-------- Original Message --------

Tempo, Edisi. 25/XXXIV/15 - 21 Agustus 2005  
      Kolom  
MUI dan Fatwa Antidemokrasi 

Ahmad Sahal

Deputi Direktur Freedom Institute mahasiswa teori politik New York 
University


Pada permukaannya, fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, 
sekularisme, dan pluralisme terkesan bertarget sempit: membidik 
Jaringan Islam Li-beral (JIL) dan kelompok Islam lain yang seje-nis. 
Tapi pada lapisan dasarnya, fatwa tersebut sesung-guhnya menghantam 
sesuatu yang jauh melampaui JIL, yakni demokrasi konstitusional yang 
sedang dirintis di negeri ini. Demokrasi menjadi terancam oleh fatwa 
itu karena tiga soal yang diharamkan MUI sesungguhnya merupakan 
pilar utama demokrasi. Kalau demokrasi sudah divonis sebagai barang 
haram, maka kalangan Islam yang menerima dan memperjuangkan 
demokrasi adalah para pendosa.


Ironisnya, dasar keputusan MUI, menurut Profesor Dawam Rahardjo, 
bukanlah kesalahpahaman, melainkan ketidakpahaman. MUI seenaknya 
sendiri mendefinisikan liberalisme, pluralisme, dan sekularisme 
untuk kemudian mengharamkannya. Tampaknya, bukan ilmu dan bacaan 
yang menjadi sandarannya, melainkan prasangka. Padahal, kalau MUI 
mau membaca, mereka akan tahu penjumlahan dari liberalisme dan 
sekularisme adalah demokrasi. 


Sejarah liberalisme adalah sejarah kebebasan individu modern dan 
pembebasannya dari absolutisme kekuasaan. Sejak akhir abad ke-17, 
seiring dengan semakin kokohnya perdagangan dan pencerahan di tanah 
Eropa, muncul kesadaran di kalangan masyarakat Barat akan pentingnya 
kebebasan individu. Mereka merasa letih dengan perang agama dan 
sumpek dengan despotisme ancient regime. 


Mereka kemudian merancang suatu tatanan baru berdasarkan 
rasionalitas, yang melindungi kebebasan, meng-akhiri perang agama 
dan mencegah bercokolnya kembali absolutisme. Untuk itu, kedaulatan 
mesti bersumber pada rakyat; pluralisme dan toleransi mesti dijaga; 
serta kekuasaan mesti dibatasi dan dikontrol. Inilah inti dari 
liberalisme. Dalam bahasa John Locke, filsuf liberal Inggris abad ke-
17, liberalisme merupakan pengejawantahan tiga inti modernitas, 
yakni rasionalitas, kebebasan, dan persamaan.


Liberalisme adalah mekanisme pengaturan kehidupan publik yang 
mendasarkan diri pada kontrak. Karena itu, ia bersandar pada aturan 
yang disepakati bersama. -Dengan demikian, ia niscaya berwatak 
sekuler karena dasar legi-timasinya bukanlah kitab suci agama 
tertentu, melain-kan rasionalitas kolektif. Tujuannya agar kekuasaan 
bisa dikontrol dan dikoreksi, juga agar absolutisme yang menyulut 
perang agama tidak terulang lagi. 


Tatanan liberal juga merayakan pluralisme dan toleran-si dengan 
asumsi bahwa keragaman pandangan dan adu pen-dapat justru 
memungkinkan masyarakat untuk mengorek-si kesalahannya sendiri dan 
berkembang maju. Suara minoritas mendapat hak hidup yang sama dengan 
pendapat mayoritas. Di sini politik bukan ajang pertarungan 
antara "kawan" dan "musuh" yang gampang menyulut kerelaan untuk mati 
demi membela satu keyakinan. Politik dalam arti liberal adalah ajang 
bagi kompromi dan negosiasi. Kombinasi dari liberalisme, 
sekularisme, dan pluralisme inilah yang kemudian terlembagakan dalam 
sistem demokrasi konstitusional. Yang khas dari sistem ini, ia tidak 
berpretensi untuk menjadi sistem yang sempurna dan berlaku abadi. 
Demokrasi justru bertolak dari ketidak-sempurnaan dan kesementaraan 
sehingga selalu ada peluang untuk koreksi dan perbaikan di kemudian 
hari. Inilah yang membedakannya dengan Islamisme yang mengklaim 
bersifat lengkap, sempurna, dan berlaku abadi karena bersandar pada 
hukum Tuhan. 


Bagaimana umat Islam menanggapi demokrasi sekuler? Bagaimana mereka 
bersikap terhadap "rasionalitas, kebebasan, dan persamaan" yang 
disebut Locke merupakan- esensi modernitas? Kita tahu, sejumlah 
kalangan Islam dengan serta-merta menolak tatanan sekuler dan 
menggantinya dengan syariah. 


Sementara itu, kalangan Islam lain menerima demokrasi sekuler dengan 
berdasarkan tafsir liberal atas Islam, yang melihat Islam lebih 
sebagai substansi ketimbang bentuk. Merekalah yang tergabung dalam 
JIL, dengan Ulil Abshar-Abdalla sebagai lokomotifnya. Bagi JIL, 
demokrasi sekuler- bukan saja tak bertentangan dengan Islam, 
melainkan justru merupakan pilihan terbaik untuk menerjemahkan Islam 
dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan. Demokrasi sekuler 
diyakini lebih mampu mewujudkan maqahid al-syari'ah, cita-cita 
syariah seperti keadilan dan persamaan. 


Menurut JIL, terlalu terpaku pada bentuk justru bisa mengabaikan 
substansi. Inilah yang terjadi pada rezim yang menerapkan Islamisme 
seperti Arab Saudi dan Iran. Atas nama syariah, kedua rezim tersebut 
mengekang kebebasan warganya, mengebiri hak-hak perempuan dan 
minoritas, dan memberangus oposisi dan kritik terhadap pemerintah. 
Bukankah ini praktek nyata dari totalitarianis-me? 


Lagi pula, anggapan bahwa tatanan sekuler merugikan Islam 
sesungguhnya terbantah dengan fenomena Partai Keadilan Sejahtera 
(PKS). Partai yang berasas Islamisme ini mendapat tempat dan tumbuh 
subur dalam sistem demokrasi sekuler. Yang lebih fenomenal adalah 
apa yang terjadi di Turki. Partai Kemajuan dan Pembangunan (AKP) 
pimpinan Tayyib Erdogan yang membawa bendera Islamisme ternyata 
menang secara meyakinkan dalam sistem yang menganut demokrasi 
sekuler. Dua contoh tersebut seharusnya mengoreksi prasangka akut -
kalangan Islam terhadap sekularisme.


Memang, harus diakui, trauma terhadap sekularisme dalam memori 
kolektif umat Islam merujuk pada peng-alaman sejarah mereka yang 
menyakitkan dengan sekularisme. Selama ini, kalangan Islam hanya 
mengalami sekularisme dalam perwujudannya yang otoritarian. Itulah 
yang terjadi di Turki pada masa awal, di Mesir sejak dulu hingga 
kini, dan di Indonesia pada masa Soeharto. Di bawah rezim semacam 
ini, kalangan Islam menjadi korban represi. Trauma inilah yang 
menjadikan mereka begitu geram dengan sekularisme dan akhirnya 
membawa mere-ka kepada Islamisme.


Bagi JIL, di sinilah letak soalnya. Islamisme terbukti merupakan 
bagian dari persoalan, bukan bagian dari jawab-an. Islamisme yang 
mengklaim berlaku totalistik pada akhirnya menutup diri dari 
oposisi, kritik, dan korek-si. Islamisme, dengan kata lain, 
cenderung untuk tampil dalam bentuknya yang absolutistik. Dengan 
demikian, sistem ini akan gagal merealisasi maqashid- al syari'ah 
(tujuan syariah), yakni prinsip keadilan dan persamaan. 


Pandangan Islam substantif dari JIL ini sebenarnya hanyalah 
meneguhkan dan melanjutkan ide-ide pembaruan Islam dari tokoh 
seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan Abdurrahman Wahid. 
Penerimaan terhadap demokrasi sekuler pernah dikemukakan Cak Nur 
lewat idenya mengenai sekularisasi. Cak Nur juga giat memperjuangkan 
pluralisme, misalnya dengan tawarannya mengenai makna Islam sebagai 
al hanifiyyah al-samhah, kepasrahan terhadap Yang Ilahi dan 
penegasannya ter-hadap "pintu-pintu menuju Tuhan". 


Sementara itu, rasionalisme Islam secara luas dipromosikan oleh 
Harun Nasution, mantan rektor IAIN Jakarta pada 1970-an, dengan 
memperkenalkan filsafat Islam dan pemikiran Mu'tazilah . Di mata 
Harun, pemikiran rasional adalah bagian yang sah dari khazanah 
pemikiran Islam. Sedangkan komitmen terhadap pluralisme dengan gigih 
ditunjukkan oleh Gus Dur, antara lain lewat pembelaannya terhadap 
hak-hak minoritas 


Pada tataran praktek, penerimaan JIL terhadap demokrasi sekuler juga 
sejalan dengan keputusan muk-tamar NU yang menerima bentuk 
keindonesiaan sebagai hal yang final dan tak perlu diganti dengan 
sistem Islam. Ia juga se-irama dengan kegigihan Prof Syafi'i Ma'arif 
dan KH Hasyim Muzadi untuk menolak penerapan syariah beberapa tahun 
lalu. Bahkan pada tingkat tertentu, kita bisa berkata bahwa 
mayoritas muslim Indonesia yang memi-lih partai nasionalis, yang 
notabene sekuler, dalam pemilu lalu sebenarnya paralel dengan JIL. 


Arus pemahaman dan pengamalan Islam substantif semacam inilah yang 
divonis haram oleh MUI, dengan implikasi yang sangat mencemaskan. 
Menurut saya, fatwa MUI bermasalah bukan hanya karena ia bisa dan 
telah dipakai oleh sejumlah kelompok Islam untuk mengganyang 
kelompok Islam lain yang dituduh sesat dan murtad. 


Ada hal lain yang juga mengkhawatirkan. Bayangkan kalau fatwa MUI 
dijadikan pedoman. Gugusan pemikiran pembaruan Islam yang menyerukan 
tafsir liberal atas Islam dari Cak Nur, Harun Nasution, dan Gus Dur, 
untuk menyebut beberapa, otomatis menjadi barang haram. Rasio-
nalisme Islam yang selama ini menjadi bagian yang sah dalam khazanah 
pemikiran Islam, dengan tokoh-tokohnya semacam Ibnu Rusyd dan 
Muhammad Abduh, tiba-tiba dianggap menyesatkan. 


Kalau fatwa MUI dijadikan patokan, maka penolakan Prof Syafi'i 
Ma'arif dan Hasyim Muzadi terhadap pene-rapan syariah adalah suatu 
dosa. Lebih jauh, orang Islam yang memilih Partai Demokrat, Golkar, 
PDIP, PKB, dan PAN bisa dikategorikan sebagai pendosa karena mereka 
memilih partai nasionalis yang sekuler. Begitu juga kalang-an Islam 
yang aktif memperjuangkan demokrasi dan pluralisme. 


Dengan demikian, fatwa MUI ini akan mengancam fondasi dasar bagi 
proses demokratisasi, sesuatu yang dicita-citakan oleh reformasi. 
Jangan dikira musuh reformasi hanya terbatas pada otoritarianisme 
Orde Baru dan korupsi. Reformasi juga bisa terancam oleh 
absolutisme, suatu sikap yang disebut oleh Cak Nur sebagai thoghut 
(tiran), yang merasa memiliki kebenaran mutlak dan meng-anggap yang 
lain sesat. Fatwa MUI dengan jelas menunjukkan karakter itu.

 




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke