http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=249392&kat_id=16

Rabu, 24 Mei 2006



Melindungi Pejabat atau Penjahat?
Oleh :
M Nasir Djamil
Anggota Komisi II DPR RI dari FPKS


Kabar gembira untuk para pejabat di Indonesia. Karena ke depan tampaknya mereka tidak mudah untuk duduk sebagai pesakitan di pengadilan ataupun menjadi penghuni hotel predo. Pasalnya, saat ini Pemerintah sedang menyiapkan peraturan untuk melindungi pejabat publik dari pengusutan hukum kasus pidana.

"Kita siapkan peraturan yang lebih baik sehingga tidak semudah itu pejabat ditangkap. Kita ingin membedakan yang mana kebijakan dan yang mana kejahatan. Kalau kebijakannya salah maka masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Tidak pidana," ujar Wakil Presiden, Jusuf Kalla, yang dikutip sejumlah media massa. Saya yakin bahwa itu adalah pernyataan resmi pemerintah.

Pertanyaannya adalah apakah selama ini tidak ada aturan --terutama masalah keuangan-- yang mengatur para pejabat, baik sebagai kepala daerah ataupun anggota legislatif? Apakah pernyataan ini merupakan reaksi emosional karena adanya tujuh gubernur dan 60 bupati/wali kota yang diizinkan untuk diperiksa? Selain itu juga ada 735 anggota DPRD kabupaten/kota dan 327 DPRD provinsi bernasib sama? Apakah pernyataan tersebut bagian dari strategi partai politik untuk 'mengamankan' anggotanya yang menjadi pejabat? Atau jangan-jangan statement tersebut bagian dari langkah-langkah politik yang dibalut regulasi guna memuluskan langkah di tahun 2009 dan 2010. Atau pernyataan ini 'dibisikkan' ke Wapres oleh kalangan DPR RI di mana para 'junior' meraka di daerah saat ini sedang bermasalah dengan aparat penegak hukum?

Terus terang saya sependapat kalau para pejabat harus dijaga dari segala kemungkinan yang membuat mereka terjerumus dalam kasus pidana. Sebab mereka adalah para motor untuk menggerakkan pembagunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, baik di pusat maupun daerah. Berbagai survei menunjukkan bahwa harapan masyarakat mengidamkan pejabat pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Tapi dengan membuat aturan baru semacam keputusan presiden, maka hal itu perlu dipikirkan secara matang. Sebab kalau kita mau jujur, persoalannya bukanlah pada kebijakan atau kejahatan. Tapi lebih pada mentalitas para pejabat dan belum adanya undang-undang yang mengatur secara spesifik pemerintahan

Perangkat regulasi
Memang seperangkat aturan juga telah dibuat untuk membatasi syahwat jahat para pejabat. Misalnya ada Tap MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme, UU No 25/2003 tentang Perubahan Atas UU No 15/2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, juga UU No 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu juga ada UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Bahkan juga ada PP No 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpian dan Anggota DPRD, PP No 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Instruksi Presiden tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi juga sudah dibuat.

Lalu di mana salahnya? Pertama, hampir mayoritas pejabat, baik di pusat dan daerah, masih memiliki mindset masa lalu. Hal ini menyebabkan para pejabat, terutama kepala daerah menjadi penguasa, bukan pemimpin. Bagi penguasa, rakyat adalah objek, sedang bagi pemimpin, rakyat adalah subjek.

Seharusnya, pilkada langsung haruslah membuat demokrasi semakin berkualitas. Misalnya, pejabat yang terpilih berhasil menunjukkan kualitas mereka sebagai pemimpin. Pemimpin adalah mereka yang bekerja untuk melayani orang-orang yang ia pimpin dengan cara memberi saluran dan kesempatan bagi orang-orang itu untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam suasana kompetisi yang sehat. Pemimpin adalah mereka yang mengatakan, "I am their leader, I really had to follow them".

Kedua, masih adanya politisasi birokrasi. Menurut teori liberal, birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan umum. Konsekuensinya, birokrasi pemerintahan itu bukan hanya diisi oleh para birokrat, melainkan dijabat juga oleh fungsionaris partai politik ataupun orang-orang yang 'dititip' oleh parpol.

Kacaunya, yang kita rasakan dari dulu hingga sekarang, birokrasi akhirnya menjadi wahana bagi 'jual beli pengaruh politik'. Akibatnya, kebijakan politik kehilangan karakter asasinya sebagai instrumen pelayanan publik dan terselewengkan menjadi instrumen pelayan kepentingan kelompok yang bersifat sesaat dan berjangka pendek. Birokrasi yang buruk rupa semacam itulah yang menjadi ladang praktik korupsi.

Ketiga, untuk melindungi para pejabat agar tidak menjadi penjahat haruslah dilakukan secara gradual, bukan dengan tambal sulam. Semua kita sepakat untuk mewujudkan pejabat yang dapat menjadi cermin bagi rakyat, adalah sebuah keniscayaan. Karenanya --menurut saya-- perlu disiapkan sejumlah instrumen peraturan perundangan terkait dengan para pejabat, seperti aturan tentang administrasi pemerintahan, pelayanan publik, etika penyelenggaraan negara, kepegawaian negara, dan pensiun pegawai dan pensiun janda/duda.

RUU Adminitrasi Pemerintahan misalnya, diharapkan menjadi instrumen transformasi asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ia juga dapat digunakan sebagai instrumen pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme para pejabat publik. Ia diharapkan dapat memperbaiki kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, efisien, dan berbasis pelayanan publik. Boleh jadi aturan tentang administrasi pemerintahan ini akan mendapat respons yang cukup agresif dari pejabat politik yang berusaha mengakomodasi kepentingan jabatan politik mereka untuk dapat menduduki jabatan birokrasi.

Reformasi birokrasi
Mengakhiri tulisan ini, saya pun perlu mengingatkan kita kembali tentang janji Presiden SBY dan Jusuf Kalla saat kampanye lalu, yang menekankan urgensi pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Kedua hal ini saling terkait erat. Tidak mungkin dapat memberantas korupsi tanpa reformasi birokrasi internal pemerintahan.

Restrukturisasi dan reposisi birokrasi Indonesia saat ini dapat dilakukan dengan cepat dan tepat serta langkah-langkah yang strategis. Jika tidak, maka keinginan membuat keputusan presiden guna melindungi pejabat politik dan pejabat publik dari jeratan hukum pidana justru akan menjadi 'candu' yang membuat mereka tetap dalam kondisi 'mabuk kekuasaan'.

Pada masa orde baru, salah satu cara untuk melanggengkan kekuasaan adalah membuat peraturan perundang-undangan sedemikian rupa sehingga melindungi kebijakan-kebijakan yang menyimpang. Karena itu jangan-jangan aturan yang dibuat nanti menjadi bias seperti rezim orde baru. Kalau begitu tidak salah jika publik pun bertanya, siapa sesungguhnya yang akan dilindungi, pejabat yang baik atau penjahat birokrasi? Wallahu a'lam.


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




SPONSORED LINKS
Women Different religions beliefs Islam
Muslimah Women in islam


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke