* Damhuri Muhammad

SEJAK dipercaya menjadi guru mengaji, Engku tidak pernah lagi mampir
di lapau.*) Sekadar melepas lelah sambil minum kopi dan bergurau pun
ia tidak punya waktu lagi. Padahal, sepulang dari surau, Engku selalu
melewati lapau yang selalu berjibun pengunjung itu. Mungkin ia takut
disangka ikut-ikutan berjudi bila masih berbaur dengan orang-orang
lapau. Jadi, lebih baik bujangan jebolan madrasah itu menjauhi lapau,
meski ia juga tidak mau dianggap sok alim. Mentang-mentang sudah jadi
orang surau, lupa pada kawan-kawan di lapau.

"Dipikirnya orang lapau tak pandai mengaji?" begitu Jo Ampok menyindir
kelakuan Engku.

"Apa pula urusan kau? Apa rugimu bila Engku tak singgah ke lapau?,"
sela Bunduk, agak sinis.

"Sejak Engku jadi guru mengaji, awak kalah terus."

"Biasanya selalu awak modali dia main Remi. Menang terus. Murah benar
rezeki anak tu."

"Engku sudah jadi orang surau, mana mungkin duduk di meja judi?"

"Awak tak larang Engku ke surau. Tapi, kalau bisa, jangan tinggalkan
lapau. Di surau dia mengaji, di lapau dia berjudi."

"Huss...jangan campur aduk begitu. Apa awak sudah gila hah?"

****

Selain tempat ngopi sembari melepas penat, lapau-lapau di lingkar
kampung Guci juga menyediakan meja-meja khusus untuk berjudi. Begitu
pula dengan lapau milik Sinaro yang letaknya tidak terlalu jauh dari
surau Baitul Hikmah, tempat Engku mengajar anak-anak mengaji. Lapau
itu buka siang malam, dua puluh empat jam. Macam-macam judi tersedia
di sana. Para pelanggan bebas memilih; domino, remi, koa **) atau
Putar Dadu. Jangan tertipu! Sepintas lalu memang tampak sepi-sepi
saja. Barangkali hanya terlihat tiga sampai empat orang yang sedang
mengobrol sambil bersilunjur kaki, atau main domino dengan taruhan
kecil. Tapi, ada banyak bilik di bagian dalam dan belakang lapau.
Sinaro sengaja membuat bilik-bilik itu untuk para penjudi dengan
taruhan tingkat tinggi.

Di sanalah permainan remi, koa dan putar dadu dilangsungkan. Jangan
dikira Sinaro takut polisi. Sama sekali tidak! Di Kampung Guci, aparat
hukum agak kewalahan. Tak terhitung lagi berapa kali lapau-lapau
digerebek, dan berapa banyak penjudi yang meringkuk dalam sel. Tapi,
mereka tak pernah jera. Setelah bebas, mereka kembali ke lapau,
berjudi lagi. Mungkin, karena judi sudah begitu mengakar di kalangan
orang-orang kampung Guci. Jangan sekali-kali mengaku orang Guci, bila
tidak mahir berjudi. Kartu-kartu remi ibarat tikar sembahyang bagi
orang-orang Guci, begitu kelakar yang biasa terdengar.

"Judi di kampung kami tak bisa dibasmi, tapi bisa dijauhi," tegas Nduk
Angkang, tetua Kampung Guci saat membuat kesepakatan dengan polisi.

"Bisa lebih jelas Pak Tua?"

"Para penjudi jangan ditangkapi, kami berjanji akan menjauhkan judi
dari pandangan masyarakat. Bersembunyi. Yang penting lingkungan tetap
aman. Bagaimana Pak?"

"Tidak ada kompromi dengan judi! Selama lapau-lapau belum bebas judi,
kalian tetap melanggar hukum."

"Kami paham. Tapi, di Kampung Guci, judi sudah jadi tradisi."

Sinaro benar-benar berkelimpahan rezeki sejak membangun lapau itu.
Kalau hanya berjualan makanan dan minuman, tentu pendapatannya tidak
seberapa. Tapi, dengan judi, ia menerima sewa bilik, tikar, lampu,
alat-alat judi, dan sewa-sewa lain dari para penjudi. Dulu, sewaktu
Engku masih bersekolah di madrasah, tiap malam ia nongkrong di sana,
kadang-kadang sampai tidur di lapau itu. Engku membantu Sinaro,
menggelar tikar, membersihkan bilik-bilik judi, menyuguhkan makanan
dan minuman untuk para penjudi dan menagih macam-macam uang sewa, lalu
disetorkan pada Sinaro.

Dari sana, Engku beroleh uang sekolah, hingga ia tidak lagi membebani
ibu-bapaknya. Tak ada salahnya bila disebut Engku bersekolah dengan
uang judi. Tak jarang, Engku juga ikut berjudi, meski dengan taruhan
kecil-kecilan. Karena setiap malam bergaul dengan para penjudi, Engku
makin mahir berjudi. Ia penjudi berbakat yang jarang kalah. Karena
itu, banyak penjudi kelas kakap yang berani memodalinya bermain
domino, remi, koa atau putar dadu. Itu sebabnya Jo Ampok merasa
kehilangan sejak Engku hengkang dari lapau.

****

"Awak tak ingin lanjutkan sekolah Ngku?" tanya Sinaro, sehabis salat
magrib berjemaah di Surau Baitul Hikmah.

"Ah, dari mana pula awak bakal beroleh biaya? Ijazah madrasah cukuplah,"

"Itu tak soallah Ngku, Jo Ampok menunggumu di lapau."

"Segan awak dilihat murid-murid."

"Kenapa pula Ngku segan? Orang tua murid-murid Ngku semuanya orang lapau."

"Kalau Ngku mau, mungkin bisa lanjutkan sekolah."

"Ngku itu cerdas. Masa cuma jadi guru ngaji?"

"Tak usah sungkan, segeralah temui Jo Ampok di lapau!"

Akhir-akhir ini Jo Ampok memang mengalami kekalahan beruntun.
Kabarnya, raja judi kampung Guci itu terpaksa melego tiga ekor hewan
ternak dan menggadaikan lima petak sawah guna membayar utang karena
kalah judi. Tapi, soal jual-menjual dan gadai-menggadai, itu biasa
bagi Jo Ampok. Harta peninggalan orang tuanya tidak akan ludes untuk
tujuh orang istri sekalipun. Kini, Jo Ampok baru punya tiga istri.
Setiap istrinya sudah dapat jatah rumah baru. Beruntung sekali
perempuan-perempuan yang menjadi istri Jo Ampok. Dari ketiga istri Jo
Ampok, tidak ada yang berani melarang kebiasaan buruk suami mereka;
menghambur-hamburkan uang di lapau. Mencampuri urusan Jo Ampok sama
saja artinya dengan minta cerai. Istri yang tak bakal ditalak Jo Ampok
hanyalah judi. Tapi, kini Jo Ampok merasa kurang percaya diri.
Lebih-lebih setelah Engku, anak muda kepercayaannya itu enyah dari
lapau. Padahal, jika ia masih bersetia, Jo Ampok tentu tak akan
segan-segan menyambung sekolah Engku. Seberapalah biaya menjadi
sarjana bagi Jo Ampok?

Namun, tekad Engku benar-benar sudah bulat, tiada sumbing sedikit pun.
Sepertinya tak dapat ditawar-tawar. Buktinya, guru mengaji itu telah
membelakang bulat ke lapau. Tak peduli orang-orang lapau mau bilang ia
sok alim, sok suci, atau sok insaf. Engku memang teguh pendirian. Ia
berjanji tidak akan menyentuh kartu remi, koa dan batu domino lagi.
Itulah yang membuat Jo Ampok mulai jarang muncul di lapau. Tak ada
lagi orang yang bisa diandalkannya. Lagi pula, untuk apa datang ke
lapau kalau hanya akan menanggung malu karena terus-terusan kalah
judi? Berhari-hari Jo Ampok mengurung diri di rumah istri pertamanya,
hingga suatu hari ia dikabarkan jatuh sakit.

****

Semula, orang-orang lapau, kawan-kawan Jo Ampok, termasuk Sinaro si
pemilik lapau menduga Jo Ampok cuma terserang demam biasa. Dipijit
sebatang badan akan segera sembuh, setelah itu kembali ke lapau. Tapi,
sudah dua minggu, tak tampak juga batang hidung Jo Ampok. Ada yang
memberi tahu kalau sakitnya makin parah. Dan, tanpa pikir panjang,
orang-orang lapau pun bersegera menjenguk Jo Ampok.

Napasnya sesak. Merintih-rintih sambil ngorok. Sekujur badannya
menggigil hebat. Ujung-ujung jari tangan dan jari kakinya terasa
dingin sekali. Pasi. Mukanya pucat serupa mayat. Mulutnya komat-kamit
menyebut kata-kata yang terdengar agak ganjil.

"LLLaaaaa...."

"LLLaaaaaaaaaaaaa...."

"LLLaaaaaaaaaaaaaaaa....Nnnnnnnnaaaam."

Sinaro, Baba, Mampalar, Cunambai, Yombauk, Bunduk, Kurai, Dalinas,
Jilatang, dan konco-konco Jo Ampok yang duduk bersila dalam posisi
setengah lingkaran saling berbisik. Satu sama lain saling
bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada Jo Ampok,
apa pula arti igauannya itu?

"Istigfar Mpok, Istigfar! Astagfirullah, astagfirullah,
astagfirullah...," begitu Sinaro membisiki Jo Ampok yang serupa orang
sekarat.

"LLLaaaaaaa....Nnnnnnnnaaaaam."

"LLLaaaaaaaaaaaa………Nnnnnnnnaaaaam."

"LLLaaaaaaaaaaaaaaaa....Nnnnnnnnaaaaam."

Selalu begitu suara janggal yang keluar dari mulut Jo Ampok. Sama
sekali tidak dihiraukannya ajakan menyebut asma Tuhan. Entah karena
disengaja atau karena Jo Ampok memang sudah tak sadar diri.
Orang-orang lapau seolah kehabisan akal. Mereka mulai kebingungan dan
nyaris putus harapan. Tabiat Jo Ampok seperti menujumkan firasat bahwa
umur si raja judi itu tak bakal panjang. Mungkin sebentar lagi mereka
akan kehilangan kawan sepermainan. Jo Ampok kepayahan menghadang
sakratul maut.

"Mengucap, mengucap, mengucaplah!" tiba-tiba saja Engku muncul di
tengah kerumunan orang-orang lapau itu. Perlahan ia merangsek masuk,
lantas menghampiri pembaringan Jo Ampok, kawan lama yang kerap
memodalinya berjudi itu.

"Lailaha illallah, lailaha illallah, lailaha illallah..." bimbing
Engku sambil mengusap kepala Jo Ampok yang mulai berkeringat dingin.

"Lailaha illallah, Lailaha illallah, Lailaha illallah...." ulang Engku lagi.

"LLLaaaaaaa....Nnnnnnnnaaaaam."

"LLLaaaaaaaaaaaa....Nnnnnnnnaaaaaaaaaam."

"LLLaaaaaaaaaaaaaaaaa....Nnnnnnnnaaaaaaaaaam."

Lagi-lagi igauan itu yang keluar dari mulut Jo Ampok. Entah apa maksudnya.

Bergegas Engku bangkit dari duduknya. Setengah berlari ia keluar rumah
yang sedang penuh sesak itu, lantas buru-buru menuju arah lapau Sinaro
yang lumayan jauh. Engku seperti hendak mengambil sesuatu. Orang-orang
hanya terperangah heran dan melongo melihat tingkah aneh anak muda
yang kini dipercaya sebagai guru mengaji di Surau Baitul Hikmah itu.
Tapi, tak berselang lama Engku muncul lagi di kerumunan orang-orang
lapau yang mulai panik menghadapi pesakitan Jo Ampok.

"LLLaaaa....Nnnnnnnnaaam."

"LLLaaaaaaaaa....Nnnnnnnnaaaaaam."

"LLLaaaaaaaaaaaaaaa....Nnnnnnnnaaaaam."

Tak henti-henti Jo Ampok menyeracau. Masih racauan yang sukar
dimengerti. Sementara, Engku masih mengusap ubun-ubun Jo Ampok. Tak
lama kemudian, ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. O,
ternyata sebuah batu berbentuk segi empat, kombinasi warnanya
putih-biru menyerupai potongan kue agar-agar. Batu domino berjenis
Balak Enam. Dua belas titik hitam yang dibatasi satu garis melintang.
Pelan-pelan ditaruhnya balak enam itu dalam genggaman Jo Ampok.
Seketika, raja judi itu tersenyum lega sambil mengembuskan napas
terakhir. Jo Ampok mati sebagai penjudi sejati. Tangannya masih
menggenggam balak enam. Orang-orang lapau terhenyak dalam sunyi.

Kelapa Dua, 2007

Media Indonesia Minggu, 16 September 2007
http://www.mediaindo.co.id/cerpen/details.asp?id=125

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke