sebagai 
sebuah kue yang berbeda dengan kue-kue lainnya. Tidak ada donat tanpa 
lobang, sebagaimana juga tidak ada suatu sistem yang tidak punya 
kelemahan, begitu juga sistem matrilineal. Karena "lobang" itu dianggap 
sebagai kelemahan, setiap orang merasa perlu untuk menutupnya dengan 
berbagai cara tanpa berusaha melihat kelemahan tersebut sebagai suatu 
kekuatan. Dari cara pandang seperti itulah kita  melihat sistem 
matrilienal yang terkandung di dalam adat dan budaya Minangkabau”.

Nach kembali  kepada judul artikel, apakah dengan pengambilan garis 
keturunan ibu serta menempatkan harta pusaka dan rumah gadang dibawah 
pengelolaan kaum wanita, akan dapat mewujudkan kesetaraan gender kaum 
wanita Minang dengan prianya ? benarkah peran sosial wanita minang dalam 
adat dan budayanya sebagai wujud kesetaraan gender ?

Klasifikasi peran manusia dalam adat dan budaya, terbagi jelas. Dalam 
kaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan, maka semua penerapan 
falsafah alam, undang-undang dan hukum, serta penentuan kepala masyarakat 
hukum adat yang disebut Penghulu dan Datuk, jelas-jelas dikuasai dan 
didominasi oleh kaum pria. Sedangkan penyelenggaraan sistem kekerabatan, 
pola pengelolaan harta pusaka, rumah gadang dan tata cara  pelaksanaan 
perkawinan dengan segala konsekwensinya terhadap pemberian peran kaum 
wanita dalam keluarga dilaksanakan oleh kaum wanita itu sendiri. 
Seandainya pengangkatan Penghulu dan Datuk itu didominasi oleh kaum pria, 
namun ternyata peran Bundo kandung sebagai limpapeh rumah nan gadang, 
tetap mempengaruhi dalam proses pengangkatan itu. Penghulu dan Datuk 
merupakan „sako’ yang diwariskan kepada kemenakan bukan kepada anak 
sendiri..! 

Peran sosial wanita minang dalam  kancah nasional saat kini, hampir tidak 
terdengar, selain peran sosial kekerabatan yang abadi, melekat kuat dalam 
adat dan budaya minang. Penyelenggataan sistem kekerabatan, wanita minang 
umumnya dilengkapi dengan dukungan ekonomi yang bersumber dari pengelolaan 
harta pusaka dan sebuah tempat kediaman yang disebut „rumah gadang”. 
Setiap harta yang menjadi pusaka selalu dijaga agar tetap utuh, demi untuk 
menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana diajarkan falsafah alam dan 
hukum adat. Harta pusaka mempunyai fungsi sosial yang berada dalam 
penguasaan kaum wanita. 
Manfaat harta pusaka dalam sistem kekerabatan di Ranah Minang, yaitu :

 a. penyelenggaraan mayat yang terbujur diatas rumah,
b. managakkan gala pusako,
c. Gadih gadang nak balaki,
d. Rumah gadang katirisan,

Yang semuanya perlu pembiayaan yang tidak terkira, apabila tidak dikelola 
dengan baik. Demikian pula fungsi rumah gadang. Yang semua dikelola oleh 
kaum wanita.

Dimanakah wanita Minang itu menguasai ranah domestik dalam adat dan 
budaya, sedangkan kaum pria tidak dapat ikut campur dalam ranah domestik 
tersebut.

Contoh : Peran induk  bako dalam hubungan antara wanita minang dengan 
anak/keturunan saudara laki-lakinya (disebut dan  anak pisang) yang 
memiliki hubungan emosional yang unik pula.

Pepatah mengatakan : „Induk bako bardaging tebal, anak pisang berpisau 
tajam. 
Apa maksud pepatah ini ? Tidak lain adalah begitu besar peran kaum wanita 
dimata saudara laki-lakinya. Sehingga kaum wanita yang berkedudukan 
sebagai „ Bako” juga harus berperan sebagai pelindung bagi anak 
saudaranya, selain anaknya sendiri. Percayalah !  Niscaya tidak ada 
hubungan yang bekerlanjutan serupa ini, yang terjadi pada suku-suku lain 
di Indonesia.

Menurut sistem kekerabatan di Minang  kabau, dalam hal tertentu, kaum 
wanita berperan sebagai atasan bagi kaum pria. Perhatikan peran induk bako 
seperti yang telah diuraikan diatas. Sebaliknya, kaum pria mempunyai 
kewajiban untuk membimbing anak saudara perempuannya yang merupakan 
kemenakan bagi kaum pria.  Dengan demikian seorang anak di Minang kabau 
mempunyai dua pelindung, yaitu perlindungan dari seorang “Ayah”  dan 
perlindungan dari seorang Mamak” seperti fatwa adat yang berbunyi :

Anak dipangku, kemenakan dibimbing
Anak dipangku  jo pancarian,
Kamanakan dibimbing jo pusako.

Demikian pula peran  wanita dalam hubungan ipar dan besan, yang diatur dan 
ditata oleh kaum wanita. Kondisi-kondisi ini, menciptakan harmoni 
kehidupan, dimana wanita dan pria minang satu sama lain memiliki kedudukan 
yang sama, dan saling bergantungan,  sebagaimana mamangan yang berbunyi : 
„duduak samo randah, tagak samo tinggi”. 

          Dengan peran yang diberikan adat dan budayanya sebagaimana yang 
telah diuraikan diatas, maka wanita minang lebih memiliki rasa percaya 
diri, bila dibandingkan wanita dari suku bangsa di Indonesia lainnya. 
Kewajiban dan rasa socsialnya, dapat dikembangkan dan diamalkan sesudah 
kepentingan sendiri telah terpenuhi. Kaum Wanita Minang harus 
memperhitungkan kemungkinan yang akan dihadapi dalam bidang sosial 
kemasyarakatan. Kaum wanita harus mempunyai persiapan dalam perekonomian 
yang kuat, yaitu untuk menunaikan kewajiban sosialnya dalam keluarganya, 
sebab dalam hal ini ketentuan adat berlaku seperti :

Tak ada kayu jenjang dikeping
Tak ada air talang dipancung
Tak ada beras atahnya dikisik
Tak ada emas bungkal diasah

 Demikian kuatnya peran sosial kekerabatan yang diembannya, maka 
seandainya dalam kesetaraan gender, masih dipandang adanya perbedaan, 
antara peran sosial kaum pria dan kaum wanita, maka menurut hemat kami 
perbedaan itu bersifat fungsional. Seperti kenyataan alam yang kita lihat. 
Bahwa api menghasilkan panas, air dengan basahnya dan angin dengan 
hembusannya. Demikian pulalah dengan manusia. Fungsi dan perannya, akan 
saling berbeda menurut kodrat dan harkat yang diberikan alam kepadanya. 
(Hifni H. Nizhamul SH). 

Tanggapan pembaca
 
Komentar
1. TULISAN YANG MENARIK YG WAJIB DIBC WANIT
Ditulis oleh hany pada Selasa, 15 Januari 2008 
 
Ass. Wr. Wb. 
Apakah kesetaraan gender itu ? 
Apakah sudah tidak membatasi hal-hal yang bersifat kodrati ? 
Iko pertanyaan yg memang terjawab dengan tulisan ibu ini. Sungguh suatu 
tulisan yang menggugah hati hany, dimana ibu Hifni Hfd telah mengupas 
masalah itu yang didasari adat dan budaya minang. Hany sungguh salut , 
tapi mungkin Ibu kalau bisa ibu juga mengganggkat contoh masalah 
kesetaraan yang riil yang patut dan pantas bagi seorang wanita. Apakh 
wanita/seorang istri dg kesetaraan tersebut dapat scr bebas tanpa kendali 
suami. Kita mempunyai peran ditempatkan oleh pada posisi penentu 
kesuksesan umat manusia dihadapan ALLAH. 
Salam hormat buat ibu mdh2 usulan hany tadi bisa hany baca dalam wadang 
urang awak ini. AMin 
Wass. Wr. Wb. 
Hany

2. Bias kesetaraan Gender di Minang Kabau
Ditulis oleh alfhia pada Selasa, 15 Januari 2008 
 
Masyarakat Minangkabau tidak hanya dikenal sebagai masyarakat dengan 
sistem kekerabatan matrilineal (keturunan dari garis ibu) tetapi juga 
matriakat, dimana kekuasan dipegan oleh perempunan, dimana adat merupakan 
instrumen perlindungan tehadap nilai-nilai kemanusian (humanisme) yang 
pada akhirnya terinternalisasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, 
sehingga posisi perempuan Minangkabau telah di muliakan sejak alam 
Minangkabau “ta kambang” (mulai ada), secara hukum adat Minangkabau 
memberikan porsi warisan dan kepemilikan harta pusaka terhadap perempuan. 
Namun sejatinya ada Bias dalam pemaham Gender di ranah minag krena, posisi 
tinggi yang dimiliki oleh perempuan Minangkabau hanya lah “posisi 
imajinasi”, karena pada kenyataanya adat minangkabau, walaupun menganut 
sistem matrilineal tetapi sistem kekuasanya tidak materiakat, baik 
kekuasan formal maupun non formal masih didominasi oleh kelompok 
laki-laki, sebagai contoh mamak memimpin dalam rumah tangga saparuik 
(se-ibu), kemudian Datuk memengan kekuasan dalam wilayah satu kaumnya, 
oleh karena itu cita-cita ideal adat Minangkabau yang menempatkan 
perempuan diposisi yang tinggi masih bias dan terdistorsi. 
sejauh yang saya ketaui, insitusi Bundo Kandung tidak memiliki peranan 
dalam pengambilan keputusan adat, karena Bundo Kandung tidak mempunyai 
kekuatan hukum untuk mengambil kebijakan, disinilah sebenarnya ambiguitas 
posisi Bundo Kandung perlu dipertanyakan kembali, apakah benar emansipasi 
perempuan telah ter-akomadasi dalam sistem adat Minangkabau secara 
subtansial, atau memang perempuan Minagkabau masih berada dalam 
sub-ordinasi laki-laki, selama kepemimpinan Bundo Kandung dalam Rumah 
Gadang masih berada dalam artian simbolisasi kekuasan yang tidak memiliki 
kebijakan maka selama itu pula perempuan minang kabau hidup dalam 
Imajinasi kesetraan. 
allah SWT lebih mengetahui. 
wassalam

3. re : Bias kesetaraan gender di Minang ka
Ditulis oleh Rajo Kaciek pada Rabu, 16 Januari 2008 
 
ambo setuju dengan pendapat Angku Alfhia. Kesetaraan gender yang diberikan 
kepada kaum wanita di minang kabau tidak lain hanya sebagatas tanggung 
jawab. Bukan dari sisi peran. Betapapun keistimewaan yang diberikan kepada 
kaum wanita hanya dalam pengelolaan rumah tangganya dan kerabat. Tidak 
merambah kepada peran sosial secara keseluruhan. Memang benar peran Datuk 
dan Mamaklah yang menguasai kehidupan sosial di minang kabau. 
Dengan tulisan ini, kita memang harus membuka diri bahwa wujud kesetaraan 
gender ini, ternya bukan sesuatu yang istimewa. Namun jika dibandingkan 
dengan wanita di suku bangsa lain. wanita minang bolehlah berbangga hati
4. Bias kesetaraan gender di Minangkaabau
Ditulis oleh ktm pada Rabu, 16 Januari 2008 
 
Partamo sakali ambo mengucapkan terima kasih dan rasa bangga dengan 
tulisan uni Hifni yang telah membahas tentang kesetaraan jender 
diminangkabau yang diselaraskan dengan ajaran Islam. Tulisan ini saya 
pikir cukup menarik dan perlu disikapi secara baik, sekali lagi terima 
kasih ni Hifni. 
Dari tulisan ini akan terkuak bagaimana fungsi dan kedudukan Bundo 
kanduang diMinangkabau menurut ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi 
Kitabullah serta aktualisasinya dari dahulu dan sampai saat ini. 
Barangkali tulisan ini sangat bagus untuk memotivasi kita sebagai orang 
minang agar dapat sama- sama kembali dapat mempelajari dan memahami Ajaran 
Adat serta kedepan dapat mewariskan secara baik kepada anak kemanakan 
kita. 
Secara pribadi saya berharap tulisan-tulisan seperti ini terus dapat 
dikembangkan. akhirnya saya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan.

5. WANITA MINANG HARUS DIBERIKAN PERAN
Ditulis oleh hany pada Rabu, 16 Januari 2008 
 
Kesetaraan gender yang sudah ada di minang kabau bukanlah hanya sebatas 
tanggung jawab sj, Wanita minang slalu diberikan peran dan tg jawab. 
Wanita Minang beran dalam membimbing, mendidik,membina dan ikut memotivasi 
kreatifitas anak. Juga berperan dalam mdorong suami agar memperoleh tempat 
yg pantas. Wanita minang juga harus juga berperan dlm control sosial di 
masyarakat, dan semuanya itu tentu harus dilaksanakn dengan penuh 
tanggungjawab untuk kebaikan dan krn ALLAH, Jadi wanita minang tidak hanya 
dituntut tg jawab saja tetapi juga diberi kesempatan untuk berperan sbg 
Bundo Kanduang.

6. problem lain dari Gender di Minang kabau
Ditulis oleh alfhia pada Kamis, 17 Januari 2008 
 
membahas persoalan gender ianya merupakan satu yang kompleks serta menarik 
bagi pengiat sain sosial. Melanjutkan diskusi dari komentar YTH Rajo 
Kaciek, ada hal lain yang sebenarnya telah membuat peranan bundo kandung 
semakain terpingirkan dari dinamika sosial, persoalanya lahir dari 
struktur kekuasan, dimana UU no 5 tahun 1979 diberlakukan oleh pemerintahn 
Orde baru serta didukung oleh Peraturan pemerintah daerah (PERDA) Sumatra 
Barat pada tahun1982 telah dengan sadar memasung sistem pemerintahan adat 
dalam sistem pemerintahan birokrasi negara (baca:desa) sehingga lahirlah 
kerapatan Adat Nagari (KAN), Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau 
(LKAAM) serta insitusi Bundo Kandung, dengan nyata membawa posisi 
perempuan Minangkabau pada posisi subordinasi kekuasan, dimana peran-peran 
strategis Bundo Kandung dihilangkan yang tertinggal hanyalah Bundo Kandung 
sebagai pelengkap, perhiasan dalam acara-acara adat, penyamput tamu negara 
dll. Melemahnya peranan Buno Kandung yang disebakan oleh dominasi 
kekuasaan, menjadikan Bundo Kanbung kehilangan eksitensi dalam proses 
pemerintahan di Minangkabau, dimana awalnya Bundo Kandung selalu kritis 
terhadap pemerintahan, sekarang keberadanya tidak lebih hanya sebagai alat 
legitimasi kekuasan serta perhiasan dalam nagari..... 
wassalam..



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
Website: http://www.rantaunet.org 
=============================================================== 
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Selalu mematuhi Peraturan Palanta RantauNet lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-palanta-rantaunet
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. 
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. 
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: 
[EMAIL PROTECTED] 

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe 
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount

-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke