Indra J. Piliang tentang Buku 'Mengalir Meniti Ombak' (4-Habis) Perahu Pengamat sudah Saya Bakar...
Top of Form http://beritajatim.com/berita/brt939862203.jpg Bottom of Form Jum'at, 09 April 2010 09:29:59 WIB Reporter : Oryza A. Wirawan Jember (beritajatim.com) - Sejarah hanya untuk para pemenang. Agaknya diktum itu tak berlaku bagi seorang Indra Jaya Piliang. Politisi cum intelektual muda Partai Golkar itu justru mendokumentasikan tiga kekalahannya dalam berpolitik dalam buku setebal 568 halaman berjudul Mengalir Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan. Beritajatim.com mewawancarai Indra Piliang seputar bukunya., dan diturunkan secara bersambung. Bung, sekarang kita bicara soal proses kreatif buku Anda. Apa sih yang memotivasi dan menginspirasi Anda menulis buku ini? Kelangkaan buku-buku yang realistik. Selama pilpres, saya kesulitan mendapatkan buku-buku tentang JK dan Wiranto, terutama terkait dengan visi dan misinya. Saya harus berbicara kepada keduanya untuk mengetahui pikiran-pikirannya, juga bertanya ke orang-orang terdekatnya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan riwayat hidup. Selama menjadi analis, saya merasa banyak tahu, tetapi setelah terjun ke politik praktis, justru saya salah: sedikit sekali yang saya ketahui. Orang yang bergelut selama delapan tahun dengan dunia politik seperti saya saja awam tentang segala hal menyangkut pemilu dan Munas Partai Golkar, bagaimana dengan yang lain? Selain itu, saya mendapatkan bakat sebagai seorang penulis. Saya juga dikenal sebagai penulis. Makanya dua hal itu - kelangkaan buku dan bakat sebagai penulis - memotivasi saya menulis. Untuk menekankan bahwa apa yang saya tulis adalah subjektif, makanya saya membuat memoar. Bagaimana proses kreatifnya, dan butuh waktu berapa lama untuk menyelesaikan buku ini? Proses kreatif? Kalau tidak salah, saran dari beberapa kawan, misalnya M Nursam dari Penerbit Ombak, Karim Raslan penulis manca-negara, serta tentu juga obrolan dengan teman-teman di Kabinet Indonesia Muda. Semula, ide iseng aja, karena beberapa kawan dianggap menang, sementara saya berada di pihak yang kalah. Saya bilang, "Kalau gitu, gue nulis memoar kekalahan." Dan saya mulai menulis. Pekerjaan menulis itu bahkan berlangsung pada saat peristiwa masih terjadi, misalnya soal Munas dan perjalanan dengan Yuddy Chrisnandi. Beruntung saya terbantu dengan sejumlah catatan yang saya buat selama proses pemilu dan memuatnya di facebook dan website saya. Buku ini ditulis kurang lebih 6 bulan, paling sulit waktu mengoreksi atau merevisi. Beruntung, saya dibantu oleh beberapa teman pembaca ahli. Masukan mereka membuat saya mengoreksi lagi, menambahkan, menghilangkan. Motivator yang paling baik adalah keunikan-keunikan pemilu 2009 sendiri yang mungkin tidak terulang lagi, serta perhatian saya kepada anak-anak muda usia politik yang mungkin akan masuk ke dunia antah-berantah ini. Ada banyak sekali detail di buku ini. Bagaimana Anda mengingat detail-detail itu untuk kemudian ditampilkan? Itu tadi, sejumlah catatan yang saya punyai. Kuliah S-1 saya sejarah, maka pikiran saya terbiasa menyimpan banyak dokumen pikiran. Dokumen pikiran itu tinggal dikeluarkan, ditabulasi, diklasifikasi, lalu ditulis kembali. Yang paling susah memang memisah-misahkannya, cerita mana masuk ke bagian apa. Semula, banyak yang double, karena metode penulisan saya adalah apa yang teringat, langsung ditulis. Baru pada tahan berikutnya dipisah-pisahkan, dikasih sub judul atau dijadikan sebagai bab. Saya banyak terbantu dengan catatan-catatan di website, facebook dan foto-foto. Saya punya puluhan ribu foto di laptop yang dipisah-pisah sesuai dengan peristiwanya. Selain itu, saya menelusuri tanggal kejadian di internet, menyesuaikan dengan ingatan saya. sebetulnya, saya ingin menghadirkan sejumlah orang dalam panel diskusi gagasan soal rencana penulisan buku ini, tetapi saya batalkan. Jadi, begitulah, mengalir begitu saja. Saya juga dibantu oleh email-email yang masih tersimpan. Yang sangat disayangkan, saya mendelete puluhan ribu pesan-pesan pendek di handphone saya, padahal bisa menjadi dokumen berharga, sebagaimana dalam buku Buya Sjafii Maarif. Setelah semua hiruk pikuk politik yang Anda hadapi, kini apa yang ingin Anda persiapkan? "Perahu pengamat sudah saya bakar", bukankah itu yang saya sampaikan pada waktu mundur dari pengamat atau analis? Selain itu, kalau gagal d politik praktis, saya berjanji menjadi seorang petani di kampung dan menulis buku dan mengajar. Saya baru mulai. Dan saya merasa menyusun batu-batu bangunan politik baru. Berpidato ketika mundur dari pengamat, menulis buku memoar, dan lain-lain. Ya, Insya Allah, saya akan kuliah lagi, S-3. Tetapi saya belum memutuskan untuk menjilat ludah sendiri. Dunia politik, sekalipun sunyi dan sepi, saya kira layak saya geluti. Kecuali saya berhasil dijinakkan, saya akan terus. Kalau saya dijinakkan, saya mungkin memilih berhenti. Dulu, saya mundur dari DPP PAN, ketika platform partai dilanggar. Apakah itu akan terulang lagi? Saya tidak berani berspekulasi. [wir] http://beritajatim.com/detailnews.php/2/Gaya_Hidup/2010-04-09/60985/Perahu_P engamat_sudah_Saya_Bakar... -- . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe To unsubscribe, reply using "remove me" as the subject.
<<image002.jpg>>