Kompas, Rabu, 15 Desember 2004

Jakarta, Kompas - Indonesia disarankan agar memfokuskan pengembangan ekonomi
yang menjadi landasan utama kehidupan mayoritas penduduk. Apa pun kebijakan
industrialisasi yang diambil Indonesia, haruslah memiliki keterkaitan dengan
kepentingan mayoritas itu.

Jangan terburu-buru melakukan liberalisasi perdagangan atau hal-hal lainnya,
tetapi fokuskan kebijakan pada pertumbuhan yang sudah pasti akan
meningkatkan pertumbuhan dan selanjutnya menumbuhkan perdagangan.

Demikian antara lain diutarakan oleh ekonom kaliber internasional Joseph E
Stiglitz di Jakarta, Selasa (14/12). Dia lulusan dari Massachusetts
Institute of Technology (MIT) dan kini pengajar di University of Columbia,
New York.

Dia memberikan kuliah umum dengan tema "Isu-isu Ekonomi Terkini dan
Dampaknya pada Negara-negara Berkembang" yang disponsori oleh Ikatan Sarjana
Ekonomi.

Tanpa sadar, Stiglitz juga memperlihatkan bahwa sejumlah kebijakan Indonesia
memang telah blunder. "Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih
dengan mudah oleh semua warga," katanya.

Menurut dia, pendidikan adalah sebuah investasi besar dan berarti dan
berdampak jangka panjang. Dia mengatakan, pendidikan elem sukses bagi suatu
negara karena itu akan menjadi modal dasar yang penting bagi sebuah negara.

Tak masuk akal

Pernyataan Stiglitz fokus pada pertanian itu muncul menjawab pertanyaan
sederhana dari seorang wartawan yang menanyakan, "Apakah resep kebijakan
yang menjadi saran Stiglitz sehubungan dengan keberadaan pemerintahan baru
di Indonesia?"

Sebenarnya agak disayangkan, untuk keberadaan pembicara sekaliber Stiglitz,
kursi-kursi di sebuah ruang seminar Hotel Jakarta itu tidak terisi penuh dan
juga tidak dihadiri para pejabat yang seharusnya menjadi target dari kuliah
umum Stiglitz.

Stiglitz semakin terkenal setelah meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 bersama
George A Ackerlof, A Michael Spence, untuk analisa-analisa pasar dengan
informasi asimetri. Tidak semua warga sama-sama memiliki informasi yang
sempurna tetapi sebagian warga jauh ketinggalan dari pihak lain soal
informasi. Akibatnya, yang muncul adalah keuntungan bagi pihak yang
mendapatkan informasi ketimbang yang minim informasi. Analisa mereka itu,
dianggap sebagai masukan penting bagi ekonom dan para pembuat kebijakan,
agar mengerti soal keberadaan informasi asimteri sehingga peluncuran
kebijakan pun bisa dimodifikasi dengan adanya faktor-faktor itu.

Kembali ke soal Indonesia, Stiglitz mengatakan bahwa mayoritas penduduk
masih tinggal di pedesaan dan mayoritas adalah petani. Indonesia juga sangat
kaya dengan sumber daya alam. Karena itu kata Stiglitz, memperhatikan
pengembangan pertanian adalah tugas yang mau tak mau harus dilakukan karena
Indonesia tidak bisa mengabaikan keberadaan penduduk seperti itu.

Namun dia mengatakan, kebijakan yang akan diterapkan soal pertanian harus
didasarkan pada dinamika yang ada. Artinya, dalam konteks pertanian, yang
menjadi fokus bukan lagi sekadar memproduksi komoditi tetapi juga harus
dilengkapi dengan penciptaan nilai tambah. "Maka dari itu, jenis
industrialisasi yang diciptakan juga harus terkait dengan kepentingan petani
itu," katanya.

Stiglitz mengkritik Indonesia, karena sebagian besar dari hasil pertanian
justru diolah di luar Indonesia. "Tidak ada sebenarnya alasan mengapa hal
itu harus terjadi," kata Stiglitz.

Ingat, mayoritas warga Indonesia ada dan hidup dari lingkup ekonomi seperti
itu, maka itu untuk pengembangan kehidupan dan perekonomian penduduk
mayoritas, menjadi tugas penting. Jika itu terjadi, kata Stiglitz, maka
pertumbuhan akan terjadi karena peningkatan pendapatan penduduk di sektor
tersebut.

Dia juga memperingatkan Indonesia agar meraih nilai tambah yang lebih besar
dari keberadaan kekayaan sumber daya yang lain. Dia mengatakan, tak bisa
lagi dilanjutkan keadaan, di mana sumber daya alam itu dijual begitu saja
tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat pada kepentingan mayoritas warga.

Stiglitz mengatakan semua itu, atas dasar alasan bahwa sebuah negara harus
memperhatikan di mana sebenarnya letak dari kekuatan daya saingnya.
"Pikirkanlah di mana

Kaya dan miskin

Namun saat memberikan kuliah umumnya, Stiglitz juga memperingatkan seraya
mnemberikan contoh-contoh menggelitik, yang juga sangat penting untuk
diperhatikan oleh Indonesia, termasuk pada pembuat kebijakan ekonomi.

Menurut Stiglitz, betapa banyak negara di dunia yang gagal memakmurkan
rakyatnya dan hanya menguntungkan kaum kaya karena peluncuran kebijakan yang
salah arah.

Dia mengingatkan lagi pada kasus di negara-negara Amerika Latin yang hanya
menguntungkan kaum kaya. Venezuela adalah contoh lain yang dia berikan, di
mana dua pertiga pertiga warga hidup sangat miskin dan sepertiga kaya raya.

Menurut Stiglitz, semua itu disebabkan kawasan itu adalah murid paling
penurut kepada IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah melakukan
kesalahan besar dalam resep-resep ekonomi, dan telah pula menjerumuskan
Rusia ke dalam resesi ekonomi yang buruk.

Salah satu penyebabnya adalah, resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia yang
fokus kepada stabilisasi, liberalisasi, swastanisasi yang disebut sebagai
resep dari Konsensus Washington (IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan
AS).

Dia mengatakan swastanisasi (privatisasi), liberalisasi dan stabilisasi itu
penting. Namun, persoalannya, ketiga hal itu seringkali dilakukan
terburu-buru dan dipaksakan. Tetapi Konsensus Washington lupa bahwa ada
sekelompok masyarakat, pekerja yang tidak siap dengan liberalisasi dan
swastanisasi itu.

Di sisi lain, liberalisasi dan swastanisasi tidak serta merta harus
meniadakan peran pemerintah, yang justru termasuk menjadi tujuan Konsensus
Washington. Akibatnya, hanya yang mampu dan bisa ikut arus yang bisa
terciprat dari pembangunan. "Akibatnya, dekade 1980-an adalah dekade yang
hilang bagi Amerika Latin dan sekarang ini juga menjadi sebuah kawasan yang
memiliki kehilangan," kata Stiglitz.

Krisis Asia

Dengan mudah, Stiglitz juga telah menjelaskan betapa krisis Asia telah
menjadi contoh lain dari kegagalan total resep IMF. Indonesia, kata
Stiglitz, mengalami krisis justru karena dampak dari liberalisasi dan
deregulasi sektor keuangan dan dekade 1980-an. 

Deregulasi sektor keuangan terlalu telah melahirkan sejumlah perbankan
dengan modal-modal kecil pula. Dari segi saja, deregulasi tersebut telah
menciptakan sebuah kerapuhan yang bagaikan bom waktu. Di samping itu, dengan
deregulasi yang relatif tanpa kontrol telah melahirkan efek yang menyebabkan
sektor keuangan menyerbu sektor yang dianggap lagi berjaya.

Dia memberikan contoh soal pilihan mana yang lebih mudah, yakni memproduksi
potato chip (kerupuk kentang) atau micro chips. Lebih mudah dan lebih cepat
adalah membuatkan keripik kentang. Karena lebih mudah, maka perbankan
mengalokasikan kredit untuk pembuatan kerupuk kentang.

Padahal, kata Stiglitz, pembuatan micro chip akan memberikan dampak lebih
luas, bermanfaat dn berperan besar meningkatkan produktivitas. "Misalnya,
pengembangan teknologi micro chip telah membuat lahir-lahirnya produk yang
menggunakan micro chip seperti telepon genggam, komputer, dan alat lain yang
juga menggunakan micro chip dan berperan meningkatkan efisiensi," katanya.

"Bandingkanlah hal itu dengan kerupuk kentang, yang hanya bisa dimakan dan
dampaknya hanya akan membuat orang lebih gemuk dan berisiko untuk mennadi
lebih sakit," katanya.

Nah, hal-hal seperti itu juga terjadi dengan liberalisasi sektor keuangan.
Karena cepatnya, maka kredit disalurkan ke sektor-sektor yang tidak
menguntungkan dalam jangka panjang. Persoalan lain adalah, keberadaan
pengawasan yang memang tidak sebanding dengan arus liberalisasi sektor
keuangan.

Pernyataan Stiglitz sangat tepat dengan kondisi Indonesia yang sebelum
krisis, sebaian besar kredit telah dikucurkan ke sektor properti yang tidak
ada pembeli akhir, dan membuat kelayakan kredit menjadi hilang. Hal itu
selanjutnya melahirkan fondasi sektor keuangan yang sangat rapuh.

Akan tetapi liberalisasi yang cepat itulah yang menjadi anjuran dari
Konsensus Washington.

Dia juga memberi contoh kegagalan resep IMF, jika dilihat dari pola
pemulihan ekonomi di Asia. Dia mengatakan Malaysia pulih lebih cepat dari
resesi. Di sisi lain, China relatif cukup kuat dari terpaan krisis kawasan.
Korea juga puliha dari resesi ekonomi lebih cepat, jika dibandingkan dengan
Thailand, apalagi Indonesia.

Alasannyam pemulihan itu lebih cepat justru karena negara-negara yang
disebut di atas tidak menjalankan resep IMF. China juga tidak mermiliki
program ekonomi yang didasarkan pada resep IMF, tetapi lebih fokus pada
liberalisasi di sektor peratnian dan tidak mau meliberalisasikan sektor
keuangan dan modal. Akibatnya, China justru tumbuh pesat dan relatif bebas
dari krisis.

Indonesia dan Thailand, justru pulih lebih lama dari krisis, justru karena
menjalankan resep IMF.

Dia mengingatkan bahwa liberalisasi keuangan yang terlalu cepat memang
memiliki akar kuat untuk menghancurkan perkeonomian, dan bukan semata-mata
karena korupsi. Untuk itu dia memberikan contoh, Swedia dan Finlandia adalah
negara paling transparan dan paling bebas dari korupdi dibandingkan negara
mana pun di dunia ini. Namun kawasan di Laut Amerika Utara itu justru sudah
paling dulu mengalami krisis perbankan, yakni pada dekade 1980-an.
Masalahnya, negara-negara di Laut Utara itu terlalu cepat melakukan
liberalisasi sektor keuangan, yang membuat fondasi dari sektor keuangannya
menjadi lemah dan akhirna melahirkan krisis.

"Maka dari itu, walau liberalisasi penting, tetapi tetaplah pelihara
keseimbangan antara kepentingan pasar dan peran pemerintah, yang justru
pentng sebagai pengontrol," katanya.

Dia juga memberikan contoh kegagalan Meksiko karena tidak tumbuh dari segi
perekonomian sejak menandatangani Kawasan Pwerdagangan Bebas Amerika Utara
(NAFTA) sepuluh tahun lalu. "Itu karena Meksiko tidak tahu berbuat apa
dengan NAFTA itu pada awalnya, tidak tahu di mana kekuatan daya saingnya.
Akibatnya, ketika China muncul sebagai basis produksi manufaktr palng murah
di dunia, maka semua pabrik-pabrik milik AS yang ada di Meksiko hengkang
langsung ke China dan merugikan Meksiko," katanya.

Dia juga mentatakan, lambatnya pertumbuhan ekonomi Meksiko, kareana negara
itu yang mengandalkan komodita peretanian murah, sebenarnya tidak menghadapi
askes pasar yang mudah untuk memasuki AS.

Sehubungan dengan itu, dia mengingatkan agar Indonesia mengetahui, apa
sebenarnya kekuatan dan strategi apa yang harus dilakukan berhadapan dengan
kompetisi dari China. Dia mengingatkan bahwa Korea Utara pun kini dibuat
sibuk untuk memikirkan, apa yang harus dilakukan dalam menghadapi persaingan
dari China. (MON/OIN) 

 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke