Sebetulnya bagi negeri ini, penguatan atau pelemahan itu sama saja dampaknya, 
Yang dibutuhkan adalah kestabilan mata uang. Misal seorang eksportir menjual 1 
m3 kayu seharga 200 US $ setelah terjadi penguatan juga akan menerima 200 US$ 
/m3. Naik atau turun income bagi negeri ini tetap 200 US$/m3. 

Hanya saja pada saat di rupiahkan pengusaha akan mendapat rupiah yang berbeda. 
Ketika 1 US $ = Rp. 8.000 dia mendapatkan Rp. 1.600.000,- sementara ketika 1 
US$ 10.000,- dia mendapatkan Rp. 2.000.000,-

Jika mekanismenya sudah benar maka upahpun seharusnya bisa naik dan bisa turun 
sejalan dengan nilai kurs agar upah tidak kehilangan daya beli, namun itu akan 
menyulitkan sehingga keuntungan yang diperoleh pengusaha sebenarnya adalah 
melemahnya daya beli pegawainya dan pihak ketiga dalam negeri yang berhubungan 
dengan pengusaha tersebut.

Melemahnya daya beli pegawai berpenghasilan tetap  inilah yang seharusnya 
dihindari di negeri ini. Pemerintah harus terus menurus mengupayakan agar daya 
beli ini meningkat sejalan dengan berjalannya waktu yang memiliki kionsekwensi 
bertambahnya pengalaman, jabatan, dan pendidikan dan  pelatihan. Jika tidak 
maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan bahwa penghasilan tetap akan sampai 
pada suatu tingkat kesejahteraan yang diharapkan sejalan dengan berjalannya 
waktu.... Jika tidak pernah tercapai akibat melemahnya rupiah dan inflasi yang 
tinggi  maka akibatnya adalah korupsi dalam segala bentuknya untuk menutupi 
perlemahan yang terus menerus terjadi

Dengan dasar berpikir demikian maka perkuatan mata uang memang jauh lebih 
penting dipikirkan sampai tingkat dimana subsidi hilang dengan sendirinya. 
Misalnya harga BBM Primium dianggap wajar adalah Rp. 6.200/liter dengan kurs 1 
US $ = Rp. 9.000 atau seliter = 0,68 US $. Maka rupiah sebenarnya perlu 
diperkuat hingga X . 0,68 = Rp.4.500 atau 1 US $ = Rp. 6.600

Dengan cara demikian maka daya beli masyarakat meningkat dan subsidi hilang 
dengan sedirinya :-)

Salam

RM



Kirim email ke