Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu



Diansua juo saketek-saketek...... sambia manjapuik-japuik pangana....


 3. Berpetaruh
 
Sesudah
sembahyang asar, Junaidi pergi ke rumah engku Mukhtar. Engku Mukhtar adalah
guru senior di tempat Junaidi mengajar. Usianya sudah hampir 30 tahun. Dia
tinggal di rumah istrinya yang juga jadi guru agama di sekolah di kampung
mereka. Istri engku Mukhtar tamatan PGA Dinyah.
 
Uni
Salma, istri engku Mukhtar mendengar ketika Junaidi mengucapkan salam. Dia
sedang memasak di dapur.
 
‘Ada engku di rumah, uni?’
tanya Junaidi.
 
‘Ada. Naiklah, Jun! Beliau
ada di atas.’
 
‘Apakah
beliau sedang beristirahat? Kalau boleh, ambo ada perlu dengan engku sebentar.’
 
‘Tidak.
Beliau tidak sedang istirahat. Sedang merintang-rintang si Bungsu. Naik sajalah
ke rumah.’
 
Engku
Mukhtar rupanya mendengar pembicaraan itu. Dijemputnya Junaidi ke pintu.
 
‘Ke
rumahlah!’ katanya.
 
Junaidi
segera naik ke rumah. Diikutinya engku Mukhtar ke ruangan tengah rumah gedang 
itu. Sebuah buayan bayi
tergantung dengan tali-talinya diikatkan ke tonggak rumah. Buayan itu masih
berayun-ayun. Di dalamnya ada bayi berumur tiga bulan sedang tidur. Kedua orang
laki-laki itu duduk di tikar. Engku Mukhtar sekali-sekali menggoyangkan buayan
itu agar tetap berayun.
 
‘Dari
rumah, kau?’ tanya engku Mukhtar.
 
‘Ya,
engku……,’ jawab Junaidi.
 
‘Bagaimana
kabar etek Munah?’
 
‘Baik-baik
saja engku.’
 
Bagaimana
ceritanya sampai kau dibawa ke Lasi kemarin itu? Aku dengar kau sedang mengirik
di sawah.’
 
‘Benar.
Kami sedang mengirik di Bandar Panjang. Tiba-tiba sudah muncul saja tiga orang
serdadu APRI itu. Mata mereka tertuju sangat ke ambo. Entah kenapa, sangat
benar benci mereka kepada anak-anak muda. Ambo dihardiknya menanyakan apakah
ambo tentara pemberontak. Ambo jawab bahwa ambo guru. Ditanyakannya
surat-surat. Di mana pula terpikir akan membawa surat-surat ke sawah. Ambo
jawab bahwa ambo tidak membawa surat
apapun. Marah dia. Ambo ditamparnya. Begitulah. Setelah itu ambo, mak Kari Mudo
dan mak Lenggang, kami bertiga dibawanya ke Lasi.’
 
‘Sampai
disana? Apa yang mereka lakukan?’
 
‘Kami
disuruh menggali lobang. Lobang besar mengelilingi rumah yang rupanya dijadikan
markas mereka.’
 
‘Berapa
orang semua yang disuruh bekerja seperti itu?’
 
‘Ada sekitar empat puluh
orang. Mungkin lebih. Orang Biaro, orang Balai Gurah, orang Ampang Gadang.’
 
‘Ada pula yang kena tangan di sana?’
 
‘Tidak…
Tapi kami dibentak-bentak mereka.’
 
‘Apa
yang mereka katakan?’
 
‘Mereka
katakan kami semua saudara-saudaranya pemberontak. Mereka bilang, mereka akan
menghabisi semua pemberontak itu.’
 
‘Jumawa
sekali…..’
 
‘Memang….
Mereka sangat sombong-sombong.  Memandang
kita seperti melihat sampah. Tidak ada sopan santunnya sedikit juga. Padahal
banyak juga di antara kami yang sudah berumur.’
 
‘Peperangan
memang selalu bengis. Selalu mengerikan. Terutama untuk rakyat yang  tidak 
ikut-ikut berperang.’
 
Engku
Mukhtar kembali mengayun-ayunkan anaknya dalam buayan. Anak itu terbangun dan
merengek-rengek kecil.
 
‘Sampai
jam berapa bekerja?’ engku Mukhtar melanjutkan.
 
‘Kira-kira
sampai jam setengah lima.’
 
‘Lalu?
Setelah itu disuruh pulang?’
 
‘Ya….
Kami disuruh pulang.’
 
‘Semua
disuruh pulang? Tidak ada yang ditahan?’
 
‘Semua.
Rupanya kami ditangkapi memang untuk dipekerjakan menggali lobang itu saja.’
 
‘Ya,
syukurlah kau tidak diapa-apakan mereka….. Sangat memilukan nasib si Nurman, si
Taufik, si Bahrin dan si Firman yang tertembak kemarin. Si Bahrin serupa pula
dengan si Pudin yang mati pekan yang lalu, pecah kepalanya.’
 
‘Engku
melihatnya?’
 
‘Ya,
aku melihatnya. Bagaimana tidak akan melihatnya, dia terjelapak di bawah pohon 
damar di seberang tebat di belakang rumah
ini.’
 
‘Engku
sendiri? Dimana kemarin ketika tentara-tentara itu masuk kampung?’
 
‘Aku
di rumah. Kami bersunyi diri saja di rumah. Kalau seandainya mereka naik, tentu
kuperlihatkan saja surat
keterangan kita. Tapi untunglah tidak ada yang naik ke rumah. Di halaman
terdengar teriakan-teriakan dan sumpah serapah mereka.’
 
‘Terdengar
tentunya bunyi tembakan?’
 
‘Sangat
jelas terdengar.  Anak-anak menjerit
ketakutan. Waktu mendengar bunyi letusan itu mulut anak-anak kami tutup dengan
tangan.’ 
 
‘Ya….
Itulah…. Enteng betul nyawa manusia bagi tentara-tentara kepuyuk itu….’ 
 
Sedang
mereka berbincang-bincang itu, uni Salma datang membawa nasi dan gulai. Mereka
rupanya akan makan sore. Junaidi agak salah tingkah. Mau ditinggal pergi,
padahal dia belum sempat menyampaikan keperluannya. 
 
‘Atau…..
Biarlah ambo pergi dulu engku. Biar nanti ambo kembali lagi….,’ kata Junaidi
ragu-ragu.
 
‘Mau
kemana pula, kau? Di luar hari hujan. Ini si Salma meletakkan nasi. Makan kita
dulu.’
 
‘Ndak
usahlah engku….. Biarlah ambo……’ Junaidi tidak menyelesaikan kata-katanya
karena dipotong oleh Salma. ‘Hei….. janganlah bertea-tea Junaid, di sini bukan 
rumah orang lain. Uni meletakkan
nasi, masakan engkau mau pergi. Jangan pergi…… Makan dulu, nanti kita teruskan
rundingan. Ada
cerita yang akan uni sampaikan,’  kata
Salma berwibawa.
 
Junaidi
tidak berani lagi menolak. 
 
Dan
mereka makan sore beramai-ramai. Dengan mak tuo, ibu Salma dan juga dengan
anak-anaknya. 
 
‘Uni
sudah sampaikan ke pak Tarmizi, agar kau diperbolehkan mengajar di sini saja.
Jadi tidak usah berulang ke Lambah. Uni katakan, terlalu besar resiko bagi
orang muda seusiamu, melintasi jalan besar di Biaro dalam suasana seperti
sekarang ini,’ uni Salma bercerita sementara mereka makan.
 
‘Apa
kata pak Tarmizi?’ tanya engku Mukhtar.
 
‘Beliau
tidak menganjurkan tapi tidak pula melarang. Beliau faham bahwa anak-anak muda
seusia Junaidi ini memang jadi sasaran tentara pusat itu. Uni simpulkan saja
bahwa beliau mengizinkan.’
 
‘Bagaimana
dengan engku Mukhtar sendiri?’ tanya Junaidi.
 
‘Uni
usulkan juga. Tapi uda bersikukuh tidak mau pindah.’
 
‘Orang
seusia aku ini mudah-mudahan tidak lagi jadi incaran tentara pusat. Aku tambah
tuakan penampilan, aku selalu berkopiah dan aku bawa tas guru. Kalau mereka
hentikan juga, aku perlihatkan surat
keterangan,’ engku Mukhtar menjelaskan.
 
‘Sudah
pernah engku berserobok dengan
mereka?’
 
‘Sudah
tiga kali. Sekali di Biaro, sekali di Lambah dan yang terakhir di lebuh kita
ini.’
 
‘Aman-aman
saja?’
 
‘Kecuali
hardikan dan bentakan, alhamdulillah aman-aman saja. Bentakan-bentakan itu
biarkan sajalah.’
 
Mereka
selesai makan. Di luar hujan masih turun.
 
‘Sebenarnya
begini, engku,’ kata Junaidi mengawali pembicaraan kembali.
 
‘Begini
bagaimana? Apa yang ingin kau sampaikan?’
 
‘Ambo
ingin mintak tolong, engku. Ambo berhutang kepada engku Rusyad dua puluh
rupiah. Ambo mintak tolong disampaikan kepada beliau uang ini,’ kata Junaidi
menyerahkan sebuah amplop yang dikeluarkannya dari saku bajunya.
 
‘Kok
aneh benar? Kalaupun pindah mengajar ke sekolah di sini, apa tak sebaiknya
engkau usahakan juga berpamitan dengan guru-guru di Lambah itu?’ tanya engku
Mukhtar.
 
‘Mungkin
tidak sempat lagi ambo ke sana
engku…..,’  jawab Junaidi pula.
 
‘Tidak
terlakit? Mau kemana kau?’
 
‘Begini
engku…… Ambo akan ikut ke luar…’ jawab Junaidi setengah berbisik.
 
Engku
Mukhtar terbelalak mendengar. Begitu pula dengan uni Salma, istrinya. Tidak ada
yang berkata-kata untuk beberapa saat.
 
‘Engkau…Engkau
bersungguh-sungguh?’ engku Mukhtar bertanya setengah tidak percaya.
 
Junaidi
mengangguk.
 
‘Sudah
kau pikirkan betul matang-matang?  Bukankah perang ini sangat menakutkan? Kau 
akan ikut menyabung nyawa?’
 
‘Ambo
sudah berpikir panjang, engku. Dan ambo sudah memutuskan.’
j
‘Apa
kata etek Munah? Kata pak etek?’
 
‘Ambo
telah berusaha meyakinkan beliau. Itu adalah yang terbaik yang dapat ambo
lakukan. Tidak ada sedikitpun jaminan keamanan bagi ambo kalau tetap bertahan
di kampung.’
 
‘Bukankah
ada surat
keterangan dari kepala sekolah?’
 
‘Tidak
ada jaminan engku. Bukankah mereka yang ditembaki tentara pusat itu tanpa
ditanya apa-apa? Dibedil begitu saja dari belakang….’
 
‘Terperangah
aku medengar yang kau sampaikan. Tapi tidak pandai pula aku berkomentar..’
 
Junaidi
tersenyum lirih.
 
‘Kapan
kau….. akan pergi?’
 
‘Belum
ada kepastian engku…. Tapi segera…’
 
‘Ya
Allah….. peperangan ini……’ engku Mukhtar tidak meneruskan kata-katanya.
 
‘Engku…..
Biarlah saya mohon diri dulu. Sekali lagi tolong engku sampaikan petaruh saya
ini kepada engku Rusyad. Tolong sampaikan permohonan maaf saya kepada
engku-engku dan ibu-ibu guru di Lambah.’
 
Mereka
terdiam semua. Uni Salma meneteskan air mata tanpa disadarinya. Tapi itu bukan
saat untuk  berbagi duka. Junaidi segera
berlalu setelah berpamitan.
 
 
                                                                        *****
 
Wassalamu'alaikum


Muhammad Dafiq Saib Sutan Lembang Alam
Suku : Koto, Nagari asal : Koto Tuo - Balai Gurah, Bukit Tinggi
Lahir : Zulqaidah 1370H, 
Jatibening - Bekasi


      

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke