dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau
membohongkannya.” (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243,
sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda 
namun
maknanya sama).
Benarlah Rasulullah SAW dan bohonglah Syekh Thahthawi.5
Pencampuradukan yang dilakukan Harun Nasution --antara tokoh yang memurnikan 
Islam
dan yang berpendapat melenceng dari Islam-- dalam bukunya ataupun kurikulum
perkuliahan itu memunculkan kerancuan yang sangat dahsyat, dan paling banter 
dalam
perkuliahan-perkuliahan hanya dibedakan, yang satu (revivalis/ salafi, pemurni 
Islam)
disebut sebagai kaum modernis, sedang yang lain, yang menerima nasionalisme, 
demokrasi,
bahkan dansa-dansi, disebut Neo Modernis.
Kerancuan-kerancuan semacam itu, baik disengaja atau malah sudah diprogramkan 
sejak
mereka belajar di Barat, sebenarnya telah mencampur adukkan hal-hal yang 
bertentangan
satu sama lain, dijadikan dalam satu wadah dengan satu sebutan: Modernis atau 
Pembaharu.
Baik itu dibikin oleh ilmuwan Barat yang membuat kategorisasi ngawur-ngawuran 
itu
berdisiplin ilmu sosiologi seperti Kurzman, maupun orang Indonesia alumni Barat 
yang
lebih menekankan filsafat daripada syari’at Islam (di antaranya dengan 
mempersoalkan
tentang siksa di hari kiamat)6 seperti Dr Harun Nasution, mereka telah membuat 
sebutan
atau kategorisasi yang tidak mewakili isi. Dan itu menjadi fitnah dalam 
keilmuan, sehingga
terjadi kerancuan pemahaman, terutama menyangkut masalah “pembaharuan” atau 
tajdid.
Karena, tajdid itu sendiri adalah direkomendasi oleh Nabi saw bahwa setiap di 
ujung 100
tahun ada seorang mujaddid (pembaharu) dari umatnya.
 
إن الله یبعث لهذه الأمة على رأس آل مائة سنة من یجدد لها دینها.( رواه أبو داود).
“Sesungguhnya Allah senantiasa akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap 
akhir
seratus tahun (satu abad), orang yang akan memperbarui agamanya.” (Hadis dari 
Abu
Hurairah, Riwayat Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, mereka menshahihkannya, dan 
juga
dishahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani).
Kalau orang yang menghalalkan dansa-dansi campur aduk laki perempuan model di
Prancis, yaitu Rifa’at At-Thahthawi di Mesir, justru dikategorikan sebagai 
pembaharu atau
mujaddid, bahkan dianggap sebagai pembuka pintu ijtihad, apakah itu bukan 
fitnah dari segi
pemahaman ilmu dan bahkan dari sisi ajaran agama?
Padahal, menurut kitab Mafhuum Tajdiidid Dien oleh Busthami Muhammad Said,
pembaharuan yang dimaksud dalam istilah tajdid itu adalah mengembalikan Islam 
seperti
awal mulanya. Abu Sahl Ash-Sha’luki mendefinisikan tajdid dengan menyatakan,
 
----------------------------
5. Ali Juraisyah, Asaaliibul Ghazwil Fikri lil 'Aalamil Islami, hal 13.
6Ketika Dr Harun Nasution melontarkan pendapatnya yang mempersoalkan adanya 
siksa di hari akhir kelak,
tahun 1985-an, dan dibantah orang di antaranya HM Rasjidi, saya sebagai 
wartawan menanyakan kepada Dr
Quraish Shihab dalam satu perjalanan Jakarta- Palembang. Jawab Dr Quraish 
Shihab, kalau yang dimaskud
siksa itu penganiayaan yaitu kedhaliman Allah terhadap hambaNya, itu ya tidak 
ada. Tetapi kalau siksa itu
adzab sebagai balasan perbuatan dosa, ya tentu saja ada. Jawaban itu tadi agak 
mengagetkan saya, dan baru
sembuh kekagetan saya ketika penggalan akhir dia ucapkan. Namun ada jawaban 
yang lebih mengagetkan
saya. Ketika Porkas (judi lotre nasional masa Soeharto) baru muncul, saya 
bertanya kepada Prof KH Ibrahim
Hosen, LML, Ketua Komisi Fatwa MUI/ Majelis Ulama Indonesia, bagaimana 
tanggapan beliau tentang
dimunculkannnya Porkas oleh pemerintah itu. Sambil siap-siap masuk ke dalam 
mobil di halaman Masjid
Istiqlal Jakarta, beliau berkata: Anda jangan tanya tentang yang kecil-kecil 
seperti itu. Porkas itu masalah
kecil. Tanyakan masalah yang besar kepada orang yang mengatakan bahwa di 
akherat nanti tidak ada siksa.
Itu masalah besar, ucap Pak Ibrahim Hosen sambil masuk ke dalam mobil. Dalam 
perjalanan waktu, ternyata
Porkas yang beliau sebut masalah kecil itu menjadi masalah besar secara 
nasional selama bertahun-tahun.
Masyarakat banyak yang melarat dan gila. Di jalan-jalan banyak orang yang 
menanyakan nomor lotre kepada
orang-orang gila. Di mana-mana banyak sonji alias dukun-dukun tebak angka 
lotre. Di tempat-tempat yang
mereka anggap keramat jadi tempat “peribadahan” pemburu nomor judi lotre yang 
belakangan namanya
diubah jadi SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Saya pikir, masalah kecil 
saja kalau dibiarkan, dan
tidak diharamkan oleh MUI sejak awal, tahu-tahu jadi besar dan menjadi musibah 
aqidah umat Islam se-
Indonesia. Apalagi pikiran sesat yang disebut masalah besar oleh Pak Ibrahim 
Hosen yang menganggap kecil
masalah Porkas itu tadi.
 
Bersambung

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke